28. PLANNING IN THE FUTURE
Halo guys. Walaupun belum nyampe target, tapi aku up yaa. Baik, kan, aku?😝
Btw, lebih suka cowok pinter atau cowok cerdas?
Definisi cowok kece menurut kalian tuh kayak gimana, sih?
Yuk bisa yuk isi komen di setuap paragraf
Happy reading❤️
Cia berenang menghampiri Neron. "Uh, segernya renang jam segini."
"Seger apanya, Cia? Panas banget, anjir. Masa kamu minta renang jam dua siang? Matahari jam segini lagi nyengat banget, Cintaku," komentar Neron.
"Buset, cintaku. Ngakak abis."
Neron mengerut kening. "Kenapa emangnya?"
Cia menghentikan tawanya. "Aneh aja dengernya. Kalo di-translate ke Bahasa Inggris jadi 'my lovely', jadinya nggak aneh didengar."
"Iya, ya." Setelah Neron pikir-pikir, ada benarnya ucapan Cia. "Kenapa, ya, ada beberapa Bahasa Indonesia yang nggak cocok diucapin langsung. Misalnya kayak 'Ah, faster, Daddy!' jadi 'Ah, cepat, Bapak!', 'Harder, Daddy' jadi 'Kerasin lagi, Pak!'"
Tawaan kecil meluncur dari wanita itu. Ia jadi membayangkan jika berteriak dengan kalimat yang Neron sebutkan. "Ngakak, anjir. Bener, sih."
"Seneng, deh, bisa buat kamu ketawa. Mungkin ini basi kalo dibahas terus, tapi aku kadang suka kepikiran gimana kasarnya ucapan aku pas cemburu sama kamu," ujar Neron memegang kedua pundak Cia. "Aku minta maaf, ya?" Tatapan sang pria begitu terluka mengingat perilakunya di masa lalu.
Ia seringkali memposisikan diri sebagai Cia saat merenung. Sungguh, Neron menyesal telah memperlakukan sang istri sebagai pelampiasan emosi. Padahal, kalau cemburu harusnya dibicarakan baik-baik, jangan asal emosi. Untung saja pada akhirnya Cia bertekuk padanya.
Cia tersenyum tipis. Mengingat masa-masa itu memang membuatnya pedih, namun ia paham bahwa Neron belum bersikap dewasa saat itu, apalagi orang tuanya sering membentaknya ketika berbuat salah. Sejak saat itu, ia tahu bahwa cowok itu lebih suka diberitahu secara halus.
"Jadiin perbuatanmu yang dulu sebagai pelajaran di masa depan supaya nggak kayak gitu lagi. Kamu udah gede, harus bisa kontrol emosi. Pastinya kamu tau, dong, kalo emosian itu perbuatan yang nggak baik."
Neron tertunduk sesal, meremat celana yang ia gunakan. Ia malu masih diberi kesempatan untuk berubah, padahal perilakunya sangat buruk pada Cia. "Iya, Neron tau Neron salah. Aku beruntung punya istri sebaik kamu, mau sabar hadapi aku walaupun akhirnya kebablasan juga." Cowok itu menatap kedua retina Cia. "Aku nggak heran kalo Julio sempet tertarik sama kamu, soalnya kamu humble banget."
Penyesalan Neron menurut Cia sudah cukup, jadi ia tak mempermasalahkan atau mengungkit masa itu. Ia merentangkan kedua tangan, memberi kode pada Neron untuk memeluknya. "Sini peluk dulu."
Neron menerjang Cia dengan pelukan hangat. Sungguh, berada di dekapan cewek itu membuat dirinya nyaman. Kenyamanan ini tak bisa ia dapatkan di wanita manapun, kecuali Cia. Ia bicara di ceruk leher wanitanya, "Kamu pasti bosen denger ini. Aku sayang kamu, jangan pernah nutupin masalah kamu, ya? Kalo ada masalah, cerita sama aku, jangan males cerita karena aku bakal emosi."
Cia mengusap lembut dari rambut sampai punggung Neron. Baginya, permasalahan ini harusnya tak usah dibahas lagi. Lagipula, tak baik mengungkit yang lalu-lalu.
Tangan Neron beralih ke pinggang Cia, menatap intens manik mata wanita itu. "Kamu boleh cerita apa aja, termasuk tentang Julio. Aku mau jadi pendengar yang baik buat kamu, jadi orang yang selalu ada di saat kamu ada masalah. Kamu udah sering baik sama orang, bahkan Valerie yang agak miring tingkahnya aja seneng sama kamu karena kamu memang sebaik itu."
Cia masih menyimak apa yang selanjutnya pria itu akan bicarakan.
