⿻⃕⸵Chapter XXVIII៚݈݇
"Yang Mulia?!"
Pemimpin pasukan Hulu itu terkejut. Baru selangkah kakinya berpijak, Roen dan Xan langsung maju ke depan, menghunuskan senjata masing-masing ke depan leher sang pemimpin Hulu. Tentu tindakan mereka membuat pasukan Hulu yang lain ikut menodongkan senjata pada mereka yang telah mengancam pimpinannya.
"Jangan mendekat! Siapa dan apa mau kalian?" tanya Roen tanpa menghiraukan tombak-tombak bambu yang mengarah ke kepalanya.
Alwen berdiri siaga di depan Gain yang memapah Zen, sedangkan Agie berjaga di belakang Gain. Dua kucing raksasa ikut menggeram dengan bulu-bulu yang berdiri tegak, mereka jadi terlihat seperti singa yang lapar.
"Turunkan senjata kalian." Orang itu memerintah ke pasukannya yang langsung menurunkan senjata. "Maaf, mereka pasti mengejutkan kalian. Perkenalkan, namaku Ilo, putra sulung Kepala Desa Hulu," lanjutnya memperkenalkan diri. Mata Ilo bergerak melirik satu per satu tamu di hadapannya. "Kalian datang lebih cepat dari dugaanku."
"Kau tahu kami akan datang?" tanya Roen masih dengan senjata yang mengarah ke leher Ilo.
"Ya, kami tahu. Yang Mulia yang memberitahukannya. Beliau bilang seharusnya masih 3 atau 4 tahun lagi kalian baru tiba kemari," jelas Ilo, ia menurunkan tombak Roen dan pedang Xan yang mengarah ke lehernya.
"Maksudmu ayahku? Atau Raja dari Kerajaan lain?" tanya Xan. Kini kedua belah pihak sama-sama menurunkan senjata. Xan merapikan pedangnya, memasukkannya ke sarung pedang di pinggangnya.
Ilo terkekeh seraya menjawab, "Bukan. Kami tidak akan tunduk pada kalian, kita ini sama-sama makhluk rendahan. Yang kumaksud dengan 'Yang Mulia' adalah Yang Maha Dewa Luce. Beliau meminta kami membantu kalian saat kalian melewati desa kami. Itu akan jadi berkah luar biasa bagi kami."
"Nah, bagaimana kalau kalian ikut kami? Yang Maha Dewa juga menitipkan sesuatu untuk anak itu," kata Ilo lagi sembari melihat ke arah Zen yang tidak sadarkan diri.
"Untuk Zen?" tanya Roen memastikan dengan mata menyelidik.
"Ya, terserah siapa pun namanya," jawab Ilo disertai anggukan pelan.
Roen, Xan, dan Agie, juga Gain, menatap Alwen, menunggu keputusan. Alwen terdiam sejenak. Mengingat kondisi Zen yang menurun, beristirahat di desa akan jauh lebih aman dan nyaman ketimbang tidur di hutan liar, kan?
"Baiklah. Terima kasih atas tawaran baik Anda," ucap Alwen menyetujui.
Ilo tersenyum. "Lewat sini." Kemudian memimpin jalan.
"Jangan lengah," bisik Alwen memperingatkan sebelum beranjak mengikuti Ilo.
⿻⃕⸙͎
Obor-obor yang menyala mulai terlihat, mereka sudah dekat dengan pemukiman Suku Hulu. Rumah-rumah di sana berbentuk limas yang menjulang dan lumayan luas, terbuat dari batang bambu yang dilapisi daun kelapa kering. Hanya ada sekitar 15 rumah di sana.
"Selamat datang di Hulu Mediterranea. Beristirahatlah. Aku harus menemui orang tuaku, mereka mungkin ingin menemui kalian setelah ini. Kalau butuh apa-apa, katakan saja pada mereka," ucap Ilo sebelum pergi meninggalkan rombongan Zen. Ilo meminta dua pasukannya berjaga di luar. Hanya berdua, tidak seperti di Istana Kerajaan yang di mana banyak para Knight berjaga di setiap sudut.
"Dan maaf jika tempatnya tidak nyaman. Kami tidak punya ranjang dan kasur empuk seperti di istana kalian," tambah Ilo, memunculkan kepalanya dari balik pintu.
"Bukan masalah. Kami sudah terbiasa tidur di atas rumput dan batu," timpal Xan seraya duduk di atas bale. Sebuah bangku lebar yang terbuat dari bambu. Bukan hanya duduk, tapi bisa juga untuk tidur, walau tidak seempuk kasur.
