⿻⃕⸵Chapter XXXV៚݈݇
Mata birunya memancarkan cahaya bak batu safir yang mengkilap. Zen mengangkat tangan kanannya ke depan, menggerakannya memutar searah jarum jam, kemudian memutar tangan kiri dengan arah berlawanan dari gerakan sebelumnya. Zen menarik kedua tangannya ke depan dada, membentuk lingkaran dengan jemarinya, sebelum akhirnya mengucap mantera.
"Lux Aeterna!"
Seketika muncul cahaya di antara jemari Zen, dan dalam sekejap, cahaya itu membesar melewati sang empu dan segala benda di sekitarnya. Cahaya yang amat menyilaukan namun juga hangat.
"HUWAAA!" Troll itu melepaskan Xander hingga jatuh ke tanah. Ini kesempatan, Roen segera menarik tangan Xander dan membawanya pergi. Tak lupa Alwen juga menarik Zen menjauh dari para Troll.
"Semuanya, lari!" pekik Roen. Semuanya segera kembali ke posisi, naik ke tunggangan masing-masing, melaju dengan napas terengah-engah.
"Tidak bisakah kita melawan dan membuat mereka berhenti mengejar kita?" ucap Xander yang lelah tiap kali Troll menyersng selalu ia yang pertama ditangkap.
"Kulit mereka sangat keras, kita butuh bahan istimewa untuk melawannya. Berharap saja fajar segera tiba, agar mereka kembali masuk ke sarangnya. Untuk sekarang, minum ini!" Sebelah tangan Filius mencari ramuan di tas selempang coklatnya, sedangkan tangan yang satunya fokus mengendalikan tali kekang si kuda hitam.
"Yang Mulia!" seru Filius sebelum melempar satu botol ramuan yang ditangkap sempurna oleh Roen, kemudian pemuda itu menyerahkannya ke Xander.
Xander mendengus dengan wajah masam, ia merasa jijik jika harus meminum ramuan yang bahan dasarnya adalah air liur Troll itu. Filius melempar satu ramuan lagi dan ditangkap oleh Agie. Terakhir ia melempar ke arah Alwen, pria itu menangkapnya dengan satu tangan, kemudian memberikan ramuan penyamar bau itu ke Zen.
Bukan hanya Zen dan kawan-kawannya yang berurusan dengan Troll, Vyria dan Nell yang mengikuti di belakang juga sedang berhadapan dengan para Troll. Namun, bukan mereka berdua yang mengalami masalah, melainkan para Troll, bahkan untuk melangkah saja mereka gentar.
Salah satu Troll tergeletak di tanah—masih hidup—Vyria berdiri di atas badannya dengan pedang mengkilap yang diarahkan ke leher Troll yang besar. Pedang itu bukan sembarang pedang. Senja istimewa itu diberikan oleh Azrael Sang Raja Kegelapan, terbuat dari tulang dan gigi Troll itu sendiri ditambah kekuatan gelap penciptanya.
"Berbanggalah, wahai kalian para Troll! Yang Mulia Azrael mengundang kalian dalam pasukan melawan Kerajaan Cahaya. Saat bulan purnama kedua dari sekarang, bergabunglah ke Tanah Nerobuio!" ucap Vyria lantang, tatapannya tajam dan menusuk. Aura jahat dari pedang tersebut sungguh mengintimidasi para Troll yang mengelilingi Vyria dan Nell.
Sementara itu, Nell hanya menyeringai, berseri-seri melihat keberhasilan Vyria menaklukkan Troll kurang dari 5 menit. Ia bahkan tidak harus berbuat apa-apa untuk membantunya, gadis itu bisa mengatasi semuanya sendiri.
⿻⃕⸙͎
Alwen, Roen, dan Filius terus melaju dengan kucing-kucing besar dan kuda hitam miliknya, melewati lembah Nigrum Vallem sejauh dan secepat mungkin. Bahkan hingga hari hampir fajar, hewan berkaki empat yang gagah itu terus berlari. Baik binatang maupun penunggangnya, sama-sama tidak tidur malam ini.
Xander menguap, berkali-kali anak itu oleng ditengah jalan, dia tidak terbiasa begadang. Di istana, jam tidurnya selalu teratur.
