⿻⃕⸵Chapter XXX៚݈݇

"Percuma saja, tidak usah dipanjat." Seseorang berseru, mengejutkan Zen.

"Eh? Kamu?" Zen menoleh ke sumber suara, itu Ila. "Kau adiknya Ilo, kan? Kenapa kau kemari?"

"Aku hanya ingin melihat pertandingan dari dekat," sahut Ila. Gadis kecil itu menghampiri Zen. "Aku tidak percaya Pangeran sepertimu bisa lupa lima warna kebenaran. Jelas-jelas bendera di atas sana itu berwarna ungu, dan ungu bukan warna kebenaran."

"Ungu?" Zen mendongak dengan mata yang menyipit, mencoba melihat warna bendera di antara sinar matahari yang menyilaukan. Tidak bisa, bendera segitiga itu terlalu kecil dan tinggi, sinar matahari yang menyengat membuatnya tampak seperti siluet yang hanya berwarna hitam.

"Bagaimana kau tahu warna bendera itu ungu?"

Ila lengang sejenak, berjinjit sembari menatap Zen tepat ke matanya. "Tentu saja karena aku melihatnya, Tuan Pangeran."

Zen mundur beberapa langkah, meskipun tubuhnya langsung menabrak pohon besar. "Kenapa kau melihatku begitu, Nona kecil?"

Ila menjauh sedikit, kemudian menghela napas. "Anda benar-benar hilang ingatan ya, Pangeran? Anda tidak mengingatku?"

Hanya gelengan kepala yang Ila dapat sebagai jawaban. Sekali lagi gadis itu mengembuskan napasnya panjang.

"Sudah kubilang tidak usah dipanjat!" seru Ila ketika mendapati Zen yang hendak memanjat lagi.

"Bagaiamana kau tahu benderanya warna ungu? Lagi pula, kenapa aku harus percaya padamu? Kau, kan, adik sainganku." Zen memicingkan mata, menyelidik Ila.

Ila menatapnya balik, tersenyum. "Aku tahu benda apa yang Anda inginkan sebagai hadiah kemenangan pertandingan ini," Ila menjeda sejenak, memperhatikan mimik wajah Zen yang seolah berkata 'apa?'. Tanpa melanjutkan perkataannya, Ila mengangkat permata jingga dengan bentuk tak beraturan yang tergantung di lehernya.

Zen tertegun, bagaimana Ila bisa tahu ia mengincar permata sebagai hadiah kemenangannya? Ia belum memberitahu siapa pun, termasuk Alwen, atau Xan yang serba ingin tahu. Permata itu merupakan salah satu pecahan anak panah Afetoros yang harus ditemukannya.

"Sudah, ayo jalan! Di sini tidak ada apa-apa."

Akhirnya Zen mengikuti Ila. Ini tidak termasuk curang, kan? Toh bukan Zen yang meminta bantuan, melainkan Ila sendirilah yang menyeretnya. Anggap saja agar Zen seimbang dengan Ilo yang sejak lahir sudah tinggal di sini, jelas dia lebih tahu dan hapal betul dengan hutan arena pertandingan mereka.

Mereka mencari ke sana kemari, di antara semak, di balik bebatuan, di atas pohon, di lubang-lubang tanah atau batang pohon yang menjadi sarang binatang, bahkan ke lubang semut. Namun, setiap kali Zen menemukan bendera dan hendak mengambilnya, Ila selalu berkata, "Jangan! Itu bukan warna kebenaran!"

Zen menggerutu kesal, mereka semakin kehabisan waktu, matahari terus naik ke atas kepala. Tak satu pun bendera mereka bawa. Zen mulai berpikir, apa dia sengaja mendekatiku untuk menyesatkanku agar kakaknya menang?

"Kau ini sengaja ya? Semua bendera yang mau kuambil selalu kau bilang salah, bukan yang ini, bukan yang itu. Sebenarnya warna bendera yang benar itu apa?" keluh Zen yang berselonjor di rerumputan. Kalau berjalan lagi, sakit kakinya bisa kumat.

