19. PERTEMUAN
Part ini panjang banget, aku sendiri nulisnya agak mual (ini serius wkwkw). Aku tau pembaca udh pada kabur karena aku sempet ga update 3 hari waktu itu, tapi gapapa, aku tetep tulis cerita ini sampe akhir👍
Di bulan ini kalian ada borong belanjaan?
Suka makanan apa?
Happy reading❤️
"Akhirnya kalian datang," ujar Cia sudah menunggu kedatangan Nila di depan pintu. Ia tahu gadis itu pemalu kalau bertemu dengan orang yang belum pernah ia temui sebelumnya.
"Gue cuma nganter Nila, kok. Habis ini mau balik," tutur Julio.
"Nanti lo bolak-balik gitu buat jemput Nila?" tanya Cia.
Anggukan diberikan oleh Julio. "Iya."
"Mending diem di sini aja, kasian lo bolak-balik," saran Cia.
Julio tersenyum, memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. "Gapapa. Mending gue bolak-balik daripada panas sendiri."
Nila sebenarnya ingin Julio berada di sini, namun ia paham kalau cowok itu tak mau di sini karena menahan cemburu.
Cia mengangguk paham. "Ya udah, deh, kalo gitu, hati-hati, ya."
"Iya, Cia. Tolong jagain Nila dari sergapan buaya," ujar Julio seraya melirik Nila. Cewek itu hanya tersenyum.
Cia mengacungkan jari jempol. "Iya, Kak."
Julio berjalan ke luar rumah Cia. Pada saat ia hendak masuk mobil, kedua netranya bertubruk dengan netra Steven. Steven baru saja tiba di rumah Neron dan Cia mengendarai sepeda motor yang ia parkirkan di dekat rumah mereka. Tak ada senyum di antara keduanya, membuat mereka berlalu begitu saja dengan tujuan masing-masing.
"Itu siapa, Cia?" Steven bertanya pada Cia.
"Temen gue, Steven," jawab Cia. Ia melirik Nila. "Oh, iya, kenalin ini Nila."
Steven tersenyum pada Nila, lalu menjulurkan tangan. "Steven."
Nila membalas jabat tangan Steven. "Nila."
Steven mengangguk paham. Ia melepas tangannya di tangan Nila. Atensinya beralih ke Cia. "Temen satu kampus?"
"Satu kelas malahan," jawab Cia.
"Oh, gitu ...," ungkap Steven.
Cia menatap keduanya bergantian. "Ayo masuk, Nagara sama Neron udah nunggu di dalam."
"Ayo," jawab Steven.
Cia merangkul Nila, membawanya masuk ke dalam rumah, disusul oleh Steven berjalan di belakang kedua perempuan paras bak bidadari itu. Tak lupa Cia menutup pintu setelah Steven masuk.
Sesampainya di dalam sana, Nagara dan Neron langsung berdiri dari sofa. Padahal, tadinya mereka lagi duduk sembari membicarakan pertandingan di Liga 1.
Neron mengajak tos Steven ala laki-laki. "Wih, apa kabar, Bro?"
Cia mengajak Nila untuk duduk di sofa yang terletak di samping sofa mereka.
Steven membalas tos dari Neron. "Baik, Bro."
"Lusa lo ke Bali buat tanding, ya?" Kini Nagara yang bertanya.
"Iya," jawab Steven. "Lumayan sekalian buat liburan."
"Duduk dulu, Steven," titah Cia.
Steven mengangguk, lalu duduk di samping Neron dan Nagara. Ia kembali melanjutkan pembicaraannya, "Anjir, gue minggu depan lawan club Bali."
Neron mengepalkan tangan sebagai bentuk tanda penyemangat. "Semangat, Bro."
Steven mengacungkan ibu jari. "Yoi."
Neron melirik Nila sekilas, ia teringat cewek itu adalah salah satu penggemar Steven. Ia berdeham. "Oh, iya, Steven, temen gue katanya nge-fans sama lo, dia mau minta tandatangan sama fotoan."
"Maksud lo Nila?" tebak Steven.
"Iya," sergah Neron.
"Oh, tadi gue udah kenalan di depan rumah lo," sahut Steven mengangguk. Cowok itu menatap Nila, mengayunkan jari-jari kanan naik turun. "Ayo sini, La, kita fotoan. Mau sekalian mutual-an di Instagram?"
