Chapter 3.1

Kata-kata yang dikeluarkan sang alpha asing tak dapat ia mengerti. Hutang?

Ia tak pernah sama sekali bertemu pria ini, lantas bagaimana dia bisa berkata memiliki hutang yang harus dibayar pada Naruto?

"Aku tidak mengerti," balas Naruto.

"Kau membebaskanku, tapi apa keuntungan yang kaudapat dari semua ini? Kau bilang kau berhutang padaku, sekarang justru aku yang berhutang padamu, bukan sebaliknya." Naruto masih bersikeras. Ia paham bahwa orang lain tidak akan bersikap baik padanya. Ia terus mencari cela dari semua hal baik yang coba diberikan untuknya.

Pasti ada agenda tersembunyi dari sikap pria tersebut. Membuat Naruto berhutang budi lalu memaksanya melakukan hal yang tidak ia inginkan, pasti itu yang akan dia lakukan.

"Kau salah paham, Naruto."

Bagian mana yang salah paham? Semua sudah terlihat jelas. Naruto membuang muka. Perasaan emosi yang tidak bisa ia sampaikan. Lebih tepatnya tidak boleh. Perkerjaan sebagai omega bayaran mematrinya agar selalu patuh dan tidak menunjukkan agresi sama sekali pada alpha yang menyewanya.

Lagipula, seorang alpha dengan penampilan menarik, aura yang kuat, serta diberkati kekayaan, seorang asing yang bisa memiliki apa saja justru membayar hutang Naruto dan membebaskannya. Semua terasa tak nyata.

"Lalu apa maumu? Tidur denganku?" untuk menunjukkan poin tersebut, Naruto mengeluarkan kemampuannya selama ini bekerja pada rumah bordil. Sekesal atau seemosi apapun dia, tetap bisa melakukannya.

Naruto menatap sang alpha, yang masih belum memasang jarak dengannya. Tangan omega blonde ini memegang dada berbalut kemeja. Kedipan manik biru dengan aroma menggugah khas omega menguar, merangsang agar pria ini berkata jujur. Bahwa dia di sini membutuhkan Naruto sebagai pelayan seksualnya.

Wajah pria itu menampilkan sebuah ekspresi, namun menghilang sekejap. Dia menggenggam tangan Naruto. Manik hitam yang tampak tegas mengucapkan kata-kata yang mengubah pandangannya.

"Aku membayar hutangmu bukan untuk tidur denganmu, Naruto. Aku membebaskanmu agar kau tidak lagi menjalani hidup yang tidak kaupilih."

Di saat itu jantung Naruto serasa diremas. Menjalani hidup yang tidak ia pilih? Ia memilih jalan ini dengan sadar bahwa tidak ada putar balik setelahnya. Ia mengorbankan semua dengan keputusannya sendiri.

Naruto menggertakkan gigi. Pantang menyerah untuk membongkar niat terselubung yang pasti disembunyikan. Ia lebih suka pada orang yang langsung mengejeknya di depan mata, ketimbang yang mempermainkan harapan seseorang demi menjatuhkan mereka.

"Namaku, Uchiha Itachi."

Seketika Naruto membeku. Nama Uchiha adalah hal yang membuatnya sangat sensitif. Uchiha yang membawa memori baik dan terburuk baginya.

"Jadi kau bagian dari mereka haha ... Aku tidak membutuhkan belas kasih kalian. Madam Mikoto pun tidak akan kuberikan." Mata biru memancarkan amarah setelah tertawa sarkastik.

Sejauh yang ia pikirkan tak sedikitpun terbesit bahwa Uchiha di balik semua ini.

Kini ia paham. Lagi, pemuda blonde itu tertawa sarkastik, pelan dan penuh emosi. Uchiha melakukan trik yang sama. Mereka ingin menghancurkannya lagi.

Naruto kemudian menarik tangannya dari pria alpha itu, lalu menaruh jarak di antara mereka.

Uchiha Mikoto merupakan sosok ibu yang menggantikan ibu kandungnya. Bahkan ketika semua orang menunjuknya sebagai jalang penggila harta, hanya Madam Uchiha yang mau mengulurkan tangan dan membujuknya.

Jika bukan karena beliau mungkin Naruto sudah mati .... Bersama anak dalam kandungannya.

