15. APOLOGIZE
Di tempat kalian hujan nggak?
Pernah nggak suka sama orang, tapi dia nggak suka kamu? :(
Masih sekolah atau udah kuliah/kerja?
Happy reading❤️
Neron mengambil ponsel Cia dari tangan sang pemilik. Ia menatap chat dari Julio. Kekecewaan menyelimuti perasaan cowok itu, ia merasa dikhianati. "Oh, lo ternyata masih berhubungan sama Julio? Lo selingkuh di belakang gue, hah?"
Cia baru saja merasakan cinta dari Neron, tapi sekarang malah dimaki-maki. "Ini yang gue nggak sukain dari lo, terlalu cepet emosi sebelum lihat fakta." Suaranya bergetar, menahan air mata yang semakin memberontak untuk luruh.
Neron tertawa sinis, melipat kedua tangan di depan dada. "Fakta apa yang lo maksud? Fakta kalo lo selingkuh sama Kak Julio?"
Cia malas berdebat dengan Neron. Ia langsung menyerahkan isi chat-nya dengan Julio. "Lo lihat sendiri."
Neron melihat secara saksama isi percakapan mereka. Jujur saja, ia tak menemukan unsur perselingkuhan di sana. Ia kembali menatap Cia. "Lo gak ada hapusin chat lo supaya nggak ketahuan bohong, 'kan?"
Cewek itu makin malas dengan tanggapan Neron, seolah ia mengkhianati lelaki tersebut. "Bohong apaan, sih? Sumpah, gue nggak bohong."
Dengan tatapan tajam, Neron memegang kedua bahu Cia. "Awas kalo lo bohong."
Cia sudah tak tahan akan perlakuan Neron. Pertahanannya sudah runtuh, air mata tak bisa ia bendung lagi. "Awasin sekalian semua hape gue sampe gue nggak punya privasi, Anjing. Lo pikir gue bisa tahan dimaki terus setiap lo salah paham? Gue juga punya perasaan, Ron!" Cewek itu mengatur napas. "Sekali dua kali okelah, ini keseringan, Tai! Gue akui gue emang sayang sama lo, makanya gue berusaha ada di samping lo apa pun yang terjadi, berusaha lindungin lo supaya nggak dimarah Papa Mama kalo lo maki gue. Coba lo ada di posisi gue, belum tentu lo bisa tahan!"
Neron tertawa sinis, wajahnya mengejek Cia yang seolah paling tersakiti. "Iya, iya, Si Paling Kuat, Si Paling Menderita, Si Paling Adu Nasib."
Cia mengusap kasar air matanya. "Gue beneran nggak ngerti harus hadapi lo kayak gimana lagi ...."
"Nggak usah merasa paling menderita, deh. Lo pikir gue nggak berjuang dalam hubungan ini? Gue ngejar lo dari dulu, baru dapetnya sekarang. Segala cara gue lakuin buat dapetin lo, termasuk setuju dijodohin."
"Berhasil naklukkin hati gue aja nggak cukup, emosi lo juga harus dikontrol biar gue bisa terbuka dan nyaman sama lo," ujar Cia.
"Gue emosi ada sebab, gue takut kehilangan lo, Cia!" bentak Neron.
"Lo pikir gue nggak takut kehilangan lo, hah? Karena kita saling cinta, kita jadi takut kehilangan." Cia berusaha mengontrol emosi agar tidak kelepasan. "Coba, deh, gue tanya, gue pernah nggak marah pas lo fotoan sama fans cewek lo? Enggak, 'kan?"
Neron sadar dirinya salah. Ia masih menyimak apa yang selanjutnya akan dibilang oleh Cia.
