4 • engene cafe
Lyn menggigiti kuku jarinya. Tatapannya hampa, tertuju pada bangku kosong di depannya yang beberapa menit lalu diisi empat lelaki (katanya) ganteng yang super-aneh. Bagaimana tidak, tiada angin apalagi hujan, mereka kompak meminta izin untuk mendekatinya. Did they really ask for freaking consent? Damn! Lyn segera menampar pipinya lalu menjambak rambut. Mulutnya ternganga, tidak habis pikir dan tidak akan pernah bisa menelan situasi ini. Bahkan, bulu kuduknya masih berdiri. Penyebabnya jelas berkat tangkapan Ethan saat ia hampir terjungkal. Tidak apa-apa, katanya? Ck, Lyn lekas menenggak sodanya hingga habis.
"Kenapa lagi?"
Becca datang dengan raut yang jauh lebih menyeramkan dari Lyn. Tatapannya sinis, seolah siap memakan kawannya hidup-hidup karena mengganggu agenda berduaan dengan kakak tingkat kesayangannya. Terlebih gadis itu bersedekap di depan dada, duduk miring menghindari Lyn yang ada di hadapannya, dan mengangkat dagu dengan angkuh. Lyn yang menyadari kekesalan itu hanya bisa menghela napas. Toh, bukan saatnya merengek.
"Kenapa? Ngomong, dong. Disuruh cepet-cepet ke sini, giliran udah dateng malah dikacangin."
Lyn masih diam. Ponselnya-lah yang berisik. Meski dalam mode tanpa suara, layarnya terus berkedip berkat notifikasi yang masuk secara beruntun. Ia sudah tahu siapa pengirim pesan-pesan itu. Dari salam, isi, atau sikap barbar mereka, tentu tidak sulit mendeteksinya. Hanya saja, ia masih ragu. Apakah ia sudah berada di jalan yang tepat?
Lelah, Becca pun berdiri. "Gue cabut--"
"Gue ketemu lagi sama mereka."
Becca menautkan alisnya, menatap Lyn yang berbicara datar dan memutar bola matanya malas. Ia duduk lalu dengan semangat mendekatkan kursinya. "Mereka siapa? The IV?"
Lyn mengangguk. "Entah nggak sengaja atau mereka emang buntutin gue."
"Kok bisa?"
Tanpa ragu, Lyn menceritakan segala hal. Tentang bagaimana Ethan menghampirinya tanpa ba-bi-bu dan mengajarkan ini-itu, lalu disusul tabrakan secara tidak etis dengan Sean di sekitar perpustakaan, dan berakhir didatangi pula oleh dua kawan mereka yang lain, yakni Hans dan Dev. Mereka kompak mendudukkannya di bangku paling spesial di kantin--tempat duduknya sekarang. Konon, posisinya yang berada di pusat lalu-lalang mahasiswa menjadi alasan hanya anggota The IV yang berani menempatinya. Lyn sempat dikelilingi para kakak tingkat yang secara bergantian menyatakan 'suka' kepadanya dan itu sungguh membuatnya gila.
Lyn tidak waras bukan karena ada yang menyukainya, tetapi ini semua anggota The IV. Ck, yang benar saja.
"Terus pas mereka minta izin ke lo kayak tadi, lo jawab apa?"
"Gue diem aja."
"Hah?" Becca menepuk jidat.
"Ya gue diem aja, terus nyuruh mereka cabut dari sini."
"Sarap emang lo, Lyn."
Lyn menelan ludah. "Apanya yang salah?"
"Diem itu tanda iya. Tanda kalau lo ngebolehin mereka bergerak."
"Mana ada?" Lyn mendengkus. "Gue diem karena nggak mau salah ambil keputusan."
"Ya kalau gitu kenapa nggak lo tolak aja dari awal? Urusan selesai, kan?"
Benar, Lyn tentu pernah memikirkan opsi itu, mengingat ia cukup risi dengan ketiba-tibaan ini. Namun, kalau ia langsung menghempas di awal dan memotong permainan begitu saja, mau dari mana ia mendapat jawaban? Lyn merasa disamakan dengan barang dan mereka akan menjadi pemenang bila berhasil menggenggamnya. Ia pikir akan sangat seru jika semua ini berlanjut. Hanya dengan membayangkan saja ia sudah cengar-cengir sendiri.
"Gue baru tau kalau punya temen nggak beres kayak lo gini." Becca menggeleng lalu menjentikkan jarinya ke kening Lyn.
"Hih! Lo harus dukung gue, Ca."
