10 • camp

Lyn mengunyah permen karetnya yang kedua. Sambil menyilangkan kaki dan bersedekap, ia memandangi senior yang ke sana kemari layaknya setrikaan. Sesekali ia berdecak dan menguap, bosan akan keterlambatan yang terjadi. Seharusnya para peserta diklat sudah berangkat satu jam yang lalu. Nyatanya, ada miss komunikasi antara panitia transportasi dan pihak bus yang disewa. Sial, memang. Terik yang menyengat telah melunturkan riasan tipis yang tak seberapa. Ditambah dehidrasi yang tidak ada obatnya pula--menyesap permen hanya memperparah. Tempat ini sepi penjual.

Menit demi menit terus berlalu, tetapi hanya anak baru yang terpaku di pinggir lapangan bersama barang bawaan yang menggunung. Satu panitia terlihat mendekat, membuat Lyn refleks membuang permennya pada tisu lalu mengantonginya terlebih dulu. Ia akan membuangnya saat menemukan tempat sampah.

Gadis itu mengusap tangannya dan berdeham tanpa alasan. Ia juga memalingkan muka, tak ingin beradu tatap dengan Hans yang jelas-jelas mengamatinya sedari tadi. Sekejap Lyn melirik, mengecek apakah kakak tingkatnya itu masih melakukan hal yang sama dan ternyata memang hobinya demikian. Hans bahkan tersenyum dan menggeleng kecil saat Lyn spontan menyisir rambutnya menggunakan sela-sela jari. Rona di wajah yang sedikit bersemu pun tidak dapat disembunyikan, terlebih pada aktor teater sekelas Hans.

"Silakan masuk ke bus sesuai pembagian kemarin, ya. Barang-barangnya bisa ditaruh di belakang. Nanti ada kakak panitia yang mengarahkan di sana."

"Baik, Kak."

Lyn ikut menjawabnya, kompak bersama yang lain. Ia lekas meraih ransel dan tas jinjing berisi hidup dan matinya di hutan nanti. Tidak banyak. Hanya pakaian ganti, alat mandi, selimut, obat P3K, makanan ringan, dan boneka kesayangannya. Tanpa gumpalan kapas yang dijahit oleh ibunya sendiri itu, ia bisa begadang sepanjang malam, meski sebenarnya Lyn sendiri tidak tahu apakah mereka nanti masih memiliki waktu istirahat.

Hans mengikuti langkah Lyn dari belakang. Ia tidak berniat menawarkan bantuan, mengingat hal itu bisa menimbulkan kesalahpahaman pada calon anggota baru. Sebenarnya tidak masalah jika rumor ia mendekati Lyn tersebar, toh itu bisa saja mempermudah geraknya. Namun, ia tidak ingin Lyn menjadi pusat perhatian atas hal yang kurang penting seperti ini. Urusan bisa runyam kalau gadis itu tiba-tiba menghindari Hans karena kurang nyaman akan gosip sana-sini.

Lelaki yang mengenakan kemeja resmi pengurus UKM Teater itu membuka pintu bus lebar-lebar saat Lyn hendak masuk. Ia lalu menahan berat tas lain saat Lyn berusaha menyelipkan barang bawaannya di tengah ruang yang sesak itu. Saat hendak duduk pun, Hans sempat tersenyum tipis dan menepuk pundak Lyn. Sekotak tisu kecil juga disodorkan pula bersama selembar sticky note berwarna merah muda.

Semangat, ya!

Hanya satu kalimat. Tidak ada coretan apa pun yang mempercantik kekosongan kertas itu. Tulisannya pun tegak dan tegas. Tidak ada manis-manisnya. Lyn mendengkus, kemudian mengantongi pesan itu di saku belakang celananya.

Hari ini ia duduk sendiri. Sembari menikmati perjalanan yang entah kapan sampainya--Lyn belum pernah sama sekali ke tempat tujuan mereka--ia memutar musik dan mendengarkannya melalui earphone. Sebelum ponselnya disita, Lyn harus bersenang-senang dulu.

Saat lagu pertamanya hampir selesai, telinga kiri Lyn terasa hampa. Ia yang semula memejamkan mata pun lekas membukanya dan menoleh. Ck, yang benar saja. Earphone-nya telah berganti tuan. Hans tengah mengenakannya dan terpejam pula, persis seperti dirinya beberapa detik lalu.

" 'Tapi menurutku Tuhan itu baik', selera lo unik juga, ya."

