I Don't Wanna Date You

Ditulis oleh: pinnavy

Putus cinta kedua belas. 

Duh, kenapa aku menyukai cowok ini? 

Faldri datang ke toko barang antik pamanku membawa wajah muramnya yang penyebabnya hanya karena satu hal; putus cinta. 

Putus cinta kedua belas. 

Bukannya dia selalu curhat padaku setiap putus cinta atau membuntuti setiap obrolannya bersama teman-temannya, aku hanya tahu saja, dan ini tidak bisa dijelaskan. 

Faldri mengembuskan napas panjang, menerbangkan rambut bagian depannya. Punggungnya tersandar di dinding kaca sebelah pintu masuk, depan meja kasirku—juga meja bacaku. Satu detik melihat ekspresi wajahnya saja, aku tak perlu menanyakan apa yang terjadi dalam hidupnya hari kemarin, kemarin lusa, atau kemarin-kemarinnya lagi. 

Karena pasti satu hal. 

"Sejak kapan cewek tidak suka ditraktir makan?" Bibirnya manyun, hampir menyedot seluruh perhatianku dari buku bacaanku. Aku harus tetap cuek. "Ketika kau punya uang dan cowokmu menyerahkan dompetnya ke kasir restoran, apa kau akan menghentikan aksi cowokmu itu, Eriana?" 

Kuduga Faldri memaksa membayar sendiri bill kencan pertamanya bersama si mantan pacar kedua belasnya. "Sebagian dari kami memang tidak suka ditraktir makan. Kau cuma tidak beruntung mendapat salah satunya, Fal." 

Termasuk aku. Tidak suka ditraktir makan. 

Tapi aku akan mengenyahkan prinsipku tersebut jika berada dalam kondisi berkencan dengan Faldri—yang tidak mungkin terjadi karena dia tidak menunjukkan tanda-tanda menyukaiku sebagai lawan jenis, bukan penjaga toko barang antik seberang kediamannya yang kebetulan seumuran. 

Iya, aku sudah memendam perasaan suka ini selama setidaknya dua tahun, sejak bulan ketiga aku menerima tawaran pekerjaan sambilan menjaga toko barang antik pamanku. 

Yang ternyata tidak membosankan karena aku sering bertemu Faldri. Kami berteman walau tidak sesekolah.

"Kapan ya aku bisa bertemu soulmate-ku?" 

Aku terpaku pada kata pertama halaman buku yang baru kubuka, sepenuhnya telah kehilangan fokus membaca. 

"Kenapa hubunganku selalu tidak pernah awet?" 

Aku tidak menganggapnya bicara padaku, jadi aku tetap diam dalam keadaan mematung. 

"Eriana. Hei, kenapa diam saja?" 

"Aku punya benda sihir." Yang keluar begitu saja dari mulutku dengan pikiranku yang masih kosong. Ya ampun, terkutuklah! 

Faldri mengedip-ngedipkan mata. "Benda sihir?" 

Aku harus mencari alasan. "Tidak, lupakan." 

Cowok yang sedari tadi diam nyaris menghalangi pintu masuk tersebut, kini meluruskan bahunya, menghadapku. Pandangan matanya kelihatan penasaran. "Mana?" 

Terlambat. Kemampuan berbohongku benar-benar payah. 

Aku mengembuskan napas, menutup buku pada pertengahan bab. "Kau harus merahasiakannya dari siapa pun." 

"Iya. Cepat tunjukkan padaku." Kalimatnya mendesak dan terkesan kurang serius menanggapi permintaanku. 

Namun kubiarkan saja sambil melangkah ke bagian sudut toko; tempat aku menyembunyikan benda sihir tersebut. 

Sebuah toples bening berisi permen-permen manis kesukaan anak-anak. Aku membawanya ke hadapan Faldri, yang langsung cowok itu sambut dengan muka terkagum. 

"Ini bendanya?" 

Sudah jelas, kan? 

Aku melipat lengan. "Ramalan mimpi," kataku. "Ramalan yang datang melalui mimpi." 

"Terus?" 

"Jangka waktunya bisa besok, pekan depan, atau sepuluh tahun mendatang. Yang jelas ramalan ini ketepatannya 99,9 persen." 

"Terus?" 

"Ya kau ingin bertemu soulmate-mu, kan?" Jantungku berdegup kencang. "Dia akan muncul di mimpimu ketika kau memakan salah satu permennya." 

"Sungguh?" Ada binar kebahagiaan di bola mata cokelatnya. 

Tanpa kujawab dengan anggukan, Faldri membuka tutup toplesnya, mengambil permennya satu, kemudian tersenyum padaku. 

Senyum paling cerah yang pernah dia beri untukku. "Thanks. Aku akan membayarnya dengan apa pun jika perkataanmu terbukti benar." 

Lalu dia pergi, menyisakan debar lebih hebat dari debar-debar sebelumnya. 

