15 • awkward

Waktu itu, tepatnya saat Ethan mengantar Lyn ke rumahnya, ada kejadian memalukan yang kalau diingat-ingat bisa membuat pipi Lyn memerah bak kepiting rebus. Entah apa yang merasukinya atau mungkin sekadar efek kelelahan, ia melakukan kesalahan yang mau sampai akhir zaman pun akan terus-menerus diungkit. Ia yakin itu karena cukup tahu sifat alami laki-laki. Tak peduli sekeras apa Lyn berlari, kenyataannya ia tetap kembali berhadapan dengan fakta bahwa ia ….

Tidak sengaja mencium kakak tingkatnya itu.

Ah, Lyn benar-benar gila. Pagi buta yang diselimuti kabut putih plus semilir angin kala itu sungguh membekukan separuh tubuhnya--bagian atas. Giginya tak henti bergeretak saking dinginnya. Bahkan, dua jaket yang ia kenakan--satu milik Ethan--belum bisa menyelamatkan. Alhasil, seperempat fokusnya ikut mati dan yang ada di pikirannya adalah seberapa lama ia harus bergelut dengan hawa yang menyiksa ini.

Setelah sampai di kota dengan matahari yang malu-malu pun, Lyn masih menggigil layaknya anak ayam baru mentas dari selokan. Ia tidak begitu memperhatikan jalannya karena sibuk memeluk kedua lengan yang rasanya seperti produk buatan es. Semula masih baik-baik saja hingga tanpa disengaja ia menginjak kaki Ethan yang berdiri menghadapnya dan menubruk lelaki itu.

"Lyn--"

Kalimat Ethan belum selesai. Tahu apa penyebabnya? Bodoh sekali, Lyn-lah yang menutup mulut seniornya itu dengan bibirnya sendiri. Konyolnya, ia malah terpaku beberapa detik karena belum menyadarinya kekacauan apa yang baru ia sebabkan. Lagi dan sialnya lagi, Ethan tampak tak acuh, membiarkan Lyn yang memejamkan mata--kalau diperhatikan jadi tidak ada bedanya dengan orang mabuk--dan tak berbuat apa pun. Ia tidak membalas kecupan itu, juga tidak menolaknya. Dasar, lelaki!

"Argh!"

Lyn berteriak sambil menutup telinga. Sekilas ingatan itu benar-benar memalukan. Ia belum sanggup meladeni Ethan, tidak untuk sekarang. Makanya, ia repot-repot berjongkok di bawah meja, berharap seniornya itu berubah pikiran dan menyingkir dari sini. Akan tetapi, permintaannya ada tidak untuk dikabulkan. Ethan tetap menghampirinya dan justru sekarang meminta pertanggungjawaban.

Kenapa kesannya ia tidak menikmati kecelakaan itu?

"Kakak mau apa?" Lyn bertanya ragu.

"Lo bangun dulu. Emang nggak capek jongkok kayak gitu?"

"Capek, sih."

"Ayo!" Ethan mengulurkan tangannya untuk membantu Lyn berdiri. Namun, gadis itu menggeleng, menolak tawarannya mentah-mentah.

"Kan saya udah minta maaf. Lagian itu nggak sengaja. Kakak juga nggak ngehindar."

"Iya, iya," Ethan tersenyum gemas, "becanda doang, kok. Tapi, temenin gue, yuk?"

"Ke mana?"

"Survei instansi buat praktikum."

Lyn menautkan alis. "Praktikum apa, Kak?"

"Audio Visual (AV), dong. Kan gue ambil peminatan itu. Lo lupa?"

"Oiya, ya. Sori."

Ethan menggeleng, lalu mengacak rambut Lyn santai. "Nggak apa-apa. Mau, nggak?"

"Boleh, deh. Hitung-hitung belajar. Nggak lama, tapi, ya? Soalnya nanti ada sif."

"Gampang. Yuk!" Lagi, Ethan membuka telapak tangannya, seolah-olah meminta agar Lyn mau menggenggamnya lalu berangkat bersama.

Namun, bukan Lyn kalau mau begitu saja. Gadis itu justru menepuk tangan Ethan kemudian berjalan lebih dulu. Ia perlu berpamitan pada rekan kafenya.