Neron menelusupkan beberapa helai rambut Cia ke daun telinga. Tatapannya begitu teduh, senyum yang dipancarkan terlihat tulus dari hati. "Sesekali kamu perlu ngeluh, cerita keluh kesah kamu ke aku, jangan dengerin atau jadi tempat tampung curhat mulu. Kamu juga manusia biasa yang punya perasaan. Seringkali aku khawatir kamu terus jadi tempat curhat Valerie, takutnya kamu ikut tertekan sama curhatan dia."
"Serius, enggak, kok. Aku malah seneng bisa jadi tempat curhat dia. Aku paham dia mengalami insiden di luar ekspektasinya, begitu juga dengan Nagara. Sebenernya mereka stress, makanya sering bertengkar, tapi mereka malah pura-pura kelihatan baik-baik aja di depan kita," jelas Cia.
Neron menghela napas, lalu ia embuskan. "Kamu juga gitu, kan, di depan mereka. Apa kamu pernah cerita tentang Julio di depan mereka? Enggak, 'kan?"
"Buat apa aku cerita tentang Kak Julio? Dia bukan masalah buat aku. Lagipula, aku dulu cuma suka biasa, bukan sampe cinta banget. Paling masalahku cuma fans kamu yang suka ngusik aku, tapi aku paham resiko jadi istri kamu emang gitu." Cia berusaha memberi pehamaman ke Neron. Sungguh, dirinya tak berbohong mengenai hal ini. "Kalo ada apa-apa, aku pasti cerita sama kamu, Sayang."
"Maaf udah bikin kamu pusing sama fans fanatikku. Aku nggak suka mereka nyakitin kamu," jelas Neron. "Apa perlu aku buat sayembara untuk orang yang nyakitin kamu supaya dia kapok?"
Cia menggeleng tak setuju. "Nggak usah, Neron, kamu sama aja ngelanggar privasi mereka. Kita nggak bisa nutup jari atau mulut orang untuk bicara yang jelek-jelek tentang kita, yang bisa aku lakuin cuma diemin mereka, habis itu aku block. Beres."
Jari pria itu mengeksplorasi seluruh wajah Cia, tatapanya terus lekat pada kedua retina sang wanita. Jujur saja, ia tak pernah sekagum itu pada wanita. Cia memang lihai menginvasi hatinya. "Nggak salah orang tua aku milih kamu sebagai istri aku, bijak banget."
"Ah, aku nggak sebijak itu, kok, serius. Ada saatnya di mana aku marah-marah pengin maki orang yang hina aku langsung, tapi setelah dipikir-pikir, buat apa gitu selama masih bisa diabaikan," bantah Cia. "Akan tetapi, ada beberapa hal yang harus dipertegas dan nggak bisa didiemin. Intinya, aku bersikap tergantung sikon."
Neron mengangguk. "Memang harus gitu. Nggak selamanya manusia itu baik, pasti ada sisi buruknya, cuma ada orang yang lagi marah bisa kontrol emosinya atau pintar pencitraan, makanya kelihatannya dia baik tanpa cela."
"Bener. Misalnya kita nggak suka sama orang, tapi kita tetep bersikap baik sama dia. Menurutku itu namanya pintar menjaga sikap, bukan pencitraan atau munafik. Masa setiap kita nggak suka sama orang, kita harus marahin dia? Nggak mesti gitu," komentar Cia menggebu-gebu.
Neron tertawa kecil. "Jadi kebayang gimana lembutnya kamu nasehatin anak kita nanti kalo dia nakal, kamu pasti sabar buat hadapi dia."
Cia tersenyum teduh. "Nggak tau juga, soalnya aku nggak bisa prediksi gimana kalo aku bersikap di depan anak kita nanti. Yang pasti aku berusaha jadi ibu dan istri yang baik buat kalian."
"Kalo bisa kamu mending jadi ibu yang baik, sih, selama anak kita belum lahir, kamu udah banyak melayani aku sebagai suami, anak kamu juga butuh kasih sayang," ujar Neron.
Cia merengkuh pinggang Neron. "Aku melayani kamu sebagai bakti istri ke suami bukan berarti aku lupain anak, Neron. Kalian sama-sama berarti di hidup aku."
"Belum punya anak udah halu aja," balas Neron tertawa renyah.
"Anggap aja kita persiapin cara mendidik anak kita kelak," balas Cia tersenyum kecil.
Tawaan keduanya telah berhenti. Suasana kini berubah menjadi romantis. Neron menatap lekat benda kenyal milik Cia, mengusap lembut penuh kasih sayang.
Wanita itu perlahan memejamkan mata, bersiap menerima sambutan bibir dari Neron. Benda kenyal itu melumat milik Cia penuh kelembutan. Tangannya mengusap punggung, hingga pinggang sang puan, membuat Cia semakin terbuai.