"Gue percaya lo nggak bakal selingkuh, Neron. Sekalipun lo antar cewek ke rumahnya, apalagi pas malam, gue nggak bakal marah. Kendaraan umum sekarang kadang nggak aman, apalagi cewek rentan jadi korban pelecehan seksual. Gue nggak mau rasa kemanusiaan gue hilang karena terlalu bucin. Harusnya lo ngerti kalo sebenernya lo udah buta karena cinta sampai lupa sisi kemanusiaan."
Sial, Neron benar-benar tertampar akan kalimat Cia. Cewek itu memang pandai membuatnya sadar dengan ucapan menohok—menembus ke relung hati.
"Salah satu sisi kemanusiaan yang baik adalah menghargai orang lain. Lo harusnya bisa hargai gue sebagai istri lo dengan nggak ngebentak gue dan maki-maki, apalagi gue udah tunjukkin kalo gue nggak selingkuh."
Neron menghapus air mata Cia, mengecup kedua kelopak mata dengan lembut. Indera penglihatannya menatap lamat-lamat kedua retina cewek itu. "Cia ...."
Cia sesenggukan, namun ia berusaha mengatur napas agar mada bicaranya netral seperti biasa dengan cara menarik napas, lalu embuskan. "Gue paham kita nikah muda, jadinya rada labil, jadinya sering berantem. Itu wajar, kok, tapi kita harus selesaiin dengan kepala dingin setiap ada masalah."
"Kepala gue nggak isi es." Neron berusaha mencairkan suasana.
Cia mendelik kesal. "Gue serius, Neron."
Ibu jari Neron beralih mengelus pipi Cia. "Lo boleh bentak gue, kok."
Cia menggeleng tegas. "Nggak itu yang gue mau, gue cuma mau lo bersikap dewasa. Setiap ada masalah, lo harus pake kepala dingin, jangan jawab kepala lo nggak ada es."
Neron tertunduk sesal, menaruh kepala di bahu Cia. "Sorry, udah bikin kamu nangis. Neron emang jahat udah nyakitin Cia. Neron minta maaf ...."
Cia melirik Neron sekilas. Ia tak tega melihat cowok itu sedih. Namun, ia harus tegas agar Neron tahu kesalahannya. Hatinya memang gampang luluh dengan ucapan manis Neron, sekalipun dirinya sudah dikasari. "Seriusan, kalo terus-terusan lo bentak gue tanpa sebab, gue bisa minggat dari rumah ini."
Neron sontak mendongak. Ia menggeleng, tatapannya menggambarkan bahwa cowok itu tak rela Cia pergi. "Jangan ... Neron sayang banget sama Cia. Jangan pergi, ya?"
Ia memalingkan wajah dari Neron. "Untuk sementara ini gue nggak mau pergi karena masih tahan sama lo, nggak tau kalo nanti."
"Jangan pake lo-gue, pake aku-kamu," titah Neron.
Cia berdecak kesal. "Gue masih dongkol."
Neron bangkit dari tempat tidur, ia bergegas untuk pergi ke lantai bawah. "Oke, aku keluar dulu."
Cia mencegat tangan Neron. "Jangan!"
Neron mengalihkan atensinya pada Cia. "Kenapa?" tanyanya.
"Nanti nggak ada yang gendong gue ke ruang tamu, soalnya Nila mau ke sini," kilah Cia. Padahal, ia sebenarnya masih ingin ditemani Neron.
"Suruh aja dia ke kamar," balas Neron. Ia peka bahwa Cia memberi kode untuk tidak pergi dari sini. Namun, ia ingin mendengar langsung dari bibir Cia kalau cewek itu tidak rela dirinya pergi.
Cia berdecak malas. "Udah gue bilang jangan keluar, nanti gue nggak bisa ngambil makan siang."
Neron kembali duduk di samping Cia—mengacak gemas rambut cewek itu. "Bilang aja kamu pengen aku di sini ribet banget, sih?"
"Gak tau," ketus Cia.
"Iya, iya. Aku di sini, kok."
"Jangan jauh-jauh."