Kenangan pahit itu menyakitkan. Menusuk hingga napasnya tak beraturan.

"Naruto?"

Harum menenangkan membungkus Naruto dalam dekapan hangat. Membantunya menormalkan napas yang tanpa disadari telah tercekat.

Ketika ia membuka mata, sosok pria asing itu tengah memeluknya. Dengan gelagapan Naruto mendorong dan menciptakan jarak di antara mereka.

Uchiha Itachi itu pun mundur. Menghormati keinginan omega pirang ini.

"Aku bukan bagian dari klan Uchiha. Namaku tak lagi bermarga yang sama dengan mereka. Aku hanya mengucapkannya agar kau tahu bahwa aku merupakan kakak kandung dari Sasuke. Aku tidak akan melukaimu seperti mereka."

Naruto bisa melihat kemiripan orang tersebut dengan mendiang Sasuke. Tapi, tetap saja. Uchiha tidak pernah berbaik hati pada siapapun.

Pria itu merogoh kantung, Naruto menegang berekspektasi bahwa dia akan mengeluarkan senjata dan mengancamnya untuk memberikan Madam Uchiha.

Tapi, ia salah.

Pria itu justru mengambil dompet, kemudian mengeluarkan sebuah foto di sana.

Mata biru Naruto membuka dalam keterkejutan. Empat sosok terpotret dalam foto tersebut. Ia bisa mengenali wajah Sasuke dan Madam Uchiha. Tapi, dua di antara mereka ia tak kenal.

Satu di samping Sasuke sudah jelas adalah pria yang kini berdiri tak jauh dari Naruto.

"Aku bisa mengajakmu ke rumah sakit untuk melakukan tes DNA jika kau masih tidak yakin."

Naruto merasakan tubuhnya panas dingin. Membayangkan Madam Mikoto harus pergi setelah putranya datang menjemput.

Uchiha Mikoto adalah pegangan terakhir Naruto di dunia ini. Jika ia kehilangan beliau, maka apa yang terjadi padanya nanti?

Anak atau bukan, Naruto ingin egois dan menahan sosok yang telah ia anggap sebagai ibu. Meskipun ia sering memanggilnya sebagai Madam Uchiha di dalam pikiran, tapi semua karena ia menghormati ibu dari Sasuke. Penolongnya di kala ia hancur dulu.

"Jika kau adalah kakak kandung Sasuke, kenapa kau tidak datang saat ibu Mikoto dalam kondisi buruk?" tuduhan Naruto terdengar kasar. Tapi, ia tetap tidak mau mundur. Ke mana Itachi saat Madam Uchiha diperlakukan bagai hewan di sana?

Di pasung, diteriaki, bahkan nyaris dibuang, jika bukan karena Naruto memaksa dan meyakinkan para Uchiha bahwa ia tidak akan mengusik mereka. Mungkin Madam Uchiha akan bernasib sama seperti Sasuke. Terkubur dua meter di bawah tanah.

Ia tahu bahwa tiap orang memiliki alasan berbeda. Apalagi dengan klan Uchiha yang merupakan keluarga kuat dari negara mereka. Bahkan Naruto sendiri sudah menjadi saksi biksu kekejaman klan satu ini.

Tetap saja. Ke mana Itachi saat ibunya benar-benar membutuhkan? Ke mana dia saat Sasuke mati tanpa ada pembelaan?

"Aku dalam kondisi tidak memungkinkan untuk menjaga ibuku. Dan, kau, Naruto, sudah melakukan hal yang penting bagiku. Karena itu aku berhutang banyak padamu." Itachi menatapnya dengan penuh keseriusan dan ketulusan yang menohok.

Naruto masih belum rela. Ia menatap nanar pada pria di depannya. Jadi membelinya dari Madam Hong adalah balasan karena telah mengurus ibunya.

Apakah dia tidak tahu berapa banyak pengorbanan yang Naruto lakukan?

Apa adil dia datang begitu saja dan mengambil satu-satunya pegangan kehidupan Naruto?

Harga dirinya, tubuhnya yang dirusak, waktunya, dan kasih sayangnya.

Apakah pria asing ini berharap bahwa Naruto akan begitu saja melepaskan semua itu?

