⿻⃕⸵Chapter XXXII៚݈݇

Beberapa hari berlalu, kini Zen dan kawan-kawannya telah memasuki wilayah Kerajaan Luminosa. Namun, tragedi di Desa Hulu Mediterania masih membekas di ingatan mereka, terutama Zen.

Tempat ini hanya kota kecil dekat hutan perbatasan. Meski begitu mereka akan menjadi pusat perhatian jika membawa kucing-kucing besar itu memasuki kota. Maka dari itu hewan tunggangan mereka tinggal di hutan sekitar pintu masuk kota, diperintahkan untuk menunggu mereka kembali di pintu masuk yang satunya.

Persediaan makanan hampir habis, juga ada beberapa bahan serta barang lainnya yang Gain butuhkan untuk keperluan medis. Sekarang ini mereka hendak sarapan di salah stau kedai, setelah itu barulah membeli perlengkapan.

Tak jauh dari tempat mereka, Vyria dan Nell diam-diam mengikuti mereka.

"Kenapa kita tidak menghabisi mereka saja sih?" protes Nell. Ia sungguh tak bisa diam, sejak tadi mondar-mandir berusaha menahan diri agar tidak membuat keributan yang bisa membuat mereka dicurigai.

"Sttt! Diamlah! Yang Mulia Rael memerintahkan kita untuk mengawasi mereka, bukan membunuh mereka," sahut Vyria, gadis itu memantau rombongan Zen dengan tenang.

Nell menghela napas untuk yang kesekian kalinya, tugas awas-mengawasi begini bukan jenis pekerjaan yang cocok untuknya.

"Ngomong-ngomong, kekuatan Yang Mulia memang luar biasa ya, berkat-Nya kita bisa memata-matai mereka dengan jarak sedekat ini tanpa mereka sadari sedikitpun," kata Nell.

"Tentu saja, kenapa kau masih meragukannya? Beliau itu reinkarnasi keturunan Dewa. Tapi meski begitu, kita tetap tidak boleh menganggap remeh anggota Kerajaan itu, Pangeran Zen juga merupakan reinkarnasi keturunan Dewa. Mungkin kekuatan Yang Mulia dengan Pangeran Zen hampir setara, atau memang sama kuatnya."

Nell hanya mengangguk-angguk, ia tidak terlalu menghiraukannya. Yang ia inginkan adalah bertarung.

"Hei, mereka masuk ke sana!" Vyria ikut memperhatikan, Zen dan kawan-kawannya memasuki kedai kecil dengan papan nama bergambar mangkuk lengkap dengan mi dan sumpitnya, tergantung di dekat pintu.

Dua tiang kayu menyangga atap teras, satu meja kayu panjang dan tiga meja bundar berukuran sedang, sedangkan bagian dalam kedai adalah dapur sekaligus rumah sang pemilik kedai.

"Duduklah, biar saya yang memesan makanan," ujar Alwen. Ini bukan restoran mewah di mana pelayanan datang membawa menu dan menyajikan makanan.

"Hei! Hei! Aku mau ikut! Aku mau pilih sendiri makanan untukku!" ucap Xan berseru-seru sembari melambaikan tangannya dengan cepat.

"Maaf, Pangeran, di sini hanya ada satu menu, jadi Anda tidak bisa memilih," kata Gain. Xan kembali duduk di kursinya sembari menghela napas dengan wajah masam.

Gain dan Alwen pergi memesan, tak lama kemudian datang empat orang warga lokal, dua orang ibu dengan masing-masing anaknya yang baru berusia tujuh tahun. Masing-masing ibu mereka membawa nampan berisi dua mangkuk, duduk di meja bundar di sebelah meja Zen.

Yang satu berambut pirang dengan gaun cokelat panjang, yang satunya lagi berambut hitam dengan gaun hijau lumut. Bukan gaun yang mewah, mereka hanya rakyat kecil biasa.

"Kudengar lima kerajaan sedang melakukan misi rahasia, kabarnya hanya beberapa petinggi yang mengetahuinya," ujar si wanita berambut hitam sembari meniupi makanan yang panas untuk anaknya.

"Iya, dan katanya keponakan Raja Alverd yang itu juga ikut lo," sahut wanita satunya sambil memgaduk hidangan.

