; only love can hurt like this.

▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓

:୭‌.┊🖇
Only love can hurt like this.

┊‌ ˘‌ᵕ˘‌ Xiao x Hu Tao
┊‌ ˘‌ᵕ˘‌by AyariFujii162
┊‌ ˘‌ᵕ˘‌Genshin impact © Hoyoverse

!¡ WARNING¡!
Slight! Xingqiu x Hu Tao
Possesive
Ooc
Siblings zone (?)

:୭‌.┊🖇

Hidup dibawah bayang bayang sang kakak, tidak.
Hu Tao hidup dibawah bayang bayang orang yang dicintainya yang sekarang menjadi kakaknya.
Begitupun Xiao, luka tak terhingga dia genggam ketika dia harus bicara untuk Hu Tao yang kini menjadi adiknya.

Derap langkah kaki nya cepat, mengejar keterlambatannya pagi ini. Orang sinting mana yang datang jam delapan padahal jam masuk tujuh lewat empat puluh lima menit. Matahari pun sudah lebih tinggi dari pepohonan.

Nafasnya jadi pendek, tangannya membawa kresek dengan banyak jajan disana, hari ini adalah hari Mpls. Jajan sebanyak itu niatnya untuk dibagikan di jam istirahat kepada adik adik yang hari ini menjalankan Mpls. Niat baiknya membuatnya kesiangan hari ini.

"Telat."

Ucap seseorang yang sedang bersandar di gerbang, mata emasnya menatap pada gadis yang masih kesulitan meraup oksigen.

"Sinting! Kak Sho kok gak bangunin aku sihhhh!"

"Kamu sendiri yang gak update jadwal di tempelan kulkas." Jawab pemuda bersurai hijau itu. Tidak berniat membuka pagar, hanya menatap sang gadis.

"Bukaa donggg,"

"Push up dulu dua puluh kali. Osis kok telat, Mpls pertama pula."

"Ish..", Decak gadis itu.

Lalu perlahan menunduk, menurunkan tubuhnya perlahan hingga ada suara yang menginterupsinya.

"Nanti."

"Apalagi kak shooo! Aku mau masukk!!"

"Kesini, Tao. Aku iketin dulu rambut kamu."

Gadis yang manyun itu mendekat kearah Xiao yang ada di balik pagar, mendekatkan dirinya ke pagar yang tidak terlalu tinggi itu dan membiarkan Xiao mengikat rambutnya. Membuat rambutnya di ikat menjadi satu ke tengah. Rambut itu terlalu halus dan panjang, rasanya rugi jika itu sampai kotor. Mungkin itulah yang dipikirkan Xiao.

Setelah selesai membuat itu menjadi satu ikatan, Xiao membiarkan gadis yang dia panggil "Tao" itu untuk melakukan hukumannya. Mata kuning emasnya melirik kearah lain, menjaga pandangannya dari gadis itu, wajahnya mungkin saja merah sekarang, haha.

"Kak sho udah."

Xiao mengangguk, membuka pintu dan membiarkan gadis itu masuk, peluh membasahi pipinya yang menggembung itu, masih badmood perkara kena hukum.

"Jajannya buat apa sebanyak itu, Tao?"

"Ini? Buat adik adik yang ikut mpls! Kasian, mungkin aja ada yang gak bawa uang jajan kan ya.."

Jawaban antusias dan kepedulian kecil yang dimiliki gadis bernama Hu Tao ini, selalu menjadi hal yang menarik perhatian Xiao. Rasanya, gelap kelabu rasa sakitnya hilang ketika cahaya terang gadis ini memasuki indra pengelihatannya. Bibir merah mudanya, pipi kembungnya yang terlihat sangat lembut jika dicubit, lalu..

Ah! Xiao terlalu banyak memikirkan hal aneh. Jelas saja dia tidak boleh memikirkan hal yang tidak tidak tentang adik angkatnya ini, kan?

"... ho.."

"... sho.."

"Kak shooo!"