"Sepertinya sudah aman," ucap Filius memperlambat laju kudanya. "Kita bisa istirahat di sini. Sebentar lagi fajar, para Troll itu pasti sudah masuk ke sarang mereka."
Zen menghela napas lega. Ia juga lelah, pegal, ngantuk, haus, dan lapar. Beberapa kali ia menguap dalam perjalanan.
Mereka berhenti di padang terbuka, yang jauh dari bukit serta gunung tempat tinggal Troll. Roen meregangkan tubuh begitu turun dari tunggangannya. Dan seperti biasa, di saat yang lain melanjorkan kaki, Alwen senantiasa siaga memantau sekitar.
Zen memperhatikan Filius yang lagi-lagi mengeluarkan banyak barang dari tas selempangnya yang kecil itu.
"Sepertinya itu bukan tas biasa. Dari mana kau mendapatkannya?" Xander bertanya lebih dulu, tidak tahan dengan rasa penasarannya.
Filius menoleh sekilas, lalu sembari membagikan kotak bekal ia menjawab, "Dari kakakmu."
"Eh? Aku?" celetuk Zen menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, Anda memberikannya pada kakekku beberapa hari sebelum perang enam tahun lalu terjadi." Filius melirik Alwen sejenak, ia ingat saat itu Zen memberikan tas selempang tersebut dengan diantar Alwen. "Tas ini ada sepasang, yang satunya ada di rumah. Aku bisa mengambil barang apapun yang kakekku masukan dari rumah, begitu juga sebaliknya."
"Waw! Kau punya barang seperti itu? Kenapa tidak berikan padaku saja, Zen?" oceh Xander.
"Mana kutahu aku punya barang seperti itu." Zen tersenyum kikuk, ia bahkan tidak tahu-menahu tentang tas selempang itu. Ia sama sekali tidak ingat pernah memberi tas itu ke Altair.
"Jangankan tas, mengingatku saja tidak," celetuk Roen sambil membuka kotak bekal pemberian Filius. Ekor anjingnya mengibas riang ketika mencium harumnya sup buatan Altair yang dititipkan lewat tas Filius.
"Sudah, ayo sarapan dulu! Perjalanan kita masih panjang," kata Gain. "Terima kasih," ucapnya lagi setelah menerima jatah bekalnya.
"Bisakah kitaa istirahat sebentar setelah ini? Punggungku pegal. Oh, astaga! Jika terus begini aku bisa menua sebelum waktunya!" keluh Xander. Ia ingin lekas rebahan dan bermain di alam mimpi, bahkan sup yang baru dibagikan itu sudah tinggal setengah.
"Tentu saja, Pangeran. Kurasa kita semua memang butuh istirahat," sahut Gain.
Agie juga lelah, meskipun terkadang ia tidur larut saat bersama anak-anak lainnya, perjalanan hari ini benar-benar membuatnya kelelahan, apalagi ketika ia harus menjaga keseimbangan Xander yang oleng setengah tidur. Bagaimanapun juga, Zen, Xander, dan Agie masih anak di bawah umur. Mereka butuh istirahat yang cukup.
Tak lama kemudian, ketiga anak itu terlelap dalam mimpinya masing-masing.
⿻⃕⸙͎
Cahaya mentari menyinari seisi kelas, tepatnya kelas 2-3 di SMA Replora. Sekarang jam istirahat. Banyak anak berlalu-lalang, entah ke kantin atau bermain ke kelas sebelah. Ada juga yang bermain ponsel atau berkumpul dengan circle mereka. Begitu juga dengan Zen, ia membalikkan bangkunya menghadap meja belakang, berbincang dengan teman-temannya.
Gigi putihnya berseri-seri ketika mendengar lelucon dari temman sekelasnya. Sesekali membahas anak kelas sebelah, guru, atau mata pelajaran yang tidak disuka. Anehnya, perlahan suara teman-temannya mengecil, semakin pelan, hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Menyisakan pemandangan antar siswa yang saling mengobrol, tanpa suara. Bahkan anak-anak itu lupa bahwa Zen ada di sana, padahal baru saja mereka berbincang bersama. Zen berusaha memanggil, tetapi suaranya tidak bisa keluar.
