Selamat Tinggal Cintaku

Ditulis oleh: stellabloomix

Gemuruh petir di luar membuat aku semakin sulit untuk tidur.

Bayang-bayang kematian Faldri masih terus menghantuiku, aku ingin istirahat, tapi mimpi itu terus-terusan datang padaku. Mimpi ketika aku melihat nyawa takdir cintaku terenggut tepat di depan mataku.

Aku duduk, mataku menatap tembok kosong kamarku. “Aku lelah,” aku bergumam pelan.

“Eri.”

Aku menoleh ketika tiba-tiba aku mendengar suara Faldri, ujung mataku menangkap bayangan hitam yang berdiri di ujung kamarku, tapi ketika aku menoleh ke arah itu, bayangan itu menghilang. Aku mulai merinding, entah kenapa hawa di kamarku terasa semakin dingin.

“Ada apa ini?” aku berbisik pada diriku sendiri.

Sekilas aku melihat bayangan hitam melintas di belakangku, tapi lagi-lagi bayangan itu menghilang ketika aku menoleh. Suasana di kamarku semakin mencengkam, aku menutup mataku lalu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku dengan terus berpikir positif.

Ketika aku membuka mata, di depanku ada Faldri yang berdiri dengan tubuh penuh darah, ia menatapku dengan tatapan yang membuatku ingin menangis.

“Kenapa? Kenapa kau membiarkan aku mati?” Faldri bertanya dengan suara mengerikan.

Aku menggeleng. “Aku sudah menceritakan semua ramalan itu padamu, kau sendiri yang justru mengajakku berkencan!” aku berseru marah.

“Kenapa kau membiarkanku mati?!” Faldri berteriak marah.

“Itu bukan salahku!” aku ikut berteriak.

Sesaat kemudian aku mulai menangis, aku sendiri menyesali keputusanku hari itu, aku sendiri ingin memutar waktu dan menolak ajakanmu hari itu. 

“Kenapa kau marah padaku? Aku yang menderita sendiri di sini, kau pergi dan meninggalkan luka menganga di hatiku!” aku berbicara dengan suara pelan.

“Kau yang membiarkanku mati.” Faldri berbisik seakan dia mengutukku.

Aku memejamkan mataku dan berteriak sekuat tenaga, meneriakkan kekesalanku pada Faldri yang terus menyudutkanku. Ketika aku membuka mataku, aku mendapati diriku masih berbaring di kasurku dengan selimut yang menutup hampir seluruh tubuhku.

Perlu waktu beberapa detik sampai aku menyadari bahwa semua kejadian tadi hanya terjadi di mimpiku. aku tertawa, entah menertawakan diriku sendiri yang selalu mengalami mimpi yang sama, atau menertawakan kebodohanku yang tidak sadar bahwa Faldri tidak akan pernah mengatakan hal seperti itu.

“Aku merindukanmu,” aku berucap lirih.

Aku mengambil ponselku, membuka galeri dan terus menatap semua foto-foto Faldri yang kerap kuambil secara diam-diam.

“Ha, lama-lama aku bisa gila kalau begini terus.”

Aku mencubit diriku, mencoba memastikan kalau aku tidak terbangun dalam mimpi lain, dan aku bersyukur karena aku merasakan sakitnya cubitan itu.

Aku berdiri, keluar dari kamarku dan langsung ke dapur untuk mengisi perutku yang sudah berteriak meminta makanan. Aku tidak menemukan apa pun di dapur kecuali sebungkus mi instan, jadi, aku memutuskan untuk memasak mi instan saja.

Ketika aku sedang asyik memasak sembari bergumam ria, aku bisa merasakan seseorang berdiri di belakangku, dan hal itu tentu membuatku ketakutan setengah mati. Aku menoleh perlahan, dan ternyata tidak ada siapa pun di belakangku.

“Yang benar saja! Ada apa denganku sebenarnya!”

Aku kembali melanjutkan kegiatanku, yaitu memasak mi instan. Setelah matang, aku duduk di meja makan untuk memakan mi instanku, dan lagi-lagi aku bisa merasakan seseorang berdiri di belakangku dan menatapku. Aku kesal, jadi aku mengabaikan perasaan itu, tapi semakin lama, punggungku rasanya panas, membuat aku mau tak mau harus menoleh, dan lagi-lagi, tidak ada siapa pun di sana.

“Oke, aku lelah bermain-main, ayo tunjukkan dirimu!” aku berteriak frustrasi.