Cewek itu mendekat ke arah Steven, lalu Neron dan Nagara pindah tempat duduk agar Nila bisa duduk di samping cowok itu. "Wah! Boleh, nih?" Nila terlihat tertarik akan penawaran Steven.
Steven mengangguk mantap. "Boleh, dong! Kan, gue yang nyuruh."
"Oh my god, seneng banget gue!" Nila tak kuasa menahan rasa senangnya ketika bertemu Steven, idolanya.
Cia tersenyum penuh arti. "Cie, akhirnya ketemu idola."
"Kiw!" celetuk Neron.
Nila menaruh telunjuk di depan bibirnya. "Stt, diem."
"Heh, jangan gitu, nanti pacarnya marah," tegur Steven.
"Gue nggak punya pacar," bantah Nila.
"Terus, yang nganterin lo tadi siapa?" tanya Steven penasaran.
"Temen, kok," jawab Nila.
"Ralat, calon pacar," koreksi Neron.
"Oh, calon pacar. Dia nggak marah kalo kita fotoan bareng?" tanya Steven. Dia was-was kalau Julio akan melabraknya mengingat tadi saat bertemu di depan rumah Neron dan Cia, tatapannya tidak bersahabat.
"Enggak, dong, kan dia belum jadi pacar gue. Jadi, dia nggak ada hak buat larang gue," jelas Nila.
Steven merogoh ponsel dari saku, membuka aplikasi kamera. Ia sudah siap untuk berfoto. "Ya udah, ayo kita fotoan kalo gitu."
Nila mengangguk.
Steven mengarahkan kamera depan pada ponsel ke wajah dirinya dan Nila. Ia dan Nila tersenyum. "Satu, dua, tiga!" Cowok itu menekan tombol penangkap foto.
Nila tersenyum senang. "Makasih banyak."
Steven mengangguk. Ia senang rasanya bisa menyenangkan penggemarnya, apalagi melihat orang bahagia karenanya adalah suatu anugerah baginya. Ia merasa tanpa fans, dirinya bukan apa-apa. "Gue tanda tangan di mana, nih?"
"Sebentar." Nila membuka tas gendongnya, mencari suatu barang yang Steven tidak ketahui. Ternyata, cewek itu mengambil jersey di dalam tas. "Di jersey ini."
"Widih, mantap. Gue tanda tangan, ya?"
"Iya," balas Nila sembari memberi spidol khusus papan tulis kepada Steven.
Steven membubuhkan tanda tangan miliknya di baju khusus bermain bola tersebut. Setelah itu, ia memberikannya pada Nila.
"Makasih banyak, Steven."
"Sama-sama, La. Jangan sungkan kalo mau minta tandatangan atau apa pun itu," ujar Steven.
"Iya, Stev," balas Nila.
"Minta uang aja sekalian, siapa tau dikasih, La," celetuk Nagara tertawa kecil.
"Kalo dia mau, gue kasih aja buat jajan," ungkap Steven.
Nila seketika panik. Ia menggeleng keras. "Nggak usah repot-repot."
"Oke, oke." Steven tertawa melihat tingkah Nila, sangat lucu di matanya. "Btw, boleh nggak gue post foto kita ke sg?"
"Boleh," sergah Nila.
"Bener, ya?" Steven hendak memastikan.
"Yoi," jawab Nila.
Steven mengambil ponsel, membuka aplikasi Instagram pada benda pipih itu. Jemarinya lincah menggeser beranda sosial media itu, menampilkan snapgram. Ia memilih fotonya bersama Nila, serta menandainya dalam foto tersebut. "Udah."
"Awas lo dikira punya pacar baru, nanti Nila di-bully," peringat Neron.
Steven mengalihkan atensinya pada Neron. "Tenang, gue nggak seterkenal lo, Neron, nggak bakal ada yang nyerang."
"Belum tentu, loh," ujar Nagara.
"Gue yang tanggung jawab kalo ada yang bully Nila gara-gara fotoan sama gue."
"Oke," jawab Neron pada akhirnya.
***
Setelah tadi bertemu dengan Steven, Nila akhirnya dijemput Julio naik mobil. Kini mereka tengah perjalanan menuju rumah cewek itu.
"Gimana tadi ketemuan sama Steven?" Julio membuka pembicaraan. Ia bicara sembari menatap jalanan.
"Seru banget, orangnya juga ramah!" Mengingat momen bersama Steven, Nila seketika tersenyum cerah. Ia bersemangat membicarakan cowok itu.
