Dua Puluh

Selamat baca. Semoga suka.

**

"Kamu kenapa?" Mas Tanto menatapku dengan pandangan menyelidik. "Sarapan satu stoples gula? Senyum-senyum sendiri seperti orang tidak waras begitu!"

Sarapanku lebih manis daripada satu stoples gula, tetapi aku tidak akan menceritakan rasa bibir Renata yang masih tertinggal di mulut dan kepalaku kepada Mas Tanto. Aku lebih suka menyimpannya sendiri.

"Ada, deh. Mas mau tahu saja," elakku, masih dengan senyum.

Mas Tanto berdecak. "Cinta. Jadi kamu berhasil mendapatkan hati gadis tangguh itu?" Mas Tanto memang ku-update kabar tentang Renata. Kecuali bagian tentang dia sekarang tinggal di apartemenku.

Apakah aku berhasil mendapatkan hati Renata? "Sepertinya begitu." Aku belum tahu pasti. Kami baru akan bicara nanti malam. Namun melihat reaksinya saat kami berciuman tadi pagi, dia pasti merasakan sesuatu juga padaku. Dia memang tidak ikut melibatkan lidah sepertiku, tetapi dia membalas ciumanku.

"Kamu belum yakin padahal sudah segirang ini?" Mas Tanto menggeleng, mencela dengan tatapan. "Cinta benar-benar membunuh akal sehatmu."

Aku tahu, tetapi tidak peduli. Masa bodoh dengan akal sehat. Aku hanya perlu Renata. Itu cukup. Jadi aku akan membiarkan Mas Tanto mengejekku seharian.

Aku mengirimkan beberapa pesan dengan emoticon lebay di sela-sela meeting kepada Renata. Namun tidak ada yang dibalas setelah berjam-jam kemudian, padahal dia membaca pesannya. Apakah dia sesibuk itu dengan rapatnya, sampai tidak bisa menekan satu tombol emoticon sekalipun? Meskipun tidak ingin, aku merasa sebal. Aku menahan diri untuk tidak menelepon. Bersikap posesif padahal bentuk hubungan kami belum jelas, bukan cara pintar. Renata gadis mandiri. Merasa terkekang akan membuatnya menolakku. Dia jelas bukan orang yang akan menukar kebebasan dengan ciuman, betapa pun pintarnya aku mencium. Aku orang yang rasional dan realistis. Aku tahu, bagi Renata, pekerjaan adalah hal paling utama. Kalau aku menempatkan diri berseberangan dengan pekerjaannya, dia tidak akan ragu-ragu mendepakku. Itupun dengan catatan kalau dia benar-benar mencintaiku. Dan aku masih belum yakin soal itu.

Senyumku yang berkibar gagah tadi pagi perlahan surut di siang hari karena pesan-pesan yang tidak terbalas, dan menjadi masam menjelang jam pulang. Aku menelepon Renata dua kali, tetapi tidak diangkat. Berbagai pikiran buruk lantas berkelebat dalam benak. Bagaimana kalau Renata tidak menyukai apa yang kulakukan tadi pagi, dan kabur dari apartemenku? Sikapnya tadi memang biasa saja, tapi siapa yang bisa menduga apa yang ada dalam kepala perempuan? Mereka bisa lebih rumit daripada membangun ribuan keping lego. Kepercayaan diriku goyah dan mulai rontok.

Aku membuka pintu apartemen dengan perasaan waswas. Aku benar-benar khawatir tidak menemukan Renata di dalam. Seharusnya aku melepasnya pergi sepuluh hari mendatang sebagai kekasih, bukannya kehilangan dia selamanya karena dia tidak mau lagi berteman denganku setelah kejadian tadi pagi. Seharusnya aku menahan diri. Tidak menyerangnya seperti orang barbar. Penyesalan selalu datang terlambat.

Aku hampir melompat kegirangan saat melihat lampu benderang menerangi apartemen. Artinya Renata masih ada di sini. Syukurlah. Aku tergesa melepas sepatu. Langsung menuju ruang tengah karena mendengar suara televisi. Benar saja, Nat Geo Wild. Itu saluran televisi kesayangan Renata.

Aku menemukan Renata sedang tertidur di sofa. Posisinya miring, menghadap televisi. Remote TV ada di lantai. Mungkin terlepas dari tangannya tanpa sengaja. Aku duduk berjongkok di sisi sofa. Mengamati wajah Renata yang tampak damai dalam lelapnya. Kekesalan dan kekhawatiranku lenyap tak bersisa.

