⿻⃕⸵Chapter XXV៚݈݇
Awan cumulus membentang di langit biru, seperti bulatan kapas dengan berbagai bentuk unik yang melayang-layang. Sesekali angin bertiup lembut, bukan angin yang kuat, embusannya hanya mampu menggoyangkan dedaunan di ujung ranting.
Hewan mungil bertelinga panjang itu—kelinci—bermain ria di hamparan rumput bersama kupu-kupu. Kupu-kupu bersayap jingga itu hinggap di bunga Daisy. Sedangkan kelinci berbulu cokelat itu mengendus-endus rumput di kakinya. Melompat-lompat kecil mencari rumput ataupun tanyakan lainnya yang bisa dimakan.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata tengah memperhatikan setiap gerak-gerik mereka dari balik semak. Lebih tepatnya si kelincilah yang diamati. Tidak dengan kupu-kupu.
Iris biru bagai batu sapphire itu bergerak sesuai ke mana si kelinci melompat. Kelinci itu berhenti, dia menemukan bayam liar. Giginya yang kecil mulai melahap daun bayam dengan nikmat, membelakangi semak.
Satu ... dua.
Orang dibalik semak itu berhitung dalam hati. Bergerak pelan-pelan agar tak menimbulkan suara sedikit pun. Mencegah kelinci itu menyadari keberadaannya.
Tiga!
Hap!
Daun-daun rontok berterbangan bersamaan dengan Zen yang melompat keluar dari semak. Kelinci kecil itu menjadi target buruannya.
Kelinci kecil itu menoleh ke belakang. Tubuh Zen yang melayang-karena melompat-semakin dekat dengan kelinci. Kedua tangannya direntangkan ke depan, bersiap menangkap.
Ketika kelinci itu sudah masuk dalam jangkauannya, Zen segera merapatkan tangannya. Jemarinya berhasil menyentuh bulu kelinci yang lembut. Sedikit lagi.
Zen jatuh hingga terdengar bunyi 'gdebuk'. ia tengkurap. Zen mengangkat kepalanya yang menunduk, melihat tangannya yang terulur lurus ke depan. Tangannya kosong. Kelinci itu berada 50 cm di depan Zen. Ia gagal. Lagi.
"Gaahhh ...." Zen kembali menenggelamkan kepalanya di rerumputan. Ia menyerah. Entah itu kelinci yang keberapa kali, tapi semua percobaan penangkapannya gagal. Tak nada satu pun kelinci yang berhasil ia tangkap.
"Tidak bisakah kita menangkap hewan lain? Apa kalian tidak kasihan kalau kelinci lucu begitu dimakan?" ucap Zen tanpa mengangkat kepalanya.
Satu per satu teman-temannya turun dari pohon. Roen, Xan, dan Agie memantau perburuan Zen dari atas pohon.
"Kau bilang begitu karena tidak bisa menangkapnya, kan?" kata Xan meledek. Wajahnya benar-benar konyol.
Zen mengangkat kepalanya lagi, menatap teman-teman yang mengelilinginya. "Kalian curang! Kalian hanya menonton dari pohon. Tidak membantuku sama sekali," ujarnya dengan bibir cemberut.
Roen tertawa, kemudian mengulurkan tangan, membantu Zen berdiri. "Ini, kan, latihan untukmu. Latihan seberapa cepat kau bisa berlari untuk mengejar atau menangkap musuhmu."
Zen meraih tangan Roen, lalu berdiri. Ia menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor akibat berkali-kali jatuh. Sudah hampir 45 menit ia berkeliling hutan, melompat-lompat seperti kelinci, akan tetapi tak ada satu pun yang tertangkap. Ukuran kelinci di sini sama dengan di dunia manusia, tetapi kemampuan berlarinya 3 kali lebih cepat.
"Bagaimana kalau latihan memanah?" usul Agie. Dengan begitu, Zen tidak perlu lompat-lompat lagi untuk menyergap kelinci iya, kan? Ia hanya harus bersembunyi dan diam-diam menembakan anak panah ke target buruan.
"Baiklah. Kalau begitu kita naikkan levelnya." Roen menyunggingkan senyum, melirik Zen, kemudian berkata lagi, "Kita ganti target buruannya. Kelinci adalah hewan tingkat rendah, dan biar bagaimanapun mereka itu masih bersaudara dengan ras Coniglio Sage-penduduk Kerajaan Animare."
"Lalu apa yang diburu?" tanya Xan. Ia memperhatikan Roen.
"Wildschwein!" Roen berseru, ia melirik satu per satu teman-temannya.
"Boleh juga. Tidak terlalu sulit, juga tidak terlalu mudah," sahut Xan disertai anggukan. Agie ikut mengangguk. Menyisakan Zen yang planga-plongo tidak mengerti.