"Tidak. Ibuku adalah tanggung jawabku. Di saat beliau menginjakkan kaki keluar dari klan Uchiha, kalian para Uchiha sudah tidak berhak padanya. Dia adalah Uzumaki Mikoto. Bukan Uchiha Mikoto!"

Amukan Naruto jelas tidak terkendali. Mata biru memancarkan kilat keemasan yang menunjukkan bahwa sisi omega dalam tubuhnya ikut teragitasi.

Tapi, pria itu tidak terpancing oleh sikap agresif Naruto, dia justru berkata dengan lembut, seakan mencoba menenangkan hewan yang sedang tersakiti, "Aku tidak akan mengambilnya darimu, Naruto. Tenanglah. Aku hanya ingin membebaskanmu."

"Dia memang ibuku, tapi dia juga ibumu. Kau sama berharga dengannya, Naruto. Aku tidak bermaksud memisahkan kalian. Aku tidak ingin menyakitimu."

Itachi terlihat akan mendekat, namun urung. Tangannya membuka menutup menahan agar tidak meraih omega blonde di depannya yang terlihat sangat stres saat ini.

Naruto menatap saksama pria tampan tersebut. Aura yang selalu dominan kini melembut. Perhatian yang ditunjukkan tidak terlihat palsu.

Pria itu lantas meletakkan sesuatu lagi di atas meja. Matanya masih menatap Naruto, memastikan pemuda blonde itu tidak pergi atau mengamuk.

"Apa yang ada di sini adalah milikmu. Itu kartu kredit dengan limit 100.000 gold per hari. Kau bisa menggunakannya sesukamu. Di sana juga ada ponsel dan kunci rumah ini. Kau boleh datang dan pergi sesukamu. Aku tak akan memaksa."

Itachi lantas melanjutkan, "Aku ingin kau menyamankan diri. Aku sadar telah berbuat semauku dengan semua perubahan ini. Aku tidak akan mengambil ibumu, tapi izinkan aku bertemu dengannya sekali lagi."

Warna keemasan dari mata Naruto mulai memudar. Namun, deruh napasnya masih tak keruan. "Kau akan membebaskanku untuk pergi atau menetap, jika aku membiarkanmu bertemu dengan Madam Mikoto sekali lagi?"

Itachi tak menjawab langsung, ia menatap dan menatap pada manik biru yang terus saja berusaha mencari kejelasan. "Aku hanya ingin kau bahagia kembali, Naruto. Jika bersama dengan ibumu, bisa menggapainya, aku akan melakukannya."

"Kau tidak ingin bertemu dengan ibumu?" sambar Naruto.

"Tentu saja aku ingin. Tapi, jika kau masih belum percaya padaku, aku tidak ingin memaksakannya. Bagi ibuku, aku mungkin sudah mati." Entah ucapan barusan benar atau bukan, tapi sudah cukup menyentuh garis kelembutan Naruto.

Kematian adalah hal yang paling sensitif baginya.

Alpha-nya mati, anaknya mati, bahkan ibu kandung yang selama ini merawatnya pun telah tiada.

Tidak dapat menemui sosok yang penting dalam hidup sebelum ajal menjemput, adalah penyesalan terdalam bagi Naruto.

Melihat ekspresi Itachi yang masih sama terkontrol, membuat Naruto ragu.

Alpha ini tampak begitu serius.
"Beri aku waktu," ia pun merespon pelan.

Naruto kesulitan menjelaskan apa yang ingin ia ungkapkan, bagaimana cara menyampaikan bahwa situasi mereka jauh melebihi apa yang orang asing ini kira. Rasa amarah yang sempat menyumut hatinya melemah.

Waktu. Ia ingin waktu untuk memutuskan apa semua aman. Apa Itachi akan melukainya atau tidak? Apa ia bisa dipercaya menjaga Madam Uchiha?

Orang lain tidak akan mengerti apa yang ia rasakan. Mereka hanya bisa melihat dari sisi jendela yang lain. Tanpa tahu bahwa setiap detik dari keputusan ini akan menghantui Naruto seumur hidupnya.

"Aku mengerti," pria itu menjawab sembari memberikan anggukan.

