3 • communication

Langkah Lyn melambat. Jam pertama hari ini ditiadakan secara mendadak. Secarik kertas yang tertempel di pintu ruangan memberitahunya untuk pulang bersama tiga soal yang mesti dipelajari secara mandiri. Ia pun mengumpat. Tadi, Becca memarahinya habis-habisan karena terlambat bangun. Sesampainya di kampus, mereka berdua justru diberi harapan palsu. Sial, siapa sangka efek menyebalkan semalam belum reda hingga sekarang.

Becca masih mengerucutkan bibir saat Lyn menanyakan hal-hal basi. Alhasil, gadis itu kelayapan ke sekretariat BEM FISIP, mencari mood booster-nya yang telah menunggu sedari pagi. Lyn tidak berhak melarang. Ia sudah cukup merepotkan dan dinilai dari segi mana pun, kelakuannya sejak semalam memang keterlaluan. Gadis yang mengikat setengah rambutnya itu memilih menghabiskan waktu di gazebo dekat perpustakaan daripada harus bolak-balik ke rumah. Ia masih memiliki satu mata kuliah setelah ini.

"Sendirian aja?"

Lyn mendongak. Ia lekas melepas earphone-nya dan menoleh ke sosok yang menepuk pundaknya lembut. Lelaki yang membawa mini tripod dan kamera DSLR itu duduk di depannya tanpa izin, bahkan meletakkan barangnya di samping milik Lyn seenaknya. Tak cukup sampai di situ, kini ia mencari muka dengan membaca paragraf pertama dari selembar kertas A4 yang berisi opini Lyn terhadap pengertian ‘komunikasi’.

"Tugas pertama Pak Chandra, ya?" tanyanya dengan senyum tipis yang manis.

"Kak Ethan ngapain di sini?"

"Ini tempat umum."

"Tau, tapi kenapa harus di sini? Tuh, masih banyak tempat kosong."

Ethan mengedarkan pandangan lalu kembali menghadap depan, menatap Lyn tanpa berkedip seraya bertopang dagu. "Nggak, ah. Soalnya lo di sini."

"Sarap!"

Lyn segera berdiri dan hendak mengemasi barangnya. Namun, Ethan langsung menahan tangannya dan mengambil alih kertas tugas Lyn. Ia menaruhnya kembali di meja, lalu melingkari beberapa kalimat menggunakan bolpoin yang disimpan di saku atas kemejanya.

Sejenak, Lyn ingin duduk dan bertanya pada kakak tingkatnya itu. Akan tetapi, gengsinya jauh lebih besar sehingga ia hanya mematung dengan memalingkan muka. Sekuat tenaga ia mencoba melirik, tertarik dengan aksi coret-mencoret Ethan. Detik berikutnya mata mereka bertemu lagi. Sensasinya persis saat di kafe semalam. Bedanya, kekesalan Lyn kali ini masih bisa dibicarakan baik-baik.

"Pernyataan lo ini nggak salah, tapi terlalu tekstual, tau?"

Lyn menelan ludah. Ia masih diam saja. Ethan pun menanyakannya lagi dan akhirnya gadis itu menggeleng. Mata kuliah dasar yang wajib diketahui mahasiswa jurusannya itu belum pernah membahas materi apa pun. Minggu kemarin hanya pengenalan dan minggu ini malah libur secara tak terduga. Sungguh nasib. Belum apa-apa, ia sudah kesusahan.

"Sini," Ethan menarik tangan Lyn tanpa mengalihkan pandangannya dari buku tebal yang telah ia telan saat menjadi mahasiswa baru--tepatnya dua tahun lalu, "apa yang lo tulis ini cuma parafrasa dari pendapat para ahli. Lo nggak bakal lolos dari Pak Chandra kalau gini caranya. Sebagai mahasiswa, lo harus bisa mengambil kesimpulan dan menyampaikan pandangan lo sendiri setelah membaca semua pengertian ini."

Untuk sekarang, biarkan Lyn melupakan kejadian semalam agar setitik beban di depannya ini segera enyah--baik tugasnya, maupun Ethan. "Keliatannya emang parafrasa pendapatnya Laswell, tapi menurut saya itu yang paling lengkap."

"Lo nggak perlu seformal itu pas ngomong sama gue."

"Makasih sebelumnya, tapi saya cuma menjaga sopan-santun," jawab Lyn sedikit meledek. Ia bahkan memutar bola matanya saat Ethan tertawa kecil.

"Okelah, nggak apa-apa. Senyaman lo aja."

"Em, maksud Kakak tadi apa? Yang tentang tekstual."

Ethan mengangkat sudut kiri bibirnya. Ia kemudian menunjukkan hasil coretannya pada Lyn dan kembali mempertebal poinnya dengan garis panjang lurus. Gadis yang menyibak poninya ke belakang itu mendekatkan wajahnya agar bisa membaca dengan jelas. Seketika Ethan memejamkan mata dan menghirup aroma sampo dari rambut Lyn.