Sontak si rambut hijau itu tersentak, baru sadar jika sedari tadi dirinya dipanggil. "Y-ya.. Tao..?"

"Kakak kenapa sih, bengong sepanjang jalan liatin aku. Ini kita udah depan kelas loh! Aku ngikut kelas yang kakak pegang kan buat ngurus mpls nya?"

"Iya." Jawabnya singkat. Hu tao hanya memandang kakak kelas sekaligus kakak angkatnya itu menggandeng tangannya dan menariknya masuk kedalam ruangan.

"Bagiin gih, makasih udah beliin jajan buat anak anak dan malah bikin kamu telat. Sorry udah nyuruh kamu, Tao."

Hu tao melongo, bingung dengan ucapan yang dilontarkan Xiao. Sampai beberapa detik kemudian dia paham. Lalu tertawa kecil dan membagikan jajannya padan masing masing anak. Mereka semua senang dapat makanan gratis. Hu tao pun pipinya tak kunjung turun. Tersenyum atas apa yang dilakukan Xiao untuk menyelamatkan namanya hari ini.

Terimakasih pada penyelamat nya hari ini.

Istirahat telah usai, kegiatan Mpls juga dilanjutkan seperti planning yang diberikan sekolah. Sekarang Hu tao disini. Di ruang osis. Duduk diantara tumpukan buku persiapan olimpiade Ekonomi miliknya. Sedang menutupi seluruh wajahnya dengan buku, lelah dengan pelajaran dan tugas Mpls yang bersamaan.

Wajahnya terangkat saat seseorang mengetuk pintu, pemuda dengan surai biru gelap itu masuk dengan setelan rapi sebagai anak olimpiade Bahasa. Buku yang dibawanya tidak terlalu banyak. Hanya saja terlihat bahwa note di papan dadanya tampak penuh.

"Halo ...Xingqiu.. ngantuk banget gak sih.." Hu tao menyapa, menguap sebagai tambahannya. Lalu kembali memeluk buku ekonominya.

"Haha! kamu tuh emang selalu ngantuk kalo udah bahas soal olimpiade, Hutao.."

Xingqiu geleng geleng. Lalu membuka catatan dan beberapa soal olimpiade nya.

"Qiu kok rajin sih.. aku aja males loh. Ini di paksa kak Xiao aja karena katanya aku pinter ekonomi padahal enggak."

Makin terkekeh, Xingqiu menghentikan kegiatannya dan melihat kearah Hu Tao yang mengantuk, "Kamu udah bahas itu ribuan kali, tapi buktinya tahun kemaren kamu berhasil dapetin juara satu kan?"

Hu Tao mengangguk. Yaudahlah, mau gimana lagi pikirnya.

Sesuatu menangkup pipi gadis itu, tiba tiba kepala Hu tao diangkat dan dibuat duduk menghadap ke papan tulis. Rupanya Xiao datang. Dengan bukunya juga. Xiao kelas tiga, tapi entah kenapa sampai sekarang belum ada yang bisa diandalkan untuk olimpiade matematika selain Xiao.

"Kak Shoo!"

"Tiduran mulu kepalanya, dirumah rebahan, disini rebahan." Tatapnya terlihat lebih lembut dari pada ke orang orang biasanya.

Xiao duduk di depan Hu tao, sedangkan gadis itu hanya manyun. Moodnya buruk karena diganggu waktu santainya. Xingqiu melihat itu, membuka tasnya lalu mengeluarkan botol air minum. Tepat setelah Xingqiu meletakkan itu di depan Hu Tao, Xiao pun meletakkan sebotol minum juga ke atas meja Hu Tao.

Sekarang, Xingqiu dan Xiao saling tatap.

Mata tajam Xiao yang mengintimidasi, pada akhirnya membuat Xingqiu mengurungkan niatnya untuk memberikan botol air minum itu pada Hu Tao. Gadis itu melihat keduanya sedang bersitatap dan juga sama sama memegang botol. Memang, keduanya ini sulit akur karena Xiao yang overprotektif pada Hu tao.

"Tao, minum."

