30. FINAL CHAPTER: PREGNANT
Hai, ini chapter terakhir dari cerita ini. Mohon maaf apabila ada salah kata dari aku yaaa🙏❤️
Yuk spam untuk yang terakhir kali ehhehe. Semoga kalian gamon ya sama cerita ini🤪
Maaf telat update, aku tadi ada kerjaan yang harus di-handle, kebetulan aku open PP di tiktok, jadi harus gercep bales hehehe
Happy reading!
"Anjir, santai, Cia," ujar Nila. Ia menatap buku yang Cia bawa. Matanya tak sengaja menangkap buku yang membuat dirinya mengerut kening. "Lo ngapain beli buku hamil. Lo hamil?"
Cia menatap buku yang ia bawa. Ia menggeleng. "Enggak, Nila. Gue pengin baca-baca aja buat persiapan masa depan." Cewek itu mengklarifikasi agar Nila tak salah paham.
Kedua retina Nila memicing curiga. "Bohong."
"Beneran, sumpah," ujar Cia sungguh-sungguh.
Neron melihat keduanya sedikit berdebat dari garasi. Ia mengunci mobil terlebih dahulu, kemudian menghampiri mereka. Cowok itu merangkul Cia, tatapannya fokus pada Nila. "Bener, kok. Gue nggak bakal biarin Cia hamil pas kuliah, kasian dia susah ngurusnya."
Nila menghela napas lega. "Syukurlah. Gue sebenernya pengen punya ponakan, lucu gitu, kan, lihatnya, tapi kasian lo nanti ribet pas kuliah. Selesaiin dulu kuliahnya, baru punya anak."
Cia mengangguk. "Iya, gue tau."
"Masuk, yuk," ajak Neron pada mereka.
Ketika Cia dan Neron hendak berjalan ke dalam rumah, Nila menghentikan langkah mereka. "Bentar," cegahnya.
Sontak, kedua sejoli tersebut kompak menoleh ke arahnya. Mengerut kening, menandakan bahwa mereka bingung. "Kenapa?" tanya mereka serempak.
"Gue bawa oleh-oleh," balasnya tersenyum penuh arti.
"Buset, nggak usah repot-repot bawa oleh-oleh." Cia tak enak hati dengan Nila. Walaupun hubungannya dekat, tapi tetap saja merepotkan cewek itu, apalagi Nila menempuh jarak yang lumayan jauh hanya untuk mengunjunginya.
Nila tertawa kecil. "Tunggu bentar, gue ngambil dulu barangnya di mobil."
Ia berlari ke depan gerbang, membukanya hingga memberi jalan untuknya. Tangan kanannya mengambil kunci mobil, menekan tombol membuka kunci pintu. Kini ia membuka pintu, mengambil lembaran kecil yang masih dirahasiakan oleh dirinya. Setelah itu, ia kembali menutup pintu mobil, tak lupa ia kunci agar aman.
Neron merangkul Cia, menatap cewek itu penuh penasaran. "Temen kamu bawa apaan, tuh?"
Cia mengedikkan bahu. "Nggak tau, Sayang."
Nila berjalan ke dalam pekarangan mereka, menutup pagar hingga rapat. Ia kini sudah di depan kedua sejoli, menyodorkan lembaran kecil tersebut pada Cia. "Nih."
Cia membaca seksama hingga ekspresinya terkejut. Melihat hal itu, Neron turut membaca isi kertas tersebut. Lantas, ia juga ikut kaget.
"Hah? Lo sama Kak Julio mau tunangan minggu depan?" tanya Cia bertubi-tubi.
"Iya," sergah Nila.
***
Tiga tahun kemudian, mereka sudah lulus kuliah, menyandang predikat sebagai Sarjana Hukum. Namun, pekerjaan Cia dan Neron tak ada sangkut pautnya dengan Jurusan Hukum.