Aku tidak bisa menahan senyum melihatnya mengerutkan bibir. Mungkin dia sedang memimpikan sesuatu. Aku menyelipkan rambut yang menutup sebelah pipinya. Lalu mengusap kepalanya. Dia terlihat seperti anak belasan tahun yang masih polos. Berbeda dengan ekspresinya saat sedang mengerjaiku dengan kalimat-kalimat sarkas yang tidak pernah bisa kubalas.

Aku menunduk dan mengecupnya pelan. Takut membangunkannya. Kurasa aku tidak akan bosan menatapnya. Aku mengusap pipinya. Dia terlihat jauh lebih putih daripada saat melihatnya kembali di apartemen Dito. Namun aku tidak peduli dia putih atau hitam. Yang penting dia Renata.

Memang sulit menjelaskan mengapa aku bisa jatuh cinta padanya, karena aku jelas tidak tahu alasannya. Renata cantik, tetapi dia bukan gadis paling cantik yang pernah kutemui. Tubuhnya nyaris selembar, walaupun dia sangat khawatir terlihat gemuk karena takut tidak bugar untuk melakukan perjalanan. Dia tidak berdandan. Tidak fashionable. Cuek dengan penampilan. Dia jelas berbeda dengan gadis-gadis yang pernah dekat denganku. Jadi aku pasti bingung menjawab kalau ada yang bertanya mengapa aku suka Renata. Bicara cinta memang tidak bisa membawa-bawa logika.

Renata mengerjap. Hangat telapak tanganku yang bermain di wajahnya mungkin membangunkan.

"Hei...." sapaku lembut.

Renata terus mengerjap. Membiasakan diri dengan cahaya lampu. "Kamu sudah pulang, ya?" Dia mengulurkan tangan menyentuh wajahku. Seakan ingin membuktikan dia tidak sedang mimpi.

Aku menahan tangan itu saat dia hendak menariknya kembali. Aku membawanya ke bibir. "Aku sudah berpikir yang tidak-tidak karena kamu tidak membalas pesanku. Tapi aku senang kamu masih di sini."

"Aku sengaja tidak membalas. Kita harus bicara langsung, bukan...."

Aku membungkamnya dengan ciuman. Menahannya tetap dalam posisi berbaring saat dia hendak bangkit. Aku melebur rasa khawatir dan takut kehilangan yang sempat kurasakan tadi dalam ciuman panjang. Aku masih berada di sisi sofa. Bertumpu pada lutut di lantai.

"Tunggu dulu!" Renata mendorongku menjauh saat bibir kami terlepas. Dia bangkit dan duduk. Wajahnya tampak serius. "Bayu, kita harus bicara," katanya tegas. "Kita tidak bisa melakukan ini."

"Kenapa tidak?" Aku meletakkan dua tanganku di pangkuannya. Aku harus mendongak untuk menatapnya, karena aku masih bertutut di hadapannya. "Kamu pasti tahu aku menyukaimu. Bukan, aku mencintaimu. Jangan pura-pura tidak mengerti dengan sikapku padamu." Renata benar, kami harus bicara dari hati ke hati untuk memperjelas satus hubungan kami.

"Tentu saja aku tahu," jawab Renata. Dia melebarkan tangan di udara. Untuk pertama kalinya dia terlihat seperti orang kebingungan. Dia menggeleng-geleng. "Tapi aku tidak bisa."

"Kamu tidak menyukai aku?" Itu tidak mungkin benar. Kami baru saja berciuman, dan aku tahu dia sempat menikmatinya sebelum melepaskan diri.

"Bukan begitu...."

"Jadi kamu juga menyukaiku, kan?" kejarku. Aku tidak akan membiarkan Renata lepas setelah dia tidak berusaha menyangkal kalau dia menyukaiku juga. Mungkin itu bukan cinta mati seperti yang kurasakan, tetapi tak mengapa. Hubungan kami bisa berkembang kemudian.

"Bayu, dengar...." Renata menepuk punggung tanganku di pangkuannya. "Aku bukan orang yang kamu inginkan untuk menjadi kekasih."

Aku tahu apa yang kuinginkan tanpa dia memberi tahu. "Kamu sempurna untukku," kataku dengan nada membujuk.