"Ina, kan, sudah bilang hanya bendera dengan lima warna kebenaran yang boleh diambil. Selain warna itu, tidak akan dihitung poin," sahut Ila menjelaskan. Ina adalah warga Hulu yang membacakan aturan babak pertama tadi.

"Lima warna kebenaran?" Kedua alis Zen tertaut. Mana ia tahu warna kebenaran itu apa.

"Ya ampun ... sepertinya amnesia Anda sangat parah ya, Pangeran. Lima warna kebeneran adalah biru, kuning, merah, putih, dan jingga. Bahkan masing-masing Kerajaan mengambil satu warna sebagai dasar bendera Kebangsaan mereka. Seperti Kerajaan Luce dengan bendera merah yang berarti penuh dengan cinta kasih."

"Biru, kuning, merah ..." Zen megingat-ingat warna bendera yang mereka temukan sebelumnya, memang tidak ada satu pun bendera dengan lima warna tersebut.

Sepertinya aku pernah mempelajari warna-warna itu, ucapnya dalam hati. Alwen pernah menerangkannya dalam pelajaran sejarah saat mereka di Perpustakaan Kerajaan.

"Ggrrrrr!"

"Apa itu?"

Seketika perhatian keduanya tertuju pada sumber suara. Dari balik semak, dalam geraman berikutnya, lompat seekor harimau ke hadapan mereka. Mengaum kencang hingga sampai ke tempat Ilo yang hampir mendapatkan bendera kelimanya.

"Tora?" Ilo menoleh ke arah di mana suara Tora terdengar, itu tidak jauh. Kemudian meraih bendera terakhirnya. Kini semua warna sudah lengkap. Biru, kuning, merah, putih, serta jingga, semua ada di tangannya. Ia hanya perlu kembali ke desa untuk memenangkan babak pertama, tapi ...

"Firasatku tiba-tiba tidak enak." Sesuatu mengganjal di hati dan pikirannya, ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Kembali ke Zen yang ketakutan melihat harimau dewasa menyergapnya, sedangkan Ila justru sumringah.

"Tora!" Ila berseru hendak menghampiri si harimau.

"H-hei! Kau mau apa?" Zen menahan tangan Ila, mencegah gadis kecil itu mendekati harimau.

"Dia Tora, temanku. Dia tidak akan menyakitiku," ucap Ila berusaha meyakinkan Zen.

"Kau yakin?"

Ila bergeming sejenak. Tora memang temannya, juga teman Ilo. Salah satu pelindung hutan yang sering bermain dengan mereka. Akan tetapi Tora yang sekarang agak berbeda dari yang biasa. Matanya merah menyala, asap hitam menyelinap keluar dari rahangnya yang menganga, dengan air liur yang tak berhenti menetes. Tora tampak lebih liar dan buas namun juga terlihat kesakitan.

"Aku yakin dia hanya sedang kurang sehat." Ila berusaha menepis pikiran burukya. Ia melepas genggaman tangan Zen, tetapi Zen menggenggamnya lagi.

"Jangan khawatir, Pangeran." Ila melepaskannya lagi. Namun, saat ia berbalik, Tora menghilang. "Pergi ke mana dia?"

Zen segera menarik lengan Ila, menyembunyikan gadis itu di balik punggungnya. Bagaimanapun Zen itu seorang lelaki, ia harus melindungi Ila. Kakinya gemetar, Zen menatap sekeliling dengan waspada, harimau itu mungkin bersembunyi dan akan menerkam dengan tiba-tiba.

"Kita harus pergi." Zen menarik Ila, membawa gadis itu lari entah ke mana yang penting lari. Menjauh dari si harimau.

"Kita mau ke mana? Tora sedang kesakitan, aku bisa lihat dari matanya. Kita harus menolongnya!" protes Ila. Gadis itu menarik balik tangan Zen, membuatnya berhenti berlari.