Sesuai hasil dari perdebatan kecil yang sebenarnya tidak terlalu penting, Lyn akhirnya dibonceng Ethan. Alasan pertama, butuh waktu dua kali lipat kalau mereka terpisah karena bisa saja terhalang lalu lintas atau semacamnya. Alasan kedua, hemat bensin. Lyn menyerah karena ini. Apa pun akan ia lakukan untuk menjaga dompetnya tetap setebal biasanya. Toh, Ethan sendiri tidak keberatan jika harus mengantarnya kembali ke kafe.

Awalnya Lyn pikir mereka akan ke perusahaan besar yang membutuhkan jasa iklan, film pendek, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan 'AV' yang Ethan maksud. Namun, instansi yang sekarang menjadi pemberhentian mereka adalah sebuah panti asuhan yang tak tergolong besar dan lokasinya cukup terpencil. Ia bahkan baru pertama kali mengetahui adanya tempat ini di sekitar sini. Padahal, Lyn termasuk gadis yang suka menelusuri kota seorang diri.

"Kok ke sini, Kak?"

"Iya, ini klien kelompok gue."

"Panti asuhan?" Lyn kembali menekankan.

Ethan tanpa ragu lekas mengangguk. "Semester ini kita diminta bikin iklan layanan masyarakat atau semacam awareness gitu. Terserah mau siapa dan gimana bentuknya, sponsor pun kita cari sendiri."

"Ooh, terus kenapa kelompok Kakak pilih ini?" tanya Lyn sambil mengedarkan pandangan. Di setiap sisi, hanya ada dedaunan kering yang belum dibersihkan. Gelak anak-anak baru terdengar saat ia menginjak teras.

"Lo mungkin bisa liat sendiri kalau panti ini lumayan nggak keurus, jadi harapan gue setelah adanya iklan itu, mereka dapat donatur lebih buat renovasi dan sebagainya. Sekalian ngedukasi hal-hal yang harus diperhatikan saat adopsi anak tuh apa aja. Banyak yang belum tau, kan?"

Lyn manggut-manggut. Ia setuju tentang ketidaktahuan persyaratan adopsi karena ia sendiri juga demikian. Mereka lantas mengucap salam dan masuk rumah setelah disambut oleh ibu panti. Tampaknya Ethan sudah terbiasa ke sini, dilihat dari betapa ramahnya si ibu menepuk-nepuk punggung lelaki itu dengan raut muka yang berseri-seri. Lyn hanya bisa tersenyum saat Ethan memperkenalkan dirinya sebagai 'adik tingkat di jurusan'. Kan, memang tidak salah.

"Teman-teman Nak Ethan udah datang. Ayo, masuk!"

"Makasih, Bu."

Ethan mempersilakan wanita paruh bayu itu untuk masuk lebih dulu. Ia kemudian meraih tangan Lyn dan menariknya ke tempat yang dituju.

"Nggak perlu diseret juga kali." Lyn menggerutu dan mencoba melepaskan tangannya. Namun, Ethan malah tertawa kecil.

"Ya udah, kalau lo nggak mau gue gandeng, gue aja yang lo gandeng. Gue mau, kok. Nih," ucapnya seraya menawarkan tangan kanan yang sangat kesepian.

"Harus banget?"

"Sewajarnya PDKT. Dikit aja."

"Serah, deh."

Benar-benar sedikit, Lyn menautkan kelingkingnya dengan milik Ethan. Dengan itu saja Ethan sudah bahagia. Langkahnya makin antusias untuk menuju ruang tengah, tempat ia mensurvei tempat yang dijadikan lokasi syuting.

"Eth!"

Tidak hanya Ethan, Lyn juga ikut menoleh. Mampus! Satu kata yang refleks ia ucapkan dalam hati. Pikirnya, 'teman' yang dimaksud adalah kelompok Ethan dalam jurusan. Nyatanya, anggota The IV-lah yang selonjoran bersama anak-anak panti di sana. Bahkan, Dev yang sebelumnya buang-buang waktu di Kafe Engene sudah duduk anteng memainkan mobil-mobilan.

"Kenapa Kak Ethan nggak bilang kalau ada mereka? Kan tau gini saya nggak ikut," bisik Lyn sambil berjinjit-jinjit karena ia kalah tinggi.

"Emang kenapa? Kan lo udah kenal juga."

Justru itu, batin Lyn. "Sengaja nyari gara-gara, ya?"

Ethan menggeleng. "Gue cuma mau lo tau kalau kita nggak seburuk yang lo pikir."

"Emang Kakak tau saya mikir apaan?"

"Nggak, sih," Ethan mengangkat sudut bibir kirinya, "tapi kayaknya nggak sepenuhnya baik, jadi dilurusin dikit biar bener."