Neron tetap menjadi pemain sepak bola termahal, meski sudah bertahun-tahun berkarir di Indonesia, ditaksir bayarannya sekitar lima miliar rupiah, mau beli cilok segitu pasti kenyang. Sudah banyak club luar negeri menawarkannya untuk bermain di sana, namun ia masih mempertimbangkannya.
Lain halnya dengan Neron, Cia kini menjadi content creator berkat followers Neron mengikutinya di Instagram. Kontennya mulai dari make up, outfit of the day, hingga vlog jalan-jalan bersama Neron. Bukannya ia niat panjat, tapi followers cowok itu yang mem-follow-nya karena kepo.
Cia sudah hamil dua bulan, pastinya mulai rewel dan minta ini itu karena efek ngidam. Cewek itu tak jauh beda dengan Valerie, bahkan lebih aneh lagi, mulai dari Neron harus joget pakai topeng monyet, habis itu dipanggil, "Sarimin pergi ke pasar!"
Neron sebenarnya tak suka disuruh begitu, sama saja menurunkan kadar ketampanan dan harga dirinya sebagai seorang mega bintang di lapangan hijau. Akan tetapi, apa pun ia lakukan demi Cia, walaupun harus berdebat dan negosiasi terlebih dahulu. Tak selamanya pernikahan itu adem ayem, yang penting bisa dibicarakan baik-baik apa saja masalah yang mereka alami.
"Neron, Cia mau digendong keliling komplek!" Ini salah satu permintaan Cia yang rada konyol.
Wajah Neron sudah frustrasi disuruh aneh-aneh oleh cewek itu. Ia mengacak kasar surainya. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya untuk mengatur emosi. "Sayang, tadi aku udah mau loh kamu suruh aku keliling pake daster sama wig, mana make up-nya menor banget kayak banci perempatan. Aku capek ...." Neron berusaha bertutur lembut. Kini posisinya terbalik, teringat masa lalu saat Neron suka emosi, lalu Cia yang menenangkan.
Cia mendelik kesal, memukul bahu Neron. "Kamu ngatain aku nggak bisa make up?" tanyanya tak terima.
Neron menepuk jidat. Ia tak bermaksud menyinggung Cia. "Aku nggak ada ngatain kamu gitu ...."
"Kamu bilang hasil make up-ku menor. Kan, aku yang make up-in kamu!" marah Cia.
Neron tak tahu harus pakai bahasa apa lagi untuk membuat Cia mengerti. Sungguh, ia pasrah hari ini omelan apa lagi yang akan cewek itu lontarkan kepadanya. "Maksudku bukan kayak gitu ...."
Cia duduk di lantai, menendang-nendang lantai seperti anak kecil yang tak diberi permen. "HUAAAAA!"
Neron seketika panik, tak tahu harus pakai cara apa lagi untuk membuat cewek itu tenang. Ia turut duduk di lantai, ingin melihat berapa lama Cia akan mengamuk. Ia sudah pernah menenangkan cewek itu dengan cara memeluknya, namun Cia malah menangis. "Ya ampun, Cia. Aku bingung harus kayak gimana lagi."
Cia tak peduli akan keluhan Neron. Ia terus saja menangis sampai keluar ingus bergelembung.
"Ya Tuhan, gini amat kalo istri lagi hamil. Pas buat anak suami puas, istri tewas, tapi pas hamil istri puas, suami tewas ...."
Cia tambah emosi mendengar penuturan Neron. "Oh, kamu nggak ikhlas nikah sama aku? Selama ini kamu bohong kalo kamu sayang aku, hah?"
"Demi Tuhan, aku emang sayang sama kamu. Kalo nggak sayang, ngapain aku kasih semua yang kamu mau?" Neron lelah memberi pengertian pada Cia, tapi cewek itu tak pernah mau mendengarkannya.
"Bohong!" Cia tak percaya.
"Bener, Sayang." Neron lagi-lagi harus berusaha sabar. Tenang, demi anak harus berani berkorban.