Permainan penuh kelembutan dan tempo lambat membuat keduanya semakin menikmati suasana penuh kasih di kolam renang.
Jodoh memang datang tak terduga, Cia tak pernah membayangkan dirinya akan menjadikan Neron sebagai pelabuhan terakhir. Berawal dari adu mulut menjadi cinta ternyata tak hanya terjadi di kisah romantika berlabel fiksi, mereka membuktikan bahwa semua itu bisa menjadi kenyataan.
Semakin kita tak berharap, jodoh semakin cepat datang. Sebaliknya, semakin kita berharap bersatu dengan seseorang, belum tentu kita akan bersatu dengannya.
Jalani saja bagaikan air mengalir, pasti Tuhan akan memberikan jalan terbaik bagi hamba-Nya.
***
Problematika kehidupan Nagara dan Valerie tak ada habisnya. Suasana tetap saja dingin, tak ada kehangatan, apalagi keromantisan di sini. Mereka bicara jika hanya ada perlu, selebihnya sibuk dengan urusan masing-masing.
Kini Nagara membawakan semangkok sup sayur ke meja kamar Valerie. Fyi, villa mereka lumayan besar, jadi mereka tidur pisah ranjang. Cowok itu tak sudi tidur dengan Valerie jika tak diminta oleh cewek itu.
"Supnya udah dateng, lo makan sendiri, gue ada urusan." Nagara terlihat tak ikhlas memberikan sup pada Valerie. Peduli amat, yang penting sudah menjalankan kewajiban sebagai suami.
Valerie menyahut dari balik selimut yang menutupi sekujur tubuhnya. "Hm."
Nagara menatap sekilas cewek itu, ingin bertanya mengapa sembunyi di balik selimut saat bicara dengannya, namun ia berpikir, "Ah, mungkin dia sakit, yang penting gue udah beliin sup."
Nagara melangkah keluar kamar, menutup pintu kamar Valerie dengan keras. Ia kini menuju ruang tengah guna duduk di sofa. Cowok itu mengusak kasar rambutnya, beban pikiran yang tiada henti menguasai pikiran membuatnya stress, tak tahu harus melakukan apa, posisinya di sini serba salah.
"Argh, sialan! Kenapa takdir gue jelek banget mesti nikah sama Valerie?" Ia menjambak surainya. Sungguh, ia benci situasi ini, membuat dirinya seketika lemah tak berdaya. "Gue bukannya benci dia, tapi belum siap punya anak, takut anak gue nantinya gue nggak didik dengan benar, apalagi kalo dia tau ibunya suka main ke kelab malam, takutnya dia malu."
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir seperti setrika di dekat sofa untuk menenangkan diri. "Ya Tuhan ... apakah nggak ada takdir yang lebih baik selain ini? Gue tau gue salah, tapi gue nggak kuat nanggung ini sendirian. Kenapa gue ditakdirkan untuk menikah dengan wanita yang tidak gue cintai? Apakah dosa gue di masa lalu segitu parahnya sampai harus nikah sama Valerie?"
Perlahan, air matanya meluncur begitu saja, namun dengan sigap diusap agar tak terlihat lemah di depan Valerie. "Kalo gue disuruh pisah juga nggak sanggup karena anak gue ada di perut Valerie, bingung, ya Tuhan ...."
Ketika dirinya tengah meratapi nasib, terdengar suara tangisan Valerie dari dalam kamar. Oleh karena itu, Nagara segera berlari ke dalam, takutnya kenapa-napa. Ia tak mau dituduh sebagai suami tak bertanggung jaeab karena tak mempedulikan Valerie. Ingat, perlakuan dirinya pada cewek itu hanya formalitas, tak ada ikatan cinta.
Sesampainya Nagara di kamar Valerie, cewek itu terlihat sedih, menunduk menyembunyikan wajahnya dari Nagara. Ia tak kuasa sedari tak melampiaskan rasa sedihnya melalui air mata.
Nagara berdecak malas. Ia berkacak pinggang. "Lo kenapa lagi, sih? Jangan bikin gue pusing. Gue udah capek sama keberadaan lo, ditambah lagi lo nangis."
Valerie mendongak, mengusap kasar air matanya. Kedua retina wanita itu memerah; kantong mata Valerie mulai menghitam dsn membengkak akibat menangis. "Gue juga nggak butuh bantuan lo. Kalo gue disuruh ngurus anak ini sendirian, gue sanggup."
Nagara kesal. "Sana urus sendiri."
Valerie tertawa miris. Ia merasa keberadaannya tak dihargai oleh Nagara. "Oke." Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil koper berisi baju yang ia bawa dari tempat Valerie. Syukurnya, ia sudah mengemas pakaian dari kemarin malam. "Minggir!"