"Ya, ya, terserahlah. Emang lo udah nanya alasan mereka suka sama lo?"
Lyn menopang dagu. "Nggak ada yang bener-bener jawab, sih. Alasannya klasik semua. Katanya, gue bakal tau sendiri nanti."
"Ya udah, nikmatin aja journey lo itu."
Gadis yang mengurai rambutnya itu tersenyum tipis. "Oiya, ayang lo udah jawab pertanyaan kemarin, belum?"
"Udah, dia cuma bilang kalau anak seangkatannya udah pada tau."
"Tau apa?"
"Ya tau kalau lo dicariin The IV. Jadi, nggak cuma Kak Pat yang jadi jembatan mereka kemarin. Andai tuh cewek gagal bujuk lo, bisa jadi The IV manfaatin ayang gue juga."
"Dih, apa-apaan."
"Mencurigakan banget, sih, Lyn. Tapi, kapan lagi dideketin cogan-cogan, kan?"
Lyn hendak memukul Becca, tetapi tidak jadi ia lakukan. "Ganteng doang kalau attitude-nya nol buat apaan? Udah, gue mau cabut."
"Ke mana?"
"Kafe. Gue mulai part time hari ini."
"Jadi? Kirain omdo, omong doang."
Lyn berdiri dan mengambil tote bag-nya. "Gue udah bilang kalau serius mau belajar."
"Susah-susah masuk Ikom, cita-citanya jadi barista."
"Kenapa enggak?" Lyn menjulurkan lidah. "Bye, ketemu besok."
Setelah mendapat lambaian tangan dari Becca, Lyn berjalan menuju tempat parkir. Lokasi kampus dan kafe yang ia tuju tidak jauh. Sengaja, supaya ia tidak kalang kabut kalau harus bolak-balik, juga mengantisipasi keterlambatan. Perjalanan yang ditempuh hanya memerlukan lima menit. Senyumnya pun mengembang. Ia sudah lama menantikan momen ini. Sejak SMA, Lyn tertarik dengan dunia kopi dan kawan-kawannya. Andai boleh, ia cukup mendalami ini tanpa harus susah payah mendengarkan ocehan dosen setiap hari. Namun, ibunya meminta Lyn untuk tetap mengenyam bangku perkuliahan.
Eksterior klasik dengan berbagai miniatur dari kayu yang berjajar di rak lantas menyambut Lyn. Kafe dengan nama Engene itu belum terlalu ramai di sore hari. Maklum, baru buka. Lampu dengan tatakan indah di meja saja belum menyala. Kalau sudah gelap, nuansa tempat ini akan mengajak konsumennya bernostalgia. Lyn langsung jatuh cinta saat kali pertama menginjak kafe milik alumni jurusan Teknik ini.
"Lyn!"
"Hai, Bang."
Lelaki bertubuh tambun berlari-lari kecil ke arah Lyn. "Akhirnya datang juga. Makasih, ya, bantuannya."
"Saya yang harusnya bilang gitu, Bang."
"Santai aja. Ke belakang, gih. Nanti diarahin sama yang lain."
"Oke."
Lyn lekas mengikuti arahan seniornya. Ia mengganti pakaian dan mengenakan topi. Rambutnya pun telah diikat rapi. Seragam serba-cokelat dengan paduan putih susu itu membuatnya gemas sendiri. Tak lupa ia membenahi riasan, padahal yang ia lakukan hari ini masih menjadi kasir. Kalau nanti luang, mereka berjanji akan mengajarinya meramu minuman.
"Oh, jadi lo kerja di sini?"
Hampir saja bolpoin Lyn melayang berkat suara yang tiba-tiba muncul. Ia spontan mengusap dada dan menoleh. Hah, sontak Lyn menghela napas panjang dan tersenyum kecut. Entah dosa apa yang ia lakukan di masa lalu hingga bertemu Dev di tempat ini.
"Iya," jawabnya singkat.
Dev pun diam. Lelaki itu memang rada sulit diprediksi. Kadang ia sedingin es, kadang pula sehangat api--ini panas, bukan hangat lagi. Bicaranya irit. Kalaupun bersuara, nadanya datar dan terkesan ogah-ogahan. Namun, ia sering tersenyum. Tipis sekali. Meski begitu, bekas luka di tengah bibirnya sangat menawan. Apalagi kalau alisnya terangkat sebelah, dinding hati Lyn agak berantakan.
Gue mikir apa? Lyn lekas mencubit lengannya sendiri.