Mulai besok, dia akan tahu tentang perasaanku. 

Mulai besok, tidak akan ada lagi obrolan santai antara dirinya dan aku.

Dan mulai besok, segalanya akan berubah di antara kami. 

Karena di mimpinya yang akan datang itu, dia akan berjumpa denganku.  

Karena aku adalah soulmate-nya. 

Faldri datang besok sorenya. Yang pertama kusadari adalah senyum canggungnya. 

Dia mengusap leher di depan meja kasirku. "Boleh aku minta permennya satu lagi?" 

Tanpa obrolan lain, kuberikan dia permen ramalan itu. 

Faldri datang lagi minggu depannya. "Permennya masih ada? Ini akan menjadi yang terakhir, aku janji." 

Padahal berapa pun yang dia minta aku akan kasih. 

Faldri datang lagi tiga hari kemudian. Tetapi itu berdasar pemberitahuan pamanku. Aku tidak pergi ke toko karena demam selama dua malam.

Lalu akhirnya, pada Sabtu sore yang lumayan dingin sehabis gerimis, pintu di depan meja kasirku terbuka, menampilkan sosok pemuda yang semalam kumimpikan karena memakan permen ramalan. 

Faldri langsung menoleh. Dan pada pandangan pertama itu, aku tahu segalanya telah benar-benar berbeda. 

Cowok itu mendekat, aku memundurkan langkah, gugup setengah mati. 

"Eriana." 

Aku semakin kehilangan fokus ketika namaku dia sebut. Rasanya jauh berbeda dibanding dulu-dulu. 

"Sudah ... sejak kapan?" 

"Sebelum aku bertemu denganmu." 

Aku menemukan toples permen di bulan kedua mulai aku berjaga di toko barang antik ini. Melalui mimpiku, ada pemuda asing yang mampir ke toko hanya untuk menanyakan jalan. Kemudian dia datang lagi untuk alasan aneh lain; bertanya di mana toko hewan peliharaan terdekat, apakah aku menemukan gantungan kunci semanggi yang terjatuh di jalan, hingga akhirnya bertanya di mana aku sekolah. 

Satu bulan setelah memimpikan hal tersebut, aku bertemu Faldri. Dan kejadian-kejadian yang kusebutkan barusan benar-benar terjadi. Aku langsung mengaitkannya dengan permen manis yang kumakan dari toples bening yang kutemukan di sudut toko barang antik. 

Sebenarnya aku juga memerlukan beberapa kali percobaan untuk meyakinkan diriku mengenai hal aneh ini. 

"Terus, kenapa kau mengaitkannya dengan soulmate?" Wajah Faldri memerah saat menanyakannya.

"Kau sudah bermimpi itu?"

"Apa?" 

Aku ragu mengatakan ini. "Aku pernah bermimpi. Kau ... melamarku di masa depan." 

Astaga! Apa-apaan aku ini. 

Faldri tersekat. Dia seperti kehilangan reaksi dan hanya terus memandang ke samping saja. 

"Benar ternyata." 

"Apa?" 

"Aku juga memimpikanmu." Faldri menjelaskan dengan suara pelan. "Selama tiga kali aku memakan permen itu, aku bermimpi tentang kita yang ... menjalin hubungan." 

Aku tak mampu berkata-kata. 

"Mimpi pertama, aku menyatakan cinta padamu. Mimpi kedua, aku datang ke sini tapi kau tidak ada karena demam. Dan mimpi ketiga," Faldri semakin memalingkan pandang, "kita ... berpelukan di—"

"Hentikan." 

Kenapa dia membeberkannya sejelas itu! Aku kan jadi malu. 

"Kau memimpikan itu juga?" tanyanya. 

"I-iya." 

Melalui pandangan menundukku, dia meletakkan tangannya di atas meja kasir, tempat aku biasa meletakkan siku untuk membaca. "Kenapa kau tidak bilang kalau kau menyukaiku, Eri?" 

Eri? 

Eri? 

"Kau kan doyan berpacaran sampai dua belas kali." Itu memang jawaban jujurku. 

"Itu karena aku merasa tidak mampu mendekatimu, Eri. Jadi aku melampiaskannya pada cewek lain." 

Aku tercengang. "Tidak mampu mendekatiku?"

"Pamanmu. Pamanmu adalah wali kelasku saat SD. Beliau tidak suka padaku karena aku anak yang bandel. Dan aku sudah merasa segan duluan untuk mendekatimu." 

Apa ada alasan semacam itu?

"Maaf. Aku memang ... payah." 

Mengetahui fakta itu, harusnya aku merasa lebih percaya diri lagi. Dan berani mengambil inisiatif duluan. 

Setelahnya, meski tahu perasaan masing-masing, tidak lantas kami langsung menjalin hubungan. Walau begitu, Faldri menjadi lebih sering berkunjung ke toko. Dari sore sampai malam. Sementara di hari libur dia sudah datang sejak pagi harinya. 