Neron berdiri dari tempat tidur, berjalan menuju kulkas dekat televisi. Ia membuka pendingin tersebut, mengambil kedua air mineral dingin. Kedua kakinya melangkah ke arah Cia, menaruh minuman-mimuman itu di atas nakas. Ia duduk di samping Cia. "Iyaa, Cia. Ini aku lagi ngambil minum, kok, haus habis marah-marah."
"Lebih haus gue karena habis nangis," ungkap Cia mencebik kesal.
"Kamu juga aku ambilin, Sayang." Neron memberi air mineral dingin berbentuk botol pada Cia.
"Makasih," ujar Cia.
"Y," ketus Neron.
Cia mengerut kening. "Kok, gitu, jawabnya?"
"Kamu jutekin aku, ya udah aku ikutan."
Kedua retina Cia menatap tajam Neron. "Ngaca, anjing, kenapa lo bisa gue jutekin."
"Santai, dong. Jangan pake ngatain aku anjing. Aku tau aku salah, aku lagi berusaha perbaiki diri, jangan dimaki-maki, ya?" Neron bertutur lembut.
"Y."
"Minum dulu, Cia," ujar Neron.
"Ya." Cia membuka air mineral botol tanggung tersebut, meminumnya sampai tersisa setengah. Ia menaruhnya di atas nakas.
"Masih haus?" tanya Neron.
Cia mengangguk. "Masih."
Neron hendak bangkit dari tempat tidur, namun Cia melarangnya, "Jangan ke sana."
Neron mengerut bingung. "Lah, katanya haus?"
Sejak Cia mengungkapkan rasa sayangnya pada Neron, cewek itu menjadi ingin terus bersamanya. Bahkan, ia tak bisa kesal lama-lama dengan cowok itu. "Haus akan kasih sayang Neron. Gue nggak suka dibentak kayak tadi."
"Aku kira haus pengen minum." Neron tertawa kecil. Ia mengusap lenbut surai Cia. "Iya, Cia. Neron usahain biar nggak emosi lagi, yaa."
"Aku emang bego terlalu gampang maafin kamu, tapi aku nggak bisa musuhan lama-lama sama kamu. Makanya, selama ini aku ngalah terus."
Neron mencolek hidung Cia. "Cie, udah ngomong aku-kamu lagi."
Cia tak menanggapi ucapan Neron. Ia malah membuka topik baru. "Neron."
"Hm?" jawab Neron.
"Chat Kak Julio aku bales apa?" tanya Cia.
"Kasih dia ke sini, asal sama Nila. Nanti kamu pake baju turtle neck biar nggak ketahuan."
Cia mengangguk paham. Diambilnya benda pipih berlogo apel di punggung ponsel tersebut, lalu menatap pesan Julio yang belum ia balas, namun sudah ia baca.
Cia:
Sbb, Kak.
Barengan aja sama Nila,
biar double date😝
Kak Julio:
Lama bgt lo balesnya, pasti tadi debat dulu sama pawang lo, ya? Lol.
Cia:
Ya, begitulah😂
Kak Julio:
Nanti gue ngomong sama Neron biar dia nggak salah paham mulu.
Cia:
Nggak usah, Kak. Biarin ajaa,
takutnya kalian berantem :(
Kak Julio:
Oke👍
"Iya," balas Cia menjawab ucapan Neron. "Inget, jangan marah lagi. Aku nggak main-main sama omonganku tadi."
Neron mengecup kening Cia. "Iya, Sayang."
Kini giliran ponsel keduanya yang berdering berbarengan. Cia dan Neron menatap ponsel masing-masing, melihat pesan apa yang akan disampaikan oleh sang pengirim. Rupanya, Sopo—Dosen mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi memberi pesan ke grup kelas di Whatsapp.
