5 • teather

Hal pertama yang Lyn lakukan saat memasuki ruangan latihan UKM Teater adalah memakai earphone. Apakah ada lagu yang terputar? Tentu tidak. Lyn hanya menghindari obrolan basa-basi yang sebenarnya penting untuk bersosialisasi di tempat ini. Sayangnya, ia memilih memakai masker dan duduk di pojok ruangan. Andai bukan karena pengalaman ciamik di CV-nya nanti, ia tidak akan repot-repot mengikuti kegiatan apa pun.

Organisasi yang cukup mainstream ada di setiap kampus ini tidaklah besar. Peminatnya tak sefantastis yang Lyn pikir. Dari fakultasnya saja hanya sekitar sepuluh yang mendaftar. Di luar itu, ia tak tahu-menahu. Lyn memutuskan menginjak ruangan ini dibanding sekretariat lain karena hanya teater-lah yang jadwal kegiatannya tidak berbenturan dengan kerja paruh waktu di kafe.

Gadis berkucir dua itu sesekali mengecek ponsel dan membaca pesan yang masuk. Sejak kemarin, ia sering membicarakan segala hal dengan Sean. Ia bahkan berencana pergi ke perpustakaan bersama-sama. Bukan Lyn mulai menyukainya dalam artian yang lebih dalam, ia hanya menikmati diskusi-diskusi kecil yang lelaki itu ciptakan di setiap pembahasan mereka. Menurut Lyn, hal itu lebih menawan dibanding memuja visual semata.

"Selamat sore, teman-teman."

Lyn lekas mendongak saat salah satu senior memberi salam pada calon anggota baru. Ia buru-buru mengambil kacamata dan memakainya. Biasanya ia memakai contact lens, itu pun kalau rajin dan tidak tergesa-gesa. Setelah dapat melihat dengan jelas, barulah ia dikejutkan dengan sosok bersedekap plus mengangkat dagu di jajaran kakak tingkat itu.

Sial, mengapa di antara puluhan unit kegiatan di Universitas Catra, ia harus bertemu Hans di sini?

Lyn lekas menunduk dan berdoa secepat cahaya, memohon agar lelaki itu tidak menyadari keberadaannya yang memang susah dijangkau. Selain penampilannya yang tertutup--memakai setelan panjang dan bermasker--posisi Lyn juga paling belakang, tertutup 4-5 mahasiswa lain. Kalau ternyata Hans masih bisa menemukannya, berarti nasib Lyn jauh lebih sial dibanding tetangga indekosnya yang jatuh dari lantai dua dan mendarat di atas kotoran kucingnya.

"Jadi, agenda di UKM diadakan weekend, ya. Nanti kita akan belajar olah tubuh, suara, dan rasa setiap minggunya. Untuk hari ini kenalan-kenalan aja dulu sambil mengisi formulir ini," ucap ketua umum UKM Teater seraya mengangkat selembar kertas A4 yang belum Lyn ketahui isinya.

Setelah kompak menjawab 'iya', beberapa senior menyebar dan meminta para newbie untuk membentuk kelompok kecil. Satu grup berisi lima mahasiswa, empat dari anak baru dan satu dari pengurus UKM. Lyn mengikuti saja. Diminta ke kiri, ia ke kiri. Diminta ke kanan, ia ke kanan. Sekali ia menguap karena bosan, yang syukurnya tertutup masker dengan sempurna. Ia lekas duduk dan sedikit membungkuk saat dua gadis di sampingnya menyapa ramah.

"Hai!"

Lyn masih memperhatikan ponselnya. Ia sibuk membaca komik fantasi yang ditemukannya tadi malam. Gadis berjilbab abu-abu di sebelahnya pun peka dan lekas menyenggol lengannya. Lyn lekas tergagap dan celingak-celinguk. Nyatanya, orang yang mencari berada tepat di depannya.

"Kak Hans." Lyn tersenyum tipis. Ia tidak mau terlihat panik dan membuat lelaki itu kegirangan.

"Welcome, ya. Ini bisa diisi dulu."

"Ini apa, Kak?" tanya mahasiswa lain.

"Formulir buat diklat."

"Tiga hari?" Lyn terkejut saat membaca tanggal pelaksanaan yang tertera di selembar kertas itu.

Hans tersenyum. "Iya. Diklat ruang setengah hari. Sisanya diklat lapang. Ini masih mending, lho. UKM Pecinta Alam bisa semingguan diklatnya."

"Gila aja," ucap Lyn keceplosan. Ia sampai dipukul pelan oleh rekan kelompoknya karena terdengar kurang ajar.