"Ihhh! Kalian kasih duaa? Aku suka deehhhh~ Makasihh yaa!"

Tangan mungil itu mengambil kedua botol minum itu, lalu meletakkannya ke samping buku bukunya, membuka masing masing botol minuman itu lalu meneguknya.

Xingqiu menghela nafas lega, dia akhirnya bisa memberikan minuman yang dia beli di kantin tadi. Karena dia tau, hari ini Hu Tao kelelahan. Tapi sepertinya, Xingqiu tidak selamat dari Xiao. Dia menatap tajam pada Xingqiu dibalik helai rambut yang menutupi wajahnya itu.

Resiko berteman dengan Hu Tao, adalah keberadaan Xiao yang selalu menjaga Xiao seperti barang yang mudah pecah, tapi juga tegas jika Hu Tao melakukan kesalahan selayaknya Hu Tao tidak akan hancur di timpa besi.

Seperti nya, hari tidak akan berjalan baik untuk Xingqiu. Mari doakan saja.

Hari berlalu, malam ini Hu Tao cekikikan di kamarnya, memandang foto foto di albumnya. Album polaroid yang isinya.. foto paparazi.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tarikan nafas nya sekali lagi berisi isakan. Menyadari bahwa hal yang dia lakukan adalah kesalahan dan pasti tidak akan dimaafkan oleh si pemilik foto, membuat hatinya nyeri.

Mereka sedekat nadi, tapi kenapa tak bisa saling memiliki?

Hu Tao menyadari, bahwa dia tak bisa melakukan apapun. Dia juga tidak bisa protes pada dunia atas apa yang dia alami. Dia hanya bisa memukul dadanya yang sesak menahan tangis.

Namun, sedetik kemudian isakan kecil itu lepas dan menjadi raungan setelah dia ingat bahwa ayah angkatnya Zhongli, sedang menginap di rumah rekan kerjanya. Dan Xiao, dia biasanya pulang malam karena kebiasaan manggung di cafe bersama band kecil bersama temannya yang disebut Anemoband.

Jadi, tak ada siapapun yang akan mendengar raungannya kali ini.

Sungguh, sesak sekali.

Surai hitam hijau yang pekat itu, rasanya ingin sekali Hu Tao sentuh lagi. Sentuhan seperti beberapa tahun sebelum pada akhirnya Hu Tao diangkat menjadi anak Zhongli setelah ayah ibunya meninggal dalam kecelakaan tunggal yang membuat kedua orang tuanya diambil oleh maut.

Tawa ceria saat dia dengan bebas memanggil Xiao hanya dengan Sho, tanpa embel-embel 'kak'. Dia sejujurnya sangat tersiksa dengan panggilan itu yang membuatnya sadar, bahwa mereka bukan lagi sepasang anak kecil yang saling tidak ingin terpisahkan, melainkan mereka adalah kakak adik sekarang.

Mengakui bahwa Xiao merupakan kakak angkatnya, merupakan hal yang menyakitkan. Mau tidak mau, perasaan itu harus ditutupi. Toh.. mungkin saja..

Mungkin saja.. perkataan Zhongli waktu itu, melekat di pikiran Xiao juga.

"Nah, Xiao.. sekarang jagain Hu Tao kayak adek kamu sendiri, dan Hu Tao.. anggap Xiao kayak kakak kalian sendiri, ya? Kalian mulai sekarang bakalan tinggal bareng dirumah om Zhongli ya?"

Xiao pun nampak syok saat itu, tapi hanya mengangguk. Lalu menggenggam erat tangan kecil Hu Tao yang kecil dan dingin. Dia terlalu banyak menangis setelah kehilangan kedua orang tuanya saat itu.

Tapi Xiao.. apa yang saat itu kau pikirkan..

"Sho.. andai orang tua aku gak meninggal.." dia mengusap matanya, nafasnya juga tersenggal.

"Apa mungkin.. Sho bakalan pacaran sama aku..? Haha.. mengingat, Sho selalu mau aku jadi pengantin Sho setiap pentas sekolah atau.. waktu kita main dengan banyak anak anak dulu.."