Lyn kembali menghadap jendela dan memandangi rumah-rumah yang berjalan. "Sejak kapan selera musik ada kategorinya?"

"Enggak, awalnya gue kira lo lebih suka genre pop-rock, soalnya sering post itu di Instastory."

"Kebanyakan lagu yang saya suka kebetulan begitu, tapi bukan berarti saya nggak menggemari genre lain."

"Keren, range pengetahuan musik lo lumayan luas, dong?"

Lyn melirik Hans yang kini duduk menghadap ke arahnya. "Nggak juga. Saya lebih ke 'apa aja yang enak di telinga ya itu yang didengerin'. Terserah genre dan negaranya."

"Kelar diklat nanti, lo berminat masuk tim audio, nggak? Kebetulan bulan depan mau ada event."

"Saya belum tau tugasnya, Kak."

"Ntar dikasih tau, lah."

"Dipertimbangkan nanti aja kalau begitu." Lyn mengalihkan pandangan dan memilah-milah lagu yang ingin ia dengarkan sekarang.

Saat melodi baru terputar, Hans perlahan tersenyum. Pertama, Lyn tidak mengusirnya. Kedua, earphone yang ia pakai tidak disita kembali. Ketiga, gadis itu bahkan memilih lagu dengan genre yang sempat ia sebutkan sebelumnya. Bahkan, kini mereka sama-sama bersenandung dan Lyn tidak keberatan atas apa pun.

Rasanya seperti melewati lampu hijau setelah setengah abad terjebak di kemacetan.

Lyn tertidur setelah setengah jam termenung. Berkat jalanan yang begitu terjal, kepalanya bergerak ke kiri-kanan dan membuat Hans menghela napas khawatir. Lelaki itu lekas membawa sang junior untuk bersandar pada pundaknya. Ia juga mengangkat tangan kanannya lalu menutupi wajah Lyn dari silau matahari. Lama-lama punggung tangannya memang terasa panas, tetapi Hans hanya menyeringai tipis saat tak mendapati kerutan pada kening Lyn lagi.

"Kita sudah sampai, teman-teman," seru ketua panitia lantang. "Silakan turun. Jangan ada yang ketinggalan, ya."

Hans meniup telinga Lyn agar gadis itu merasa geli dan membuka mata. Ia lalu mengarahkan beban yang lama menumpang di pundaknya itu ke sisi lain agar bisa berdiri leluasa. Satu per satu barang yang ada di atas tempat duduk pun diturunkan. Meski bukan miliknya, Hans tetap membantu agar jadwal pembukaan dan agenda lain tidak makin berantakan.

Lyn menggeliat. Setelahnya ia terperanjat dan celingak-celinguk kikuk. Bus hampir sepi dan Hans menatapnya sambil menahan tawa. Oke, pasti bukan hal baik, pikirnya instan. Gadis itu lekas mengambil barang bawaannya yang tepat di bawah kaki Hans, lalu berlari keluar menuju kawan kelompoknya--yang entah ada di mana.

"Bisa-bisanya gue ketiduran. Kalau Becca ada, pasti dia udah nyalahin anime semalem. Salah sendiri, sih, pake maraton segala. Jadi ngantuk, kan, siang-siang."

Gerutunya pada diri sendiri tak kunjung usai, meski segerombolan anak baru telah ia temukan. Lyn buru-buru menghampiri gadis yang melambaikan tangan padanya. Mereka kini tengah berperang dengan tenda sewaan yang cara mendirikannya saja tidak tahu. Jangankan itu, membaca petunjuk rakitan pun Lyn tidak lulus. Ia bingung dan garuk-garuk kepala melihat berbagai perintilan yang tak ada bedanya.

"Eh, Lyn, buat show individu besok, lo nampilin apa?"

"Sejujurnya gue juga nggak tau, sih, Beb." Lyn menjawab santai, lengkap dengan sapaan sejuta umat sebab ia malas menghafal satu-satu nama mereka.

"Bisanya. Besok, lho."

"Tinggal nyanyi aja beres. Suara gue nggak jelek-jelek amat, kok. Tiap hari juga latihan di kamar mandi. Mending lo mikir yang buat ntar malem."

"Ih, pake diingetin segala. Kan jadi gugup."

Lyn berdecak. "Kayak mau diapain aja. Anak teater masak malu-malu gitu. Pede, dong."

"Lo, mah, cantik, Lyn. Kalau salah pasti dimaklumi. Yang kayak gue lain ceritanya. Bisa diketawain."