Rasa cemburu menyelimuti perasaannya. Ibaratnya gunung aktif, hatinya sebentar lagi akan meledak menyemburkan lava. "Lebih ramah dia atau gue?"
"Sama aja, sih," jawab Nila. Ia belum peka bahwa cowok itu dilanda api cemburu.
"Oh," ketus Julio.
"Julio," panggil Nila.
"Apa."
"Gue mau jawab tawaran lo waktu itu."
Sontak, cowok itu tak sebal lagi seperti tadi. "Jadi, gimana?"
"Gue mau jadi pacar lo," jawab Nila tersenyum cerah.
Julio menepikan mobil ke sebelah kiri, tepatnya di dekat komplek menuju restoran. "Seriusan?"
"Duarius malah."
Julio seketika mengguncangkan tubuh Nila. "Anjay! Makasih banyak, Nila. Yuhuuu!"
"Jul, nyetir," peringat Nila.
"Iya, iya." Julio tertawa kecil. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagia, hal itu terpancar jelas di wajahnya. "Kamu udah makan belum, Pacar?"
"Anjir," Nila tertawa Julio menyebutnya 'pacar', "belum, Jul."
"Mau nggak mampir makan di restoran dulu?" tawar Julio.
"Boleh."
Jawaban Nila membuat Julio memacu kendaraannya ke restoran mewah dekat sana. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai sana. Ia membuka sabuk pengaman, keluar dari pintu mobil, lalu membuka pintu mobil untuk Nila. Ia menggandeng kekasihnya ke dalam restoran, mengajaknya duduk di kursi yang menghadap ke pemandangan jalanan sore.
Julio dan Nila kini melihat daftar menu di buku menu. Membuka lembar demi lembar guna mendapat makanan dan minuman yang diinginkan.
"Kamu mau pesen apa?" tanya Julio.
"Julio, ini mahal-mahal banget ...."
Julio mengerut kening. "Bukannya kamu sering makan gini, ya?"
"Nggak sering juga, sih, tapi ini mahal ...."
Sungguh, Nila tak enak hati dengan Julio. Ia tahu cowok itu yang akan membayar makanannya nanti. Ia seringkali berusaha untuk membayar makanan, namun Julio tak pernah memberinya.
"Santai aja, Nila. Aku yang bayar," ujar Julio sembari tertawa kecil.
"Nah, justru itu makanya aku nggak enak," jawab Nila menatap Julio.
"Udah, ya? Pokoknya kamu duduk, diam, makan dengan tenang. Oke?"
Nila mengangguk pasrah. "Oke."
Julio mengalihkan atensinya ke pelayan yang berdiri di dekat sana. "Mbak."
Lantas, pelayan itu datang menghampiri Julio dan Nila. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau steak salmon pakai mashed potato, minumnya ice tea," kata Julio, membuat pelayan itu mengeluarkan catatan kecil, mencatat pesanan Julio di sana.
"Kalo kamu apa, La?" tanya Julio pada Nila.
"Aku samain aja." Nila memang suka makanan yang Julio pesan. Selain itu, ia juga tak mau meminta makanan yang lebih mahal dari cowok itu.
"Oke, dua steak salmon with mashed potato, dua ice tea, ya."
Pelayan perempuan itu membaca daftar pesanan mereka yang ia catat di catatan kecil. "Baik, saya ulangi. Dua steak salmon with mashed potato, dua ice tea, ya, Kak."
"Iya," seloroh Julio.
Sang pelayan memasukkan kertas kecil ke dalam saku. "Baik, silakan ditunggu pesanannya."
"Terima kasih, Mbak."
***
Neron dan Cia tengah menonton kartun Spongebob di televisi, sekalian mengenang masa kecil yang belum mengenal masalah dan ingin dewasa. Namun, saat sudah dewasa, rasanya ingin kembali menjadi anak-anak yang pada umumnya tak memikirkan masalah berat.
"Cia, hari ini kita jadi ke mall?" tanya Neron.
"Jadi, dong. Bahan di kulkas udah mau habis, sekalian belanja di sana," jawab Cia.
Neron mengendus ketiak Cia. "Pantesan kamu udah mandi jam segini."
Cia geli cowok itu mengendus ketiaknya, untung saja dirinya memakai deodorant. "Heh! Biasanya aku juga mandi, ya!"
"Tapi nggak jam segini, Cia," ungkap Neron.
Cia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya, sih ...."
Neron bangkit dari sofa. "Ya udah, aku ganti baju dulu."
