⿻⃕⸵Chapter XXXIV៚݈݇
Matahari terus naik, hampir tepat di atas kepala. Sesekali Zen menoleh ke belakang, jalan menuju Kota D'erba sudah tidak terlihat. Bahkan jalan yang mereka pilih pun telah tertinggal jauh di belakang. Kini mereka menyusuri padang rumput yang mengarah ke lembah Nigrum Vallem.
"Tunggu dulu," ucap Filius menghentikan kuda hitamnya, diikuti Alwen dan Roen yang juga menghentikan tunggangannya. "Sebentar lagi kita sampai ke lembah Nigrum Vallem, sarangnya para Troll. Meskipun mereka takut sinar matahari, mereka tetap akan mencium bau tubuh kita dan menunggu matahari terbenam untuk memangsa kita."
Filius mengeluarkan beberapa botol kaca berukuran 5 CM dari tasnya, cairan di botol itu berwarna biru tua dengan perpaduan biru muda dan magenta yang menyala terang. "Minum ini. Dengan begitu para Troll tidak akan mencium bau kalian."
Filius membagikan botol-botol itu. Berbeda dengan Zen yang antusias mencicipi ramuan buatan Altair, Xander justru menerimanya dengan wajah masam dan jijik. Warna potion itu memang cantik, seperti langit malam cerah yang dipenuhi bintang, tapi siapa yang tau rasanya seperti apa? Mungkin pahit? Atau asam?
Saat botol itu dibuka, baunya seperti mint dan melati, tapi ada bau lain juga yang tidak sedap. Zen bergidik hingga memejamkan mata, menahan kecut setelah meminumnya. Ada rasa manis, asam, juga pahit, ramuan itu membuat tenggorokan teras dingin setelah ditelan.
"Kau yakin ini ampuh? Aku tidak merasakan apa-apa," ucap Xander meragukan efek ramuan tersebut.
"Kita memang tidak merasakan perubahan apapun, tapi percayalah di hidung mereka bau tubuh kita sudah seperti Troll," sahut Filius menjelaskan, kemudian ia menarik tali kekang yang melekat pada si hitam, menitahnya untuk kembali berjalan.
"Bagaimana cara membuatnya?" tanya Zen penasaran.
"Cukup mudah, dalam satu kali pembuatan bisa langsung dapat sepuluh botol. Anda hanya butuh satu telur laba-laba, rebus hingga mendidih lalu masukkan lima tetes darah kelelawar, aduk searah jarum jam, masukan air liur Troll, lalu aduk lagi, terakhir tambahkan serbuk sari bunga melati, biji lemon, dan daun mint, aduk secara berlawanan dengan arah sebelumnya. Diamkan selama 24 jam sebelum dimasukkan dalam botol. Anda mau coba membuatnya?"
"I-iya, kapan-kapan." Zen meneguk ludah. Berarti ia baru saja menelan air liur Troll? Uhh ... betapa menjijikkannya itu.
Seketika Xander merasa mual. Namun, sebelum ia memuntahkannya, Filius lebih dulu berkata, "Jangan dimuntahkan atau para Troll akan menganggap Anda sebagai makanannya."
Wajah Xander masih pucat, berharap setelah ini perutnya tidak akan kena masalah pencernaan. Agie juga demikian, setengah tak percaya bahwa dirinya juga baru saja menelan air liur Troll. Sedangkan Alwen, Roen, dan Gain tampaknya sudah biasa hal-hal seperti ini.
Sementara itu, tak jauh di belakang mereka, Vyria dan Nell masih memata-matai Zen dan rombongannya. Terlindung oleh sihir Azrael sehingga keberadaan mereka tak diketahui.
"Mereka benar-benar akan lewat sini? Orang gila mana yang mau ke Nigrum Vallem?" celetuk Nell.
"Kau sendiri ke sini, berarti kau juga gila." Nell mencibir sebal, merasa dikatai gila oleh Vyria.
"Aku ke sini karena ada misi!" balas Nell ketus.
Vyria mengangkat bahunya acuh tak acuh, kemudian berkata, "Kau pikir mereka ke sini karena apa? Kau tidak dengar beritanya? Pangeran Zen melakukan perjalanan, tapi hanya para petinggi dari lima kerajaan yang tahu ke mana tujuannya. Aku tidak tahu ada urusan apa mereka kemari, tapi lembah Nigrum Vallem adalah jalan pintas menuju pusat Kerajaan Luminosa. Mereka pasti mengejar waktu sebelum Yang Mulia melakukan penyerangan kurang dari dua bulan lagi."