"Yang itu? Maksdunya si anak dari anjing jadi-jadian itu?" tanya wanita yang pertama tadi kali ini ia menyuapi anaknya yang sedang bermain dengan anak temannya.

"Iya yang itu. Sebenarnya aku agak kasihan dengan anak itu, setelah ibunya meninggal, ayahnya malah pergi menelantarkan anak serta tugas kerajaannya." Wanita berambut pirang juga menyuapi anaknya.

"Tidak perlu kasihan. Meskipun orang tuanya tiada, dia hidup dengan layak sebagai Keluarga Kerajaan, kekayaannya begitu berlimpah. Apanya yang perlu kasihan?" Sekarang giliran wanita berambut hitam itu yang menyantap makanan, sedangkan anaknya masih bermain.

"Eh, jangan begitu. Walaupun dia kaya raya, dia pasti kesepian karena tinggal sendirian." Si pirang mengangkat sumpitnya seolah menunjuk-nunjuk temannya dengan sumpit.

"Kesepian apanya? Anak itu punya banyak uang, dia bisa melakukan apa pun yang dia mau. Dia mungkin menyewa perempuan untuk menemaninya." Si rambut hitam menyeletuk lagi.

"Masa sih? Aku dengar anak itu mengganti tugas orang tuanya dengan baik." Anak si pirang minta disuapi lagi.

"Itu, kan, biar kelihatan baik. Padahal aslinya? Tidak ada yang tahu, kan? Siapa tau suatu saat anak itu akan berkhianat dan bergabung dengan kegelapan seperti ayahnya."

"Ah, sudahlah, jangan bicara lagi. Aku dengar misi rahasianya adalah melakukan suatu perjalanan. Aku tidak tahu sih ke mana mereka pergi, tapi kalau ternyata mereka lewat sini dan tidak sengaja mendengarmu bicara begitu, aduhh ... bisa mati kita."

Ibu-ibu itu kembali menyuapi anak-anaknya dan makan untuk diri sendiri, mengganti topik pembicaraan dengan kabar tetangganya yang baru kemalingan. Mereka hanya warga kecil yang tahu berita-berita tersebut dari kabar angin yang beredar, mereka tidak tahu kalau orang yang mereka bicarakan ada di samping mereka.

Xan mengepal tangannya erat. Di antara saudara-saudaranya yang lain, hanya keluarga Roen yang rasnya setengah anjing. Xan berdiri dengan geram. Baru saja ia hendak melangkah, tetapi Roen lebih dulu menahan tangannya.

"Jangan lakukan itu," kata Roen.

"Mereka membicarakanmu, menjelekkan ayah dan ibumu, yang berarti menjelekkan keluargaku juga," ucap Xan kesal.

Tak lama setelah ibu Roen meninggal, ayahnya menghilang, beredar rumor bahwa ayahnya bergabung dengan kaum Darkness. Itu hanya kabar angin, bahkan sampai sekarang belum ada bukti yang membenarkan hal tersebut.

"Kau akan diam saja ketika kau dan keluargamu dihina seperti itu? Mereka tidak tahu apa-apa tentang kerajaan kita apa lagi keluarga kita. Apa hak mereka bicara begitu? Akan beri pelajaran-"

"Aku bilang jangan!" Lagi-lagi Roen menahannya. "Kita hanya lewat, setelah keperluan kita selesai, kita segera pergi dari sini."

"Tapi—"

"Jangan menimbulkan keributan yang bisa menghambat kita. Waktu kita tidak banyak, jangan lakukan hal yang tidak perlu." Xan berdecak sebal, kemudian duduk kembali di kursinya. "Tunggu di sini, Alwen dan Gain tidak akan bisa membawa semua makanan untuk kita. Zen, jaga adikmu dengan benar."

Sebenarnya Roen hanya ingin menghindar. Ia tidak ingin mendengar apa pun lagi tentang hal itu, tentang ibunya yang tiada atau tentang ayahnya yang berkhianat.

Zen hanya menganggukkan kepala. Ingatannya yang katanya hilang membuat Zen tidak tahu-menahu tentang masalah Roen. Sedangkan Agie merasa seperti orang asing di sini. Ia hanya orang luar yang tak berhak ikut campur masalah Keluarga Kerajaan.