Cia mengerut kening. "Nggak mandi lagi?"
"Kan, udah pas mau berangkat kuliah tadi," tutur Neron.
"Mandi cuma sekali sehari," ejek Cia pada Neron.
"Iyalah! Ngapain juga mandi dua kali? Boros air."
"Jorok!" ledek Cia menutup hidung, seolah badan suaminya bau asem.
"Tapi, ganteng, 'kan?" Neron merapikan rambut, tebar pesona layaknya jablay pada Cia.
"Iya, sih ...." Cia setuju kalau suaminya tampan.
"Aku ganti baju dulu, kamu tunggu di sini," kata Neron.
Cia mengedipkan sebelah matanya. "Mau ngintip, ah ...."
Neron tertawa gemas. "Mulai nakal, deh."
"Bercanda. Aku tunggu di sini."
"Iyaa."
Neron berjalan ke lantai atas untuk berganti pakaian. Tangga demi tangga ia lewati guna sampai ke kamarnya. Setelah sampai depan sana, ia membuka pintu, lalu menutupnya kembali.
Selang tiga menit kemudian, Neron datang dengan memakai baju kaos oblong hitan dan celana jeans robek. Untuk alas kaki, ia memakai sepatu kets warna putih. Walaupun simple, tapi harga outfit-nya mahal. Baju kaos oblongnya saja seharga lima juta rupiah.
"Ayo berangkat," ajak Neron pada Cia.
Cia berdiri dari sofa. "Kuy."
"Aku ke mobil duluan, kamu kunci rumah," ungkap Neron.
"Iya, Neron."
Neron berjalan lebih dulu ke keluar rumah, lalu disusul oleh Cia yang mengambil kunci rumah di atas kulkas, kemudian mengunci rumah mereka. Cia membuka pagar rumah agar Neron bisa mengeluarkan mobil.
"Kamu keluarin mobil dulu, aku mau buka pagar sama ngunci pagar," ujar Cia.
"Yoi," jawab Neron.
Neron mengeluarkan mobil ke luar pekarangan rumah mereka, menunggu Cia agar menutup pagar, serta masuk ke dalam kendaraan beroda empat merek Lamborghini Huracan EVO AWD yang dibanderol seharga dua belas miliar rupiah.
"Yuk," ajak Neron pada Cia, lalu memegang tangan cewek itu dengan tangan sebelah kiri.
"Eh, kamu bisa nyetir pake tangan satu? Bahaya, loh," peringat Cia.
"Bisa, Sayang. Kalo gitu ngapain aku nekat?"
Cia mengangguk pasrah. "Okelah."
"Jadi nggak main ke timezone?" Neron membuka topik baru.
"Jadi, dong. Aku udah ngidam banget main di sana!" Cia terlihat antusias.
Neron melepas tangan Cia, lalu menaruhnya di setir. "Kamu hamil?"
"Enggak, Sayang. Maksudnya, aku pengin main di sana gitu," jelas Cia.
"Oh, kirain hamil," ujar Neron menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ngomong-ngomong soal hamil, kamu pengin punya anak cewek atau cowok?" tanya Cia.
"Apa aja boleh, aku nggak mau nuntut kamu punya anak cowok atau cewek. Anak itu anugerah dari Tuhan, misalnya kalo aku nggak dapet anak yang aku pengin, ya kali dibuang gitu? Kan nggak gitu konsepnya."
Cia menghela napas lega. "Syukurlah. Aku takut kamu nuntut harus punya anak cowok atau cewek, habis itu kalo nggak dapet anak yang kamu mau, kamu siksa atau buang."
"Enggaklah, Cia. Nggak mungkin aku tega sama anak kita. Aku, sih, emang nggak pernah ngelahirin karena nggak mungkin juga, kan, ya, tapi aku tau kalo melahirkan itu sakit banget, terus aku sakitin kamu lagi dengan nolak keberadaan anak kita. Apa nggak gila tuh?"
Cia menatap kagum Neron. "Jujur, aku kagum sama pemikiran kamu."
"Sebenernya ini hal normal yang nggak perlu dikagumin, memang seharusnya seorang ayah kayak gitu. Mungkin karena di luar sana masih banyak yang menolak keberadaan anak karena anaknya cewek misalnya yang membuat kalo nemu orang yang bisa nerima anaknya jadi kagum," tutur Neron.