"Kenapa harus menunggu dua bulan? Dengan kekuatannya, Yang Mulia Rael bisa membinasakan mereka kapan pun dia mau," kata Nell.
"Karena saat itu gerbang neraka akan dibuka, para arwah dibebaskan dan mereka bisa menjadi pasukan tambahan bagi Yang Mulia."
⿻⃕⸙͎
Perjalanan kembali dilanjutkan setelah 10 menit istirahat makan siang. Seperti biasa Xander yang paling banyak mengeluh, waktu 10 menit mana cukup baginya untuk makan dan beristirahat, ia ingin melonjorkan kaki atau tidur-tiduran di hamparan rumput yang luas.
Akan tetapi, istirahat kali ini tidak bisa mengikuti keinginan Xander. Mempercepat waktu tempuh lembah adalah prioritas.
Matahari siang ini begitu terik, seandainya ada ice cream yang bisa menemani perjalanan mereka. Hampir seluruh permukaan tertutup rumput, terkadang mereka melewati semak dan bunga, ilalang, juga batu-batu besar. Tak jauh di depan mereka, gundukan-gundukan tanah yang membukit mulai terlihat, ada yang tinggi, ada yang pendek. Namun, hampir di semua gundukan itu terdapat lubang besar yang mana lubang-lubanng tersebut merupakan gua Troll.
Zen dan yang lainnya terus melaju, kucing-kucing besar tunggangan mereka berlari secepat dan sesenyap mungkin. Dengan jantung yang berdebar kencang, takut jikalau suara langkah mereka dapat membangunkan para Troll. Sesekali menelan ludah. Bayangkan jika Zen datang kemari seorang diri.
Malam kembali datang, ini hari pertama mereka melewati lembah Nigrum Vallem. Roen menyarankan berhenti untuk istirahat dan makan malam. Kemudian mereka menepi di atas bukit tertinggi yang jauh dari sarang Troll.
Agie membantu Gain menyalakan api unggun, Filius dan Roen membagikan roti kering. Tidak banyak makanan di rumah Altair yang bisa dibawa. Sedangkan Alwen selalu waspada mengawasi sekitar, memastikan tidak ada Troll yang bangun dan mendekat ke arah mereka. Setiap hari, baik itu pagi, siang, atau malam, Alwen selalu yang terakhir makan.
"Zen," panggil Xander, "Bisa temani aku sebentar?"
Zen menoleh seraya berucap, "Ke mana?"
"Ikut saja!" Xan berdiri, kemudian menarik tangan Zen, memaksa menemaninya entah ke mana itu.
"Kalian mau ke mana?" tanya Roen.
"Buang air. Kau jangan ikut!" sahut Xander yang masih menyeret Zen.
"Jangan terlalu jauh!" Roen mengingatkan, sebelum ia melanjutkan makan malamnya.
"Iya aku tahu," sahut Xander.
"Aku ikut!" seru Agie, berlari menyusul Xander dan Zen yang kian menjauh.
⿻⃕⸙͎
"Sudah?" tanya Zen. Ia dan Agie sudah selesai dari tadi, sedangkan Xander masih merapikan pakaian.
"Sudah. Ayo-"
Brugh!
Tiba-tiba tanah di sekitar mereka bergetar, seperti gempa bumi. Tubuh mereka oleng, masing-masing berusaha menjaga keseimbangan.
"Apa yang terjadi?" tanya Xander dengan wajah pucat.
"Aku tidak tahu!" Zen menggelengkan kepala, begitu juga Agie. Tak lama kemudian, gempa itu berhenti. Namun, Zen dan Agie justru terbelalak ketika melihat sosok yang berdiri di belakang Xander.
"Kenapa wajah kalian begitu?" tanya Xander, wajahnya semakin pucat, takut kalau tebakannya benar.
Xander mendongak, dan yahh ... tebakannya benar. Sesosok Troll berdiri di belakang Xander. Tingginya sekitar dua belas kaki, kulitnya abu-abu kehijauan, dengan hidung besar dan panjang, mirip seperti hidung Squidward.
Seketika tubuh mereka membatu, bahkan bernapas pun tak berani.