"Ya udah, buktiin cinta kamu dengan cara gendong aku keliling komplek seratus kali!" perintah Cia.
"Karirku jadi atlet seketika hancur kalo kayak gini, Sayang. Kakiku bisa patah ...."
"Justru itu memperkuat kakimu biar pas nendang bola ke gawang, gawangnya ikutan roboh biar golnya mantap!" Cia pokoknya tak mau tahu.
"Yang ada aku dibilang ngerusak fasilitas," kilah Neron.
"Jangan banyak basa-basi. Cepetan!" bentak Cia.
Neron pasrah mematuhi ucapan Cia. "Iya, Sayang."
Cia bangun dengan semangat, berdiri di atas sofa panjang ruang tamu biar Neron mudah menggendongnya. Neron menghadap ke arah Cia, kedua tangannya bersiap-siap menggendong sang puan ala bridal.
Setelah dirasa siap, cowok itu menggendong Cia keluar rumah, tak lupa ia menyuruh cewek itu menutup pintu karena kedua tangannya sudah penuh oleh badan Cia. Ia kini menggendong wanitanya berkeliling komplek, membuat banyak pasang mata tertuju padanya.
"Eh, Cia. Kamu romantis sekali sama suamimu," celetuk salah satu ibu-ibu komplek yang tengah membeli sayur.
"Kalo bukan demi istri, mana mau gue gendong keliling komplek," batin Neron.
"Ah, Neron memang begitu, Bu. Kalo anak ibu ada yang hamil, Neron bersedia buat gendong dia keliling komplek," ujar Cia.
Neron seketika mengumpat dalam hati. Kalau Cia bukan istrinya, ia sudah buang ke got karena sangat menyusahkan.
"Wah, serius?" Wanita paruh baya itu menatap antusias Cia.
Cia mengangguk. "Iya, Bu."
"Wah, kebetulan anak saya ada dua orang yang hamil. Satunya anak kandung, satu lagi anak tiri. Sodara jauh saya juga lagi hamil muda. Apa Neron sanggup gendong tiga wanita sekaligus?"
"Eng—"
"Sanggup banget, dong! Kan Neron atlet, pasti staminanya kuat." Cia bermaksud membanggakan Neron di depan banyak orang, namun Neron tak menangkapnya begitu. Baginya, ini adalah salah satu cara untuk menghancurkan karirnya sebagai pemain sepakbola professional.
"Bagi yang hamil bisa kumpul, katanya Neron mau gendong keliling komplek!" teriak wanita berumur tersebut.
Para ibu hamil berlari tergopoh-gopoh ke luar rumah karena antusias mendengar penguman tersebut. Kapan lagi coba digendong sama pemain bola terkenal? Biasanya boro-boro bisa pegang tangan, disapa saja sudah syukur.
Neron mengedarkan pandangan ke sekeliling. Setelah merasa ada jalan tercepat untuk ke rumah, ia lari terbirit-birit hingga Cia memegang erat baju Neron karena takut jatuh. "Kabur!"
Ekspresi Cia saat ini:
"Woi, mau ke mana?!" Banyak orang tak terima Neron kabur begitu saja.
Dengan perut gondal-gandil, para ibu hamil mengejar Neron hingga menyerah karena cowok itu berlari kencang, sehingga tak sanggup untuk dikejar.
Dasar cowok hanya manis di mulut, tapi wajahnya juga manis!
"HAHAHAHA, ENAKNYA DIKEJAR IBU HAMIL!" Cia tertawa puas melihat Neron panik.
"Istri anjrit!" umpat Neron.
Cia menjulurkan lidah. "Rasain."
***
Keesokkan harinya, Cia lagi-lagi meminta hal aneh-aneh. Syukurnya, tadi malam ia hanya minta martabak manis rasa coklat isi kaktus. Untung saja ada jenis kaktus yang memang bisa dimakan.