"Apa.. mungkin..? Apa mungkin aku gak harus manggil kamu pake kakak kayak sekarang..?"

"Apa mungkin aku bisa.. bilang kalo aku suka Sho dari kita kecil..?"

Hu tao memeluk erat album polaroid itu. Hingga isakannya berhenti sendiri lalu tertidur di tumpukan buku ekonomi dan album polaroid Xiao.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara benda jatuh. Bersamaan dengan sebuah pukulan pada pintu kamar Hutao. Gadis itu terlalu nyenyak hingga tak mendengar nya.

Xiao sudah pulang sejak gadis itu terisak. Awalnya Xiao memang berniat ngeband malami ini, tapi ternyata Xiao terlambat buka grup chat mereka yang bilang jadwal mereka hari ini kosong karena diganti acara ulang tahun di cafe yang bisa mereka pakai manggung.

Memutuskam untuk membelikan beberapa takoyaki untuk Hu Tao, Xiao melajukan motornya menembus angin malam agar cepat sampai dirumah. Anehnya, malam ini.. lampu ruang tengah dimana Hu Tao biasa menunggu Xiao pulang, lampunya mati.

Tidak seperti biasanya.

Jadi Xiao memutuskan untuk memasukkan motornya, lalu meletakkan takoyaki diatas meja. Kamarnya ada disamping kamar Hu tao, jadi dia berniat membawa helm nya masuk ke kamar nya setelah mengecek keadaan Hu Tao.

Xiao mendengar suara orang tertawa, pikirnya.. gadis itu sedang bercengkrama dan sedang bahagia. Jadi dia ingin mengetuk pintu dan memberi tahu kalau ada takoyaki yang masih hangat. Semoga bisa menambah bahagia gadis itu.

Tepat sebelum tangannya mengetuk pintu, suara isakan terdengar. Xiao panik. Apa yang terjadi pada Hu Tao? Tapi dia memiliki firasat untuk tetap diam kali ini.

Gadis ini tidak terbuka tentang perasaan nya sendiri pada siapapun. Mungkin saja.. jika Xiao diam diam mendengar, Xiao bisa mengetahui apa yang dirasakan Hu Tao selama ini.

Dia hanya diam, hingga akhirnya namanya di panggil.

Dia menatap lekat kearah pintu. Menatap pada sumber suara isakan didalam kamar itu. Ini.. tentang dia..

Xiao diam. Tangannya gemetar atas pernyataan tak sengaja yang Hu Tao ucapkan dalam raungannya. Rasanya sakit. Rasanya.. kenapa..

Kenapa terasa lebih sakit dibanding saat dia kalah telak dalam olimpiade Matematikanya?

Kenapa terasa lebih sakit dibandingkan saat lawan lomba bela dirinya berhasil menjatuhkan nya dengan teknik satu satunya yang Xiao kuasai?

Kenapa raungan ini... Menusuk hingga ke tulangnya?

Kenapa setiap getar dari suara Hu Tao yang menangis itu, menggetarkan hatinya yang terasa sakit untuk sekedar memeluk Hu Tao?

Pernyataan terakhir yang diucapkan oleh Hu Tao. Menyadarkan perasaan denialnya selama ini. Bersamaan dengan jatuhnya helm dari genggaman tangan nya. Dan pukulan yang dia daratkan di pintu kamar Hu Tao

Selama ini.. alasan kenapa Xiao selalu ingin menghukum Hu tao jika dia terlambat kesekolah, bukanlah karena Xiao ingin mendisiplinkan Hu tao seorang diri. Tapi, Xiao tidak sanggup jika ada orang yang menghukum Hu tao. Karena Xiao tau, hukuman yang seharusnya empat puluh kali push up itu.. tidak akan sanggup dilakukan oleh tubuh ringkih Hu tao.

Alasan kenapa dirinya mati matian menggapai jabatan ketua OSIS bukanlah agar dia mendapatkan popularitas atau agar dikenal guru. Tapi, karena Xiao ingin Hu tao ada dibawah pengawasannya.

