12 • issues

Baru dua jam memejamkan mata, seluruh peserta diklat dipaksa bangun dan berkumpul di titik api unggun semalam. Melalui megafon, teriakan ketua pelaksana diklat amatlah menyiksa hingga sensasi panas pada mata teralihkan dengan berbagai kepanikan yang amat tiba-tiba. Sambil mengusap-usap wajah, tak sedikit yang menunduk, mencengkeram piyama dan menggigit bibir. Bahkan, ada beberapa yang berlindung di balik punggung kawannya yang juga masih setengah sadar.

Lyn menguap malas. Ia menggaruk kepalanya dan celingak-celinguk, mencoba mencerna situasi dengan mata menyipit. Detik berikutnya ia mendapati Hans tengah menatapnya tajam, lengkap dengan slayer merah-hitam yang menutup area hidung dan mulutnya. Aura lelaki itu berubah 180 derajat dari beberapa jam lalu. Dengan bertukar pandang saja, Lyn perlahan membangun fokusnya yang masih ogah-ogahan.

"Duduk melingkar seperti tadi! Menyebar! Jangan sama teman kelompoknya!"

Dengan cepat, para calon anggota baru itu kalang kabut menukar tempat duduk. Lyn tetap diam, toh tanpa bergerak pun ia tidak akan sejajar dengan kawannya karena mereka sudah berinisiatif menyingkir lebih dulu. Ia memanfaatkan kericuhan itu dengan mengikat rambutnya yang mekar bak surai singa. Ia juga mengambil sticky note yang ditempelkan di tas jinjingnya dari saku celana. Semalam Lyn sempat membaca sekilas. Namun, kantuknya tak dapat diajak bekerja sama. Ia tidak paham sama sekali.

Separah apa pun hari ini, kuharap kamu nggak mengulangi kesalahan beberapa waktu lalu, Lyn. Terkadang, diam dan melihat dari sisi yang berbeda itu perlu, walau seburuk itu kelihatannya di matamu sekarang.

Jaga kesehatan ya, Cantik.

Gadis yang mengerutkan kening itu mendengkus. Berkali-kali membolak-balikkan kertas, ia tetap tak menemukan apa pun. Pesan ini tidak disertai nama pengirimnya. Namun, jika dilihat dari penggunaan kata 'aku' dan 'cantik', otak Lyn hanya tertuju pada Sean. Sayang, meski sudah selesai membacanya, ia belum mengerti inti dari peringatan itu.

"Padahal tinggal bilang harus ngehindarin apaan, ribet banget, elah." Lyn menggerutu seraya meremas catatan kecil itu.

Belum selesai meluapkan kekesalannya, Lyn dikagetkan dengan aksi menutup mata yang datang dari belakang. Ia ingin berteriak, tetapi senior yang melakukan itu telah memberi peringatan untuk diam. Memang tidak kasar, hanya rasanya ia seperti hewan peliharaan yang dikemas sepatuh itu pada majikannya. Ia berhak menanyakan apa yang terjadi karena ini menyangkut dirinya sendiri. Namun, apa katanya tadi? Melihat dari sudut pandang lain, bukan? Baiklah, Lyn menurut dulu sekarang. Ia pasrah saja saat diminta berdiri dan berjalan mengikuti kawan di sampingnya.

Setelah berjalan beberapa langkah, ia dan para peserta diklat diberhentikan dan diminta duduk kembali. Mereka juga diperintahkan untuk memegang kedua tangan kawannya di kanan-kiri. Namun, sebelum itu, ada beberapa orang baru yang menyelinap di antara barisan. Lyn bisa merasakannya, tetapi ia tak peduli. Penasarannya akan agenda di tengah malam ini lebih besar dibanding siapa gerangan bertangan lembap yang menggenggamnya kini.

Tiba-tiba suasana berubah hening. Suara jangkrik dan kodok yang saling sahut mengambil alih semuanya. Lyn makin mengantuk dibuatnya. Namun, saat ingin tenggelam dalam mimpi, ia digetarkan oleh lagu perenungan yang familier. Melalui speaker, lirik demi lirik yang tersaji mampu masuk ke relung dan mendebarkan hati plus otak yang masih kosong. Tiap nama-nama sensitif disebutkan, gemuruh panas di dalam badan seakan-akan dipanggil untuk keluar. Tanpa sadar, Lyn mengeratkan kepalan tangannya yang mungkin menyiksa orang lain. Ia tidak sanggup mendengar kata 'ayah', 'ibu', 'lelah', 'sayang', dan 'usaha' yang terus-menerus diulang.

