Aku Juga Berhak Bahagia, Maka Biarkan Aku Melawan Takdir!

Ditulis oleh: Orekasa  (aku sendiri)

Sebetulnya tiap malam di villa tengah pulau ini mempunyai keindahannya tersendiri. Namun, malam ini sangat berbeda. Bintang sedang bersinar dengan terang benderang di malam yang menggelap, Faldri menyalakan lilin-lilin di meja sebelah kasur dan mematikan lampu. Membuat suasana romansa klasik dalam keremang-remangan.

"Kenapa, Eri? Kau murung terus sejak dua hari yang lalu," tanya Faldri sembari mengelus lenganku. Sudah sejak satu jam yang lalu aku terbaring dan hanyut dalam dekapannya, bergetar dan terdiam.

"Eri? Ayolah, bicara denganku," tanyanya lagi, "kau tidak menyukai honeymoon kita, ya?"

Mendengar itu, aku pun merasa bersalah. "Tidak apa, Faldri. Aku … aku cuma sedang sering bermimpi buruk belakangan," ucapku sembari menyunggingkan senyum tipis.

Faldri mengangguk. "Kalau begitu, tidurlah. Aku tidak akan tidur sebelum kau tidur, haha!" Dia menutup mataku sambil tertawa.

"Ih, Faldri! Iya, aku tidur nih."

Aku pun memejamkan mataku, walau kesadaranku tak kian hilang. Aku tidak bisa tidur, tetapi aku tidak bisa menjelaskan apa pun kepada Faldri. Akhirnya kira-kira setengah jam kemudian, Faldri mengecup keningku, mengucapkan selamat malam, dan dia pun sepertinya telah menidurkan dirinya.

"Eri, kau ngapain?"

Ah, suara itu lagi, pikirku. Aku pun membuka mataku, dan perlahan duduk–agar Faldri tidak terbangun. Dan pandanganku langsung tertuju ke sudut ruangan, dekat dengan kamar mandi yang cerminnya memantulkan sebuah sosok.

Sepertinya tangisku sudah kering, sebab tak sedikit pun air keluar dari mataku saat ini. Tidak seperti kemarin-kemarin setiap aku melihatnya. 

Sosok itu masih berwujud sama, dengan darah yang berkucuran, kelopak mata dan bibir yang sudah membiru, serta kulit yang sangat pucat seperti salju. Matanya memandang aku dengan kening yang berkerut, seperti sejuta pertanyaan terkandung di dalamnya.

Dia Faldri, yang telah meninggal satu bulan yang lalu.

Dengan hati-hati aku beranjak dari kasur, dan memberi isyarat kepada Hantu Faldri untuk mengikutiku, menuju ke arah dapur.

"Bukankah kau seharusnya sudah tenang di alammu?" tanyaku.

"Seharusnya begitu, sampai saat ini." Dia menatapku dengan sangat dalam, aku tidak pernah melihat pandangan Faldri yang sedingin ini. "Tapi kau membuatku kembali."

"Maaf, Faldri." Aku mulai menangis. "Tapi, memangnya salah aku bahagia di dunia ini? Aku bisa bersamamu, kau tidak meninggal di dunia ini. Kenapa kau malah ikut ke sini?"

"Kau tidak kasian sama Eri yang lain, Ri?!" Sekejap perkataannya itu menyetrum sedikit bagian di dalam diriku, aku tidak pernah berpikir tentang kemungkinan diriku di dunia paralelku yang lama. 

"Dia tersesat di sana, depresi karena Faldri yang tiba-tiba meninggal."

Aku pun ambruk ke tanah, menangis atas apa yang baru saja kudengar. Dan di saat yang bersamaan, aku belum siap meninggalkan tempat ini. Kenapa harus aku yang dibiarkan sengsara? Kenapa aku tidak mempunyai takdir yang bahagia seperti Eriana di dunia ini?

"Semua sudah terjadi, Eri. Tolong, berbahagialah dengan kenyataan," kata Hantu Faldri, "waktuku di sini tidak banyak, sebentar lagi aku akan hilang. Selesaikan ini, Eri."

Aku pun mengangguk dengan senyuman kecil yang kupaksakan, memberi kepastian kepada Hantu Faldri bahwa aku akan menyelesaikan semua yang telah terjadi. Sampai ketika dia menghilang begitu saja setelah aku berkedip. 