Alasan mengapa Xiao selalu overprotektif, bukanlah karena statusnya adalah kakak Hu Tao. Tapi, Karena Xiao cemburu jika seseorang mencoba terus ada di samping Hu Tao selain dia. Itu juga yang membuatnya selalu kesal jika xingqiu mencoba mendekat meskipun mereka sama sama anak olimpiade.

Xiao sadar, dia bukan menganggap Hu Tao adiknya.

Tapi dia ingin bisa.. mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini pada Hu Tao.

Mereka semua, bisa mengungkapkan. Tapi Xiao tidak bisa mengungkapkan nya. Karena status mereka bukan lagi teman kecil. Tapi saudara angkat. Karena itu sebisa mungkin, Xiao membatasi laki laki yang berada disekitar Hu tao hingga dia ikhlas melepas gadis itu.

Nyatanya, dia tidak pernah bisa melepas Hu Tao..

Dia memukul kepalanya sendiri. Dia berpikir bahwa dia sudah melakukan hal yang baik sebagai kakak. Tapi dia, dia ingin memiliki Hu Tao seperti keinginannya sejak kecil. Memiliki Hu Tao sebagai kekasihnya.

Bukan adiknya.

Alasan dia menggenggam erat tangan Hu Tao yang menangis saat pemakaman orang tuanya dan saat Zhongli pada akhirnya mengadopsi Hu Tao, adalah permintaan maaf.

Maaf karena aku harus menjadikanmu adikku, bukan kekasihku. Maaf membuatmu memanggilku kakak, bukan panggilan sayang yang seharusnya kau dapatkan. Tapi, akan kujaga kau hingga aku sanggup, untuk benar benar menjadi kakakmu. Jika tidak sekarang, kumohon tuhan, berikan kesempatan agar di dunia selanjutnya, Hu Tao menjadi pasanganku.

Xiao berbalik dari kamar Hu Tao. Langkah kakinya lemas mengetahui fakta bahwa Hu Tao menyimpan rasa yang sama. Juga rasa sakit yang sama karena tak bisa terungkap. Dia masuk kedalam kamarnya, mengusap matanya lalu menutup pintu.

"Maaf.. Tao.. kupikir kamu gak ngerasain hal yang sama.."

"Maaf ngebuat kita terjebak di sini.."

Keduanya pada akhirnya tertidur dalam kondisi tak baik, keduanya menangis. Xiao yang terisak dalam diam, dan Hu Tao yang tertidur kelelahan menangis.

Rasa sedih itu memakan mereka hingga kemimpi, melahap kesadaran mereka, membuat keduanya terlelap dalam dunia tenang. Tuhan bilang, dia selalu turunkan rasa mengantuk setelah kesedihan agar kita merasa tenang. Tapi ya.. gak setenang ini juga sih. Pagi ini karena kenyenyakan Hu Tao bangun kesiangan (lagi).

"KOK BRO XIAO GAK BANGUNIN LAGI PDHL UDAH AKU UPDATE JADWAL DI KULKAS?!"

Hu Tao mencak mencak sambil mengambil ponselnya. Mengacak nomor disana sampai menemukan tombol bernama Kak sho. Menekan nya lalu menunggu Xiao mengangkat. Berniat agar Xiao menulis surat izin saja jikalau dia sudah sampai lebih dulu.

Dan anehnya, deringnya ada dari kamar sebelah. Ini Xiao ketinggalan ponselnya atau bagaimana?

Hu Tao langsung ngacir ke kamar sebelah. Bertepatan dengan dia keluar kamar, Xiao pun keluar kamarnya dengan tangan memegang ponselnya di telinga. Matanya masih mengantuk, sedikit sembab. Tak jauh berbeda dari Hu Tao sendiri.

"Hah?"

"...hah?"

"Kok kak Sho dirumah?!" Hu Tao syok. Biasanya Xiao sudah sampai disekolah jam segini.