Hening, tidak ada apa pun yang terjadi, dan jelas saja ini membuatku semakin jengkel.

“Menjengkelkan!”

Aku kembali duduk dan melanjutkan makan, ketika aku selesai makan dan baru meletakkan piringku di wastafel, aku melihat sebuah bayangan seseorang berlari di ruang makan. Aku berlari ke ruang makan, tapi lagi-lagi tidak ada siapa pun di sana.

“Oke, siapa pun kau, keluarlah dan tunjukkan wujud aslimu!” 

Suara piring pecah di dapur membuatku berlari kembali ke dapur,  aku nyaris mengeluarkan kata-kata mutiara ketika melihat pecahan piring berserakan di lantai.

“Dia benar-benar main-main denganku!”

Aku kembali ke kamarku, mengambil jimat yang berada di lemariku, lalu aku memasang jimat itu di setiap sudut apartemenku.

“Kau mau bermain-main denganku kan? Rasakan jimat ini!” aku berbisik pelan.

Satu menit setelah  aku memasang semua jimat itu, aku melihat Faldri yang berdiri dengan tubuhnya yang penuh dengan darah.

Aku tertawa. “Aku bermimpi lagi?”

“Eri ...”

“Apa? Mau menyalahkanku atas kematianmu? Tidak mempan, aku sudah mengalami mimpi ini berkali-kali dan kali ini aku tidak akan jatuh ke dalam perangkap ini, lagi.”

Faldri mendekat, tangannya terulur lalu meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat. Tindakannya itu membuatku benar-benar kebingungan.

“Apa ini? Kenapa mimpinya berbeda?”

“Karena ini bukan mimpi.” Faldri menjawab pertanyaan yang sejujurnya aku berikan pada diriku sendiri.

Aku tertawa hambar. “Jangan mengada-ngada, kalau bukan mimpi lalu apa? Kau ini sudah mati, jadi tidak mungkin kau datang padaku kalau bukan lewat mimpi.”

“Entahlah, aku sendiri tidak tahu kenapa aku masih di sini.”

“Tunggu-tunggu, jadi ini benar-benar bukan mimpi?”

Faldri menggeleng. 

Aku panik, aku kemudian menarik tanganku dari genggaman Faldri dan mencoba mencubit pipiku sendiri.

“Sakit,” aku bergumam pelan.

Aku menatap Faldri dengan tatapan horor, aku kemudian berteriak dengan keras, “Hantu!”

Faldri tampak terkejut, lalu ia tertawa. “Benar juga, aku ini hantu ya?”

“Jangan tertawa! Tawamu terdengar mengerikan!” aku berseru takut.

Faldri menghentikan tawanya, ia berdehem pelan. “Maaf.”

“Kenapa? Kenapa kau masih di sini?” tanyaku pelan.

“Aku juga tidak tahu,” jawab Faldri.

Aku maju, tanganku mencoba menyentuh wajah Faldri, dan anehnya aku bisa menyentuhnya, aku bahkan bisa membersihkan darah dari wajahnya.

“Kau menemuiku dengan wujud menyeramkan ini? Kau jahat,” bisikku.

“Maaf,” balas Faldri.

Aku menatap Faldri beberapa saat, kami saling menatap dalam diam. Aku mengutuk takdir yang dengan kejamnya memisahkan kami secepat ini.

“Apa masih ada yang mengusikmu?” tanyaku tanpa sadar.

Faldri tersenyum. “Ada.”

“Apa?”

“Kamu, aku takut kamu sedih, aku tahu kamu akan terus menyalahkan dirimu atas kejadian ini,” jelas Faldri.

Aku terdiam sejenak. “Mungkin ... itu yang membuatmu masih berada di sini, kekhawatiranmu menahan jiwamu di dunia ini.

Faldri terdiam sesaat kemudian berseru, “Kau jenius!”

Aku tersenyum bangga, tapi kemudian aku menyadari bahwa aku sedang berbicara dengan hantu, dan hal itu tentu saja membuat senyumanku memudar.

“Berhentilah mengkhawatirkanku, aku baik-baik saja.” Aku mencoba membuat kekhawatiran Fladri menghilang.

Faldri tertawa, tawa yang jelas bisa diartikan dengan tawa mengejek, entah mengejek diriku atau mengejek kemampuan berbohongku.

“Wajah lelahmu itu cukup meneriakkan bahwa kamu sangat tidak baik-baik saja!”

“Aku hanya mengalami mimpi buruk, itu saja!” seruku membela diri.