"Americano satu," ucap lelaki di sebelah Lyn yang memberikan cup kopi kepada Dev. Posisi lelaki itu tepat di depan meja barista, sedangkan ia berada di samping. Kalau dilihat-lihat, Lyn seperti pengintip yang dikit-dikit melirik.
Dev menyadari itu. Ia berpindah dari tengah ke pinggir, mendekati Lyn tanpa harus menghalangi jalan pembeli yang hendak membayar--meski belum ada. Ia memandangi gadis yang tak menunduk sedikit pun itu. Sambil menopang dagu, ia menikmati kopi pahit layaknya meminum air putih.
"Kakak nggak perlu ngeliatin saya kayak gitu," ujar Lyn kesal.
"Kenapa? Liat lo bikin rasa kopinya balance. Pahit ketemu manis."
"Ck, basi."
Dev menyeringai. "Iya, sih. Emang cuma perasaan gue ke lo yang fresh."
"Stop it."
Lyn melirik Dev dengan sinis, seolah menantangnya agar diam saja. Hal itu justru membuat Dev terkikik dan menggeleng. Lucu, batinnya. Lelaki yang mengenakan topi dan kaus hitam itu mendekat, menyentuh kepala Lyn dan mengusapnya lembut. Ia juga tersenyum, menatap Lyn lekat hingga lawannya itu tak bisa berkutik. Setelahnya, ia membayar sesuai harga kopinya dan pergi tanpa membawa struk.
Gila!
Lyn belum berkedip. Ia masih memandangi punggung Dev yang perlahan menghilang. Ia masih mencerna bagaimana lelaki itu membuatnya nyaman sekian detik sampai lupa diri. Ia masih terngiang sapaannya pada bos dan rekan kafe yang lain seakan sudah akrab seratus persen. Lyn masih dan masih memikirkan itu semua.
"Lyn?"
Sang empunya nama itu terkesiap dan lekas berdeham. "I-iya, Bang?"
"Lo kenapa? Ada yang dibingungin?"
"Eng-enggak, kok. Nggak apa-apa."
"Bener? Muka lo merah, btw."
Lyn refleks menyentuh pipinya. "Panas hawanya. Iya, panas." Dengan kikuk, ia berlagak mengipasi wajah.
"Oh, gue atur AC-nya kalau gitu."
"Eh, Bang. Saya boleh nanya, nggak?"
Lelaki ber-name tag 'Gesa' itu mengangguk. "Apa?"
"Tadi itu siapa? Kok kayaknya kakak-kakak di sini udah kenal banget."
"Si Dev? Dia pelanggan tetap di sini. Dari awal kafe berdiri sampai sekarang, tiap pulang ngampus pasti mampir."
"Oh, gitu ya."
"Kenapa?" Gesa tiba-tiba berseri. "Bukannya dia kakak tingkat lo di fakultas?"
Lyn mengangguk dan tersenyum kaku. Ia bingung harus menanggapi bagaimana. Ia tidak mungkin jujur dan memamerkan bahwa pelanggan setia Kafe Engene menyatakan 'suka' padanya, bukan? Ia tidak mau mendapat perlakuan yang berbeda. Bisa saja difavoritkan atau malah dikucilkan. Kemungkinan yang mana pun tetaplah mengerikan.
"Kalau gitu, gue ke dapur dulu, ya."
"Oke, Bang."
Berhubung sepi, Lyn mengecek ponselnya yang sedari tadi bergetar. Ia mengeluarkannya dari kantong celana dan membaca pesan Becca yang muncul di notifikasi paling atas. Gadis itu mengirimkan sebuah link Instagram tanpa embel-embel pesan lain. Lyn segera membukanya dan sontak terbelalak.
"Orang ini benar-benar ya ...."
Gadis itu menggigit bibir. Dev mengambil potretnya dari samping dan mengunggahnya ke media sosial. Memang tidak terlihat sepertinya, tetapi Lyn tetap tidak suka. Bukan karena diambil tanpa izin atau sejenisnya, melainkan cara Dev ini bisa mendatangkan ribuan tanya dalam benak followers-nya. Lyn tidak ingin diburu mati-matian.
Terlebih lagi, satu kalimat sederhana yang disertakan di bawah fotonya sangatlah gila.
"Jadi gini cara mainnya? Oke, let's see then."
Lyn segera menutup ponselnya tanpa membuka pesan yang lain. Ia tak tahu-menahu bahwa ada seseorang yang sudah lama menunggu balasan darinya. Gadis itu melanjutkan pekerjaannya dan melupakan Dev sejenak.
Hanya sejenak.
@devpark__
She's not a coffee, but I'm addicted.
DAY 4
4 Juli 2022
Dev 😎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top