Zen dibaringkan di bale, begitu juga yang lainnya, duduk dan beristirahat di sana. Sebuah bongkahan kayu menjadi meja kecil yang menampung buah-buahan.
"Kau mau ke mana?" tanya Xan begitu melihat Agie beranjak pergi.
"Buang air. Mau ikut?" Agi menghentikan langkahnya, berbalik, menghadap Xan dengan kekeh di wajahnya.
"Tidak. Pergi sendiri sana!" sahut Xan ketus, memalingkan wajah. Agie tertawa kecil, kemudian pergi.
Beberapa menit kemudian, Agie sudah kembali. Akan tetapi, telinganya menangkap keributan. Agie mencari sumber suara hingga ia sampai ke salah satu rumah penduduk Suku Hulu. Ia mendekat, mengintip lewat celah, dan menguping.
"APA KAU SUDAH TIDAK WARAS?!" bentak seorang wanita berambut hitam legam, menampar pipi kiri Ilo, memarahi Ilo hingga anging-anting bulu merak di telinganya bergoyang.
"Kenapa kau membawa mereka kemari? Kau mau adikmu tiada?!" ucap wanita itu lagi—ibu Ilo—dengan nada marah sekaligus sedih.
"Tentu saja tidak! Aku menyayangi Ila. Aku juga tidak mau Ila tiada ... tapi kita sudah berjanji akan menyerahkan kristalnya pada anak itu, jika kita melanggar—"
"IBU TIDAK PEDULI!" Ibunya membentak lagi, menyela ucapan Ilo dengan mata melotot dan alis yang mengkerut. "Ibu mana yang tega mengorbankan putrinya sendiri?!"
"Sayang, tenangkan dirimu," ucap ayah Ilo, mengusap lembut punggung istrinya. "Tanpa kristal itu, tak mungkin Ila bisa bertahan sampai sekarang. Tapi—"
"Kalian sudah tahu itu, lantas kenapa masih ingin menyerahkan kristalnya?! Tanpa kristal itu, Ila bisa mati ...." Tangis sang ibu pecah, kelopak matanya tak lagi sanggup membendung air mata.
"Dengarkan aku dulu, Sayang! Tenang! Tenanglah!" Ayah Ilo menggenggam kedua pundak istrinya, menatap iba istrinya yang dibanjiri air mata.
"Tenang? Kau menyuruhku tenang ...?" Ibu Ilo gemetar. Mata dan hidungnya sudah memerah. "Apa kau masih bisa tenang saat tahu putrimu akan mati demi negara? APA KAU RELA KEHILANGANNYA?!"
Sang Kepala Desa menarik istrinya dalam pelukan, mendekapnya erat, menahan isak tangis. "Aku ini ayahnya, aku juga tidak ingin kehilangannya ... sampai kapan pun Ila akan selalu jadi putri kecilku yang berharga," ucap Ayah Ilo berusaha menenangkan, mengusap lembut punggung istrinya.
Kedua tangan Ilo dikepal erat, ia menggigit bibir bawah, menahan sakit di pipi, juga sesak di dada karena takut kehilangan adiknya.
Ibu Ilo mendorong pelan Kepala Desa, melepas peluk. "Aku tidak akan mengizinkan kalian menyerahkan Ila. Jika kalian tidak mau menyingkirkan mereka, aku sendiri yang akan lakukan. Lalu akan kubawa pergi Ila."
Seketika Agie membelalak, terkejut. Memang siapa lagi yang dimaksud dengan 'mereka' oleh ibunya Ilo kalau bukan rombongan Zen? Agie masih belum tahu masalah apa yang sebenarnya terjadi, tapi ini jelas bukan sesuatu yang baik.
"Aku harus memberitahu yang lain, kita harus segera pergi dari sini," ucapnya pelan. Baru saja Agie hendak beranjak, ia melihat seorang anak perempuan berlari melewatinya. Anak yang juga habis menguping pembicaraan di dalam, di sisi rumah yang lain.
Gubrak!
Deretan tombak bambu yang sebelumnya berjejer rapi tiba-tiba jatuh, berguling ke tanah ketika anak perempuan itu menyenggolnya.
"Siapa di sana?!"
Kegaduhan jatuhnya tombak-tombak itu terdengar Kepala Desa. Agie pun segera beranjak, kembali ke tempat Zen dan yang lainnya. Sama hal nya dengan si anak perempuan, anak itu juga sudah lari menjauh.
⿻⃕⸙͎
Pandangannya gelap. Namun, perlahan seperti ada cahaya yang mendekat. Kehangatan seolah membelai kepalanya, sentuhannya begitu lembut.