"...emang ini jam berapa, Tao.. kamu ngapain nelpon pagi-pagi begini.." keluh pemuda yang menggunakan kaos tanpa lengan itu. Membuat tubuh berototnya terlihat jelas. Kalau saja Hu Tao sedang tidak panik, bisa bisa dia mimisan.

"Kak.. ini udah jam delapan lewat empat puluh empat..."

Xiao langsung kaget, melirik pada jam di ponselnya. Dan benar, jam delapan lewat empat puluh empat. Xiao menghela nafas kasar, bagaimana bisa dia kesiangan. Tangannya beralih menelepon Zhongli.

"Pah, bisa izinin kita berdua? Kita kesiangan. Pada kecapean belajar kayaknya.."

"Hm.. mungkin bilang aja kita ikut papah ke luar kota?"

"Oke pah, makasih."

Xiao mematikan ponselnya, "Oke, aman."

Hu Tao ikut menghela nafas lega. Dia heran bisa bisanya Xiao kesiangan. Jam berapa memangnya dia pulang ngeband semalam?

Lamunan nya buyar saat Xiao kembali bersuara, "Tao.. mau ke taman? Siangan. Mau?"

Xiao terlihat bersandar di pintu kamarnya, memejamkan matanya seakan takut akan jawaban Hu Tao.

"...boleh ajasih, kak."

"Oke, jangan lupa tutupin. Mata kamu sembab."

Hu Tao langsung kalap, ketahuan dong dia nangis semalam?tapi Xiao pun sama berantakan nya, terlihat rambutnya lepek, bau orang yang habis nangis.

"Kak Sho.."

"Ya?"

"Kakak nangis kenapa?"

Kali ini, gantian Xiao yang bingung harus menjawab apa. Gelagapan, Xiao tidak pandai berbohong. Dia hanya membalik badannya lalu turun ke lantai bawah, "Ngeband sampe jam dua belas malem, jadi ngantuk. Bukan karena nangis."

"Mangea?"

"Ea"

"Aowkaokw sinting kamu, kak."

"Aslinya sinting karena kamu, tao" gumam nya kecil, tak terdengar apapun dari posisi Hu Tao. Hanya terlihat Xiao tersenyum tipis. Hu tao malas menanggapi. Tapi matanya melihat bungkusan di meja tengah.

"KAK! ITU TAKOYAKI YA??!" Gadis itu spontan lari ke lantai bawah, mengejar takoyaki dingin yang dibeli semalam. Sudah pasti sudah tidak seenak semalam, kan?

"Nanti aku beliin lagi aja, Tao."

"Gak deh sayang, aku angetin dulu aja bentar ya. Kak sho gausah bikin sarapan. Aku angetin ini aja." Hu Tao mengambil alih dapur, tadinya Xiao mau buat sarapan yang simple. Tapi Hu Tao maunya takoyaki semalam ya ngikut aja Xiao.

Akhirnya Xiao mengambil alih bagian cuci piring, dia membersihkan cucian piring dengan telaten. Menyusunnya lalu menyusul Hu Tao yang sedang sibuk merapikan takoyaki yang sudah dipanaskan ke atas mangkuk besar. Porsi yang dibeli Xiao kemarin porsi untuk tiga orang, cukup untuk membuat mereka kenyang hingga siang.

Xiao membantu membawa teh dan camilan lainnya, berjalan keruang televisi bersama Hu Tao yang membawa takoyaki, tampaknya gadis itu lapar sekali.

Menyetel televisi dan duduk di sofa. Keduanya diam, entah kenapa kecanggungan ada diantara mereka.

Xiao benci ketegangan. Dia juga.. ingin meluruskan sesuatu. Tindakan abu abunya sebagai kakak atau kekasih ini, selalu membuat Hu tao tersiksa, kan? Setidaknya.. Hu Tao harus tau bahwa, mereka sama sama saling suka. Bagaimana akhirnya, semoga semuanya baik baik saja.

"Tao.."

Dia masih mengunyah,"Iya?"

"Maaf.."

Gadis yang biasanya berkuncir dua itu kini bingung, "Hah?"

