Maaf, Aku Datang Terlambat, Kak.
Ditulis oleh: pinnavy
"Hei!"
Anak itu lagi.
Ini terhitung ketiga kalinya dia mengutil barang jualanku di toko barang antik. Sebenarnya cuma barang remeh seperti penggaris kayu berkarat tiga puluh senti, mangkuk saus yang warna merahnya pudar, serta barusan gantungan kunci kecil berbandul semanggi.
Tiga benda tersebut termasuk barang termurah di tokoku. Cuman tetap saja semurah apa pun itu dia harus membayarnya!
Dia salah satu muridku. Seusia dengan Eriana, keponakanku. Tapi aku bersumpah tidak akan pernah membiarkan mereka berteman!
Aku mengibaskan-ngibaskan tangan, memedamkan gerah sekaligus amarah. Tempat sepi pengunjung ini tampak semakin menyedihkan saja kebobolan sebagian barangnya karena ulah anak kecil. Lain waktu aku harus melaporkannya pada polisi.
Aku berjalan keluar pintu toko, melihati sekitar. Harusnya aku tahu di mana anak itu tinggal.
Kemudian aku terjengkang akibat tak sengaja tersandung sebuah kotak paket yang tergeletak di depan tokoku. Aku langsung memencak-mencak. "Sialan. Siapa yang menaruh benda ini di sini!"
Tak ada yang menyahut sebab wilayah sekeliling tokoku memang selalu sepi. Kenapa pula toko ini harus berada di daerah sunyi begini! Ya tidak mungkin akan seramai gerai toserbalah. Omong-omong kakak perempuanku yang mewariskannya padaku setelah dia meninggal karena suatu penyakit. Jadi intinya keberadaan toko ini bukan atas inginku.
Kuamati benda kotak tertutup kertas pembungkus tersebut dari atas. Nama penerimanya ... Miguel Lavardo. Aku?
Aku tidak ingat pernah memesan barang dari siapa pun. Atau mungkin barang untuk toko?
Benda itu lalu kubawa ke dalam, merasakan beratnya yang lumayan.
Meletakkannya di atas meja kasir, mengambil gunting untuk membukanya, dan tersuguhlah sebuah kotak lain yang pinggirannya berhiaskan batu permata palsu. Aku mengerutkan kening, merasa ada yang ganjil.
Kukeluarkan kotak itu dari kotak yang mengelilinginya, memerhatikannya lebih dekat. Memang tampak seperti barang antik yang biasa dijual di toko ini. Tetapi sekali lagi aku merasakan sesuatu yang tidak biasa dari benda itu.
Kotaknya kuletakkan di sebelah kotak paket. Kemudian dengan rasa penasaran setinggi Gunung Everest, aku membuka kotak aneh tersebut dan hanya mendapatkan sebuah surat di dalamnya.
Itu saja?
Namun kenyataannya kotak tersebut memang tidak normal. Surat yang ditulis di sana berisi pesan dari almarhumah kakak perempuanku.
'Kau akan berjumpa denganku di suatu Labyrinth Box pada malam Selasa yang dingin dan berangin. Tertanda, Mikha Lavardo.'
Kakak?
Pada saat itu pikiranku sepenuhnya telah teralihkan oleh isi surat yang langsung kuyakini pengirimnya memang kakak perempuanku—tulisan tangannya serupa.
Kak Mikha meninggal lima tahun lalu. Aku tak sempat mengucap kata-kata terakhir untuknya karena kala itu aku sedang fokus dengan studiku. Dan surat itu menyatakan aku bisa menemuinya di Kotak Labirin?
Aku yang selalu berpikir memakai logika pun entah mengapa tak bisa dihentikan. Kepalaku seolah terhipnotis dalam keadaan sadar dan aku merasa tak apa.
Aku akan menemui kakakku.
Selasa yang dimaksudnya adalah tanggal 7 Juni. Kurasakan udaranya memang mendingin dan aku langsung bersiap menutup toko ketika gelap telah menghampiri langit kota.
Labyrinth Box. Kotak Labirin. Kotak. Apa ukurannya akan sekecil kotak perhiasan atau sebesar kardus televisi? Terlebih, apa aku bisa menemukannya?
Aku menemukannya.
Terhampar dengan ganjil dan mendadak di tengah jalan bebatuan yang tengah kususuri. Lampu jalan menerangi bagian atasnya dengan kurang maksimal.
Kota ini perlu direparasi.
Keberadaan paket dan surat itu saja sudah tidak biasa. Namun langkahku yang mendekat kian memupuk harapku bertemu dengan kakak perempuanku.
Aku mendekat. Meraih kotaknya dengan dua tangan, lalu yang kutemui selanjutnya adalah kegelapan.
Tapi itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Setelahnya, mataku langsung menyesuaikan dengan keadaan di dalam.
Sebuah labirin. Kotak Labirin. Tidak aneh.
"Kakak?"
Kutelusuri labirin tersebut dalam kondisi setengah sadar. Menapaki langkah demi langkah menuju pertemuan pertama dengan kakakku setelah lima tahun. Aku ingin bicara padanya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin memberitahunya tentang Eriana yang selalu merindukannya di setiap malam yang sepi akan kasih sayang seorang ibu.
'Paman. Bukankah kotak ini terlihat seperti kotak pandora?'
'Kau bicara apa, Eriana.'
'Kalau tidak salah kotak pandora itu biasanya berisi hal-hal buruk untuk manusia kan, Paman?'
