2. PERJODOHAN

Halo, sesuai janji, aku update yaa. Sebenernya aku ada acara keluarga, untungnya agak telat mulainya, jadinya bisa update

Kalian nyari rekomendasi cerita lewat tiktok atau wattpad?

Lebih suka baca AU twt atau wattpad?

Siapa yang jomblo di sini?

Happy reading❤️

Monica seketika panik. Selama ini, ia tak pernah bilang rencana ini ke Neron. "Kok, kamu tau?"

Neron tadinya berdiri di depan pintu rumah karena baru datang dari lapangan. Setelah itu, ia berjalan ke arah Helena dan Monica sembari mengelap keringat. "Jelas tau, dong. Neron sering nguping dan ngintip kalo Tante Helena datang."

"Kenapa sampai mengintip begitu? Berharap Cia ikut sama Tante, ya?" tanya Helena bertubi-tubi. Ia sengaja memancing Neron agar bicara jujur tentang perasaannya terhadap anak semata wayangnya.

"Hehehe ...." Neron hanya bisa cengengesan sambil garuk kepala kayak monyet kutuan.

"Ah, sudah Tante duga," ujarnya menggeleng heran. "Kelakuan anak jaman sekarang beraninya cuma cinta dalam diam, harusnya kejar, dong!" Helena menyemangati Neron.

Menurutnya, Neron benar-benar tipe idaman. Sudah tampan, tubuh proporsional, dan berpenghasilan karena menjadi pemain bola termahal di Indonesia. Mana ada cowok begini di kehidupan nyata? Palingan cuma bisa halu di wattpad kayak yang kita lakuin sekarang.

"Gimana mau ngejar, Tante? Cia jutekin saya terus."

Helena berdecak malas. "Kamu, sih, suka menganggu anak saya, jelaslah dia risih!"

"Itu salah satu cara buat deketin Cia. Saya nggak tahu lagi cara deketin dia." Neron tampak putus asa. Ia tahu Cia suka Julio, makanya ia sengaja mencari gara-gara agar bisa berinteraksi dengan cewek itu.

"Nah, maka dari itu kami jodohkan kalian. Kamu mau, kan?" tanya Helena menaikkan kedua alis.

"Jujur, Tante. Saya senang kalau dijodohkan dengan Cia," ia menjeda kalimat sejenak, "akan tetapi ... saya khawatir Cia malah membenci saya."

Helena tersenyum tenang. "Kamu tenang saja, Cia bukan tipe yang gampang benci orang."

"Baiklah, Tante."

***

Cia kini sudah sampai di rumah, bokongnya mendarat dengan mulus di sofa ruang tengah, tangan kanan perempuan itu mencomot beberapa kacang di toples, sesekali melirik ke arah televisi yang sedang menampilkan adegan pukul-pukulan. Jujur saja, ia masih kesal dengan Neron karena cowok itu selalu saja menggagalkan jiwa cabe-cabeannya setiap ada di dekat Julio.

Begini, walaupun nantinya Julio punya kekasih, paling Cia hanya sedikit sakit hati. Ia tak secinta itu dengan Julio.

"Cia, kamu udah makan?" tanya Ciaro—Papa Cia. Pria itu bicara sembari menonton series My Name di Netflix.

Cia menggeleng. "Belum, Pa. Aku baru aja kelar jogging."

Ciaro mem-pause series di televisi, lalu mengalihkan atensi pada Cia. "Nanti malam mau, ya, makan malam di rumah Neron?"

Cia mengerut kening. "Loh? Kok, makan di sana?"

"Ada perayaan penting," jawab Ciaro.

"Oh, Om Andreas sama Tante Monica ngerayain anniversary pernikahan, ya?"

Ciaro tersenyum penuh arti sembari mengedikkan bahu. "Entah."

"Ish! Jawabannya gak memuaskan!" Cia mencebik kesal. Ia curiga pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ciaro. Semoga saja hal itu tidak membuatnya marah.