"Kau gila? Kalaupun dia itu temanmu, sekarang ini dia sedang tidak sehat, jadi sebaiknya kita lari-"

"Justru karena Tora sedang sakit, kita harus menolongnya!"

"Kau tidak lihat? Dia mau memakan kita!"

"Anda salah, Pangeran! Tora tidak akan-"

Belum sempat Ila menyelesaikan ucapannya, Tora kembali mengaum. Burung-burung terbang menjauh, begitu juga hewan lainnya, mereka lari secepat dan sejauh mungkin. Tora muncul di belakang Ila, melompat dengan cakar tajam dan moncong yang terbuka lebar.

"Casova Zastavka!"

Zen mendekap Ila dan tanpa sadar mengarahkan tangannya ke si harimau sembari mengucap mantra, mantra yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Harimau itu berhenti, seolah membeku. Namun, masih dengan moncong yang menganga. Air liurnya jatuh ke tangan Zen.

Zen hampir jatuh, tapi Ila menahannya. Kakinya lemas dan gemetar. Ia tidak percaya dirinya telah merapal mantra yang ia sendiri tidak tau mantra apa itu. Detak jantungnya yang kencang bisa didengar Ila dalam dekapannya.

"ILA!" Ilo memekik. Dia belum kembali ke desa. Firasat buruknya benar dan itu tentang Ila. Dia bergegas menarik Ila dari dekapan Zen. "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya khawatir.

"Aku ...." Sebenarnya Ila belum menyiapkan alasan jika bertemu Ilo di hutan, tapi ia lebih mengkhawatirkan Tora meskipun dirinya hampir dilahap.

Tora mengaum lagi, sihir Zen tidak bisa bertahan lama, cakar-cakarnya mulai bergerak.

"Lari!" Ilo berseru, menarik Ila sejauh mungkin. Zen ikut berlari, menjauh dari Tora.

"ROAAR!"

Tora kembali bergerak, sihir Zen tak lagi berpengaruh. Harimau itu mengaum marah dan kesakitan.

"Kakak, ada apa dengan Tora? Kenapa dia seperti itu?" tanya Ila ketakutan, memeluk erat kakaknya.

"Aku tidak tahu, tapi ... jika dia menyakitimu, maka terpaksa aku harus melawannya."

"JANGANNNN!!!" Ila berteriak, tetapi Ilo tetap menghunuskan tombaknya, menyerahkan Ila kembali ke perlindungan Zen selama ia melawan harimau.

"Pangeran Zen! Tolong hentikan dia seperti tadi!" pinta Ilo sembari menghindari serangan Tora. Harimau itu terus menghindar, gerakannya jauh lebih lincah dari biasanya.

"Hahhh? A-aku tidak bisa! Aku bahkan tidak tahu mantra apa yang kuucapkan!"

"Casova Zastavka." Zen menoleh. Ila mengingat mantranya.

"Caso- apa? Hah?"

"Aduh, bukan. Casova Zastavka." Ila berucap lagi, lebih perlahan agar Zen bisa mengucapkannya.

"Baiklah ... akan kucoba." Zen meneguk ludah sebelum mengarahkan jemarinya ke harimau yang menyerang Ilo. "Casova Zavaska! Casva! Casova Zastavka!"

Berkali-kali Zen berseru, sebagian pengucapannya salah, tetapi ia juga mengucap mantra yang benar. Namun, tidak terjadi apa-apa. Harimau itu masih dengan lincah menerkam Ilo yang kini mulai kewalahan. Ilo tidak mampu lagi tuk menghindar, ia hanya bisa menahan cakar Tora dengan tombaknya yang panjang.

"Lakukan lagi! Lebih keras! Argh!" Darah segar mengalir di lengan kanan Ilo ketika cakar Tora mengenainya.

"KAKAK!!!" Ila menjerit ketakutan. Illo jatuh dan tombaknya terlempar.

Teriakan Ila membuat Tora kembali menargetkannya dan Zen sebagai mangsa. Harimau itu mengaum, melompat ke arah Zen dan Ila.

"Casova Zastavka!"