Nagara segera berlari ke depan pintu, menghalangi Valerie. "Lo mau ke mana?"
"Gue mau urus sendiri anak gue," jawab Valerie.
Nagara benar-benar tak habis pikir. Wanita di depannya sungguh tak tahu diri. Sudah diurus, tapi ujungnya malah pergi. "Sialan! Lo mau kabur, hah?"
"Kenapa emangnya kalo gue kabur? Jugaan gue udah bilang sama lo kalo gue mau urus anak ini sendiri. Mending gue repot ngurus sendirian daripada mental gue rusak, ujungnya berdampak ke anak gue."
Kilatan amarah terpancar di kedua netra Nagara, lautan emosi menginvasi seluruh jiwa. Napasnya naik turun, kedua tangan mengepal erat. Ia menendang koper yang Valerie bawa. "Anjing! Gue selama ini udah cukup sabar sama lo. Lo minta apa pun gue turuti demi anak kita. Terus, sekarang lo mau pergi gitu aja? Manusia nggak tau diri."
Valerie mengambil koper yang ditendang Nagara. "Gue nggak punya waktu untuk drama, permisi."
Nagara kembali menyingkirkan koper Valerie dengan tendangan. "Oh, shit! Kenapa gue yang harus selalu ngalah sama lo? Lo egois, Valerie. Pikirin anak kita. Lo pikir gue bertahan di sini karena sayang sama lo? Enggak!"
Valerie tertawa miris sebelum emosinya semakin meledak. Ekspresinya berubah menjadi murka. "Otak lo pake, Anjing! Lo pikir lo nggak nyakitin gue dengan ucapan lo? Gue sakit hati, anak kita juga sakit hati."
"Lo pake alibi anak mulu supaya gue nggak jujur tentang perasaan gue ke lo. Memangnya apa yang bikin lo naksir sama gue?" tanya Nagara.
Pertanyaan itu membuat emosi Valerie sedikit mereda. "Awalnya cuma pengin bertahan karena anak, tapi lama-lama rasa sayang itu tumbuh dengan lancangnya. Gue udah berusaha nolak kenyataan kalo gue sayang sama lo, tapi gue nggak bisa, Nagara."
"Itu cuma pengaruh anak, nggak usah dipikirin," ketus Nagara. "Balik ke tempat tidur, jangan buat drama. Lagipula, gue nggak tertarik sama cewek nggak perawan dan bibir diobral sana sini."
Valerie tak terima dirinya dihina bagaikan binatang tak berguna. Ia tak pernah menyakiti Nagara ataupun menjebaknya supaya ada di club malam. Mengapa dirinya yang seolah paling salah di sini? Bukankah ini salah mereka harusnya tanggung bersama? "Asal lo tau, lo yang ngambil virginity gue. Gue memang pernah ciuman sama mantan, bukan berarti gue bisa ngelepas aset berharga gue gitu aja." Wanita itu mengatur napas agar tak semakin larut dalam lautan emosi. Ia masih memikirkan anak yang sudah ia kandung selama tiga bulan. "Lo pikir gue nggak tertekan karena ini? Gue masih belum terbiasa, Gara. Masa muda gue diambil gitu aja dalam semalam."
"Lo juga ambil masa muda gue, Vale!" balas Nagara tak terima dirinya disalahkan. "Gue sangat selektif memilih cewek, tapi karena kita mabuk waktu itu, kita jadi terbawa suasana."
"Udah, ya. Tolong minggir, Gara." Valerie tersenyum paksa.
"Jangan pergi!" cegah Nagara.
"Jangan halangin gue," balas Valerie.
"Jangan. Pergi," ujar Nagara menekankan di setiap kata. Ia langsung menggendong Valerie ala bridal tanpa aba-aba.
Valerie memberontak, memukul bahu Nagara agar menurunkannya. "Turunin gue!"
Nagara tak peduli akan ucapan Valerie. Ia menaruh dengan hati-hati tubuh wanita itu di ranjang, takut sang anak terluka. "Istirahat."
Valerie hendak pergi, namun Nagara sigap naik ke atas tubuh wanita itu, menahan kedua tangannya. "Nagara, lo kelewatan."
Ia menatap intens kedua netra Valerie. "Apa pun bakal gue lakuin demi anak kita."
***
"Cia."
—-
Lagi 2 part cerita ini tamat hehhee. Cerita ini jujur ga terlalu seru karena ga ada konflik yg gmn2, tapi aku buat cerita ini karena mau refreshing sama kegiatan RL
Oke, pemirsahhhhh. Seperti biasa, bestie. Mari kita spam komen
Spam emot kesukaan kalian di sini
Spam "Nana cantik" for next chapter
Spam "Cia" for next chapter
Spam "Neron" for next chapter
2k komen aku up
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top