Renata terus menggeleng. "Dan aku tidak bisa terlibat hubungan asmara dengan orang seperti kamu."

"Memangnya aku orang seperti apa?" tanyaku tersinggung.

Renata berdiri, sehingga aku ikut berdiri. Dia menunjukku. "Ya, orang seperti kamu, Bayu! Aku bahkan tidak yakin kamu bisa tahan berdiri di bawah terik matahari selama satu jam!"

"Aku tidak selemah itu!" Renata keterlaluan sekali mengatakan hal itu. Aku bisa berolahraga selama berjam-jam. Memang sih di dalam ruangan ber-AC, tetapi itu tetap saja butuh tenaga, kan?

"Aku tidak bermaksud menghina atau mengecilkanmu, Bayu. Aku tahu kamu kuat, tetapi kita seperti orang yang berasal dari planet berbeda. Kamu bekerja di dalam ruangan, sedangkan aku butuh keluar keringat untuk menghasilkan uang." Pandangan Renata melembut. "Tapi yang paling penting adalah, aku tidak bisa terikat. Aku lebih banyak berkeliling daripada tinggal di rumah." Dia tertawa pelan. "Aku bahkan tidak punya tempat tinggal sekarang, karena tidak yakin aku benar-benar membutuhkannya saat ini. Aku seperti burung tersesat yang hinggap di mana saja yang menurutku nyaman. Dan aku akan selalu seperti itu. Terus terbang."

"Kita bisa mengatasi perbedaan di antara kita dengan cinta," ujarku yakin.

"Jangan naïf, Bayu. Cinta itu hanya berhasil di film roman. Itu mengapa aku tidak suka roman. Hanya menjual imajinasi dan omong kosong. Kamu tahu apa itu cinta? Hanya perasaan sesaat yang tidak bisa dilihat wujudnya. Sejenak kamu merasakannya, dan kemudian hilang. Bukan sesuatu yang abadi." Renata menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, seperti berusaha menemukan kalimat tepat untuk membujukku supaya mempercayai kata-katanya. "Aku yakin kamu sudah pernah jatuh cinta. Mungkin beberapa kali. Benar, kan?"

"Apa hubungannya dengan pembicaraan kita?" tanyaku tidak mengerti.

"Untuk meyakinkan kalau kamu sudah pernah melewati tahapan ini. Jatuh cinta dan kehilangan rasa itu kemudian. Kalau kamu sekarang merasa jatuh cinta padaku, kamu akan melupakan rasa itu tidak lama setelah kita berpisah. Dan kamu akan kembali jatuh cinta kepada seseorang yang kamu temui nanti. Jatuh cinta itu seperti siklus. Akan selalu berulang."

"Cinta sejati tidak mengenal siklus." Aku bergerak mendekati Renata. "Jangan mengingkari perasaanmu. Kamu harus memberi hubungan kita kesempatan."

"Itu bukan ide bagus, Bayu. Kamu yakin mau menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak bisa berada di sisimu setiap saat? Tidak bisa memberimu dukungan ketika kamu membutuhkannya?"

"Kita tidak pernah benar-benar jauh. Ada telepon, email, skype. Ada banyak cara untuk tetap terhubung."

"Tidak akan sama."

Aku tahu. Namun itu berjuta kali lebih baik daripada aku kehilangan Renata. Aku tidak akan mengambil pilihan itu.

"Bayu, kamu laki-laki yang baik. Sangat baik. Kamu pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik daripada aku," Renata terus membujuk. Dia tidak tahu bagaimana teguhnya aku kalau menginginkan sesuatu.

Aku tidak ingin orang lain. "Aku mau kamu." Aku menutup jarak di antara kami dan memeluknya. "Jangan menolakku. Jangan lakukan. Aku hanya mau kamu."

"Bayu...." Suara Renata melemah. "Ini tidak akan berhasil."

"Kita belum mencobanya. Kamu terlalu pesimis. Aku yakin kita diciptakan untuk saling melengkapi."

"Kamu terdengar seperti pemain film roman," Renata menggerutu. Nada perlawananannya makin kendur. "Sudah kubilang aku tidak suka roman."

"Kamu boleh membenci semua hal, asal mencintaiku. Itu cukup." Aku mengeratkan pelukanku. "Aku tidak akan melepasmu."

"Kamu akan menyesali ini," keluh Renata.

Aku tidak akan menyesali apa pun tentang dia. Aku yakin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top