⿻⃕⸵Chapter XXXIII៚݈݇
"Sepertinya ada sesuatu yang harus kalian jelaskan padaku." Alwen dan Altair terperanjat ketika tiba-tiba Roen ada di ambang pintu. "Katakan padaku, sebenarnya perjalanan ini bukan hanya untuk mencari penawar untuk Zen, tapi juga untuk mengumpulkan sesuatu, iya, kan?" Roen menghampiri mereka, berdiri di sebelah Alwen, "Dan apa itu?"
"Ah, Tuan Muda Roen, selamat malam. Anda belum beristirahat? Ini sudah larut, perjalanan Anda pasti melelahkan," ujar Altair tersenyum ramah.
"Selamat malam, Tuan Altair. Terima kasih atas perhatian Anda, tapi aku belum mengantuk. Dan ... sepertinya kalian sedang membicarakan sesuatu yang seru, ya?" Roen menoleh, menatap Alwen dan Altair di sebelah kanannya. "Boleh aku bergabung?"
Altair tertawa canggung sebelum Roen kembali berkata, "Aku tahu menguping pembicaraan orang lain itu tidak baik, tapi aku tidak sengaja mendengar semuanya saat aku sedang lewat." Katanya begitu, meskipun sebenarnya Roen memang berniat menguping pembicaraan Alwen dan Altair.
"Tidak perlu disembunyikan lagi, aku sudah tahu sejak lama bahwa kau menyembunyikan sesuatu dari Yang Mulia, tapi apa ini? Kau malah berbagi rahasia itu dengan Alchemist dari kerajaan tetangga," tukas Roen.
Masih dengan senyumnya yang ramah, Altair berkata, "Sepertinya masalah ini sudah tidak biasa ditutup-tutupi lagi ya." Altair menjeda sejenak, menatap bintang.
"Anda tahu Busur Afetoros, bukan? Satu-satunya senjata yang bisa melukai Azrael. Ada sebuah permata di tengah bussur itu, permata itulah sumber kekuatannya, permata yang mengandung kekuatan sihir Dewi Levera. Namun, karena suatu alasan, permata tersebut dipecah menjadi lima bagian yang kemudian diberikan kepada lima orang terpilih untuk menjaga permata itu sampai Pangeran Zen siap mengambilnya kembali."
"Lima permata itulah yang kita cari. Pecahan terakhirnya akan membawa kita ke tempat Busur Afetoros disimpan." Alwen mengambil alih.
"Lalu sudah berapa permata yang kita punya?" tanya Roen.
"Tiga. Yang satu didapat dari tetua Desa Ventuarbor, satunya lagi dari Desa Hulu," sahut Alwen.
"Dan satu lagi?" Roen bertanya lagi, wajahnya tampak bingung. Bahkan sepanjang perjalanan ini rasanya ia tidak pernah melihat bentukan permata yang dimaksud. Mungkin sebenarnya melihat, hanya tidak menyadarinya.
"Satu lagi ..." Alwen terdiam hampir satu menit, ragu untuk menjawab. "Sebelum menghilang setelah peperangan enam tahun lalu, Pangeran Zen menitipkan permata terakhirnya padaku."
"Apa?" Roen tercengang tidak percaya. Kenapa ... kenapa Zen tidak memberikan tugas itu pada Roen atau keluarga kerajaan lainnya? Bukan hanya itu, Zen bahkan merahasiakan semua itu dari keluarganya. "O-oke, lalu di mana dua permata lainnya?"
"Kerajaan Marea dan Kerajaan Renever," jawab Alwen.
"Di Luminosa tidak ada?" tanya Roen.
Kali ini Altair yang menjawab, "Tidak. Ada alasan mengapa permata itu tidak ditempatkan di Kerajaan Luminosa dan Kerajaan Animare. Kerajaan Animare terlalu dekat dengan Nerobuio tempat di mana Azrael disegel, sedangkan di Luminosa terlalu banyak masyarakat dengan pikiran penjahat. Aku bahkan tidak terlalu percaya dengan raja kami. Ngomong-ngomong, boleh aku minta tolong padamu, Tuan Muda Roen?"