Tak lama kemudian Alwen dan Gain kembali dengan nampan yang masing-masing berisi tiga mangkuk mi, sedangkan Roen membawa enam gelas teh hangat. Minya berwarna putih, lurus tidak keriting, lebih halus dan lembut dibanding mi pada umumnya. Kuahnya agak putih dan sedikit kental. Ditemani sepotong telur setengah matang, serta ditaburi bawang goreng dan daun bawang di atasnya. Beberapa lembar sayuran dan suiran daging juga melengkapi sarapan mereka.

Setelah sarapan, mereka pergi ke beberapa toko seperti toko tanaman herbal, toko senjata, dan toko bahan makanan. Mereka membeli beberapa bahan makanan mentah yang tidak mudah membusuk, juga beberapa makanan siap santap untuk bekal perjalanan hari ini.

⿻⃕⸙͎

Satu hari lagi telah berlalu, malam ini Alwen mengajak mereka menginap di rumah salah satu kenalannya. Xan yang paling girang, ia tak perlu lagi berkemah di hutan dan ditemani nyamuk-nyamuk yang kelaparan.

Tok! Tok! Tok!

Alwen mengetuk pintu. Bagian atas pintu kayu tua itu melengkung, agak runcing ke atas, disertai ukiran yang unik di permukaannya. Bentuk yang serupa untuk jendela baik di lantai satu maupun lantai dua. Dinding terbuat dari bebatuan yang disusun sedemikian rupa. Beberapa tanaman merambat serta lumut menempel di dindingnya. Atapnya runcing seperti atap menara. Berbagai bunga warna-warni menghiasi halaman rumah tersebut.

"Sepertinya tidak ada orang," kata Roen yang sedang memperhatikan sekitar. Zen ikut melihat-lihat. Sedangkan Xan berjongkok memandangi pintu sambil menopanh dagu, tidak sabar ingin melonjorkan kaki.

"Alwen? Kaukah itu?"

Seketika semua orang menoleh ke belakang. Tampak seorang pria tua bersama satu lagi laki-laki yang lebih muda tengah mendorong gerobak berisi botol-botol ramuan dengan cairan berbagai warna. Rambut panjangnya yang berantakan sudah beruban, kumis dan janggut pun putih panjang hingga ke dada, ia mengenakan jubah yang panjangnya semata kaki berwarna hitam dengan aksen hijau lumut di bagian pinggir, juga topi runcing hitam yang bertengger di kepalanya, khas seperti penyihir dalam film.

Sedangkan laki-laki yang sepantaran dengan Roen itu berambut ikal agak keriting, berwarna hitam kecoklatan. Ia mengenakan kemeja putih panjang, dilapisi rompi cokelat, dan celana panjang yang juga cokelat. Sepatu botnya berwarna hitam. Ia juga mengenakan bros bunga kipait di dadanya untuk menjepit jubah berwarna hijau tua yang menutupi punggungnya.

"Seharusnya kau mengabariku dulu sebelum kemari. Dan, oh astaga! Apa ini? Kau mengajak Keluarga Kerajaan? Aku benar-benar tak punya apa pun untuk menyambut kalian," ucap pria tua itu sembari mendekat ke rumahnya, menyerahkan gerobak yang ia bawa ke sang cucu. Kemudian mengambil kunci di sakunya dan membuka pintu. "Masuklah," sambutnya hangat.

"Aku sudah mengirim surat kemarin," sahut Alwen sembari memasuki rumah pria tersebut. Gain mempersilakan Zen dan yang lainnya masuk duluan, ia paling terakhir.

"Surat?" Pria tua itu terdiam sejenak, tampak sedang berpikir, mengingat-ingat sesuatu. "Oohh! Surat yang itu? Maaf, maaf, aku belum sempat membacanya."

Alwen menghela napas pelan, darii dulu penyihir satu ini memang selalu sibuk, karena itu pula ia selalu terlambat membalas surat.

"Anda kenal orang hebat ini, tapi tidak mengenalkannya padaku?" bisik Gain.

Pria tua itu terkekeh mendengarnya, kemudian menunduk hormat, "Perkenalkan namaku Altair Flem Albius, Alchemist nomor satu di Kerajaan Luminosa. Salam kenal, Yang Mulia Pangeran Kerajaan Luce."

Krekk.