"Wild apa?" Zen bahkan tidak bisa menyebutkan keseluruhan nama target berikutnya.
"Wildschwein, adalah jenis babi hutan yang hidup hampir di seluruh hutan di pulau ini. Dengan kata lain, hewan itu ada di semua hutan wilayah Kerajaan Luce, Kerajaan Luminosa, dan Kerajaan Animare. Wildschwein juga sering diburu untuk dijadikan menu restoran," jelas Roen. Kemudian ia merangkul bahu Zen.
Xan ikut merangkul. "Saat masih kecil, kita bertiga sering latihan berburu Wildschwein." Mengenang kembali masa kecil mereka, di mana perang besar belum terjadi, dan Zen masih mengingat seluruh tentang mereka.
"Nah, kalau begitu ayo mulai!" Roen menepuk punggung Zen dan Xan sebelum beranjak, ia juga menepuk punggung Agie. "Waktu kita tidak banyak, anak-anak. Ayo cepat! Cepat! Komandan kalian sudah kelaparan."
⿻⃕⸙͎
Zen dan yang lainnya terus berjalan, begitu juga dengan alam. Gumpalan awan cumulus mulai membentuk awan cumulonimbus. Cahaya mentari perlahan tertutup awan.
Langkah demi langkah. Satu per satu petunjuk keberadaan Wildschwein ditemukan. Seperti jejak kaki dan goresan di batang pohon.
"Hati-hati, kita sudah dekat." Roen mengendus-endus, menciun bau Wildschwein yang tertangkap jelas oleh indera penciumannya. . Roen yang berjalan paling depan berbalik dengan jari telunjuk di bibir, memperingatkan teman-temannya. "Sutttt!"
Langkah mereka semakin pelan, menyelinap dalam semak. Seketika itu pula mereka terkesiap. Dari balik semak terlihat segerombol babi hutan setinggi manusia dewasa. Banyak dari mereka sedang terlelap, tetapi ada pula yang sedang makan buah-buahan yang mereka dapatkan dengan cara menabrakkan kepala mereka yang keras ke batang pohon.
Bulu-bulu halus menyelimuti kulit cokelat mereka. Dua gading besar mencuat di sekitar moncongnya. Ditambah satu cula besar di atas moncongnya.
"Banyak sekali," bisik Zen. Mengintip di semak-semak.
"Kulit mereka sangat keras, anak panahmu tidak akan mempan. Tapi bagian perutnya itu lunak, kelemahannya. Incar saja perutnya, maka babi itu aman tumbang," bisik Roen. Pandangannya masih fokus pada kumpulan Wildschwein.
"Perut? Bagaimana caranya? Kaki babi itu sangat pendek, sedangkan badannya sangat besar, perutnya bahkan hampir menyentuh tanah. Anak panahku tidak bisa mengenainya kecuali jika aku berada tepat di bawahnya. Tapi hei, kalian mau aku diinjak babi?" Zen menyangkal. Ia tidak bisa memanah perut babi dari tempat persembunyiannya karena terhalang kaki dan badan babi yang besar. Ia juga tidak mungkin terang-terangan berjalan mendekat, yang ada malah Zen yang jadi target para babi.
"Kita harus buat pengalihan," celetus Agie. Zen mengangguk tanda setuju.
"Serahkan saja padaku." Xan mengambil batu di bawah kakinya, batu sebesar kepalan tangan. Berdiri dengan senyum lebar menggantung di bibirnya. Beda halnya dengan Zen yang masih buka tutup mulut, terkejut melihat Xan tiba-tiba keluar dari tempat persembunyian. Tindakan Xan memang bisa jadi pengalih perhatian, tapi ini terlalu mendadak, mereka bahkan belum membahas rencana.
"Hei jelek!" Xan berteriak, melempar batu di genggamannya, tepat mengenai mata Wildschwein. Makhluk itu mengerang kesakitan. "Tangkap aku kalau bisa!" Xan berteriak lagi. Wildschwein lain ikut berdengus, terkejut melihat kedatangan Xan yang tiba-tiba menyerang salah satu dari mereka.
"Ayo lari!" Roen menarik tangan Zen, menyeretnya lari. Agie mengikuti di belakang. Sedangkan Xan sudah lari lebih dulu setelah memprovokasi kawanan Wildschwein.
Tanah bergetar ketika gerombolan babi berukuran besar itu berlarian di atasnya. Sebagian besar babi berlari tanpa arah, ke sana ke mari menabrak apa saja yang ada di depannya. Hewan liar lainnya ikut berlarian, takut terinjak. Burung berterbangan ketika tempatnya bertengger roboh ditabrak kepala Wildschwein yang sekeras batu.