"Ibu!"

Lyn terperanjat saat seorang gadis berteriak histeris. Ia sama sekali tidak tahu pelakunya. Namun, suara tangis yang mulai muncul di sana-sini berhasil mengundang memorinya yang berantakan. Ia mulai bergetar dan kepayahan bernapas. Sekuat tenaga ia ingin melepaskan tangan dan membuka kain penutup matanya. Akan tetapi, sisi kanannya amat menahannya hingga ia tak bisa berkutik. Geram, Lyn menggigit lengan sosok itu sampai akhirnya genggaman mereka terlepas.

"Aw! Lyn!"

Sang empunya nama itu bangkit dan menyingkirkan kain yang menghalangi pandangannya. Sontak mulutnya ternganga. Betapa tak percayanya ia saat melihat sekeliling. Lingkaran yang sebenarnya masih di sekitar api unggun itu dipenuhi peserta yang tersedu-sedu. Tidak sedikit dari mereka yang terbaring lemas dan butuh ditenangkan. Mata merah dan berair milik Lyn tidaklah salah dalam mengamatinya.

Gadis itu lekas mundur dan hendak berlari ke tenda. Namun, Hans yang ternyata duduk di sebelahnya lekas menarik baju Minion-nya sampai ia hampir terjungkal. Syukurlah, Lyn masih bisa menahan diri dan menghempas tangan seniornya itu.

Panitia lain yang berjaga di belakang langsung mengadang jalan Lyn. Tanpa bersuara, mereka hanya berdiri dan memintanya untuk kembali duduk, melalui isyarat mata. Bukan Lyn namanya kalau mau melakukan hal-hal konyol seperti ini. Misal tidak lulus pun, ia tidak merasa rugi. Pendalaman karakter bullshit, yang ada ia tertekan.

"Biar gue yang urus."

Hans lekas mengangkat tubuh Lyn dan menggendongnya. Mau sang gadis memberontak sekeras apa pun, ia belum ingin melepaskannya. Ia baru menurunkan Lyn setelah memastikan posisi mereka cukup jauh dari pusat diklat. Lyn bersiap mau menyumpahi lelaki di depannya itu, tetapi Hans dengan cepat menutup mulutnya.

"Tenang dulu."

Lyn menyingkirkan tangan Hans dan menatap mata tanpa perasaan bersalah itu dengan tajam. Alisnya yang cukup tebal kini bertaut sempurna. Hawanya amat tidak santai. Ia bahkan mengepalkan kedua tangan.

"Maksudnya apa, hah? Nggak liat para peserta sampai histeris begitu?"

"Jelas. Emang itu yang kami mau. Ini bagian dari pembelajarannya, Lyn. Kami mencoba membangkitkan sisi terdalam kalian. Dalam berakting, kita nggak cukup memerankan peran itu. Sebisa mungkin kita harus 'menjadi' mereka. Ini baru awal, Lyn. Tentu ada tujuannya. Lo jangan berpikir negatif gitu, dong."

"Negatif?" Lyn mengusap wajahnya lalu menjambak rambut. "Menurut Kakak, saya harus gimana ketika manusia seperti kalian dengan lancang mengulik rasa sakit orang lain kayak gini?"

"Nggak segitunya, lah, Lyn."

"Segitunya? Kak, ini bukan saya yang berpikirnya kejauhan, tapi kalian aja yang terlalu dangkal. Kalian mikir, nggak, yang histeris tadi kira-kira kenapa? Bisa aja orang tuanya udah meninggal, atau berpisah, atau sering bertengkar, atau malah mendapat kekerasan di rumah." Air mata Lyn mulai jatuh. Ia buru-buru menghapusnya sebelum Hans tahu sisi lemahnya yang memuakkan. "Kalian ini siapa, sih? Punya hak apa? Membangkitkan sisi terdalam, tai. Kenapa di antara ribuan cara, kalian pilih cara murahan begini?"

Hans menggenggam tangan Lyn yang bergetar. "Kita sama sekali nggak bermaksud kayak gitu."

Lyn mengembuskan napas panjang. "Masa lalu orang beda-beda, Kak. Kalau sebelumnya Kakak-Kakak di sini menilai hal ini baik karena dirasa ampuh, coba besok-besok dipikir lagi, kira-kira ada cara yang lebih aman atau nggak. Jangan karena turun-temurunnya begini, terus langsung dieksekusi gitu aja. Damn, ngapain gue ngajarin senior kayak lo, sih? Shit!"