"Nanti aja pas nikah kamu dibikin puas sama suami kamu," tutur Ciaro. Keluarga beringin—saingan dari keluarga cemara ini memang tak sungkan melontarkan candaan yang menjurus ke hal dewasa. Ia tahu anaknya sudah dewasa, pasti sudah tahu mana yang baik, mana yang buruk.

"Apaan, sih! Siapa juga yang mau nikah?"

"Lambemu bau terasi, Nak. Gak boleh ngomong gitu," ledek Ciaro sambil menutup hidung, seolah mulut anaknya bau.

"Ah, terserah Papa, deh!" Cia mulai pasrah.

"Inget, kamu harus datang ke rumah Neron, nanti bareng Mama dan Papa, kok."

"Ya." Cia sekedar menjawab.

"Ya sudah, mandi dulu sana, badanmu bau beruk."

Cia berdecak malas. "Punya Papa sukanya roasting anak sendiri."

Ciaro tertawa kecil. "Papa suka ngejek kamu tandanya sayang."

"I know, tapi nyebelin."

"Anggap aja kamu simulasi punya suami suka ngejek-ngejek."

"Hadeh, kayaknya Papa kebelet punya mantu, mending Papa aja yang nikah lagi biar punya istri baru."

Ciaro menggeleng cepat. "Gak mau, ah! Punya Papa lebih besar dan tahan lama, Mama kamu udah ketergantungan sama punya Papa."

"Apanya, tuh, yang tahan lama?" tanya Cia tersenyum penuh arti.

"Belalai tembemnya, Nak," jelas Ciaro. Pria itu tersadar pembicaraan mereka malah melantur ke mana-mana. "Aduh, kok, jadi ngomongin gini? Cepetan mandi sana!"

"Iya, iya!" seru Cia menghentakkan kaki seperti paskibraka gagal. Langkahnya saja tak jelas.

***

Hari sudah mulai gelap, pertanda hari menuju malam. Seperti yang dibicarakan tadi, hari ini akan ada makan malam bersama keluarga Cia. Oleh karena itu, keluarga Neron sedang menyiapkan makanan dan mengelap meja makan.

Mereka juga sudah tampil rapi menggunakan kemeja hitam. Aroma maskulin dari parfum kedua pria itu menyeruak ke seluruh ruangan, bertempur dengan hebatnya aroma masakan. Andreas—Papa Neron memang suka meminta parfum anaknya karena suka aroma dan pastinya lebih mahal darinya.

Penghasilan Neron jauh lebih besar dibanding Andreas. Fyi, Andreas bekerja sebagai pengusaha sembako.

"Neron, apa yang kamu lakuin kalo Cia nolak perjodohan ini?" tanya Andreas sembari menyeprotkan cairan pembersih ke meja.

Neron yang tengah mengelap meja seketika terhenti pergerakannya. "Pertanyaannya horor banget, Pa."

"Papa takut kamu sakit hati nanti kalo Cia nolak perjodohan. Siapin dari sekarang reaksi kamu."

Neron terdiam sejenak. "Hm, sedih, sih, tapi aku berusaha berlagak gak mau dijodohin, padahal tetep aja bakal nikah. Cia memang jutek, tapi kalo orang tuanya yang bilangin, pasti dia bakal nurut, walaupun dia marah-marah dulu."

Andreas tertawa renyah. "Hapal sekali kamu kelakuan Cia."

"Iya, dong."

"Para lelaki jantan, tolong bantu Mama pindahin masakan yang udah mateng ke meja makan, dong. Mama mau bersihin kompor sama wastafel dulu," titah Monica.

"Iya, Mama cantik," jawab Neron.

Neron melangkah ke dapur, lalu membantu Mamanya mengangkat makanan ke meja makan. Setelah semuanya beres, akhirnya mereka duduk manis di kursi depan meja makan.

Suara bel berbunyi dari depan rumah Neron, membuat mereka keluar menemui sang tamu. Benar saja, ternyata keluarga Cia yang datang. Cia tampil dengan gaun simpel warna hitam, namun tetap elegan.