Zen berhasil. Nyaris saja harimau itu melahap kepalanya. Zen menatap ngeri melihat rahang Tora yang menganga lebar tepat di depan wajahnya, hingga air liur harimau itu menetes ke dahinya, bercampur dengan keringat dingin yang membanjiri pelipisnya.

Dan saat itulah Zen menyadari sesuatu. Ada rantai berduri yang mencekik leher Tora. Ia yakin rantai itulah yang membuatnya buas.

"KAKAK JANGAN!" Ila memekik. Sembari menahan rasa sakit di tangannya, Ilo berjalan tertatih dengan tombaknya, hendak menghabisi Tora.

"Tunggu dulu! Ada sesuatu di lehernya!" Zen ikut berseru.

"Apa yang Anda lakukan?!" tanya Ilo. Hanya Zen yang bisa melihat rantai itu. Zen menyelipkan jemarinya di antara rantai agar tidak terkena duri, kemudian menariknya.

"Pangeran Zen!" Kali ini Ila yang berseru. Cakar Tora mulai bergerak-gerak. Sama seperti sebelumnya, sihir Zen hanya mampu menahannya selama beberapa menit. Bahkan kurang dari lima menit.

Tangannya berdarah akibat tergores duri di rantai tersebut. Namun, Zen tetap menarik rantai itu dengan keras. Berusaha membebaskan jerat di leher Tora.

"AAAAAAGHH!!!"

Kepala Tora juga mulai bergerak, air liurnya kembali menetes dan kali ini ke atas rambut Zen. Tepat saat sihirnya hilang, saat itu pula Zen berhasil membebaskan Tora. Rantai berduri itu hancur berkeping-keping, kemudian menghilang di udara.

Brukh!

Harimau itu jatuh lemas, seluruh tenaganya terkuras setelah sesuatu yang mengerikan mengendalikan tubuhnya. Begitu juga Zen yang jatuh terduduk setelah menarik rantai yang membelenggu leher Tora.

"Tora!" Ila menghampiri Tora, mengelus lembut bulu-bulunya, memeluk hewan itu dengan khawatir. Sekarang Tora kembali normal. Matanya berwarna kuning seperti sedia kala, tidak lagi merah.

"Aku harus keramas," keluh Zen sembari mengibaskan tangannya, menahan perih.

"Terima kasih," ucap Ilo, ia mengulurkan tangan, membantu Zen berdiri. "Ini kedua kalinya Anda menyelamatkan Ila. Sepertinya kami ... memang harus menepati janji ya ...."

Wajahnya tampak sendu, ia mengeluarkan botol air dari tas perbekalannya yang kemudian diberikan ke Ila. "Tolong bersihkan luka Pangeran. Aku akan mencari obat."

Ila mengangguk, langsung melakukan apa yang kakaknya pinta. Sedangkan Ilo sedikit membungkuk, menengok ke kanan-kiri, mencari sesuatu di tanah. Ketemu. Ilo kembali dengan beberapa rumput balam di tangannya. Ia meremasnya hingga agak lumat, lalu menempelkan rumput balam itu ke telapak tangan Zen.

"Tolong tahan sebentar, Pangeran." Zen meringis ketika Ilo menekan telapak tangannya, tetapi baluran rumput balam itu obat alami yang cukup mampu meredakan luka. Rasa perih di tangannya perlahan reda. Ilo juga membalut luka-lukanya dengan rumput tersebut.

"Hari sudah siang, ayo kembali ke desa," ujar Ilo setelah memeriksa keadaan Tora.

"Bagaimana dengan Tora?" tanya Ila khawatir.

"Dia baik-baik saja, hanya kelelahan. Akan kupanggil Oswell untuk menemaninya." Oswell adalah burung walet yang juga suka bermain dengan Ilo dan Ila.

Waktu pertandingan babak pertama hampir usai, tetapi tak ada satu pun bendera di tangan Zen. Ia kalah telak. Namun, tiba-tiba Ilo menyerahkan semua benderanya ke Zen. "Terimalah, Pangeran."