Hans hanya tertawa kecil. Ia mengusap rambut mullet-nya ke belakang dan sedikit mengacaknya asal. Lyn memutar bola matanya malas. Cari perhatian, pikirnya. Kalau dilihat dari tampang plonga-plongo anak grupnya, ia bisa memastikan mereka sedang terpesona. Mungkin, dalam hati sudah meneriakkan hal-hal seperti 'ber-damage' dan sebagainya.

Masih ganteng ayang 2D gue, batin Lyn tidak dapat diganggu gugat.

Gadis itu segera mengisi formulir yang diberikan kepadanya dan mengumpulkan paling awal. Kata seniornya tadi, ia bisa pulang jika sudah menyelesaikan hal ini. Para pengurus cukup kaget karena ia tak berlama-lama mengobrol lebih dulu. Lyn tidak peduli itu. Ada kesempatan untuk kabur, mengapa tidak dimanfaatkan, bukan?

Ia lekas berpamitan setelah meminta nomor ponsel teman sekelompoknya. Hans pun mengejar gadis itu dan berjalan di belakangnya. Ia sama sekali tidak mengganggu Lyn. Benar-benar hanya mengikuti dari belakang sambil bersenandung kecil.

Lyn tahu itu. Ia sangat sadar. Namun, ia masih berusaha mengabaikannya. Lagi pula, Hans tidak berbuat apa-apa. Bahkan, sesampainya di lantai dasar Student Center, lelaki itu belum mendekatinya. Lyn pun berbalik, menatap kakak tingkat dari jurusan yang berbeda tersebut. Hans spontan tersenyum dan mendekatinya.

"Yeay, gue di-notice."

"Kakak mau pulang atau emang ngikutin saya?"

"Niatnya, sih, nawarin tumpangan, tapi lo bawa motor sendiri, kan? Jadi gue anterin sampai parkiran aja."

"Saya bisa pulang sendiri. Nggak bakal kesasar, kok. Udah gede."

Hans refleks tertawa lagi. "Iya, deh. Tapi mau ngopi dulu, nggak? Beli yang di deket perpustakaan. Gue traktir."

"Lagi nggak ngopi."

"Masak? Kata Dev, lo kerja di kafe."

Lyn berdecak. "Kerja di kafe nggak ada hubungannya sama minum kopi. Saya di bagian kasir, bukan bagian icip-icip."

Entah berapa kali Hans menertawakan jawaban Lyn, padahal tidak ada yang lucu. Senyum manis yang ditambah tahi lalat kecil di bawah matanya merupakan perpaduan ter-wadidaw yang pernah Lyn lihat. Kelopak mata ganda yang lelaki itu miliki juga tak kalah indah. Sebagai perempuan, Lyn merasa kalah ayu.

Sadar! Gadis yang tak berkedip sekian detik itu lekas memukul pahanya dan menggeleng cepat. Ia kemudian mengembuskan napas panjang dan mengiakan tawaran Hans. Toh, tempat parkir motornya ada di sebelah perpustakaan. Sekali jalan meminum kopi bukan pilihan yang buruk.

"Dari Ikom angkatan lo nggak ada yang ikut teater, ya?" Hans membuka percakapan.

"Kayaknya enggak, Kak. Saya nggak liat siapa-siapa."

"Terus, kenapa lo milih UKM ini? Gue pikir cewek kayak lo lebih suka kegiatan kelas berat gitu."

"Contohnya?"

"Debat atau catur."

"Definitely not my cup of tea." Lyn mengangkat bahu.

"Jadi teater masuk selera lo?" Hans menatap Lyn intens. Posturnya yang sepuluh senti lebih tinggi membuatnya bisa melihat ekspresi gadis itu dengan jelas.

"Maybe. Seenggaknya selain karena cocok sama jadwal kerja saya, komunitas seni di mana pun itu anggotanya chill abis dan asyik semua."

"Termasuk gue, dong?"

Lyn tidak berniat membenarkan, tetapi dibanding anggota The IV yang lain Hans memang terlihat paling santai dan menarik. Baik dari penampilan maupun gaya bicaranya. Bukan pujian, ia hanya berpendapat. Terlebih, Hans belum pernah mengusiknya sama sekali. Lelaki itu hanya kerap menyukai postingan-nya dan berkomentar tipis-tipis. Tidak ada yang aneh.

"Latte-nya dua, ya, Mbak." Hans memesan minuman setelah sampai di kedai. "Nggak apa-apa, kan?"

Merasa diajak bicara, Lyn pun mengangguk. "Iya, apa aja."

"Padahal tadi katanya nggak ngopi."

"Dikit."