"Jangan bergerak tiba-tiba," ucap Agie dengan suara berbisik.
Xander berjalan perlahan menghampiri saudaranya, kemudian ketiga remaja itu mendongak, melihat Troll yang sedang menggaruk perut. Mereka masih belum terlihat, tapi itu tidak bertahan lama. Ketika sang Troll hendak melangkah lagi, tak sengaja mata Troll itu menangkap ketiga anak di bawahnya.
Troll itu menunduk, melihat lebih dekat ketiga remaja itu. "Siapa kalian?" tanyanya. Troll itu mendekatkan hidungnya dengan Zen, Xander, dan Agie, mengendus dengan hidung besarnya. "Bau kalian seperti Troll, tapi kenapa kalian kecil sekali?" tanyanya bingung.
"M-mm ... karena kami masih masa pertumbuhan," sahut Xander gemetar. Ramuan buatan Altair cukup manjur, iya kan? Bahkan Troll satu ini tidak menyadari bahwa mereka bertiga adalah manusia, bukan Troll.
Sementara itu, di tempat Roen dan yang lainnya juga ikut merasakan guncangan akibat langkah kaki Troll yang besar, tepat setelah Filius menenggak satu botol lagi ramuan buatan kakeknya.
"Sepertinya para Troll sudah bangun," ucap Filius sembari memasukan botol kosong ke tasnya, kemudian mengambil botol lain dan membagikannya. "Sebentar lagi efek ramuannya akan hilang, jadi kalian harus minum ini lagi. Di mana Pangeran dan temannya?"
"Mereka belum kembali?" tanya Gain khawatir.
Roen memijat keningnya yang pening. "Ayo susul mereka!"
Kembali ke tempat Zen. Kini si Troll mulai mencium bau yang lain. Troll itu tidak lagi menunduk untuk mengendus, ia mengepal Zen, Xander, dan Agie dalam satu tangannya. Kemudian berdiri dan mengendusnya lagi.
"Bau kalian seperti Troll, tapi juga seperti manusia. Sebenarnya kalian itu apa?"
Ketiga remaja itu pucat pasi, rasanya sampai mereka bisa mendengar detak jantung masing-masing. Keringat dingin membashai sekujur badan mereka. Jangankan mengambil senjata, bergerak saja tidak bisa, genggaman Troll itu begitu kuat.
Dugh! Bugh!
Tanah kembali bergetar, seorang Troll lagi datang mencari temannya.
"Hei, apa yang kau temukan untuk makan malam?" tanya Troll yang baru datang.
Troll pertama yang menangkap Zen menoleh. "Kebetulan sekali kau datang, ciumlah ini, menurutmu mereka itu Troll atau manusia?" ucapnya menyerahkan Zen dan yang lainnya.
Troll kedua ikut bingung, tapi kemudian dia meyakini sesuatu. "Bahkan bayi Troll tidak ada yang sekecil ini."
Kedua Troll itu saling pandang, kemudian Troll pertama kembali berkata, "Kau lebih suka direbus atau dipanggang?"
"APA?! KALIAN MAU MEMAKAN KAMI?!" Xander reflek berteriak, membuat kedua Troll itu kebisingan dengan siarannya yang nyaring.
"Diam! Atau kumakan kau hidup-hidup!" ancaman Troll yang kedua. Xander semakin merinding, dengan bibir yang gemetar dan air mata yang hampir menetes.
"Oi! Mau ke mana kau?" tanya Troll pertama ketika tiba-tiba Troll kedua pergi membawa Zen, Xander, dan Agie dalam genggamannya.
"Mereka punyaku! Kau cari saja yang lain!"
"Hahh?! Enak saja! Aku yang menemukannya! Kau saja yang cari makanan lain!" Troll pertama tidak terima, dia mendorong temannya hingga terhuyung. Temannya mendorong balik, lagi, dan lagi, mereka saling dorong memperebutkan makanan hingga akhirnya Zen, Xander, dan Agie terlepas dari tangannya dan jatuh menggedebuk.
"LARI!!!" pekik Agie seraya menarik tangan Zen dan membawanya lari. Xander menggerutu, kenapa hanya Zen yang ditarik sedangkan aku tidak? Tapi kemudian Xander berdiri sendiri dan menyusul Agie.