Pak Sopo: Saudara sekalian, mohon maaf hari ini saya tidak bisa mengajar dikarenakan sakit😖 Jam perkuliahan dipindah ke hari Jumat, xixixi. Trims ,,,, 😁😁
Pak Sopo: Saya kit heart tidak bisa mengajar kalian. Padahal, saya sudah antusias mengajar di minggu pertama, hiks hiks ,,,,☹️😩😓
"Waduh, nggak kuliah lagi," gumam Cia.
"Minggu pertama dan minggu kedua emang sering banget nggak kuliah, tapi tugas tetep banyak," ungkap Neron.
Cia tersenyum kecil. "Tahan-tahan aja, jugaan lagi satu setengah tahun atau dua tahun lagi bisa tamat."
Neron membawa kepala Cia agar bersandar di bahunya. "Semoga kita bisa wisuda bareng."
Cia memeluk Neron dari samping. "Iya."
***
Nagara dan Valerie tak jadi ke gereja karena cowok itu masih ragu untuk menikah dengan wanita itu. Alhasil, mereka jadinya diam di rumah Nagara. Fyi, Nagara tinggal jauh dari orang tua, ia ke sini untuk bermain di club Nabiru FC. Aslinya, ia orang luar kota.
Serius, ia belum siap untuk membina rumah tangga sehidup semati dengan orang yang tak ia cintai.
"Vale," panggil Nagara.
"Iyaa?" sahut Valerie.
Nagara memainkan kedua tangan, menggigit bibir bawah karena ragu mau membicarakan ini. "Kapan lo mau ngomong ke ortu lo kalo lo hamil?"
"Gue yatim piatu."
Sial, Nagara lupa bahwa orang tua Valerie sudah meninggal sejak ia SMA karena kecelakaan pesawat. "Ya ampun, maaf ...." Nagara tertunduk. "Gue belum siap ngomong sama orang tua gue."
"Kalo lo belum siap, mending lo nggak usah tanggung jawab. Gue bisa, kok, besarin anak kita tanpa bantuan lo." Valerie tak mau memaksa Nagara agar bertanggung jawab.
"Nggak boleh gitu, Vale .... Ini cuma masalah waktu, kok. Gue perlu nyiapin mental."
Valerie kesal dengan tindakan Nagara yang terkesan plin plan. Cowok tak punya pendirian seperti Nagara tak termasuk dalam tipe idamannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Mereka berpacaran karena kecelakaan. "Kalo mental lo belum siap sampe anak kita lahir gimana? Lo nggak mau tanggung jawab gitu? Jangan plin plan, dong. Kemarin lo bilang mau nikahin gue, sekarang kagak, prik."
"Jangan marah-marah, nggak baik buat anak kita," peringat Nagara.
"Sorry, habisnya lo nggak ngotak." Valerie berusaha meredakan emosi. Ia bangkit dari sofa. "Gue pergi dulu."
"Jangan pulang. Mulai detik ini, lo tinggal di rumah gue."
"Apa kata tetangga dan netijen kalo kita tinggal bareng tanpa status?" tanya Valerie.
"Ya gimana lagi, lo nggak boleh jauh dari gue. Nggak peduli mereka mau ngomong apa, biayain aja kagak," balas Nagara.
Valerie kembali duduk di sofa, tepat di depan Nagara. "Apa yang lo bakal lakuin kalo netijen nyerang kita?"
"Bilang aja kita udah nikah, beres." Nagara sebenarnya tak yakin akan jawabannya. Ia hanya tak ingin Valerie pergi, takutnya susah mengurus anaknya kalau cewek itu tak ada di sisinya.
"Kalo dimintain bukti gimana?" tanya Valerie.
"Jangan mau," ungkap Nagara.
"Terserah lo, Gara. Gue capek."
***
Julio:
Gue sama Nila udah di depan rumah lo.
——-
Spam "Neron" for next chapter
Spam "Cia" for next chapter
Spam "Nana cantik" for next chapter
Tekan angka "6" apabila Anda ingin kaya
850 komen aku up
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top