Cucu Altair ikut masuk, membawa sekotak penuh botol kosong. "Ini cucuku, namanya Filius." Filius hanya tersenyum canggung, kemudian pergi membereskan barang-barangnya.

Lantai satu ini tidak begitu luas, hanya ada dua kursi santai di dekat perapian, satu meja kecil, satu lemari, dan satu rak penuh buku. Masuk lebih dalam kau akan menemukan dapur lengkap dengan tungku dan katel, juga lemari penyimpanan makanan. Lilin-lilin digantung sebagai penerangan. Sebuah lukisan diletakkan di rak pajangan di atas perapian. Lukisan itu menampilkan Altair bersama istri, anak, serta cucunya. Sebuah keluarga utuh sebelum perang enam tahun lalu terjadi.

Di tengah ruangan ada tangga spiral yang disusun dari kayu dan besi. Tangga itu menuju lantai atas dan lantai bawah. Yap, rumah ini memiliki ruang bawah tanah. Di sanalah Altair melakukan pekerjaannya, meracik ramuan. Sedangkan lantai atas digunakan untuk beristirahat.

"Filius, tolong buatkan teh untuk tamu kita!" pinta Altair, ia sedikit berteriak agar terdengar oleh Filius yang berada di ruang bawah tanah.

"Baik!" sahutnya sembari kembali ke lantai satu, kemudian pergi ke dapur.

"Permisi sebentar," ucap Altair. Lalu ia ke dapur, menarik dua kursi di meja makan, membawanya ke depan perapian yang padam.

"Mari duduk, silakan." Altair mempersilakan. "Ya ampun, bangkunya masih kurang. Sebentar, biar aku ambil dulu di ruang kerjaku."

"Tidak apa, tidak usah. Kami berdiri saja, Anda pasti lelah karena baru pulang," kata Alwen. Akhirnya hanya Zen, Xander, Roen, dan Altair yang duduk di kursi. Tak lama kemudian Filius datang membawakan teh hangat, diletakkannya di meja kecil.

"Silakan dinikmati," ucap Filius ramah.

"Mari minum, mari." Altair menyeruput tehnya. Begitu juga Zen dan Xander, perjalanan kemari cukup melelahkan.

Filius mengambil botol kecil di rak perapian, botol itu berisi bubuk-bubuk halus berwarna kuning keemasan. Ia melepas penutup botol, kemudian menaburkan sedikit isinya ke kayu dalam perapian, dalam sekejap kayu-kayu tersebut terbakar.

Altair membaca dengan cepat surat yang Alwen kirrimkan kemarin malam. "Jadi, berapa hari kalian menginap?" tanyanya.

"Hanya satu malam," jawab Roen.

"Satu malam? Baiklah." Altair meletakan suratnya di meja. "Filius, siapkan kamar untuk tamu kita."

"Terima kasih banyak, Tuan Altair. Maaf merepotkan," kata Zen setelah meletakan cangkir teh yang baru ia minum.

"Ah, tidak apa. Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh dari negeri seberang."

Setelah perbincangan kecil, akhirnya tiba waktu makan malam dan beristirahat. Xander yang biasa hidup enak di istana langsung merebahkan diri ke kasur. Sementara Zen, Agie, dan Gain pergi melihat-lihat ramuan buatan Altair. Kemudian di halaman depan rumahnya, Altair tengah berbincang dengan Alwen.

"Berapa pecahan Afetoros yang sudah kalian dapatkan?" tanya Altair setelah menyesap tembakau dan mengembuskan asapnya.

"Tiga," jawab Alwen.

"Sepertinya ada sesuatu yang harus kalian jelaskan padaku." Alwen dan Altair terperanjat ketika tiba-tiba Roen ada di ambang pintu. "Katakan yang sebenarnya, perjalanan ini bukan hanya untuk mencari penawaran untuk Zen, tapi juga untuk mengumpulkan sesuatu, iya, kan?"

⿻⃕⸙͎

#Chapter XXXII

Note
Serius ini Zen ga ada dialog di bab ini? Kamu MC apa bukan siiii (╥﹏╥)

Fuhhh ayo~ ayo~
Udah setengah jalan ini, kira-kira kapan kah tamat?

Typo? Otw revisi
Vote dan komennya ges:)

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top