Sixteen.
Slight fever on his birthday.
Sudah biasa untuk Andela membuat kue saat satu hari sebelum Azul ulang tahun. Atau, menuju pagi sebelum matahari terbit. Pada beberapa hari lalu, Azul minta dibuatkan red velvet saat usianya berkurang dan mempercepat kematian—kata Idia yang langsung dijewer Russet kala itu—namun, apa yang dibilang Idia tidak sepenuhnya salah.
Kecenderungan Azul memakan apa pun yang Andela buatkan padanya hanya akan menambahkan antusiasme wanitanya untuk mengolah sesuatu di dapur mereka. Namun, role itu pun tak jarang bisa berganti. Seringkali, Azul bertanya pada kasihnya, "mau makan apa?" Lalu, Andela menjawab apa pun yang terlintas dalam kepala hitamnya tanpa pikir panjang; walau pada akhirnya, hal tersebut menjadi tantangan untuk Azul sekali pun. Pernah Andela meminta ramen, dan Azul harus mulai dari nol untuk membuat mi dengan kaldu dan toppingnya. Saat Andela meminta nasi beriani, Azul harus memasak bumbunya dengan tepat, ia sampai harus bertanya pada Jamil melalui panggilan jarak jauh.
Sudah sewajarnya Azul memiliki time-management yang bagus. Pria kapitalis ambisius seperti dirinya terkesan tak akan melewatkan satu peluang—bahkan jika peluang itu tak lebih dari sekedar satu butir beras sekali pun. Namun, akhir-akhir ini, Azul memaksakan dirinya. Berlindung di balik 'aku tidak bekerja sepanjang waktu' yang hanya membuat tubuhnya makin lelah, Azul menganggap bahwa itu lebih efektif ketimbang mengorbankan waktunya untuk istirahat.
Hingga pada suatu pagi, Azul terbangun lebih awal ketimbang biasanya. Menyadari bahwa Andela tiada di sisi, Azul berjalan lambat menuju dapur dengan tangan yang meraba tembok sebagai bantuan. Semua lampu hunian dinyalakan, Andela tampak baru menyusun bahan-bahan kue yang hendak ia olah dan matangkan. Melihat siluet yang datang dari arah serong sisi kiri, Andela masih belum menaruh kecurigaan apa pun dengan pasangannya.
"Oh. Kamu bangun lebih cepat dari biasanya."
Setelah itu, Azul bisa melihat bagaimana wajah Andela menunjukkan perubahan. Napas wanita itu juga nyaris terhenti beberapa saat kala menyoroti Azul dengan seksama. Hingga tiada jarak yang memisah di antara lantai marmer ungu yang dijadikan pijakan, Andela mengerutkan dahi. Telapak tangan sejuknya berada di ceruk leher; ke pipi; dan dahi, lalu kembali ke pipi sampai Azul menemukan dirinya bersandar pada sentuhan yang ada.
"Ayo kembali ke kamar."
"Aku ingin minum."
"Nanti aku bawakan." Andela bilang, setelah memastikan bahwa Azul kembali berbaring setengah merintih tipis. "Jangan sentuh kerjaanmu dulu. Fokus untuk istirahat saja."
Azul menghargai setiap perhatian yang Andela curahkan padanya. Mendengar bunyi langkah kaki yang surut, Azul mengintip sedikit di balik poni panjangnya saat ia kembali sendirian dalam kamar. Kelelahan luar biasa, kepala yang berputar, diikuti dengan bulir keringat yang terbentuk di dahinya.
Jemarinya bergetar lantaran demam. Dirasakannya buaian Andela, sepasang mata biru langit yang sayu memandang untuk sesaat. "Sakit sekali jika kamu meninggalkanku sendirian..."
"Aku hanya mengambil air hangat dan kompres. Ayo minum dulu."