"Iya? Tolong apa?"
⿻⃕⸙͎
Malam semakin larut namun Zen, Agie, dan Gain masih asyik melihat-lihat berbagai macam ramuan yang ditunjukkan Filius. Puluhan rak kayu penuh dengan botol kaca berbagai bentuk dan ukuran dengan cairan berbagai warna pula di dalamnya.
Ada ramuan penumbuh rambut, ramuan penambah stamina, ramuan kekebalan fisik, ramuan bernapas dalam air, bahkan ramuan tubuh tak terlihat pun ada, dan masih banyak lagi.
"Apa ada ramuan cinta?" Zen tertawa mendengar pertanyaan Agie.
"Memangnya kau mau apa dengan ramuan itu? Mengambil hati Lucy?" Zen masih terkekeh, menerima senggolan kecil di bahunya.
"Tidak ada, aku bukan Enchanter," kata Filius sembari meletakan botol berisi cairan biru ke rak.
"Enchanter?" Zen tampak bingung, dengan kepala agak dimiringkan.
"Enchanter atau dikenal juga pemikat, mereka identik dengan ramuan cinta, mereka bahkan bisa membuat orang lain mematuhi mereka. Selain itu, Enchanter juga pandai memperkuat senjata," jelas Gain, pria paruh baya itu membolak balik botol berisi cairan hijau, mengira-ngira bahan apa yang diperlukan untuk membuat ramuan bertuliskan 'penghilang memori'. Sementara Zen hanya mengangguk-angguk menerima jawaban Gain.
Samar-samar terdengar langkah kaki, seseorang menuruni tangga menuju ruang bawah tanah tempat Altair membuat ramuan. Filius menoleh ke arah tangga, tak lama kemudian Roen menyembulkan kepala.
"Kalian masih di sini?" tanya Roen seraya menghampiri teman-temannya.
"Roen? Kau dari mana saja? Hei, lihat ramuan ini bisa membuat tubuh kita jadi tidak terlihat! Keren, bukan?" Zen berseru-seru menunjuk botol kaca berisi cairan berwarna magenta.
Roen terkekeh, kemudian berkata, "Tidurlah, besok kita akan berangkat pagi, jangan sampai kesiangan."
Zen menganggukkan kepala, "Baiklah, kalau begitu selamat malam, terima kasih atas kunjungannya."
Agie ikut berterima kasih dan pamit, sementara Gain dan Roen belum beranjak dari tempatnya.
"Boleh aku minta bantuanmu, Tuan Filius?" tanya Roen setelah Zen dan Agie benar-benar keluar dari ruangan itu.
"Tentu. Apa yang bisa kubantu, Tuan?"
"Kami tidak tahu banyak tentang Kerajaan Luminosa, bisa kau tolong pandu kami? Setidaknya sampai pusat kerajaan," sahut Roen.
"Baiklah, akan ku antar kalian sampai ke kerajaan."
"Terima kasih."
Sebenarnya hal ini adalah permintaan Altair.
"Ngomong-ngomong, boleh aku minta tolong padamu, Tuan Muda Roen?"
"Iya? Tolong apa?"
"Sihirku tidak begitu kuat, karena itu aku lebih sering mengandalkan ramuan. Tapi tidak dengan Filius. Dia memiliki sihir yang kuat, sama seperti ayahnya. Waktu kecil, dia ingin sekali menjadi Knight, seperti ayahnya. Aku yakin dengan kemampuannya, Filius pasti bisa mendapat pangkat yang tinggi, lebih dari sekedar Kinght biasa.
Tetapi sejak orang tuanya tiada, dia seperti mengurungkan cita-citanya. Katanya sudah tidak berminat lagi, tapi aku tahu diam-diam dia berlatih saat tengah malam. Aku ingin Anda mengajaknya dalam perjalanan kalian, mungkin anak itu akan berubah pikiran setelah keluar dari tempat ini."