"E-eh? Kenapa kau memberikannya padaku?"

"Anda belum mendapat bendera, kan? Anggap ini sebagai rada terima kasihku karena telah menyelamatkan Ila, juga Tora. Sungguh, kelima bendera ini tidak sebanding dengan apa yang telah Anda lakukan. Kumohon, terimalah." Ilo membungkuk hormat menyerahkan benderanya, tetapi Zen tetap menolak.

"Tidak, tidak. Kau pasti sudah bersusah payah untuk menemukannya, mana bisa aku menerimanya begitu saja? Bendera itu milikmu."

"Anda memang pantas menang. Apa gunanya aku menang jika tidak bisa melindungi keluarga?"

"Tidak. Pertandingan tetaplah pertandingan. Kalau aku memang mampu, seharusnya akku juga bisa menemukan kelima bendera itu sebelum tengah hari sepertimu."

"Aku memaksa." Ilo masih bersikeras.

Zen diam sejenak, ia masih ragu menerima tawaran Ilo. Bolehkah ia lakukan? Toh Ilo sendiri yang menawarkan, bukan Zen yang meminta.

"Baiklah ...." Zen mengambil bendera biru. "Kalau begitu satu saja."

"Hah? Anda tidak bisa menang hanya dengan satu bendera, Pangeran." Ilo menyodorkan empat benderanya.

"Ini sudah cukup, setidaknya aku tidak kembali dengan tangan kosong."

"Tapi-"

"Ya ampun Kakak-Kakak sekalian! Kalau kalian berdua sama-sama tidak mau menang, kenapa tidak jadikan babak ini seri?" Ila bertolak pinggang, menengahi perdebatan konyol Zen dan Ilo.

Ila mengambil bendera jingga untuk Zen, satu lagi bendera merah untuknya sendiri. Dengan begini Zen dan Ilo masing-masing mempunyai dua bendera. Zen dengan bendera biru dan jingga, sedangkan Ilo bendera kuning dan putih.

"Nah, ayo pulang!"

⿻⃕⸙͎

Di sisi lain, Azrael tengah duduk bosan di singgasananya sembari menyerap energi-energi negatif dari kekacauan yang dibuat kaumnya.

"Haahh ... sebenarnya apa yang ibu berikan pada Luce hingga aku tidak bisa mendeteksinya?" ucapnya menghela napas, tapi kemudian menyeringai, seringai yang penuh dengan kebencian. "Gelarnya saja Dewi, tapi tetap saja pilih kasih."

Beberapa menit berlalu, ia hanya mengelus-ngelus anjing hitam yang menemaninya. Semua pekerjaan ia limpahkan ke Agares, ia hanya ingin tahu di mana Zen dan apa yang dilakukannya.

Tiba-tiba kepalanya seowner tersengat listrik, sejumlah informasi berhasil ia dapatkan. Rael berhasil mencari tahu di mana lokasi Zen. Rael mampu merasakan di mana, apaa yang dilakukan, bahkan apa yang dipikirkan Zen ketika sihirnya aktif.

Bisa dibilang hal inilah yang menyebabkan kemampuan sihir Zen tidak meningkat. Bukan karena tidak bisa, tetapi karena sihir itu yang menolak aktif agar tidak ditemukan Rael. Namun, Rael telah merasakan energi sihir yang Zen gunakan ketika menghadapi Tora.

"Di situ kau rupanya," kata Rael. Seringainya semakin lebar, ia menatap anjing hitamnya yang dipanggil Lupe. "Dia tidak akan bisa lolos dari pengawasanku, iya kan, Lupe?"

⿻⃕⸙͎

#Chapter XXX

NOTE:
Haloww! Malming malming:)
Malming sama siapa? Bantal:)
Uda mau ganti hari ini malmingnya

Tentunya tak lupa kuucapkan banyak terima kasih kepada kalian semua yang telah membaca sampai bab ke-30 ini
Mwah:3

Typo? Aaaa... nanti ku revisi:>

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top