Azul mengangkat kedua alisnya. Kondisi ia yang menyedihkan itu tidak memungkinkannya untuk mengelak. Ia hanya mengikuti apa yang diatur oleh Andela, yang mana, Azul sendiri tahu bahwa itu juga untuk kebaikan dirinya.
"Ada terasa nyeri di otot atau bagian lain?" Andela mengajukan pertanyaan.
Meski pucat, Andela menangkap semburat merah jambu menyebar di pipinya. Dalam hati, Azul sebenarnya tertawa. Entah sejak kapan hidupnya mulai bergantung pada Andela. Mungkin, itu sebagian dari nalurinya untuk senantiasa terbuka dan mengeluhkan hal-hal yang ada pada pemilik hatinya. "Ya..." Ia meringis kecil. Kecemasan Andela memenuhi batin Azul dengan perasaan kurang nyaman, hal yang ia inginkan setelahnya adalah stres karena istrinya memandang ia penuh kesayuan. Namun, suara yang selalu rendah itu tanpa diduga membawa kenyamanan untuk Azul. Akan selalu begitu.
"38.9..." Andela mengembalikan termometer di permukaan nakas. "Aku mohon dengarkan aku apa yang aku tuturkan kali ini, ya?" Andela meminta rendah hati, berharap Azul tidak menolak perhatian yang ia curahkan. Andela bahkan tidak menunggu jawaban dari bibir lain, sebelum meninggalkan cumbana singkat di dahi. "Akan kubuat sesuatu yang hangat. Jadi, aku bisa memberikanmu parasetamol."
Azul nyaris terkekeh. Andela begitu peduli padanya, terlepas dari sikap Azul yang cenderung mandiri dan tidak merasa pantas menerima kebaikan wanita yang kini melenggang keluar kamar. Azul menghargai usaha dan kalimat-kalimat kebaikan yang mengandung ketenangan itu memenuhi batinnya dengan perasaan hangat. Andela tidak pernah mengharapkan imbalan, yang ia inginkan adalah Azul-nya yang kembali sehat.
Si ikal menutup mata sesaat, terasa waktu berhenti karena rasa nyeri dan pusing berkepanjangan. Azul bersandar di bantal, di papan tempat tidur yang sudah Andela atur. Setelahnya, ada ambu yang cukup menggugah indranya. Azul dengan cepat membuka mata untuk meresponmu, "Azul, buka matanya." Wajahnya kembali dibuai. "Makan dulu."
Prianya segera duduk tegak kala ia hidu dalam aroma yang datang dari mangkuk keramik itu. Apa pun yang diolah Andela tidak pernah gagal untuk meninggalkannya rasa kagum, bahkan dari sesuatu yang bisa dibuat dengan mata tertutup sekali pun. Tak jarang Azul berpikir, apakah tiada kekurangan dari wanitaku ini? Ia siap dengan apa pun yang akan Andela ebrikan padanya, menunggunya dengan tidak sabar bahkan.
Di antara sup telur yang ia buat, dengan tambahan jamur enoki, tofu, serta banyak bawang daun; Andela khawatir jika ia membuatkan sesuatu dengan proses yang lama, Azul akan hilang nafsu makan. Sendok kayu ia gunakan untuk menyendok sup telur yang dibuat sedikit kental dan menggugah itu, Andela meniupnya sesaat agar tidak membuat ruam di bibir Azul sebab rasa panas. Sendok itu segera datang ke bibirnya sugestif; agar dimakan saja. Azul buka mulutnya, merasakan bagaimana kehangatan sup telur itu dan gestur keibuan Andela—meski wanita itu adalah istrinya—hal ini menyenangkan hatinya. Apa pun yang Andela lakukan untuknya mampu membuat Azul berdebar. Satu dari sekian banyaknya afeksi yang Azul damba darinya, yang bisa membuat kupu-kupu dalam perutnya menjadi liar.