"Permisi, kami tetangga sebelah," ujar Ciaro.

"Cia cantik sekali," puji Monica.

"Terima kasih, Tante."

"Ayo, masuk."

Setelahnya, mereka masuk ke dalam rumah keluarga Andreas, lalu duduk di kursi depan meja makan kecuali Andreas dan Ciaro. Makanan yang tersedia di meja ini berupa nasi putih, cap cay dan ayam mentega.

"Pak Andreas!" sapa Ciaro pada Andreas.

Andreas berdecak malas. "Buset, lo manggil gue pake 'Pak' segala, dulu aja lo manggil gue 'Ndre'."

"Kita udah tuir sekiwir-kiwir alias tua, jamgan aneh-aneh, deh, panggilannya," peringat Ciaro.

"Ya udah, Kakek Ciaro, silakan duduk."

"Sialan Bapack-Bapack yang satu ini," balas Ciaro menatap malas Andreas. Tatapannya beralih pada Neron. "Kamu kapan tanding lagi, Neron?"

"Dua bulan lagi, Om," jawab Neron.

"Tanding buat Timnas atau club?" tanya Ciaro.

"Club, habis itu Timnas."

Ciaro mengangguk paham. "Padat, ya, jadwal kamu."

"Iya, Om," sahut Neron.

"Kalo kamu ke club, berarti kamu harus ke kontrakan kamu deket tempat latihan, dong?"

"Iya. Harus diem di sana, soalnya pasti bakal latihan rutin juga."

Tatapan Ciaro beralih pada Cia. "Cia, kayaknya kamu bakal tinggal di kontrakan."

"Kenapa gitu?" tanya Cia mengerut dahi.

"Soalnya pas kamu nikah sama Neron, pasti bakal ke kontrakan dia."

"Maaf, Pa. Maksudnya gimana, ya?" Cia masih tak mengerti.

"Yang namanya jodoh pasti selalu ngikut, apalagi bulan depan kamu akan menikah dengan Neron."

Cia sontak terkejut, matanya terbelalak. "Aku dijodohin gitu sama dia?"

"Iya."

"Serius?"

"Milyarius malah," tutur Ciaro.

"Kami gak saling mencintai, Pa. Kalo dipaksa takutnya bakal hancur."

"Neron, kamu setuju sama Cia?" tanya Ciaro pada Neron.

"Setuju, Om. Soalnya cinta tumbuh karena terbiasa. Aku bakal ketemu Cia terus, pasti bakalan cinta nantinya," jawab Neron.

Cia tak terima akan jawaban Neron. "Lo gila, Ron?"

Neron menggeleng, seolah tak ada beban. "Enggak."

"Anjir, kacau kalo gini!" seru Cia mengusak rambutnya.

"Lo pasti gak bisa nolak, omongan orang tua harus dituruti, Cia," nasihat Neron.

"Ya, emang. Tapi, gue takut rumah tangga kita hancur."

"Jangan nyari alasan, Nak. Bulan depan kamu akan menikah dengan Neron," timpal Helena.

"Ya Tuhan ... gimana hancurnya rumah tangga aku kalo nikah sama Neron?"

"Nak, turuti apa mau orang tua, ya? Lagipula, kami sudah memikirkan matang-matang," bujuk Monica.

"Ya udah, aku nurut."

***

"Anjir lo!"

————

Yuhuuuu apaan tuh tiba2 anjir? Wkwkkw

Pengen makan cheese naan btw :(

Aku udah bangun kok dari tadi kalo ada yang ngira aku tidur wkwkkw, aku dari tadi sibuk bantuin orang tua nyiapin makanan sama minuman buat acara keluarga

Spam emoticon kesukaan kamu di sini👆

Spam "Neron" di sini kalo mau next

Spam "Cia" di sini kalo mau next

400 komen aku update yaa

Tbc❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top