***

Halo, Eriana. Aku tahu kau pasti bingung sama keadaan sekarang, terutama Faldri yang tiba-tiba meninggal. Singkatnya, kau berada di dunia paralel. Aku Eriana, yang sebelumnya tinggal di dunia yang sekarang kau tempati. Kau pastinya sudah paham gimana rasanya jadi aku di sana.

Aku kehilangan kebahagiaan. Dan sekarang, aku bahagia di sini. Bukankah harusnya aku juga berhak untuk hidup dengan senang, Eriana? Walau begitu, aku juga tidak tega kau menderita di sana.

Jadi, aku ingin menawarkanmu kalau kita hidup bersama. Satu minggu sekali bertukar dunia satu sama lain, jadi kita bisa bahagia bareng-bareng. Jangan anggap aku kejam, Eriana, aku cuma ingin hidup dalam impianku.

Kalau kau setuju, kau akan segera kembali di sini.

Itulah isi surat yang akan kuberikan kepada Eriana di dunia lain. Aku telah kembali ke dunia lamaku, dan menaruh surat ini di laci kamarku. Sekarang tinggal waktunya aku kembali bertukar melalui Kotak Labirin.

***

Sudah hampir tiga bulan aku dan Eriana Yang Lain menjalankan dua kehidupan di dunia yang berbeda. Walau awalnya dia menolak dengan sangat tegas, tapi setelah sempat aku tidak bertukar dalam waktu satu bulan, dia akhirnya menerima tawaranku dalam suratnya.

Hari ini, aku merasa Faldri bertingkah sangat aneh. Dia tidak lagi tiba-tiba memelukku setiap kali dia lewat di belakangku, atau sekadar memujiku saat kami sedang mengobrol. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu, sikapnya tetap baik dan sopan kepadaku. Namun, aku merasa seperti ada jarak yang dia jaga dariku.

Apa Eriana Yang Lain membuatnya kesal? pikirku.

Aku mencoba berbuat baik, kubuat sarapan roti bakar dengan telur kesukaannya. Kuberikan kepada Faldri yang telah berada di ruang kerjanya, menatap laptop dengan sangat fokus. 

Alih-alih senang, dia malah menatapku dengan sangat lama. Dan tatapannya bukan seperti dirinya ketika sedang ingin menciumku. Matanya menyipit dan keningnya mengkerut, seperti sedang melihat apa yang ada di belakang mataku.

"Kau bukan Eri," katanya. 

Dadaku langsung berdegup kencang, bersamaan dengan tanganku yang bergetar hebat dan keringat yang langsung bercucuran dari kepalaku. Aku mencoba tertawa.

"Haha! Apa sih, Fal! Nih makan." Aku menaruh makanan di atas meja, dan berbalik hendak pergi dari ruangan kerja itu. Sampai ketika Faldri menarik tanganku, memaksaku untuk kembali menghadapnya.

"Aku tidak suka telur," ucapnya, "dan jangan mengelak, Eri sudah menceritakan tentangmu."

Aku menggigit bibirku, tidak tahu harus berkata apa. Kakiku bergetar dan tubuhku sangat lemas. Sialan, Eriana itu! pikirku.

"Faldri, ini aku, Eri." Kulangkahkan kakiku mendekat kepadanya, kupegang pipinya. Namun dia langsung mengambil tanganku dan melemparkannya dengan sangat kuat. Wajahnya semakin keras dan dia melangkah mundur, seperti sangat jijik dengan keberadaanku.

"Pergilah, sialan!"

Seribu jarum menusuk dadaku. Ini lebih sakit dari melihat Faldri yang meninggal. Kepalaku tiba-tiba pusing, dan aku menangis, berlutut di hadapannya. Faldri memandangku tanpa sedikit pun rasa iba, hidungnya mengencang dan matanya menajam penuh kebencian.

***

Sejak itu, aku tidak pernah lagi kembali ke dunia itu. Saat ini sudah satu minggu lamanya, dan aku harus menjalankan kehidupanku yang menyedihkan di dunia saat Faldri meninggal. Hari-hari kuhabiskan dengan menangis dan marah kepada dunia yang menghukumku tanpa alasan apa pun. Pamanku, Miguel telah meneleponku berkali-kali, tetapi tidak pernah kuangkat. Aku benar-benar telah memotong seluruh hubungan di dunia ini.