"Di mana mereka? Di mana makananku?! Gara-gara kau makan malamku jadi lari!" ucap si Troll kedua, sekali lagi mendorong temannya dengan keras hingga jatuh. Matanya mengedar mencari keberadaan mangsa yang melarikan diri. Ketemu. Sang Troll segera mengejarnya.
"Tunggu aku! Mereka punyaku!" Troll yang pertama bangkit dan ikut mengejar.
Zen, Agie, dan Xander terus berlari sembari menjaga keseimbangan di antara guncangan kaki Troll yang besar. Kaki Troll memang besar dan langkahnya lebar, tetapi gerakannya lambat. Namun, lama kelamaan Troll itu berhasil mendekati mereka.
"Ayo! Kita sudah dekat!" pekik Agie sambil lari. Puncak bukit tempat mereka beristirahat sudah terlihat, api unggun di sana telah padam, terlihat pula teman-temannya yang melaju ke arah mereka.
Dugh! Bugh!
Dua Troll itu terus mengejar, dengan hentakan kaki yang menggetarkan tanah, menginjak bunga-bunga yang tumbuh di sekitar lembah.
"HUWAAAAAA!!!"
"XANNN!!!" Zen berhenti berlari ketika melihat Xander yang jatuh dan tertinggal di belakang.
"LARI ZEN!" teriak Agie. Kemudian ia berlari kembali ke belakang, membantu Xander berdiri sembari menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri. Namun, hentakan kaki kedua Troll itu justru membuat dirinya ikut jatuh.
"Kurang ajar! Makanan itu tidak boleh lari!" geram si Troll kedua.
"Ignis Impetum!" Muncul api yang menjulur dari telapak tangan Agie mengarah ke badan Troll. Akan tetapi, serangannya sama sekali tidak mempan. Kulit Troll itu sabar keras dan tebal.
Alwen dan yang lainnya semakin dekat. Sementara itu, Filius sibuk merogoh tas selempangnya sembari menjaga keseimbangan di atas kudanya. Tak lama kemudian, Filius mengeluarkan botol ramuan lainnya yang sedikit lebih besar selain ramuan penyamaran Troll, dengan cairan berwarna merah muda berpadu kuning.
Filius merogoh lagi tasnya, mengeluarkan sebuah ketapel. "SEMUANYA TAHAN NAPAS KALIAN!" Filius mengocok-ngocok botol ramuan itu dengan epat sebelum meletakannya di ketapel, kemudian mengarahkannya ke muka salah satu Troll.
Tembakannya tepat sasaran. Botol itu pecah, menumpahkan isinya yang kini berubah menjadi asap. Asap itu menyebar dengan cepat hingga menutupi kedua wajah Troll.
Xander dan Agie memanfaatkan keadaan tersebut untuk melarikan diri, secepatnya menyusul Zen dan menghampiri yang lainnya. Akhirnya mereka semua kembali berkumpul.
"Kita haru cepat pergi dari sini selagi mereka tidak bisa melihat!" Filius melaju dengan muda hitamnya, memimpin jalan, ialah yang paling tahu jalan di sini. Terkadang Filius dan Altair datang kemari untuk mengambil air liur Troll guna membuat ramuan yang mereka minum tadi siang.
"AAAARGHH!" Troll itu menggeram marah. Asap dari ramuan yang dilempar Filius menyebabkan pandangan Troll itu kabur dan tidak jelas, bahkan hidungnya tak bisa mencium bau. Efek itu bertahan hingga beberapa menit ke depan.
Setelah beberapa meter melaju, setelah dirasa aman, jauh dari dua Troll yang mengejar mereka. Ternyata mereka malah di hadang tiga Troll lain di depan.
"Apa kataku? Hidungku tak pernah salah," ucap salah satu Troll. Dalam pelarian yang tergesa-gesa ini, Filius belum sempat memberikan ramuan penyamar bau Troll pada Zen, Xander, dan Agie.
Alwen dengan cepat turun dari si kucing besar, menarik pedang dari sarungnya. Dalam beberapa detik ia sudah dalam posisi kuda-kuda yang siap bertarung. Demikian pula yang lainnya, Roen siap dengan tombaknya, Xander, Agie, dan Filius juga siap bertarung. Namun, lain halnya dengan Zen.
"Maaf atas kelancanganku Pangeran," ucap Gain, menarik tangan Zen, lalu mendekapnya dan merapal mantera, "Praesidium!"