Tubuh Lyn meluruh. Tenaganya habis setelah mengoceh panjang lebar. Ia makin gemetaran dan telinganya mulai berdengung. Sekelebat bayangan yang tak diinginkan sejak tadi mengganggu penglihatannya. Ia berdecak, berteriak tanpa suara sebagai pelampiasan. Namun percuma, sesak di dadanya tidak hilang.

Hans lekas berlutut dan menahan badan Lyn yang limbung ke samping. Ia membawa gadis itu bersandar pada bahu, lalu merapikan poni yang menutupi wajah cantiknya. Genggaman yang anehnya tak dihempas itu ia eratkan. Dingin yang tak normal lantas merambat hingga tengkuknya. Hans menelan ludah dan menggigit bibir. Meski belum lama mengenal Lyn, baru ini ia melihat sisinya yang demikian.

"Gue nggak mau bodoh dengan nanya lo 'apa-apa' atau enggak, tapi gue butuh jawabannya."

Kosong, Lyn menatap ke sembarang arah. "Semua lelaki sama aja. Pemikiran mereka juga sama payahnya. Jijik."

Hans merasa gadis di dekapannya itu tidak dalam kondisi sadar, tetapi mau dilihat dari sisi mana pun mata Lyn masih terbuka tanpa berkedip. "Gue minta maaf, oke? Gue bakal jadiin ini semua bahan evaluasi. Right?"

"Kapan budaya-budaya aneh di sini hilang? Capek sama aturan, tuntutan, dan standarnya yang berat sebelah."

"Lyn," Hans mulai ketar-ketir, "jangan bikin gue takut."

Lelaki itu segera memeluk Lyn dan menepuk-nepuk punggungnya. Berkali-kali ia meminta maaf dan berjanji akan meresapi apa yang dikatakannya, meski sebenarnya belum benar-benar memahami inti yang disampaikan. Ia juga meminta Lyn untuk menumpahkan sakitnya sekarang, entah karena apa pun itu. Namun, gadisnya hanya tertawa kecil dan memejamkan mata. Tubuhnya yang melemas kini sepenuhnya bertumpu pada bahu Hans.

"Padahal udah gue bilang, jangan sampai lecet."

Hans menoleh. "Eth?"

Lelaki yang sedari tadi mengawasi dari jauh bersama kamera DSLR-nya itu mendekat dan mendorong tubuh Hans. Ia lantas menggendong tubuh Lyn dan menatap kawannya itu sinis. Hans yang belum melakukan apa-apa merasa dituduh tanpa sebab.

"Outbound-nya aja belum mulai, Eth. Ya, mana gue tau kalau bakal begini."

"Lo balik aja ke panitia. Lyn gue yang bawa."

"Ke mana?" seru Hans seraya berdiri. "Lo nggak berniat ngajak dia balik, kan?"

Ethan menggeleng. "Tapi kalau pas bangun nanti dia pengin pulang, gue yang antar."

"Tapi, Eth--"

Tatapan Ethan makin menjadi-jadi dan itu membuat Hans kian menciut. Pentolan The IV itu kemudian melanjutkan langkah menuju tenda kelompok Lyn. Ia menidurkan gadis itu, juga menyelimutinya hingga menutupi dada. Seperti yang diperintahkan, Hans kembali ke pusat diklat.

Ethan tak beranjak sama sekali. Ia hanya diam di samping Lyn. Sekali ia ingin menyentuh wajahnya yang manis dan menarik. Namun, jemarinya berhenti di udara agar hasratnya yang lain tak menyusul dan menimbulkan bencana. Ethan lantas menyalakan kameranya dan melihat-lihat hasil potretnya di sini. Mulai dari pentas semalam sampai perbincangan Lyn dan Hans tadi. Memang lumayan gelap, berhubung pencahayaan di sekitar mereka tadi hanya berasal dari petromaks. Namun, Ethan tetap bisa mengaturnya sedemikian rupa hingga bisa mengabadikan momen itu.

"Kira-kira, apa yang bikin lo serapuh ini?" tanyanya pada Lyn yang masih tertidur. "Speak up lo kemarin pasti didorong sesuatu, kan? Sama kayak hari ini."

Ethan mengusap hidungnya lalu duduk ke samping, membelakangi Lyn. Ia kemudian menuliskan sesuatu pada note ponselnya agar tidak lupa. Sesekali ia melirik gadis yang ia incar itu, lalu kembali memastikan penemuannya.

"Jangan bikin gue beneran tertarik sama lo."

DAY 12
12 Juli 2022

Si cakep 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top