Siang dan malam kuhabiskan dengan berfoya-foya menggunakan uang yang selalu dikirimkan paman di rekeningku. Dia memang orang yang baik, selalu peduli walau aku tak pernah mau menemuinya. 

Masih kuingat saat-saat itu. Tiap malam yang kuhabiskan bersama Faldri di pulau dan kasur yang begitu indahnya, sentuhannya di remangnya malam masih terasa begitu familiar di kulitku. Aku merasakannya setiap mengantuk saat malam, sampai kemudian aku ditampar lagi oleh kenyataan pada pagi hari saat yang tersisa hanya mual yang terasa di tenggorokanku, serta realita kalau Faldri sudah tidak ada.

Sampai aku terpikirkan sesuatu.

Bagaimana kalau aku mengubah takdir dunia?

Tanpa berpikir panjang aku kembali ke Kotak Labirin, hingga sampai ke tempat gelap yang hanya terlihat pintu di depannya. Namun, kali ini aku tidak memasuki pintunya. 

Tak lama kemudian, Eriana Yang Lain menampakkan dirinya dari balik pintu. Segera bertanya apa lagi urusanku. 

Tanpa banyak bicara, aku langsung mendorong diriku ke tubuhnya dengan keras sampai kami terjatuh ke tanah. Dia terkejut dan melawanku dengan menendang-nendang kakiku dan mendorongku yang berada di atas tubuhnya. Mataku sudah nyalang, aku berhak bahagia. Aku pun mengeluarkan pisau yang tersembunyi di belakang celanaku, dan segera menusukkannya tepat di bagian jantung Eriana Yang Lain.

Inilah resolusi takdir yang kubuat sendiri.

***

Kehidupanku berjalan normal, aku sangat bahagia dan begitu pula dengan Faldri yang sangat memanjakanku. Kami adalah sepasang suami istri yang sangat mesra, sering kudengar tetangga kami memuji kedekatan kami.

Dan hari ini, Faldri mengajakku berkencan di pinggiran pantai. Walau sudah malam, pemandangannya sangat indah sebab banyak lampu-lampu perkotaan di sekeliling pantai. Serta api unggun yang dibuat oleh Faldri sendiri. Kami mengobrol sangat lama dan hendak berkemah di sini.

"Apa kau ingat? Dulu saat awal sekali kita kencan di sini, aku sering bilang apa?"

Sontak aku tidak bisa berkata apa-apa. Tidak ada ingatanku di tempat ini.

"Aku lupa Fal, haha! Sudah lama sekali sih itu," kataku sambil tertawa.

"Astaga, kau ini. Cepat sekali lupanya haha." Dia tertawa kecil. Kemudian melihat jam tangannya. "Eh, sudah malam, aku ambil kayu lagi ya, bentar."

"Oke, hati-hati," jawabku, lalu menghela napas yang sangat panjang. Aku memejamkan mata, mencoba menikmati momen.

"Di mana Eri?" Tepat setelah napasku terbuang, suara Faldri dari belakang membuatku sedikit terlompat. Aku segera berbalik, dan mendapati dia sedang menodongkan pisau kepadaku.

"Apaan sih, Faldri? Aku Eri!" kataku.

"Apa katamu kalau kamu memilih untuk terlahir kembali?" tanya Faldri, "itu perkataanku pada kencan pertama dengan Eri. Dia selalu menceritakannya berulang-ulang, dan bilang kalau dia hanya ingin terlahir kembali kalau ada aku di dalam takdirnya. Eri tidak akan lupa."

Faldri melangkah mendekat, menyentuhkan sedikit ujung pisaunya ke leherku. "Mana Eri?" tanyanya.

"Se-sekarang hanya ada aku, Faldri. Kenapa kita tidak meneruskan hidup kita saja? Sebelum kau tahu tentang kebenaran ini, kau bahagia, 'kan?" kataku.

Faldri menangis, tetapi kemarahan masih terpancar di matanya. Tangannya bergetar, kemudian dia menggertakkan giginya dan–

Leherku sakit dan dadaku dingin dialiri darah, pandanganku menggelap. Aku terjatuh sampai kepalaku menyentuh pasir, samar-samar kudengar Faldri menangis. Dan sekilas kulihat Hantu Faldri menangis darah di belakangnya, memandangku dengan tatapan kecewa.

Maafkan aku, Faldri. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top