"Tao, maaf karena ternyata hidup kita gak berjalan sesuai rencana atau keinginan kita dari kita kecil. Maaf karena kamu tiba tiba harus jadi adikku, maaf tiba tiba hubungan kita berubah jauh dari hal yang kita inginkan waktu kita kecil, Tao.."

"...."

"Tao, maaf aku terlalu abu abu. Aku selalu mencoba menjadi kakak yang baik untuk kamu, tapi ternyata.. aku cuma pecundang yang gak berani mengakui perasaanku sebenernya ke kamu."

"Tao jujur, aku takut kamu terpaku sama kata kata papa yang dulu bilang untuk selalu anggap aku kakak, tao.. panggilan kakak dari kamu menyiksa aku secara perlahan. Aku selalu bermimpi bisa menerima panggilan lebih dari kakak dari kamu walaupun kita memang beda setahun."

"Tao, aku dengar semuanya.. aku dengar semua rasa sakit kamu semalam. Maaf.. sedalam itu hal yang kamu sembunyikan dari semua orang termasuk aku dan papa.."

"...enggak bermaksud gitu kok...Aku.." Gadis itu terlihat makin kacau, dia bingung bagaimana caranya untuk menjelaskan apapun. Tangannya meremas baju dengan tidak tenangnya.

"Tao, Aku juga suka kamu."

"Bukan tentang apa yang aku dengar soal perasaan kamu ke aku semalam, Tao. Tapi sejak kecil, aku maunya kamu.. tapi keadaan kejam ke kamu saat itu.. aku selalu berpikir, setidaknya.. setidaknya aku bisa ada disekitar kamu kalaupun bukan sebagai pasangan kamu seperti yang kita harapin."

Perlahan tangan Xiao naik keatas, mengusap pucuk rambut Hu tao. Gadis itu menangis, terisak, "Maaf.. maaf aku malah suka kamu juga.. maaf ngebebanin kamu perasaan yang berat banget karena harus jagain aku sebagai adek.. cuma karena orang tua aku meninggal.. dan ...dan.. ngebuat om Zhongli harus.. adopsi aku.. maaf.."

"Ssh.. Tao, kematian orang tua kamu, dan pada akhirnya kamu diadopsi papah.. bukan salah kamu, jangan minta maaf ya.. gapapa, Tao.."

Melihat si gadis makin tenggelam dalam awan kelabunya, Xiao dengan sedikit gemetar mencoba menarik Hu tao ke pelukannya. "Soal papah.. biarin aku coba untuk bicara soal kita kedepannya.."

"Papa setuju sih." Zhongli berdiri di depan pintu rumahnya. Menatap pada kedua putra dan putri nya.

"Pa..?" Keduanya serempak. Langsung melepaskan pelukan mereka.

Zhongli hanya terkekeh, lalu berjalan mendekat.

"Berarti papah gak perlu jodohin kalian nantinya, toh kalian emang udah jatuh cinta dari kecil. Papah adopsi Tao juga, selain karena Tao anak teman dekat papah, itu karena.. Xiao anak papah.. cuma bisa diliat senyumnya ketika sama Tao.."

"Dan Tao, berarti berapa tahun kedepan, kamu bukan sekedar berstatus anak angkat papah, kamu bakalan jadi menantu papah, ahah.. papah udah rencanain ini dari kalian kecil sih.."

Zhongli melipat tangannya sambil melepas jam tangannya, mendekat kearah kedua anaknya mengusap mata Hu Tao yang basah

"Dua anak papah ..." Zhongli memeluk keduanya. Xiao mengusap matanya, memeluk Zhongli erat begitu juga Hu Tao.  Setelah pelukan dilepas, Xiao mendekat kearah Hu Tao dan menggenggam tangan Hu Tao.

"Berarti gak jadi ke taman dong ya?" Hu Tao protes. Sedangkan Xiao hanya mencubit gemas hidung merah muda Hu Tao.

Zhongli cuma geleng geleng. Kisah cinta anak muda, pikirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: