11 • night

Meski api unggun di tengah lapang mampu menghangatkan seluruh peserta yang mengelilinginya, Lyn tetap bisa melihat kepulan asap putih yang keluar dari mulut. Bahkan, mau seberapa sering ia menggosok kedua tangan pun, bulu kuduknya tetap berdiri dan sekujur tubuh terasa membeku. Gila, ia tak tahu-menahu akan berapa suhu di tempat ini, mengingat semua ponsel tengah disita dan disimpan para pendamping. Namun, tanpa kepastian saja Lyn bisa mengira-ngira betapa rendah angkanya kini.

Gadis yang merekatkan tudung kepalanya rapat-rapat itu mulai menekuk lutut. Ia lalu memeluknya erat sambil mengetuk-ngetukkan gigi. Lyn masih mengenakan jaket pemberian Hans yang dilapisi jaketnya sendiri. Hawa ekstrim yang amat tidak cocok untuk gadis kota sepertinya sangatlah menyiksa. Andai berpura-pura sakit bisa dijadikan alasan untuk mendekam di balik selimut, ia sudah melakukannya sedari tadi. Toh, merebahkan diri di tenda kesehatan sendirian tidak terlihat seburuk itu. Namun, siapakah ia? Melakukan itu sama dengan menantang para senior yang sudah mahir dengan lakon apa pun.

Satu per satu kelompok telah menunjukkan hasil kerja sama dadakan yang persiapannya hanya menghitung jari. Kurang lebih kira-kira tiga hari. Lyn dan teman-temannya sudah selesai sedari tadi. Setelah pembukaan, ia dengan percaya diri tingkat dewa mengangkat tangan untuk maju paling pertama. Bodo amat dengan tatapan sinis anak grupnya tadi, yang jelas beban mereka kini tinggal lima persen. Menjadi pembuka adalah pilihan terbaik bagi Lyn karena ia tidak akan dibandingkan dengan siapa pun.

Sisa persentase yang kini ditanggung adalah rasa kantuk yang luar biasa. Lyn benar-benar bosan menguap. Bukan karena apa yang ia lihat sekarang sangat payah dan tak layak ditonton, melainkan jam tidurnya sangat tak teratur. Semalam, agenda baru selesai sekitar pukul sebelas dan empat jam kemudian mereka telah dibangunkan. Sungguh keterlaluan.

Gadis yang hampir tersungkur karena kehabisan tenaga itu tiba-tiba terperanjat dan terbelalak. Ia membuka kelopaknya lebar-lebar lalu menepuk pipi berkali-kali. Tenang, penglihatannya sedang bisa diajak kompromi berkat bantuan kacamata minus yang tak absen nangkring sedari pagi. Hal itulah yang membuat Lyn seribu persen yakin bahwa yang ada dan digilai para gadis di kiri-kanannya adalah The IV.

Seluruh anggota, tanpa terkecuali.

Pertanyaannya, bagaimana mereka bisa di sini? Kecuali Hans, tidak perlu dipikirkan. Lalu, untuk apa pula?

"Hai," Dev menyapa sambil mengatur gitarnya, "buat seseorang yang spesial."

"Hai juga dari kita." Sean ikut duduk di samping Dev. "Buat orang yang sama."

Lyn menelan ludah. Oke, bahunya sekarang terangkat sempurna. Ia bahkan kesulitan mengatur raut muka karena semua ini terlalu tiba-tiba. Menghadapi satu saja amat melelahkan, apalagi keempatnya di waktu yang sama. Ia tidak ingin gila secara instan.

"Malam ini kami akan membawakan sebuah lagu yang kami ciptakan sendiri."

Usai sedikit mengenalkan The IV dan berbagai alasan yang membolehkan mereka berada di tengah-tengah agenda UKM ini, Hans membicarakan lagu yang ia selesaikan bersama Dev hanya dalam dua minggu. Mereka berempat pun lekas duduk sejajar di posisi masing-masing. Sorakan meriah kemudian menyambut dan petikan pertama siap disuguhkan. Lyn lantas membuka tudungnya dan mengusap rambut ke belakang telinga.

"Pick some cocktail in night, pick some cocktail. Lift up your mind till sun raise the edge."

Mata Lyn bertemu dengan milik Dev saat lelaki itu melantunkan lirik pertamanya. Ia sama sekali tak menghindar. Justru, Lyn ingin menyelami maksud dari tatapan dan senyum tipis yang muncul sekian detik itu. Ia juga mencoba fokus pada alunan melodi dari gitar yang dimainkan. Tidak buruk. Sangat tidak buruk. Bisa dibilang, ini seleranya. Tipe musik ala-ala Bruno yang selalu asyik saat dipakai having fun di tepi pantai. Bedanya, mereka kini di tengah hutan.

"Girl, the moon is beautiful, isn't it? But I think your tiny dimples win that phrase, yeah. No doubt about it."

"Why you running and always running? I can't touch your road and I'm hurting."

"Babe, please we'd give you some comfort space. Please, babe, give us some your little chances."

Sean, Ethan dan Hans-lah yang berurutan menyanyikan lagu itu. Lyn terus beralih dari satu pasang mata ke mata lainnya. Ia lantas mengembuskan napas panjang dan mengusap wajah, menopang dagu dan menatap bawah. Otak minimalisnya mulai berkelana. Meski pas-pasan, kadar berpikirnya tidaklah mengenaskan. Ia pun beranjak saat petikan Dev berakhir.

"Mau ke mana?"

Kaki Lyn sempat terhenti saat suara Ethan sampai ke telinganya, padahal tanpa mikrofon dan jaraknya pun tidak dekat. Namun, detik kedua ia langsung melanjutkan langkah sebab tidak ingin menjadi pusat perhatian. Gadis itu menemui kakak pendamping di barisan belakang. Ia izin ke kamar mandi darurat yang letaknya cukup jauh dari perkemahan. Dengan yakin, Lyn mengatakan ia berani berjalan sendirian bermodalkan senter korek api yang memprihatinkan.

Tidak masalah, batinnya.

Lyn sempat melirik ke anggota The IV yang tengah memandangnya. Itu saja. Selebihnya ia benar-benar tak acuh dan ingin menjauh terlebih dulu.

Namun, sesuai dugaan--yang sebenarnya memang berniat memancing--keempat lelaki itu mengikutinya, meski tidak mendekat atau bahkan melampaui. Mereka hanya berjalan di belakang tanpa bersuara apa pun, kecuali bunyi tapak kaki yang bertabrakan dengan ranting kering.

"Kakak-Kakak ngapain ngikutin saya?" Lyn berbalik dan bersedekap. Ia menatap Ethan, Dev, Hans dan Sean dari kiri ke kanan--sisinya.

"Udah malem. Nggak baik anak cewek kelayapan sendiri," jawab Hans.

Lyn memutar bola matanya. "Iya, nggak baik juga kalau jalannya bareng empat cowok kayak gini."

"Jalan bareng sama lo?" Dev menyeringai. "Kan kita di belakang."

"Oh, jadi sekarang mainnya udah jalan bareng, nih?" Ethan tertawa kecil.

"Selalu kumat sarapnya kalau lagi kumpul."

Lyn hanya bergumam. Saat hendak melanjutkan langkah dan kembali diikuti, ia lekas mengambil potongan kayu di pinggir jalan lalu meletakkannya di tengah. Ia terus melakukan itu saat anggota The IV terus mendekat. Sampai akhirnya mereka pun diam dan Lyn bisa ke kamar mandi seorang diri--yang jaraknya tinggal sepuluhan langkah lagi.

Namun, apa boleh buat? Ketika selesai dengan urusannya di sana, keempat kakak tingkat itu masih setia berdiri dan menunggu. Baguslah, pikir Lyn dalam hati. Dengan ini, ia bisa berbicara sepuluh mata--berhubung ada lima orang--dan menegaskan apa saja yang diinginkan terjadi setelah ini.

"Jadi, langsung aja ke intinya, Kakak-Kakak ini ada perlu apa?"

Sambil menyingkirkan kayu dan batu yang sempat Lyn tata di tengah jalan, Hans menjawab, "Ngobrol di tenda panitia aja, gimana?"

"Biar mereka tau kegilaan kalian, gitu? Nggak, nggak, makasih." Lyn berkacak pinggang dan kekeh menggeleng.

"Kita nggak gila, Lyn. Yang di kantin waktu itu serius dan kami pengin tau jawabannya sekarang." Ethan menanggapi lembut.

"Tapi kalau yang kamu maksud 'gila' itu karena suka sama kamu, ya, nggak salah-salah amat, Lyn," timpal Sean.

"Jawaban apa yang Kakak mau?"

Dev tersenyum tipis. "Iya, yang jelas."

"Oke," Lyn sedikit memiringkan kepala dan mengusap rambutnya ke belakang, "silakan aja kalau mau deketin saya. Dengan catatan, hanya tiga puluh hari. Kalau setelah itu nothing happens, leave me alone."

Ethan menghampiri Lyn dan mengulurkan tangannya. Ia menatap lekat, berharap gadis itu mau menyambutnya tanpa gengsi sana-sini. Berhasil, mereka pun berjabat tangan beberapa detik yang setelahnya diputus oleh Lyn.

"Deal! Gue harap lo bener-bener buka hati."

"That's depends on yourselves."

Lyn membalas tatapan Ethan yang mencoba merayunya dengan seringai tipis yang meremehkan. Ia lekas membenturkan pundak kecilnya pada bahu lebar lelaki itu, lalu merentangkan tangan agar Dev dan Hans mau membuka jalan. Ia terus melangkah tanpa menoleh sedikit pun, tak peduli dengan pembahasan The IV yang kini mengantongi lampu hijau darinya.

Sean langsung merangkul bahu Hans dan beradu kepala tangan ala anak-anak ABG yang memenangkan taruhan. Ethan pun berbalik ke arah anggotanya yang tampak kegirangan, kecuali Dev karena tampangnya memang jarang tersenyum lebar. Ia menepuk pundak Sean dan Hans bergantian agar mereka berhenti haha-hihi.

"Jangan seneng dulu," ujarnya memperingatkan.

"Kenapa? Usaha kita berhasil, lho, Eth."

"Bener kata Hans."

Dev masih diam. Sepertinya ia memahami arah pembicaraan Ethan.

Pentolan The IV itu menepuk jidat dan mendengkus. "Bukannya aneh kalau dia jadi segampang ini?"

Sean mengerutkan kening. "Maksudnya?"

"Ya, lo pikir aja, lah. Awalnya dia mati-matian nggak mau. Bahkan pas kita mau ngantar aja masih ditolak. Terus kenapa nggak ada angin nggak ada hujan, dia nantang kita kayak tadi?" Sekali membuka mulut, Dev berbicara panjang lebar.

"Bener juga." Hans manggut-manggut. "Menurut lo kenapa, Eth?"

Ethan menggeleng. Banyak teori di kepalanya. Namun, tidak ada yang terlihat valid. Ia belum sepenuhnya bergerak, begitu pula anggota The IV yang lain. Lalu, atas dasar apa tiga puluh hari itu dicetuskan?

"Mungkin Lyn pengin bebas dari kita, tapi nggak mau repot debat dan nikmatin permainannya aja, makanya ngasih batasan begini. Nggak nutup kemungkinan sampai bulan depan nanti, salah satu dari kita tetep nggak ada yang bisa dapetin dia." Dev mencoba menganalisis.

"Ngeselin banget, dong, berarti. Udah ngasih jalan, eh taunya cuma gimik." Hans mengerucutkan bibirnya.

"Justru itu tantangannya."

"Maksud lo, Eth?"

Ethan menoleh ke arah Sean. "Kalau nanti dari kita ada yang berhasil, berarti dia bener-bener pantas jadi … you know, lah. Sepadan, kan, sama usahanya?"

"Got the point, Eth."

Dev mengangguk kecil lalu melangkah terlebih dulu. "Good luck then."

Hans melompat-lompat kegirangan. "Seru, ih, ratu kita yang baru. Jadi nggak sabar buat besok."

"Ah, iya. Gue hampir lupa. Hati-hati, ya. Jangan sampai lecet," pesan Ethan.

"Gampang. Kita nggak kasar. Kalian langsung pulang setelah ini?"

"Dev dan Sean iya. Gue stay."

"Why?"

"Kepo lo!"

Ethan langsung menoyor kepala Hans lalu buru-buru berlari menyusul Dev. Ia terus bersembunyi di balik kawannya itu agar tidak terkena amukan Hans. Sean yang berada di belakang hanya menghela napas dan geleng-geleng. Ia terus mengamati ponselnya dan ingin mengirimkan sebuah pesan. Sayang, mau memperingatkan pun, ia tak bisa apa-apa. Alat komunikasi semua peserta tak sedang bersama sang empunya.

"Dev! Bawa sticky note, nggak?" teriaknya tiba-tiba.

Lelaki yang bersangkutan pun mengangguk dan melemparkan barang wajib yang selalu ia bawa ke mana pun itu. Sean lekas menuliskan beberapa kalimat menggunakan pena yang ia kantongi guna menulis lirik di telapak tangan tadi. Ia berharap ungkapan kecil itu akan membantunya esok hari.

DAY 11
11 Juli 2022

Cowok berjidat + gitaran, beuh kelar dunia 🤸🏼‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top