Kami menjadi lebih dekat dari sebelumnya. 

Karena kami adalah takdir. 

Tetapi kebahagiaan hanya bertandang sebentar ke kediaman hubunganku dan Faldri. 

Pada suatu Selasa yang menggerahkan di saat Faldri tak datang ke toko karena ada pertandingan olahraga yang dijalaninya, aku memakan permen ramalan itu, iseng. 

Namun seharusnya aku tak pernah memakan permen itu lagi. Untuk apa? Aku dan Faldri telah saling menyatakan perasaan masing-masing walau secara tak langsung. 

Aku bermimpi buruk. 

Di mimpiku itu, Faldri meninggal tertabrak mobil sedan di hari kencan pertama kami.

"Kapan kita bisa berkencan?" 

Aku membeku. 

Faldri menatapku dari tempatnya berdiri di depan meja kasir. "Hm? Aku ingin kita jalan-jalan berdua denganmu menyusuri kota ini, Eri." 

"Tidak," gumamku, "tidak akan pernah ada kencan."

"Kenapa?" Dia terkejut. 

Ragu sejenak, berkutat dengan pikiran mengenai ramalan mimpi yang buruk, aku memutuskan untuk bungkam. 

Tetapi di tengah lamunku tersebut, Faldri tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, di dalam meja kasirku. "Kenapa, Eri? Apa yang mengganggu pikiranmu?" Tangannya merangkul pinggangku. 

Lalu tahu-tahu saja aku menangis. Faldri langsung memelukku dan aku membenamkan tangisan di dadanya. Untuk sementara waktu, aku membiarkannya berada dalam ketidaktahuan. 

Kemudian, tak punya alasan diam lagi, sedikit yakin ramalan itu bisa saja salah, aku pun menceritakannya padanya. 

Namun Faldri tak memberi reaksi apa pun begitu aku selesai bercerita. "Oh. Ya sudah."

"Ya sudah apa?" 

"Ya sudah kalau aku meninggal." 

"Tidak bisa begitu!"

"Eri." Faldri menangkup pipiku. "Semua manusia pasti akan meninggal." 

"Tapi ...." Bibirku bergetar. "Aku tidak mau cepat kehilanganmu. Aku ... belum melihat kau melamarku." 

"Ya sudah di sini saja." 

Mulutku mengeluarkan 'eh' pelan. 

Di balik meja kasir yang agak sempit itu, Faldri berlutut di depanku seperti cowok-cowok dewasa yang akan melamar kekasihnya. 

Dia mengambil sebelah tanganku sambil tak henti-hentinya memberiku senyuman manisnya. "Eri, aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku ingin kau menjadi selamanya aku." 

Air mataku kembali jatuh. 

Adegan ini .... Ini yang terjadi di mimpiku. 

Adegan lamaran itu. 

Aku ingat memang tak ada cincin di dalamnya. 

Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak. Jangan sekarang, Fal. Jangan mengajakku berkencan." 

Namun Faldri hanya tersenyum saja. Dia berdiri, kedua tangannya di sakunya, kemudian mencium pipiku. "Sabtu depan, kita kencan, yuk?" 

Aku marah pada Faldri selama berhari-hari. Menghindarinya di toko, tidak membalas pesan-pesannya, tapi aku berpikir lagi. 

Ini masa-masa terakhir Faldri. Aku tidak mau mengisinya dengan ketidakbahagiaan. 

Tapi jika Sabtu nanti aku tidak datang, Faldri tidak akan meninggal, kan? 

Aku hanya perlu tidak datang, kan? 

Namun entah dengan dorongan apa, pada Sabtu pagi yang luar biasa cerah, aku menemukan diriku sedang merias wajah di depan cermin kamarku. Hampir semua ramalan mimpiku telah terjadi kecuali berpelukan dan Faldri—oke, lupakan. 

Kalau kami memang menjadi takdir, dan kalau takdirnya Faldri meninggal hari ini, mau seberapa keras pun aku mempertahankan hubungan ini, takdir akan memilih takdirnya sendiri. Dan mimpi hanya akan menjadi mimpi. 

Aku harus menghadapinya walau dengan kesedihan seribu kilogram sekali pun. 

Di kencan pertama kami itu, kami bersenang-senang. Melakukan kegiatan yang biasa dilakukan sepasang kekasih, tertawa, bercanda, berpikir akan ada hari esok untuk kami, segalanya terasa baik-baik saja. 

Tapi takdir sudah memilih takdirnya. 

Di hari kencan pertama kami, terduga seorang pengemudi sedan ugal-ugalan karena mabuk melintas melewati kafe tempat dua orang insan sedang berkencan. 

Kemudian sedan itu berhenti setelah menabrak seorang pemuda yang menyeberang terlalu cepat. 

Diketahui pemuda itu bernama Faldri Alexander. 

Takdir cintaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top