"Kenapa kau lakukan itu, Xannnn?!" tanya Zen sambil berlari, dengan langkah besar, secepat mungkin. Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat.
Xan malah tertawa ria. "Ini, kan, pengalihan. Lagi pula ini menyenangkan, bukan? Sekalian olahraga," ucapnya santai. Dia pelari paling depan.
Meskipun tubuh Wildschwein terbilang gemuk, tetapi kemampuan berlari mereka tetap kecang. Kaki mereka dapat melangkah lebar.
"!!!" Zen bergidik ngeri. Pasukan babi hutan liar itu sudah berada di belakangnya. Dengusan marah terdengar jelas di telinganya.
"Menunduk!" pekik Roen. Ia menarik Zen, tengkurap beberapa detik dengan mata membola. Seekor Wildschwein melompat di atas mereka. Xan dan Agie ikut merunduk.
Zen menelan ludah. Ngeri. Dadanya berdebar hebat. Rasanya seperti ia bisa mendengar suara jantungnya berdetak. Wajahnya yang pucat dibanjiri keringat dingin. Ujung kaki babi itu menyibak bagian atas rambut Zen.
Mereka berdiri, berlari zig-zag, merunduk lagi. Mereka melompat, tanah di depan mereka kini lebih rendah. Zen terpeleset, untungnya Agie dengan cepat meraih tangan Zen, menariknya.
"Kalian berdua, cepat kemari!" teriak Roen. Roen dan Xan sudah berlindung di balik gundukan tanah yang membentuk ceruk. Tidak terlalu dalam, tapi cekungan itu cukup untuk bersembunyi. Zen dan Agie segera bergabung. Xan masih tampak bersemangat.
Mereka duduk berhimpitan, masing-masing melindungi kepala dari jatuhan kerikil dan tanah di langit-langit ceruk.
"Sekarang kesempatanmu," ucap Roen. Zen mengangguk, mengerti dengan ucapan Roen. Sekaranglah waktunya Zen menembakkan anak panah.
Zen sedikit merangkak ke depan, mengambil satu anak panah dari tarkas di punggungnya, lalu meletakkannya di senar busur. Memicingkan mata. Melihat setiap Wildschwein yang melompat di atas ceruk.
Satu-dua babi melompat. Zen maish mencari titik yang tepat untuk meluncurkan anak panah. Keringat membasahi pelipis. Tangannya gemetar. Bagaimana jika tembakan anak panahnya meleset? Saat pertama kali berlatih di Istana, anak panahnya selalu meleset, padahal targetnya adalah papan yang tidak bergerak.
Zen menghela napas, mencoba untuk lebih fokus, bola matanya bergerak sesuai arah Wildschwein melompat. Satu. Dua. Hanya sekitar 2 detik Zen dapat melihat perut Wildschwein saat babi itu melayang sebelum mendarat di tanah.
Zen menarik senar busur yang telah terpadang anak panah. Mengarahkannya ke arah di mana perut babi terlihat jelas. Satu Wildschwein melompat lagi dari atas ceruk, dan saat itulah Zen melepaskan anak panahnya, melayang menembus perut target.
Makhluk itu mengerang kesakitan. Wildschwein lain melompat, menabrak rekannya yaang terkena anak panah. Keduanya kehilangan keseimbangan, mengacaukan ritme lari Wildschwein yang lainnya.
Wildschwein berdengus-dengus. Saling bertabrakan. Wildschwein yang terluka terpental beberapa meter akibat ditabrak kawanannya sendiri. Menabrak pohon, cipratan darah menempel di batang pohon.
Beberapa menit kemudian, tanah berhenti bergetar. Tidak ada lagi Wildschwein yang melintas. Setelah dirasa aman, Roen merangkak keluar dari ceruk. Gerombolan babi liar itu sudah berlari jauh di depan. Roen menoleh ke kiri, kanan, dan atas. Aman.
"Ayo keluar!" Zen menyusul ke luar, begitu juga Xan dan Agie. Mereka menghampiri Wildschwein yang sudah tidak berdaya. Dengan demikian, Zen berhasil menangkap buruan pertamanya sekaligus makan siangnya. Porsi yang besar ini pasti cukup untuk makan malam.
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXV
Note.
Konichiwaaaaaaa!
Uwahhh apa kabarrr?
Selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan, minal aidzin walfaidzin
Telat beberapa hari gapapa la ya:)
Baiklah, semoga kalian suka ceritanya
Jangan lupa vote dan komennya
Akan kuusahakan agar tulisanku jadi lebih baik lagi
Hmm,, harus belajar diksi dan adegan aksi
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top