Cia kini bergelayut manja pada tangan Neron. Neron sudah tahu, pasti cewek itu ada maunya. "Sayang ...." Senyuman manis ditampilkan Cia agar Neron tak marah-marah.
Neron berdecak malas. "Apa lagi, Monyet?"
"Kok gitu, sih, jawabnya?" Cia mencebik kesal.
"Capek aku, capek!" Neron tampak frustrasi.
"Mau buatnya doang, tapi pas disuruh ngurus ibu hamil malah ngomel!" protes Cia.
Mau tak mau, Neron lagi yang disalahkan. Ia mengatur napas agar tak kebablasan memarahi Cia. "Ya udah, aku minta maaf. Kamu mau apa, Cia Sayang?"
"Mau martabak—"
Neron tersenyum senang. "Ah, syukur normal permintaannya."
"Martabak buatan cleaning service stadion!"
Neron kembali kesal. "Ya Tuhan, nggak berhenti ngucap aku denger permintaan kamu. Masalahnya, cleaning service stadion banyak, Cia, aku nggak tau siapa yang kamu maksud."
"Aku juga nggak tau siapa aja cleaning service di sana. Pokoknya, yang penting buatan cleaning service!" Cia tak mau tahu.
"Tapi, jam segini stadion udah tutup, cuma ada satpam aja!" marah Neron.
"JAHAT BANGET MEREKA NGGAK KE STADION GARA-GARA AKU MINTA MARTABAK!"
"Bukan gitu, Sayang. Mereka ada jam kerjanya." Neron memberi pehamaman.
"Aku juga tau kali, nggak usah diajarin!" Cia merasa Neron meremehkannya.
"Serba salah terus hambamu, ya Tuhan ...."
"Ya udah, ganti aja, kalo gitu aku mau martabak buatan pemain Bali yang ganteng itu, yang kamu ajak tukeran baju waktu itu!" seru Cia.
"Putu lagi nggak di sini, dia tinggal di Bali, Sayang," jelas Neron dengan nada lembut.
"Nggak mau tau, pokoknya hari ini kita ke Bali!" Cia tak terima bantahan.
"Kita belum booking tiket pesawat."
"Booking sekarang!"
"Iya, iya. Aku telpon Putu dulu."
Neron mengambil ponsel di dalam saku, mencari kontak Putu di sana guna menghubunginya. Ia menempelkan ponsel di telinga. Akhirnya, sambungan telepon terhubung.
"Halo, Putu."
"Halo, Neron. Tumben nelpon jam segini. Kenapa, Ron?"
"Istriku hamil, dia pengin kamu buatin dia martabak," ujar Neron tak enak hati.
"Mih ratu ... aku aja masak telor langsung jadi arang."
*mih ratu= ya Tuhan.
"Gapapa, Putu. Yang penting kamu masakkin aja dia." Neron sudah tak tahu lagi harus minta bantuan siapa. Ia terpaksa memutus urat malu demi Cia.
"Oke, mumpung aku lagi di kotamu, nih. Kirim aja alamatnya, nanti aku ke sana."
"Nggak usah, biar aku aja yang ke sana," tolak Neron.
"Jangan, Neron. Soalnya aku tinggal di hotel, nggak ada tempat buat masak."
"Oke, aku jemput, ya," tawar Neron.
"Santai aja, Neron. Biar aku yang ke sana naik taksi."
"Maaf ngerepotin, Putu."
"Kayak sama siapa aja minta maaf, santai." Terdengar suara tawaan dari Putu.
"Oke, makasih banyak, Putu."
"Sama-sama, Neron."
Sambungan ponsel akhirnya terputus. Neron menaruh benda pipih tersebut di atas nakas dekat sofa ruang tamu.
Neron kembali menatap Cia. "Nggak usah booking tiket ke Bali, Putu ternyata di sini."
"ASIKKK, KETEMU COWOK GANTENG!" pekik Cia kegirangan. Ia menatap perut sembari mengelusnya. "Nak, kamu bentar lagi bakal ketemu cowok ganteng."