"Zen." Seseorang memanggilnya dengan lembut.
Zen menoleh, melihat sosok yang sama persis dengan dirinya, dengan seragam sekolah, persis seperti apa yang sedang ia kenakan sekarang.
Sesaat kemudian, Zen teringat sesuatu. Seharusnyaia Zen tidak berada di sini. Ia masih dalam perjalanan mencari penawar serta busur legenda yang mampu menembus pertahanan Rael sang keturunan Dewa.
Lantas, kenapa Zen di sini? Apa perjalanannya sudah selesai? Bagaimana dengan yang lain? Apa Rael sudah dikalahkan? Atau mereka yang kalah? Zen bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri.
"Apa kau merindukan mereka, Zen?" tanya sosok itu. "Jangan khawatir, aku akan membawamu pulang ke tempat di mana seharusnya kau berada. Maaf karena melibatkanmu dalam masalah besar ini," lanjutnya.
Zen melirik teman-temannya yang sedang bercanda, kemudian berkata, "Waktu itu kau bilang kau adalah ingatanku di masa lalu. Kalau masa kecilku adalah seorang Pangeran, lantas kehidupanku sampai SMA itu apa?"
Sosok itu tersenyum sebelum berkata, "Sebenarnya aku merasa tidak enak jika terus merahasiakan ini darimu, aku bahkan mengubah sebagian ingatanmu. Semua kehidupanmu sebagai seorang siswa itu nyata, Zen. Kau memang seharusnya tinggal di sana, tapi yang sekarang kau alami di sini juga kenyataan. Percayakah kau akan adanya dunia pararel? Di mana dirimu yang lain tinggal di sana."
Zen terdiam sejenak, tapi kemudian mengangguk ragu. "Entahlah, mungkin ada? Terkadang aku menemukan cerita seperti itu di buku," sahut Zen.
"Nah, kalau begitu anggaplah sekarang kau berada di dunia pararel. Dirimu yang di dunia ini tidak bisa melanjutkan kewajibannya, karena itu aku membawamu dari dunia manusia kemari, ke dunia sihir, untuk menggantikannya."
"Jadi sebenarnya aku bukan reinkarnasi Dewa Luce yang dibicarakan itu? Aku bukan anak yang diramalkan? Eh, tunggu! H-hahh? Apa maksudmu?" tanya Zen dengan alis mengkerut, kebingungan terpampang jelas di wajahnya.
"Yahh ... intinya begitu. Maaf, akan kujelaskan lagi nanti. Aku tidak terlalu lama di sini atau Rael akan mengetahui keberadaanku."
Sosok itu memudar, bersamaan dengan teman-teman sekelasnya yang juga mulai menghilang. Perlahan mimpinya sirna, menyisakan layar putih kosong di depan mata, mengharuskan Zen kembali ke perjalanan yang melelahkan itu.
"Jangan khawatir, ramalan ibuku tidak pernah meleset. Kau pasti berhasil, Zen! Tapi tetaplah waspada, jika kau lengah, takdir mungkin akan berubah. Dan jika kau mati di sini, kau tidak akan bisa kembali ke duniamu."
⿻⃕⸙͎
Zen tersentak kaget, ia cukup terkejut melihat Roen di depan wajahnya. Dilihatnya ke kanan ternyata Agie sudah bangun lebih dulu. Begitu juga Xander, Pangeran bungsu itu tidak bisa tidur nyenyak jika bukan di kasur yang empuk.
"Zen, kau tidak apa-apa? Aku baru mau membangunkanmu," tanya Roen.
Zen tidak menggubris Roen, ia masih tenggelam dalam kebingungan atas apa yang terjadi di mimpinya tadi. Satu hal yang ia tahu pasti, yakni ...
"Jika aku mati, aku tidak bisa pulang ...."
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXXV
Note.
Malam minggu kita update
Iya tau telat seminggu😔 gomennasai
Kemungkinan baru update lagi sekitar pertengahan februari setelah KKN selesai:)
Terima kasih untuk yang sudah mampir, jangan lupa voment nya! Semoga ga ada typo, walau kayaknya ada
See you!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top