"Iya, salahnya di mana?" tanya Lyn lagi. Ia lekas menatap Ethan, yang membuat lelaki itu berdeham dan tersenyum kesekian kali.

“Komunikator, komunikan, pesan, media, feedback, ini semua, kan, lo ketahui dari teks ini. Jadi kesannya lo tinggal pindahin komponennya terus tambah kata A, kata B, kata C, beres. Padahal, pertanyaan Pak Chandra cuma satu, komunikasi menurut lo itu apa?"

"Ya, kan, itu yang saya tau. Menurut saya, komunikasi memang demikian. Suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator ke komunikan menggunakan media tertentu yang ada timbal baliknya nanti."

"Really?" Ethan memainkan alisnya.

Ragu, Lyn bergeming. Ia membiarkan Ethan makin memajukan duduknya. Kini, jarak mereka tak lebih dari dua jengkal.

"Jauh sebelum lo baca ini semua, itu yang lo pahami tentang komunikasi?"

"Ya nggak sedetail itu, sih, tapi mirip."

"Lo tau kenapa mirip?"

Lyn menggeleng. Sebenarnya ia ingin menjawab, tetapi sepertinya hanya akan terlihat bodoh. Ia belum sepenuhnya memahami arah pembicaraan mereka.

"Komunikasi itu luas. Nggak ada pengertian paten tentang ini. Lo bisa jawab apa aja sesantai yang lo tau. Nggak perlu sok intelek atau semacamnya, yang penting lo paham, dosen paham, temen lo juga paham. Kuncinya, kan, di situ. Gue nggak ngelarang lo pakai ini, tapi ketika nanti lo bahkan nggak ngerti kata-kata yang lo pakai, pesan lo nggak bakal nyampek. Ngerti?"

Lyn mengangguk, meresapi materi tujuh menit yang disampaikan Ethan dengan gamblang. Lumayan, perkuliahannya seakan tetap berjalan berkat inisiatif lelaki itu. Ia pun lekas mengucapkan terima kasih dan menerima kertasnya kembali--yang diserahkan oleh Ethan.

"Kalau gitu, saya mau tanya. Pertama, ada perlu apa Kakak kemarin mencari saya? Kedua, sama dengan yang pertama, tapi kejadiannya hari ini. Sekarang. Detik ini. Ingat, lho, Kak, pesan yang nggak disampaikan dengan baik, ya, nggak bakal mudah diterima juga. Nggak nyampek," ucap Lyn sambil menirukan intonasi Ethan di kalimat terakhir.

Lelaki itu pun refleks tertawa hingga mendongak dan menutup mulut. Ia menghadap ke samping, memperlihatkan rahang kirinya yang bikin salah fokus. Lyn mendengkus, memalingkan muka dan lanjut mengemasi barang. Namun, ia tak berniat beranjak sebelum mendapat jawaban.

"Lo bener-bener menarik, ya. Keren, keren."

"To the point aja, Kak. Saya mau ke kantin."

"Ya udah, sama gue a--"

"Sendirian," potong Lyn. "Mau jawab, nggak? Kalau nggak, saya cabut."

"Eh, bentar dulu!" Ethan menarik tas selempang Lyn lalu memasukkan sobekan kertas yang ia ambil dari kantong celana. "Kalau ntar ada yang nge-chat, jangan diblokir, ya."

Lyn mengecek kertas yang ternyata berisi nomor lalu mengabaikannya. "Nomor Kakak?"

Ethan mengangguk. "Lo mau gue jujur, kan? Oke. Gue tertarik sama lo, makanya kemarin--hari ini juga--pengin kenalan lebih jauh. Boleh?"

Bukan sebuah jawaban tak terduga, tetapi bukan jawaban yang Lyn duga juga. Gadis itu terpaku hingga tak dapat menimpali apa-apa. Ia masih fokus memperhatikan kakak tingkat satu jurusan yang menyalakan kameranya untuk membuka galeri. Lelaki yang tersenyum antusias itu lekas menunjukkan hasil jepretannya saat momen OSPEK minggu lalu, yang uniknya potret tersebut diambil sebelum Lyn mengutarakan kekesalannya atas kinerja panitia.

"Lo cantik, tau."

Lyn menggigit bibir dan sedikit mengangguk. "Terima kasih, saya permisi dulu."

Ethan mengiakan, tak berniat menghalangi, apalagi mengikuti Lyn ke tempat yang disebutkan sebelumnya. Gadis itu lekas mempercepat langkahnya dan sekali menoleh ke belakang. Samar-samar ia melihat sosok laki-laki yang menghampiri Ethan. Sepertinya, mereka kini tengah kompak menatapnya. Namun, Lyn segera menggeleng dan menghadap depan. Tanpa kacamata, ia tidak bisa mengenali identitas lelaki itu. Kalau hanya sesama senior Ilmu Komunikasi, ia akan bernapas lega. Namun, jika ternyata salah satu The IV yang di sana, ia mengaku ketar-ketir.