Kotak pandora?
Kuhentikan langkah di tengah-tengah persimpangan dinding-dinding yang menjulang tinggi. Tak ada apa pun yang kutemui di sini selain dinding, jalanan berbatu di bawahku, dan diriku yang terus melangkah ke sana kemari mencari seseorang yang kuyakini memang ada di tempat ini.
Benarkah Kakak ada di sini?
Kotak pandora?
Kotak ... teror?
'Tapi tidak semuanya buruk sih, Paman. Ada harapan yang tersisanya juga.'
'Maksudmu?'
'Meski kotak pandora telah terbuka, masih ada segenggam harapan yang bisa kita raih.'
Oh, astaga.
Bisa-bisanya aku diajari oleh keponakanku sendiri.
Profesi guru ada memang untuk mengajari suatu pelajaran pada sekumpulan murid. Tapi bukan berarti kami sempurna begitu saja hingga tidak bisa diajari atau belajar dari murid didiknya. Seperti kasusku ini, saat akal sehatku lenyap karena surat misterius yang kuyakini pengirimnya adalah kakak perempuanku yang telah lama meninggal, aku melupakan hal-hal masuk akal lain yang harusnya terpikirkan olehku sebelum melibatkan nyawaku pada sesuatu yang tak pasti.
Dan omongan keponakankulah yang menyelamatkanku dari marabahaya maut ini.
Bagaimana aku bisa keluar? Apakah harapan itu masih ada?
Aku berlari-lari lagi dengan segenap tenaga yang tersisa dan kewarasan yang kudapatkan kembali. Pasti, labirin ini pasti ada ujungnya. Atau sesuatu lain yang terlihat untuk dijadikan petunjuk jalan keluar.
Harapan itu ada menjadi sisa-sisa dalam keburukan yang disebabkan kotak pandora.
Ada.
Ada setoples bening terlihat dari kejauhan; warnanya terwujud sangat berbeda dari kebanyakan gelap dan suram yang indra penglihatanku tangkap.
Setoples bening.
Aku yang terengah kemudian menghampiri benda berkilau itu. Setelah posisiku dekat dengannya, di dalamnya terdapat permen-permen yang biasa anak-anak beli dengan sisa uang jajannya.
Aku mengerutkan kening, merasakan keganjilan lagi saat kutemukan pula sebuah surat di dalamnya.
Surat apa lagi ini? Peniru kakakku yang lain?
'Aku ingin menemuimu. Makanlah salah satu permen ini untuk sampai ke gerbang itu. Ini adalah ramalan mimpi. Apa yang kau mimpikan nanti akan menjadi kenyataan. Kakak sayang padamu. Tertanda, Bebek Kolam.'
Bebek Kolam. Bebek Kolam. Bebek Kolam.
Kenapa aku percaya begitu saja pada Mikha Lavardo yang sangat mungkin orang lain tiru? Sementara Bebek Kolam, hanya aku dan kakakku saja yang mengetahui julukan tersebut—julukan yang kuberi untuknya ketika kami kecil dulu.
Tangan masih menggenggam carik kertas surat, segalanya di sekitarku tiba-tiba berubah. Awalnya bercahaya sampai membuat silau. Kemudian kakiku kembali menapaki jalan bebatuan tempat Labyrinth Box tadi kutemukan. Dan toples bening berisi permen-permen tersebut juga masih diriku genggam, tak ikut menghilang dengan eksistensi Kotak Labirin.
Sekarang, apa aku bisa memercayai surat ini untuk bertemu dengan Kakak?
Bisa.
Karena sedari awal itulah harapan yang tersisanya.
Maka aku pun memakan permen tersebut dan bermimpi di malam harinya.
Masih berupa labirin. Tetapi kali ini auranya memancarkan terang yang membuat tubuhku seperti tetiduran di atas awan-awan.
Rasanya seperti di surga.
Di mimpi tersebut, yang kutahu tempat itu bernama Labyrinth Door. Tetapi aku tidak bertemu kakakku. Aku keburu bangun dan seketika langsung berteriak ke temaramnya kamarku saat itu.
"Kapan sih aku bisa bertemu denganmu, Kak!"
Aku tak boleh putus asa. Aku hampir menemukan garis finisnya.
Kakak bilang permen itu ramalan mimpi. Ramalan yang akan menjadi kenyataan.
Jadi aku hanya perlu mencari keberadaan Labyrinth Door itu, kan?
Tanpa menunggu waktu lagi sehabis sarapan, aku pergi ke jalan bebatuan tempat aku menemukan Kotak Labirin. Pintu Labirin pun pasti ada di sana, kan?
Setelah sampai, akhirnya aku bisa bernapas tenang.
Kali ini jelas memang bukan kotak. Tetapi pintu. Pintu yang sejujurnya terlihat ganjil seperti dalam film Monster Inc.
Senyumku terulas lebar kala peganganku di kenop pintu tersebut membuat pintunya terbuka.
Segelintir cahaya lagi. Labirin yang berjejer lagi. Dan aura yang menghangatkan itu lagi seperti yang kurasakan dalam mimpiku.
Toples permen itu sepertinya mengandung sihir.
Dengan langkah mantap seolah jalur-jalurnya telah otakku kuasai, aku menyusuri labirin tersebut menuju perjumpaanku dengan kakak perempuanku.
Kemudian.
"Kau terlambat, Miguel."
Kupikir aku memang sedang berada di surga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top