Tapi, Naruto masih belum yakin bahwa seorang Uchiha hanya menginginkan satu hal saja. Feromon yang diumbar alpha ini seolah menyatakan dia tertarik pada Naruto.
Harum feromon yang memabukkan dan nyaman saat ia hirup. Seperti dekapan yang diberikan tatkala ia terbawa oleh kenangan buruk tadi.

Naruto pernah beberapa kali menghirup aroma alpha dari kliennya saat mereka dalam gairah pergumulan. Namun, tidak seperti sekarang. Di mana aroma feromon Itachi lebih menenangkan bukan menggoda seksualitas.

Keduanya terdiam, sampai Itachi memutuskan untuk pergi dan memberikan Naruto kesempatan mencerna semua yang terjadi.

Satu kalimat, "Kau bisa memilih kamar yang manapun untuk beristirahat," dari Itachi menyentak Naruto untuk sadar bahwa dia terdiam cukup lama.

Alpha itu lantas benar-benar pergi dan menuju lantai atas.

Ketika kesunyian menyergap ruangan luas tersebut, rasanya segala pikiran bermunculan dalam kepala Naruto. Seakan ingin meledakkan otaknya.

Bukankah lebih dari dua tahun ia berharap seseorang mau mengulurkan tangan mereka dan membantunya keluar dari neraka dunia yang menjebaknya.

Lalu setelah itu terjadi, semua terasa tak nyata.

Alpha yang mengaku sebagai kakak Sasuke tersebut tampak mengerti sedikit mengenai apa yang dikawatirkan Naruto.

Mengingat Sasuke, hatinya kembali terasa sakit.

Ia tidak bisa berbohong, meski tujuh tahun berlalu sejak kematian Sasuke. Hampir delapan tahun sejak ia terakhir melihat wajah alpha tersebut, namun jati diri omega dalam tubuhnya masih menginginkan sang alpha dalam hidup mereka.

Mata biru tertuju pada dokumen yang Itachi letakkan di atas meja. Kebebasan serta harta yang diberikan tampak menggodanya.

Itachi mempercayakan semua hal berharga ini padanya.

Satu langkah yang tepat untuk membuat Naruto sedikit mengurangi sikap defensifnya.

Naruto pun mengambil berkas tersebut. Memeluknya erat sembari menengok kanan-kiri. Itachi mengatakan bahwa ia boleh memilih di manapun kamar yang dimau.

Naruto berjalan menyusuri lantai dasar rumah tersebut. Mendapati setidaknya tiga kamar, satu dapur, satu ruang makan, satu ruang tamu, dan ruang tengah.

Tentu Naruto mencari kamar tidur yang terdekat dengan arah pintu utama. Di lantai pertama, di mana jendela langsung menghadap pada kebun. Jika ia ingin lari, maka akses ini akan mudah baginya.

Naruto mengunci kamar tersebut. Lalu mendorong satu kursi yang ia lihat terdapat di depan sebuah meja kecil agar bisa menahan pintu.

Setelah merasa lebih aman, barulah Naruto menyusuri kamarnya. Mencari cctv tersembunyi atau penyadap lainnya.

Setelah tak ada, ia baru duduk di ranjang. Pikirannya berputar. Niatan untuk mengunjungi ibunya di rumah sakit tidak terlaksana. Ia tidak mau Itachi mengikutinya, meskipun tahu bahwa alpha itu bisa saja mendapatkan informasi tersebut dengan mudah.

Menenggelamkan wajah dalam kedua telapak tangan, Naruto mulai mengerangi nasibnya.

Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Matanya terpaku pada bekas luka dari kliennya sebelum ini. Merasakan rasa kotor yang lama tidak pernah muncul setelah ia menerima bahwa dirinya hanya seorang yang hina.

Hasrat ingin mengunjungi makam Sasuke muncul kembali.

Bahkan di saat seperti ini, yang ada dipikirannya adalah mantan alpha yang sudah tidak ada di dunia ini.

..........

Note:

Cerita ini sudah dibukukan.
PO nya akan berlangsung dari tanggal 18 Oktober sampai 18 November 2021.

Bersama dengan PO buku lain.

Harganya 150.000 (softcover, belum termasuk ongkir dari kota Cirebon, 360+halaman A5)

Jika berminat bisa langsung wa selagi PO masih dibuka :)

Terimakasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top