Mendengar hal itu, Lyn hanya tersenyum kecil, lalu beranjak ke tempat penataan api unggun. Ia paling tidak menyukai pembahasan fisik. Kadang, mereka yang dinilai bertampang 'lebih' sering dijadikan bahan adu nasib, seolah-olah orang-orang sepertinya menginginkan keadaan seperti ini. Lyn pernah meyakinkan temannya yang kurang percaya diri demikian, tetapi berakhir penolakan yang berujung haus pujian berkali-kali. Ia lelah dan tak ingin mengulanginya lagi.

Satu-satunya gadis yang tidak mengenakan atasan panjang itu membantu beberapa peserta memindahkan kayu, dari tempat pemberhentian bus ke tengah tempat diklat. Sesekali ia mengusap kedua lengan yang membeku berkat udara dingin yang menyiksa. Lyn tidak berniat memakai jaketnya karena terkubur jauh di bawah pakaian lain. Teknik packing yang sangat buruk, memang. Ia masih menebar senyum tipisnya saat beberapa panitia menanyakan kabarnya. Seumur-umur sepanjang Lyn mengikuti diklat, baru kali ini ia merasakan kehangatan yang wajar.

"Tenda kelompok lo udah beres?"

Lyn terperanjat saat Hans tiba-tiba berbicara di belakangnya. Lelaki itu juga menutup tubuh Lyn menggunakan jaket denim yang semula ia kenakan. Sontak Lyn pun bergeming. Ia belum berkutik sampai akhirnya Hans menautkan kancing atas jaketnya guna menghalau laju angin dingin. Sadar, Lyn lekas melepasnya dan memberikan kembali ke sang empunya.

"Nggak perlu, Kak, saya--"

"Pakek aja. Gue keringatan, nih." Hans meraih tangan Lyn dan meletakkannya ke lehernya. "Risi kalau jaketan."

Lyn segera menarik diri. "Makasih kalau gitu."

Hans mengangguk. "Jadi gimana? Udah selesai?"

"Belum," Lyn menoleh ke arah para kawannya, "masih ribet sendiri, tuh."

"Terus kenapa kamu malah di sini?"

Lyn terdiam. Ia tidak mungkin menceritakan apa yang terjadi di kelompoknya pada senior. Bisa saja nanti mereka dihukum atas ketidakkompakan atau apa pun itu. Padahal, ia hanya merasa diasingkan karena tidak bisa apa-apa dan … cantik. Walau sebenarnya sedikit hiperbola, mengingat mereka terlihat baik-baik saja dengannya, Lyn tetap memilih menghindar dan tak acuh bila nantinya jadi topik pembahasan saat ia tidak ada.

"Hari pertama belum jalan, lho, Lyn."

"Nggak ada apa-apa, kok, Kak. Emang udah full aja kerjaannya, jadi saya bantu-bantu di sini."

"Bener?"

Ragu, Lyn mengangguk. "Iya."

"Kirain mau ngapelin gue."

"Kakak siapa saya ngarep diapelin segala?" Lyn memutar bola matanya malas. Ia mengambil beberapa kayu lalu berjalan ke tengah, sedangkan Hans hanya mengikutinya dengan tangan kosong.

"Lo penginnya gue jadi apa?"

"Senior."

"Seniorita, ya?"

"Itu senorita, please." Lyn menatap sinis. Sungguh tidak lucu. Namun, Hans tetap tertawa.

"Oke, jadi senior dulu nggak apa-apa, deh. Ntar jangan lupa di-upgrade, ya."

"Saya tim yang apa pun bentukannya lebih suka versi lama. Permisi, Kak."

Lyn mempercepat langkahnya, tak peduli dengan Hans yang berhenti dan bersedekap di tempat. Bodo amat, ulangnya berkali-kali. Ia hanya perlu mengembalikan jaket beraroma kayu bakar itu saat sudah mengatur barang di tenda nanti.

Lelaki yang sengaja memandang dari jauh itu lekas membuka ponsel dan mencari sinyal. Untunglah di sini tidak seterpencil itu hingga ia masih bisa menemukan jaringan. Hans buru-buru menelepon ketiga kawannya lewat panggilan grup, sebelum senja hilang dan malam yang menggantikan.

"Kapan berangkat? Hari ini bisa stay rumah warga dulu. Besok gue jemput. Jangan lupa rencana kita."

DAY 10
10 Juli 2022

Akhirnya di sepertiga jalan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top