Namun, terkadang, Azul perang dengan dirinya sendiri. Pebisnis itu belum sepenuhnya terbiasa dengan perhatian dalam skala besar seperti ini; apalagi disuapi. Disisir saja rambutnya, Azul mati-matian menahan wajahnya agar tetap datar, padahal ia kerepotan mengatur ritme jantung yang bergemuruh. Namun, ah, sial. Saat ini, ia tak berdaya. Saat Andela menyuapinya, pipi Azul menunjukkan rona merah mawar.
"Oh?" Andela tertawa kecil melihat perubahan warna pipi Azul. "Itu baru. Kamu bisa malu seperti orang lain. Itu lumrah."
Si pebisnis merasa malu dengan godaan Andela. Azul itu tipe yang berusaha percaya diri dan tenang; reaksi ini agak berbeda dari sikapnya yang biasa. Namun, dari tangan Andela yang membawa perhatian, ia seperti anak kecil yang tak berdaya. Sepasang mata biru langit tanpa bingkai itu memandang penuh kasih pada wanita pilihannya; dan ini yang membuat segalanya menjadi berharga. Ada perasaan mencintai dan dicintai dengan tulus tanpa syarat.
"Cepat pulih, ya?" Saat Andela berkata untuknya agar segera pulih, Azul mengukir senyum kecil diiringi angguk. Andela adalah tujuan hidupnya, itu tidak bisa dibantah.
Beberapa suapan terakhir, Azul menggeleng. Aku kenyang, katanya. "Bisa aku makan parasetamolnya sekarang, Ann...?"
"Ya, tentu." Jawab Andela. Wanita itu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Ada apa denganku? Andela memanjakannya, dan Azul tidak merasa terganggu dengan perlakuan yang ia terima. Kebaikan dan kehangatannya menular, mampu membuatnya tersenyum kecil. Meski demikian, Azul belum mau minum obatnya dan berharap momen ini bertahan lebih lama—dimanja maksudnya. "Buka lagi mulutnya." Andela segera menaruh satu butir parasetamol itu dalam mulutnya, dan menyodorkan segelas air hangat. "Istirahat, ya? Ulang tahun kok sakit." Andela tertawa terheran-heran. "Azul mau apa lagi?"
"Kamu jangan ke mana-mana..." Bisiknya. "Di sini saja... sampai aku tidur."
Andela bergeming sepersekian detik, sebelum merangkak ke sisi kasur yang kosong. Bersandar di bantal, dan Azul yang tidak mau jauh darinya. Terlepas dari ia yang tengah lemah saat ini, Azul masih bisa memberikan senyum meyakinkan, dan berusaha menghilangkan kabut di mata cerulean Andela.
"Peluk aku." Andela membawa ia lebih dekat. Kedua mata yang terasa berat langsung tertutup. Merintih kecil, Azul menekan kepala abu-abunya di dada Andela. Merasakan bagaimana kedua lengan lain yang mendekap, membuai punggung dan melalui rambut dengan jemarinya. Degup jantungnya perlahan tenang, dan napasnya tidak sekering awal. Kepala Azul makin mendusal di dadanya, antara ingin terlelap, tetapi perasaan takut ditinggal oleh Andela saat ia tak sadar itu cukup mengerikan.
"Tidur." Kata Andela. "Aku tidak akan ke mana-mana." Senandung mengiringi tidurnya. Azul perlahan menjadi lebih tenang dan merebahkan diri dengan nyaman pada Andela. Ia melingkarkan lengannya di pinggang kasihnya, seperti hal yang ia anggap benar. Azul terlelap dalam perasaan aman dan nyaman di lengan wanitanya. Meski, seharusnya ini menjadi hari yang akan dirayakan, tetapi Azul tidak menolak apa yang ada saat ini; Andela. Titik.
Feb 27, 2024.
aoiLilac.
nb: harusnya, pas azul ulang tahun, sih. hehe. udah gak papa lah, ya? bannernya juga masih ada. happy azul's day!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top