"Bener banget. Seharusnya itu kewajiban sebagai calon orang tua buat menerima apa pun anaknya. Nggak ada istilah anak cewek nggak bisa bikin keluarga maju, lemah dan bikin sial, nggak ada istilah anak cowok doang yang punya kesempatan buat memiliki pendidikan yang baik, semua punya kesempatan yang sama."
Neron memberhentikan mobilnya di dekat mesin tiket parkir. "Tanpa sadar, kita udah nyampe di depan tempat tiket parkir."
Cia terkekeh kecil. "Karena keasyikan ngobrol."
Neron kembali menjalankan mobilnya. "Serius, ngomongin hal kayak gini perlu banget menurutku. Kita udah nikah, banyak yang harus diomongin tentang keluarga kecil kita, mulai dari buat asuransi buat anak kita nanti, sampai gimana pendidikan, serta cara mendidik dia biar jadi anak yang baik dan pintar."
"Semoga aja anak kita nggak emosian dan sensi kayak pantat bayi. Ada, tuh, orang kayak gitu." Cia melirik sinis Neron.
Neron seketika manyun. "Nyindir aku, ya?"
Cia mengangguk. "Iya."
Neron memberhentikan mobilnya ketika melihat parkiran kosong. Ia membuka seatbelt. "Dasar." Lalu, ia mendekatkan tubuhnya ke tubuh Cia.
"Eh, mau ngapain deket-deket? Jangan buat mesum mentang-mentang parkir di basement." Cia panik.
Neron tertawa melihat kepanikan Cia. Ia melepas sabuk pengaman yang cewek itu kenakan. "Pikiranmu aja yang mesum, aku mau lepasin seatbelt kamu, Sayang."
"O-oh ...."
"Yeu, otak mesum. Kebanyakan baca wattpad mesum, sih!" seru Neron.
"Sttt, jangan keras-keras ngomongnya."
"Tapi, pas kita pertama kali gituan, kamu teriak keras-keras di ranjang, mana suaranya 'Ah, Neron!'."
Cia memukul bahu Neron. "Diam kau, Bajingan!"
"Terus, kamu teriak 'Neron, cepet—'"
Cia mendelik kesal. "Udah, diem!"
Neron mencolek dagu Cia. "Cie, malu, ya?"
Cewek itu menepis kasar tangan Neron. "Iyalah!"
Neron tertawa. Ia turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Cia. "Silakan turun, Putri Jigong."
Cia turun dari mobil. "Terima kasih, Pangeran Dugong."
Neron tertawa mendengar ejekan Cia. Tangannya sekarang memegang pinggang cewek itu.
Cia melirik tangan Neron yang diam di pinggangnya. "Seperti biasa, tanganmu selalu di pinggangku."
Setelah masuk ke dalam mall, banyak kaum hawa memandang Neron penuh kagum. Cia melirik mereka. Ia tersenyum penuh arti.
Belum aja dibentak Neron, auto ilfeel lo pada, batin Cia.
"Iya, dong. Biar nggak kabur sama dilirik cowok lain," jawab Neron.
"Kita belanja dulu, ya, nanti baru ke timezone," ujar Cia.
"Oke."
"Neron, minta foto!" seru seorang cewek yang diduga penggemar Neron.
"Neron, I love you!"
"Astaga, lebih ganteng aslinya dibanding di TV ...."
Cia tersenyum pada mereka, lalu menatap Neron. "Neron, kamu mending fotoan dulu, deh."
"Kamu gapapa?" tanya Neron.
Cia mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan semua ini. "Gapapa, Sayang."
"Nggak jadi fotoan, deh, nggak enak sama istrinya Neron," tutur cewek itu.
"Santai, fotoan aja gapapa, kok," jawab Cia.
Cewek itu—salah satu penggemar Neron menggeleng. "Enggak, deh." Kemudian lari ke arah lain.
Neron menatap aneh cewek itu. "Yeu, malu kali dia, ya?"
Cia mengedikkan kedua bahu. "Mungkin."
"Yuk ke tempat belanja," ajak Neron pada Cia.
"Kuy."
"Beli sayuran dulu, ya."
"Oke."
"Kamu nggak ada mau beli cemilan gitu?"
——-
Semoga ga mabok baca segini panjangnya wkkwkwkw
Seperti biasa sayanggg
Spam "Cia" for next chapter
Spam "Neron" for next chapter
Spam "Nana Cantik" for next chapter
500 komen aku update (serius aku tunggu segitu, kalo blm nyampe aku ga update heheh)
Tbc❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top