"Nyari kesempatan, ya?" Neron cemburu.
"Enggak, Neron. Sumpah!" seru Cia.
Neron menatap malas cewek itu. "Iya, aku percaya."
Cia peka bahwa cowok itu terlihat kelelahan. Kantung mata makin menghitam, wajahnya tak bersemangat seperti dulu. Ia merasa bersalah karena telah membuat Neron menderita. "Neron."
"Hm?" sahut Neron.
Cia tertunduk sesal, meremat ujung daster ibu hamil yang ia kenakan. "Aku minta maaf udah bikin kamu capek seharian ini. Maaf akhir-akhir ini aku bawel banget. Aku juga nggak mau kayak gini, tapi anak kita pengin yang aneh-aneh mulu."
Neron mengelus lembut surai Cia. "Gapapa, Sayang. Aku sebagai suami harus tanggung jawab dengan kewajibanku, yaitu melayani istri. Maafin aku kalo sering marah karena kamu minta yang aneh-aneh, mungkin itu efek kelelahan. Aku nggak bermaksud marahin kamu ...."
"Aku paham, Ron. Kalo aku jadi kamu juga bakal emosi hadapi cewek cerewet kayak aku."
"Ya udah, kamu duduk di sini dulu sambil nunggu Putu dateng, aku mau nyapu dulu sama buat susu ibu hamil." Neron mempersilakan Cia duduk di sofa panjang ruang tamu.
Ia berjalan ke dapur, mulai meracik susu bubuk ke dalam gelas. Ia sudah menghangatkan air di dispenser sejak pagi, sehingga dirinya hanya tinggal tuang air hangat ke dalam gelas.
"Iya. Makasih banyak udah back up kerjaanku," balas Cia tersenyum.
Neron yang sedang membuat susu seketika menengok. "No, ini bukan kerjaanmu, tapi kerjaan kita. Kita berumah tangga, bukan kamu doang yang berumah tangga. Jangan ngomong kayak gitu."
Cia mengangguk paham. Ia tahu jawaban itu yang akan dilontarkan Neron. "Iya, Neron."
Setelah dirasa tercampur rata, ia memberikan susu itu pada Cia. "Ini susu buat kamu."
Cia mengambil susu yang Neron berikan. "Makasih, Neron."
Neron mengangguk. "Sama-sama, Sayang."
Ketika cowok itu hendak mengambil sapu, tiba-tiba suara bel dari depan pintu rumah berbunyi.
"Nah, tuh dia datang. Aku buka pintu dulu," ujar Neron.
"Oke."
Neron berjalan ke depan pintu rumah untuk membukakan Putu pintu. Setelah ia buka, terlihat cowok itu membawa sekresek belanjaan bahan untuk membuat martabak.
Neron mengajak Putu tos ala lelaki. "Wih, Putu. Akhirnya datang juga. Apa kabar, Bro?"
"Baik, Bro. Kamu gimana kabarnya?" tanya Putu.
"Baik, walaupun sedikit kelelahan karena urus istri," jawab Neron tersenyum tipis.
Putu menepuk bahu Neron. "Wajar, apalagi kalo lagi hamil biasanya rewel dan banyak mau. Sabar aja, Bro."
Neron mengangguk paham. "Ayo, masuk. Istriku udah nunggu."
"Jangan cemburu, ya, Neron, aku jadi nggak enak sama kamu."
Neron bahkan tak kepikiran untuk cemburu. "Santai aja, jugaan istriku yang minta kamu ke sini."
"Syukurlah nggak ngamuk."
"Anjrit!" umpat Neron sembari tertawa. "Ayo, sini."
Mereka masuk ke dalam rumah, Neron menutup pintu rumah setelah keduanya masuk ke dalam, disusul oleh Putu yang berjalan di belakangnya.
"Halo, Putu," sapa Cia sembari berdiri dari sofa.
"Halo, Kak Cia," balas Putu tersenyum ramah.