"Aw!"

Sial, karena kurang fokus, Lyn menabrak seseorang di depannya. Bahkan, beberapa buku milik orang tersebut terjatuh dan menimpa kakinya. Ibu jari yang sebenarnya dibungkus kaus kaki sontak cenat-cenut berkat ketebalan yang melukainya sangatlah fantastis. Meski demikian, Lyn tetap membungkuk dan membantu memunguti buku milik lelaki di depannya.

"Maaf, ya, Kak, saya nggak senga--" Lyn menggantung kalimatnya. "Kak Sean."

"Hai," sapa lelaki itu irit dan malu-malu.

Lyn refleks mengusap daun telinganya. Ia menelan ludah dan mengernyitkan kening sekian detik. Selain karena menghalangi jalan kakak tingkatnya itu--yang entah hendak ke mana, ia mungkin akan disidang karena telah mengabaikan pesan semalam. Alhasil, setelah meminta maaf kedua kali, Lyn bergeser ke kiri dan berniat melanjutkan langkah. Namun, Sean mundur mengikuti pergerakan kakinya hingga ia pun berhenti.

"Kalau Kakak mau mempermasalahkan chat semalem, saya minta maaf."

"Nggak, kok. Lagi pula itu hakmu."

"Terus, kenapa Kakak masih ngikutin saya?"

"Cuma mau bilang kalau takdir kebetulan itu ada. Buktinya, kamu nggak bales pesanku, nggak ngomong mau ketemu kapan dan di mana juga, tapi kita tetep ketemu di sini. Romantis, ya?" Sean tersenyum tipis.

Dibanding romantis, Lyn justru menganggap semua ini mimpi buruk yang cukup panjang. Meski terlihat paling normal di antara ketiga kawannya yang lain, Sean tetaplah anggota The IV. Ia tidak bisa berpikir jernih. The IV adalah empat mahasiswa tahun ketiga dari jurusan yang berbeda dan paling terkenal di fakultasnya. Alasan mengapa demikian, tentu mahasiswa baru supercuek semacam Lyn tidak akan tahu apa-apa. Akan tetapi, melihat kelakuan mereka saat di kantin semasa OSPEK-nya dulu, ia memiliki jawaban untuk tak berbuat macam-macam.

"Kakak mau ngomong apa?" tanya Lyn enggan basa-basi.

"Jangan di sini. Ke kantin aja gimana? Kamu suka boba, nggak? Ada yang enak di sana."

Boleh, deh, batin Lyn. Toh, ia memang hendak ke tempat itu untuk mengisi perut. Ia pun mengangguk dan mempersilakan Sean berjalan lebih dulu. Selain menjaga jarak, ia juga beralasan belum mengetahui tempatnya.

"Ehm, ehm! Diem-diem lo curi start aja, Sean."

Tidak hanya Sean, Lyn pun ikut menoleh ke sumber suara di belakang mereka. Gadis itu lantas mengusap wajah dan rambutnya, tak menyangka kalau Dev dan Hans akan muncul memergoki mereka seperti ini. Sekarang kesannya ia seperti mau masuk ke dalam permainan abu-abu yang tidak jelas.

"Gue nggak diem-diem, kalian aja yang baru tau." Jawaban Sean membuat Lyn menelan ludah.

"Lyn, Kakak ikut boleh, nggak?" Dev merayu, "kalian mau ngobrolin apa, sih? Join juga boleh, lah."

Lyn lekas melirik Sean karena hanya lelaki itu yang tahu jawabannya, sedangkan Sean justru mengembuskan napas panjang dan menoyor jidat Dev agar menjauh dari sisi Lyn. "Gue mau jujur ke dia kalau suka, sekalian minta izin buat deketin. Puas, lo?"

Hans berlagak ternganga dan menutup mulut. "Nebeng, dong. Gue mau ngomong gitu juga."

"Gue pun." Dev tak mau kalah.

Lyn makin pening hingga tanpa sadar menjambak rambutnya. Ia juga refleks mundur perlahan hingga menginjak kaki seseorang. Hampir saja ia terjungkal andai lelaki yang di belakangnya kini tak memegangi pundaknya. Lyn segera mendongak dan ingin mengucapkan terima kasih. Namun, lidahnya kelu dan tenggorokannya tiba-tiba gatal saat mendapati Ethan-lah yang menolongnya.

"Jatuh aja nggak apa-apa, ada gue, kok."

DAY 3
3 Juli 2022

Yeay, udah tiga bab.
Kalian paling oleng ke siapa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top