Hans mengejek jawaban Lyn dengan tatapan yang meremehkan. Kesal, gadis yang masih memakai masker itu lantas menendang betis Hans kasar. Tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat lelaki itu menjerit sakit dan menertawakan diri sendiri.

"Lo jadi cewek emang nggak punya rem, ya," ujar Hans sambil cengar-cengir.

"Punya, kok. Tergantung situasi aja."

"Terserah lo, deh." Hans menggeleng pasrah. "Nih, kita duduk di sana dulu. Bahaya kalau minum sambil nyetir."

Lyn menurut saja. Ia mengikuti langkah Hans dan berhenti di gazebo yang tidak ada orang. Lelaki itu segera meletakkan minumannya dan mengeluarkan saputangan bercorak batik dari kantong celana. Ia membersihkan bangku yang cukup kotor sebelum mempersilakan Lyn untuk duduk.

"Makasih, Kak," ucap Lyn sopan.

"No worries." Hans tersenyum manis.

"Kalau boleh tau, nanti diklatnya gimana?"

Hans membuka galeri ponselnya dan menunjukkan beberapa foto tahun lalu pada Lyn. "Kurang lebih kayak gini."

"Hah?" Gadis yang menurunkan maskernya itu menautkan alis. "Ini nggak perploncoan namanya?"

Dengan santai Hans menggeleng. "Pendalaman karakter, Lyn."

"Karakter apaan yang didandanin begitu? Ngelenong kayaknya nggak gini-gini amat."

"Gini gimana?" Hans langsung memancing, "Jadi lenong sebenarnya juga begini, tapi ini lebih parah gitu?"

"Enggak gitu." Lyn mengacak rambut. "Okelah, saya bisa maklum kalau lenong riasannya bisa macem-macem, namanya juga seni, tapi ini, kan--"

"Seni juga," potong Hans.

Lyn bergeming. Ia lalu menggigit bibir. Apa yang Hans tunjukkan beberapa menit lalu tidak jauh dari gambaran bullying yang kerap ia bayangkan. Rambut dikepang dengan berbagai gaya, wajah dirias dan diberi warna-warna yang mencolok, pakaian compang-camping tak layak pakai, pokoknya sangat tidak berkelas dan amat memalukan jika kelak terjadi kepadanya.

"Seni, kan, abstrak. Orang yang berkecimpung di dalamnya bisa berkreasi sesuka mereka. Suatu peran nggak ada yang paten harus A harus B. Lo bisa jadi apa pun itu. Konstruk atau persepsi di masyarakat emang ada, tapi kita bisa berkreasi sesuai pandangan masing-masing, kan?"

"Iya, terus intinya apa? Kan yang saya tekankan di sini kenapa harus didandani demikian. Sorry to say kesannya bukan pembelajaran, sih, tapi ajang mempermalukan anak baru doang."

Lyn menatap Hans lekat-lekat. Ia menanti jawaban atas opini panasnya. Namun, lelaki itu justru tersenyum dan memalingkan muka.

"Lo udah punya pacar atau belum, sih?"

Lah? Lyn hampir terjungkal karena topangan di dagunya goyah. Ia lekas mengusap wajah dan mendengkus. Sungguh kalimat yang tak terduga. "Bukannya jawab malah balik nanya."

"Gue serius."

Lyn menelan ludah. "Kenapa?"

"Sayang banget kalau lo udah punya pacar. Tapi, kalau lo belum punya pun, tetep sayang juga."

"Kok gitu?" tanya Lyn spontan.

Hans mendekatkan wajahnya ke arah Lyn hingga gadis itu refleks memundurkan badan. "Karena kalau lo masih jomlo, berarti orang-orang di dekat lo melewatkan mahakarya seni yang indah banget."

"Ck, gini doang gombalan anak teater?" Lyn berusaha menetralkan gemuruh jantungnya dengan bersikap tak acuh.

"Iya. Gitu doang. Jadi, gimana? Ada orang cerdas yang tau model abstrak seindah lo atau malah banyak yang sia-siain itu?"

Lyn tersenyum tipis. Detik demi detik ia masih tak berkutik. Momen selanjutnya, ia membenturkan dahinya ke dahi Hans yang berjarak kurang dari sejengkal dari wajahnya. Sontak lelaki itu berdiri tegak dan mengusap-usap keningnya yang memerah. Ia masih bisa tertawa, padahal Lyn telah menjulurkan lidah dan melenggang pergi bersama tas selempang beserta minumannya.

"Nih anak bener-bener random kelakuannya," gumam Hans.

DAY 5
5 Juli 2022

Yow, lanjut streaming Future Perfect 🔥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top