Seketika muncul lingkaran cahaya berwarna hijau yang mengelilingi Zen dan Gain, mereka seperti dalam gelembung.
"Curang! Kenapa kau tidak merapalkannya padaku juga!" kata Xander kesal sembari mengayunkan pedangnya asal.
"Anda bisa melakukannya sendiri, Pangeran Xander," sahut Gain.
"Xan! Fokus!" teriak Roen memperingatkan. Kemudian pemuda oranye itu melompat, menukul dengan tombak.
Roen mendengus sebal, kulit Troll itu terlalu keras, tak bisa tergores sedikit pun.
Selanjutnya giliran Alwen, pria itu mengangkat pedangnya lurus ke atas, seraya merapal mantera, "Benedic Nos Deus, Da Nobis Fortitudinem."
Lalu Alwen menancapkan pedangnya ke tanah dan kembali mengucap mantera, "Acri Vento!"
Seketika angin berembus kencang, melewati wajahnya dan dalam seperkian derik angin itu memadat di udara membentuk ribuan anak panah, yang kemudian melayang dengan cepat menghantam tubuh Troll yang besar.
Sayangnya, serangan besar itu masih belum mampu menggores kulit Troll yang keras itu sedikit pun.
"Kau masih punya ramuan yang tadi? Yang berasap-asap itu!" tanya Xander panik.
"Ada, tapi jumlahnya terbatas. Karena itu kita harus menggunakannya hanya di saat keadaan mendesak," ucap Filius. Tangannya merogoh tas, bersiap mengambil ramuan sembari berpikir cepat ramuan mana yang dapat membantu mereka sekarang.
"Kaupikir keadaan kita sekarang tidak mengkhawatirkan, huh?!" Xander berteriak masih dengan wajah paniknya.
Troll yang baru diserang Alwen tertawa, seraya berkata, "Sudahlah, perlawanan kalian itu sia-sia. Seharusnya kalian merasa beruntung karena akan jadi makanan bagi Troll tampan sepertiku. Hahahaha!"
"HUWAAAAA!!!"
"XAN!!"
"PANGERAN XANDER!"
Lagi-lagi Xander yang ditangkap. "KENAPA SELALU AKU?!"
Troll itu mengangkat Xander hingga berhadapan dengan wajahnya yang kotor dan penuh bintik hitam. Troll itu menyeringai sebelum mengembuskan napasnya yang bau ke wajah Xander.
"Huekkk! Sudah berapa abad kau tidak gosok gigi?!" protes Xander menahan mual.
Zen mengepal tangannya erat, dengan gigi yang berkeretak. Gain masih melindunginya dalam sihir pelindung. Ia tak bisa diam saja di saat teman-temannya sedang kesulitan menghadapi bahaya. Apa lagi ini semua terjadi karena Zen memilih jalan lewat lembah ini.
"Lux Aeterna."
Tiba-tiba terdengar suara bisikan di kepala Zen. Suara yang hanya bisa didengar Zen.
"Aku juga harus melawan," ucap Zen. Ia melepas dekapan Gain.
"Pangeran, Anda mau ke mana?!" panggil Gain. Namun, Zen tetap melangkah pergi, melewati lingkaran pelindung yang membelenggunya. Gelembung caha kehijauan itu pecah seperti cermin ketika Zen melewatinya.
"Apa yang kau lakukan, Zen?!" teriak Roen sembari menghindari tangan Troll yang hendak menangkapnya. Tetapi Zen tidak menggubrisnya.
Zen terus melangkah ke tengah pertarungan, mata birunya memancarkan cahaya bak batu safir yang mengkilap. Ia mengangkat tangan kanannya ke depan, menggerakannya memutar searah jarum jam, kemudian memutar tangan kiri dengan arah berlawanan dari gerakan sebelumnya. Zen menarik kedua tangannya ke dada, membentuk lingkaran dengan jemarinya, sebelum akhirnya mengucap mantera.
"Lux Aeterna."
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXXIII
Yahoow!
Waw nyaris 2,5k kata tapi kayaknya tetep aja ya narasi menegangkan atau gawat bahayanya itu kurang dapet feel nya😔
Ara ara ganbatte
Maaf untuk typo, revisi segera setelah tamat
Tentunya banyak terima kasih untuk kalian semua yang sudah sampai bab 34 ini🫶🏻
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top