Faldri kembali tertawa, membuatku semakin kesal padanya.

“Itu artinya kau tidak baik-baik saja,” ucap Faldri.

Aku menunduk, iya, aku tahu aku tidak baik-baik saja. Bagaimana aku bisa baik-baik saja jika takdir citaku terbunuh tepat di hadapanku? Semua orang yang berada di posisiku juga pasti akan mengalami stress, depresi dan banyak gangguan lainnya. Aku sendiri merasa baik-baik saja karena setidaknya aku masih mencoba untuk terus melanjutkan hidupku.

“Bukan salahmu.” Faldri berucap tiba-tiba.

“Apanya?” tanyaku bingung.

“Kematianku bukan salahmu, bagaimanapun kita berlari, kematian adalah hal yang pasti. Jalan hidupku memang ditakdirkan untuk berhenti di sini, tapi jalan hidupmu masih panjang, kau tidak boleh menyia-nyiakannya dengan penyesalan yang tidak ada gunanya ini. Penyesalanmu tidak berdasar, kau menyesal karena menerima ajakan kencanku? Itu tidak masuk akal, kau sudah berhasil membuat sisa hidupku jadi terasa menyenangkan, jadi, apa lagi yang kau sesali. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, ayo bangkit dan kembali melangkah ke depan, lupakan yang sudah terjadi, simpan baik-baik semuanya di hatimu, jadikan pelajaran, jangan jadikan kejadian ini sebagai penghambat untuk langkahmu.”

Baiklah, dia berhasil membuatku menangis, setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat aku ingin memeluknya.

“Maaf, maafkan aku.”

“Sudah kubilang, jangan minta maaf, ini bukan salahmu. Yah, sebenarnya ada satu hal yang bisa kau lakukan untukku kalau kau memang benar-benar mau minta maaf.”

Aku menatap Faldri dengan tatapan berbinar. “Apa itu?”

“Berbahagialah.”

“Ha?”

“Eri, berbahagialah.”

Aku tersenyum, mencoba untuk mengendalikan tangisanku. “Oke.”

“Janji ya, jangan menangis lagi.” Faldri mengacungkan jari kelingkingnya.

Aku menyambut jari kelingkingnya, membuat janji pada lelaki yang kucintai itu. “Aku janji.”

“Baiklah, sekarang aku jadi merasa tenang.”

Aku mengusap air mataku, saat itulah aku menyadari bahwa tubuh Faldri mulai transparan, aku sadar bahwa sudah waktunya bagi Faldri untuk pergi.

“Selamat tinggal, Eri,” ucap Faldri pelan.

Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis.

“Selamat tinggal, Faldri.”

Faldri menghilang, dia benar-benar pergi, dan kini aku benar—benar sendiri. Aku menutup mataku, semua kenangan indah yang aku lalui bersama Faldri kembali terbayang di ingatanku, kenangan-kenangan itu terus berputar lagi dan lagi dalam ingatanku, membuatku tersenyum dengan air mata yang mengalir deras.

“Aku tidak menangis, aku tersenyum,” bisikku mencoba melucu.

Aku membuka mataku, mengusap jejak-jejak air mata di pipiku. Aku berdiri, hatiku bertekat untuk maju, aku tidak akan melupakan semua kenangan ini, aku hanya akan menguncinya dalam hatiku, membiarkannya tetap tersegel dan menempatkannya di tempat paling spesial dalam hatiku.

“Faldri, mari bertemu kembali di kehidupan selanjutnya dengan takdir yang berbeda, mari kembali menjadi pasangan yang bahagia di kehidupan selanjutnya.”

Aku berlari ke kamar, mengemasi semua barang-barangku yang mengingatkanku pada Faldri, menyimpannya dalam satu kotak, kemudian menaruhnya di bawah tempat tidur. Aku mengubah semua tatanan kamarku, mencoba untuk memulai awal yang baru.

Kisahku dengan Faldri sudah usai, ini saatnya aku untuk menutup buku kisah ini dan membuka lembaran baru di buku yang baru. Kisahku dan Faldri memang berakhir tragis, tapi ini membantu diriku untuk menjadi dewasa, membantuku membangun kehidupan yang baru, tanpa Faldri, hanya aku dan hatiku yang akan selalu terkunci, menunggu kemungkinan seseorang yang akan membuka kuncinya suatu saat nanti.

“Faldri, selamat tinggal, dan untukku, selamat menempuh hidup baru.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top