"Panggil aja Cia, nggak usah pake Kak," ujar Cia.
"Oke, Cia," balas Putu. "Aku kulit martabaknya pake kulit pangsit, tadi mampir dulu beli bahan ke supermarket, soalnya kalo buat sendiri harus direndam minyak dulu adonannya selama beberapa jam, takut anaknya keburu ileran."
"Iya, gapapa, Putu. Minta tolong buatin, ya, soalnya istriku udah ngiler banget," sahut Neron.
"Iya, Neron."
Neron mengajak Putu ke dapur, ia membantu cowok itu membawa bahan, lalu ia taruh di meja dekat kompor.
Putu celingak-celinguk menatap kompor. Pasalnya, ia asing dengan kompor listrik. "Ini gimana cara hidupin kompor?"
"Buset, kalo kayak gini nggak yakin aku sama martabak buatanmu," ujar Neron.
"Yakin aja, walaupun resiko dapur bakal kebakaran." Putu malu sebenarnya ketahuan tidak bisa memasak, namun ia berusaha membantu Neron karena cowok itu tak pernah menganggapnya junior meskipun umur mereka terpaut beberapa tahun.
"Lebih mahal biaya rumahku daripada martabak," balas Neron pada Putu. Ia kini menatap Cia. "Cia, mending aku bantuin buat, ya?"
"Iya, deh ...."
***
Di atas meja ruang tamu, tersedia dua piring martabak telor mini buatan Neron dan Putu. Cia mencicipi kedua makanan tersebut.
"Aduh, yang kiri, kok, kebanyakan daun bawang? Bisa tumbuh daun tenggorokanku kalo kebanyakan makan daun bawang!" protes Cia.
"Neron, gimana ini? Padahal, niatku isiin banyak daun bawang biar pas dibuka isi martabaknya warna hijau. Kan lucu ya isi warna hijau gitu," panik Putu.
"Sekalian isiin rumput buat makan sapi biar hijau," jawab Neron.
"Cia marah, ya?" Putu tak enak hati.
"Enggak, kok, tenang." Neron menenangkan Putu. "Kalo yang kanan gimana?" tanyanya.
Cia memakan martabak telor mini itu. "Lumayan enak."
"Syukurlah." Neron bernapas lega.
"Gila, aku keringet dingin, kayak dinilai sama Chef Juno." Putu mencurahkan isi hati.
"Oh, Chef yang galak suka lempar piring dan tatoan itu?" tanya Neron.
Putu mengangguk. "Iya."
"Itu saudaraku," kata Neron.
"Beneran?" Putu terkejut.
"Bohong."
"Nggak jelas," balas Putu menggeleng heran. "Btw, Neron bakat jadi dagang martabak, kenapa nggak jualan aja di pasar?"
"Yang ada cewek pada pingsan karena terpesona sama aku." Neron menyisir rambutnya, seketika merasa cowok paling ganteng di dunia.
"Semoga anak kita nggak narsis kayak kamu," ujar Cia.
————————-TAMAT—————————-
YEYYY AKHIRNYA CERITA INI UDAH END. Terima kasih banyak buat yang udah vomment, kalo yg ga vomment, usahain vomment yaa. Aku sampe tidur jam 2 pagi cuma buat bagi waktu nulis, kuliah, kerja demi cerita ini hehhehe
Ada yang mau cerita versi Nagara Valerie gaaa? Kalo mau, spam di sini sampe. 250 komen aku buat.
Kira2 bulan puasa aman ga ya buat up cerita Nagara? Soalnya bikin emosi, ketawa tapi ada nangisnya dikit wkwkwk
Jangan lupa promoin cerita ini ke temen2 kalian. Kalo rame, aku mau buat gc khusus readers aku di WA
Sekian cuap2 dari aku, timaaci
Yang mau QnA buat cerita ini, bisa follow @/ay.riana di instagram, nanti di sana kita QnA tentang cerita Neroncia dll
Bye!❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top