⿻⃕⸙͎
Kuncup-kuncup bunga turnera putih dan kuning mulai bermekaran bersamaan dengan hangatnya sinar matahari pagi yang yang menyinari mereka. Perlahan embun yang menyelimuti tanaman mulai hilang. Bisa dibilang hari ini Zen rekan-rekannya kesiangan, itu semua karena Xander yang sulit dibangunkan dan mandinya yang hampir setengah jam. Bukannya menggosok sabun dan sampo, Xander malah asyik bermain sabun.
"Aku akan segera kembali," ujar Filius, berpamitan dengan kakeknya.
"Jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri. Antarlah mereka dengan selamat, ini tugas yang penting," sahut Altair sembari menyerahkan beberapa botol ramuan ke Gain. "Semoga ramuan ini bisa sedikit membantu kalian. Berhati-hatilah."
"Terima kasih banyak, Tuan." Gain menerima botol-botol itu, memasukannya ke dalam barang bawaannya.
"Terima kasih banyak atas bantuan Anda," ucap Alwen. Zen dan yang lainnya ikut berterima kasih.
"Tentu, tentu, sama-aama. Senang bisa membantu kalian," kata Altair lalu ia sedikit mendekat ke Roen, berbisik, "Kuserahkan Filius pada Anda. Mohon bantuannya, Tuan Muda Roen. Bujuklah perlahan. Aku tidak ingin anak itu menyia-nyiakan masa mudanya di laboratoriumku yang usang."
"Akan kuusahakan, tapi aku tidak janji bisa membuat cucumu berubah pikiran."
Sarapan sudah, perbekalan untuk di jalan sudah, sekarang waktunya berangkat. Altair melambaikan tangan mengantar kepergian cucunya.
Setelah beberapa meter melewati jalan setapak, mereka berhenti di persimpangan. Filius bertanya, "Kalian mau lewat jalan mana? Memutar dan lebih jauh tapi aman, atau jalan pintas tapi berbahaya?"
"Kenapa masih tanya? Tentu saja jalan pintas dan berhaya! Waktu kita tidak banyak, bukan? Dan bukan petualangan namanya jika tidak ada bahaya." Lagi-lagi Xander asal berceletuk, padahal sepanjang perjalanan ini dirinyalah yang paling sering mengeluh. Cuaca yang pantas tanah yang penuh lumpur, mengeluh karena hujan, atau digigit nyamuk dan serangga.
"Jangan sembarangan bicara bodoh!" tukas Roen dengan raut tidak senang. "Waktu kita memang terbatas, tapi kita juga tidak boleh gegabah!"
Xander mencibir, berpikir perjalanan selanjutnya akan sama membosankannya seperti sebelumnya.
"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke ibu kota jika mengambil rute yang aman?" tanya Alwen.
"Yah ... itu tergantung seberapa cepat kalian berjalan. Bisa sampai 10 atau 15 harian. Kita akan melewati beberapa desa dan kota kecil," jawab Filius.
Sebuah papan kayu kecil berdiri di jalan sebelah kanan, dengan tulisan D'erba-nama kota tempat biasa Altair menjual ramuannya.
"Kalau jalur yang satunya?" Gain yang bertanya.
"Empat atau lima hari."
"Kita lewat kiri."
"Apa?! Zen!"
Hanya Xander yang berseru ria mendengar keputusan Zen.
"Kau tidak serius kan?" tanya Agie.
"Tentu serius, kenapa tidak? Kita harus secepatnya mendapat semua pecahan Afetoros, aku juga mungkin perlu waktu untuk bisa menggunakannya." Raut wajah Zen tampak serius, tak ada keraguan dalam matanya.
"Baiklah, kita lewati sini."
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXXIII
Note.
Senin senin senin! Siapa suka hari senin? Aku suka senin kalo itu hari gajian:) sayangnya besok bukan hari gajian
Tiga minggu cuma dapet 1,3k kata?
2025 hari bisa tamat si😔
Thank you and see you!!!
Typo? Otw revisi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top