Lyn berdecak dan membuang napas saat Ethan mengerjainya demikian. Hah, sudahlah, ia lantas berdamai dalam hati. Toh, ia tak akan berlama-lama di sini. Sebentar lagi waktu jam kerja dan ia bisa kabur tanpa susah-payah membuat alasan.

Dibanding mengikuti Ethan yang menemui ketiga kawannya, Lyn buru-buru duduk di tempat yang agak berjauhan. Tanpa berdosa, ia meraih salah satu Barbie yang tergeletak, lalu ikut berbincang dengan tiga gadis cilik yang menyisir mainan mereka. Menit pertama ia masih berpura-pura menikmati momen canggung ini, tetapi lama-kelamaan ia kembali ke masa kecil yang dihabiskan dengan bermain boneka bongkar pasang.

"Kakak Cantik, Kila mau dikepang kayak ini juga, dong!"

"Panggil Kak Lyn aja, ya," ucapnya meralat. "Sini, mana pitanya?"

"Aku juga mau!"

"Aku juga!"

"Oke, oke." Lyn terbelalak sambil tertawa receh. "Kalau gitu, kalian antre dulu di belakang Kila, ya. Sabar. Siap?"

"Siap!"

Lyn segera menuangkan karet super-mini yang akan ia gunakan. Setelah menyisir dan membagi rambut menjadi dua bagian, ia mengambil salah satunya untuk dibagi tiga lagi. Cukup telaten, ia mengintai satu per satu dengan rapi. Bahkan, Lyn sempat mengkreasikan modelnya mulai dari khasnya gadis desa hingga kawai style ala Jepang.

Ethan tidak melewatkan kesempatan emas itu. Ia mengambil kameranya dan mengabadikan lewat sebuah video. Selain menyimpan ingatan, barangkali momen ini bisa ia gunakan di kemasan iklan nanti. Masalah izin, biarkan menjadi urusan belakangan.

"Seneng lo, Eth?" tanya Hans tiba-tiba.

"Why not? Biasanya juga gitu."

"Iya, ya? Lo emang cuma seseneng ini kalau deketin ratu kita. Selain itu mah boro-boro." Sean ikut menimpali tanpa memandang sang lawan bicara karena masih membaca buku dongeng.

Dev hanya diam. Sekilas ia mendongak dan bertukar tatap dengan Ethan. Namun, ia memilih kembali memalingkan muka dan menghela napas. Dev tidak peduli dengan isi kepala Ethan kali ini, berhubung ia dan kedua temannya yang lain juga sedang mengusahakan gadis yang sama, walaupun sebenarnya ia sempat berpikir negatif tentang alasan Ethan membawa Lyn kemari.

"Gue udah ngasih jalan kalian buat bisa deketin dia di sini."

"Gitu?" Hans menyeringai tak percaya. "Gue pikir tujuan lo ke panti ini biar bisa terlihat keren di mata dia."

"Shit!"

Ethan hampir kelepasan meraih kemeja kawannya itu, tetapi Dev menahan kakinya, lalu menarik kausnya agar menjauh ke belakang. Ia pun menurut, mengingat situasi saat ini sangat tidak memungkinkan untuk adu mulut. Bukan semata-mata karena Lyn, melainkan anak-anak kecil yang sudah lama mereka datangi secara rutin.

"Kalaupun gue mau cari muka sendiri, gue nggak bakal ngajak kalian ke sini juga," terang Ethan penuh penekanan.

"Iya? Bukannya biar kita nggak curiga aja sama jalan yang lo pakek?"

"Hans!"

Sean tidak tahan dengan ucapan Hans yang meletup-letup, entah apa penyebabnya. Ia segera menyeret kawannya itu keluar dari ruang tengah menuju dapur, atau bahkan sampai belakang rumah. Ethan dan Dev tak tahu-menahu akan pastinya karena terhalang tiang.

Sementara itu, Dev masih berusaha menarik tangan Ethan agar mau duduk di sampingnya. Meski sempat berniat mengejar Hans--juga Sean--agar sindiran kekanak-kanakan itu meredam, Ethan tetap mencoba menenangkan diri dan mengikuti arahan sahabatnya. Ia refleks mengacak rambut dan menunduk dalam.

Hingga tanpa sadar, kegaduhan kecil itu membuat mereka sedikit lupa bahwa ada gadis yang dari kejauhan bisa melihat semuanya.

DAY 15
15 Juli 2022

Haha-hihi aja dulu 🍻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top