Zen mengerjapkan mata, mendapati dirinya tengah berbaring di atas air, mengambang. Akan tetapi permukaan air itu terasa nyaman, dengan langit-langit yang hanya diisi dengan warna putih. Samar-samar ia melihat bayangan. Sesosok wanita cantik yang membelai kepalanya. Dewi Levera kembali mengunjunginya. Dan tempat ini adalah alam bawah sadarnya.
Dewi Levera tersenyum melihat Zen yang telah membuka mata sepenuhnya, tangannya masih mengusap kepala Zen. "Anakku, sesungguhnya Afetoros hanya busur tanpa anak panah. Kau harus menemukan anak panahnya."
Zen terdiam. Waktu mereka semakin sedikit, busurnya saja belum ia dapatkan, sekarang harus mencari panahnya pula.
Tiba-tiba kalung pemberian Alwen melayang di leher Zen. Permata yang menjadi liontin memancarkan cahaya kuning terang.
"Kita sudah punya dua," ucap Dewi Levera.
"Punya dua?" tanya Zen mengulang ucapan Dewi Levera dengan tatapan bingung.
Dewi Levera mengangguk pelan. "Permata pada kalung itu adalah serpihan dari anak panah Efetoros. Anak panah itu terbagi menjadi lima bagian, salah satunya ada di Desa Hulu Mediterranea."
"Kau belum membuka hadiah dari Baragound?" Zen menggelengkan kepala, kemudian Dewi Levera berkata lagi, "Permata dalam kotak itu juga merupakan serpihan dari anak panah Efetoros."
Kotak pemberian Baragound ikut muncul di alam bawah sadarnya, melayang di atas kepala Zen. Secercah cahaya putih menyelinap keluar lewat celah-celah kotak. Dan senyum hangat Dewi Levera mengakhiri mimpi tersebut.
⿻⃕⸙͎
Sementara itu, Agie menghentakkan kakinya dengan cepat. Melewati dua pasukan Hulu yang berjaga di pintu depan ruangannya.
"Semuanya! Kita harus segera pergi dari sini, mereka mungkin akan membunuh ki ... ta ...." Ucapannya yang menggebu-gebu mendadak pudar begitu melihat Zen yang sedang duduk dengan cawan kecil di tangannya.
Seketika Agie menjadi pusat perhatian, akan tetapi ia tidak menghiraukannya. Agie menghampiri Zen dengan tatapan lega. Kini mereka bisa lari bersama-sama tanpa harus menggendong Zen, iya, kan?
"Apa maksudmu membunuh kita?" Agie baru hendak menanyakan keadaan Zen, namun Xan sudah lebih dulu menanyainya.
"Ternyata kau yang tadi menguping pembicaraan kami?" Semua orang menoleh ke sumber suara, Ilo yang ternyata sudah berada di ambang pintu.
"Pangeran Zen!" Ilo menodongkan tombaknya ke arah Zen. "Dengan ini aku menantangmu berduel denganku!"
Zen tertegun, begitu juga yang lainnya. Tapi kemudian Xan maju menepis tombak Ilo, menatap tajam dengan alis naik dan gigi yang menggertak. Hidung mereka bahkan hampir bersentuhan.
"Sudah kuduga pertolongan kalian itu tidak tulus. Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh kakakku!" Xan menghardik Ilo.
"Jangan khawatir, aku hanya ingin memastikan apa kami harus menepati janji kami atau tidak." Ilo membalas santai, mendorong Xan untuk membiarkannya lewat menghampiri Zen.
"Janji? Janji apa yang kau maksud?" tanya Xan. Namun, Ilo tidak menjawabnya.
Ilo mengulurkan tangan kanannya, "Yang kalah harus mengabulkan permintaan yang menang."
"Setuju," sahut Zen menyambut jabat tangan Ilo yang tentunya membuat teman-temannya terkejut.
"Zen?! Kau bercanda, kan?" ucap Roen. Jika Zen yang dulu, Roen sudah tentu yakin Zen akan memenangkan duel. Tapi yang sekarang?
"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Lagi pula ada sesuatu yang harus kumenangkan."
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXVIII
Note
Yaho! Halo~
Ini sih udah sebulan lebih ga update T~T
Gomen...
Udah update ga rutin, malah kepengen buat cerita baru
Jotos aja si akira ini jotos ╥﹏╥
Sekian prakata untuk bab kali ini
Jangan lupa vote dan komennya
Semoga cerita ini seru dan menyenangkan
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top