⿻⃕⸵Chapter XXIX៚݈݇

Pasar gelap menjadi tempat berkumpulnya para kriminal, hampir semua barang curian dijual di sini. Pasar ini terletak di ujung wilayah Kerajaan Luminosa. Meskipun pemerintah Kerajaan mengetahui lokasi dan operasional pasar tersebut, mereka tidak bisa mengambil kembali barang yang dirampas kecuali mereka membeli barang tersebut. Bisa dibilang ini semacam kesepakatan antara pemerintah dan para penjahat.

Para kriminal hanya diizinkan mencuri maksimal tiga kali dalam seminggu. Jika melanggar, pasukan Knight Kerajaan akan menyerbu dan menyita barang curian mereka. Namun, para kriminal pun akan semakin bengis dan membuat lokasi pasar gelap yang baru. Yahh ... inilah salah satu kelemahan di Luminosa.

Dan di sinilah Vy beserta Nell berada.

"Wah, wah, rupanya kau kejam juga ya. Padahal orang itu, kan, sudah tua." Nell mengambil sebuah kain berwarna coklat di atas meja, kemudian memberikannya ke Vy.

Vy menggunakan kain lusuh dari Nell untuk membersihkan noda darah di pedangnya. "Pengkhianat tetaplah pengkhianat.

Nell menaikkan bahunya acuh tak acuh. Ia kembali berkeliling toko yang baru mereka porak-porandakan. Siapa tahu ada barang bagus yang bisa dibawa pulang.

" Oi, Vy!" panggil Nell, akan tetapi Vy tidak menoleh sama sekali, gadis rubah itu hanya berdehem sambil merapikan senjatanya.

"Kita kedatangan tamu," ucap Nell lagi yang kali ini cukup membuat Vy penasaran.

"Tamu?"

"Semut-senutku bilang mereka ada di dekat sini." Vy hanya diam memperhatikan mimik wajah Nell, menunggu pemuda itu melanjutkan ucapannya.

Nell berdecak sebal, masa begitu saja tidak mengerti. "Maksudku Pangeran Zen. Dia ada di dekat sini, sepertinya masih di perbatasan. Ayo kita sambut mereka."

Vy menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa? Tugas kita sudah selesai."

"Kau tidak mau bersenang-senang?" Nell menatap Vy dengan malas. "Kita mungkin mendapatkan informasi atau yang lainnya untuk dilaporkan ke Yang Mulia Rael, setelah itu kita akan mendapat hadiah."

Vy menggelengkan kepala pelan sembari menghela napas, terkadang pemuda itu terlalu berharap akan hadiah.

⿻⃕⸙͎

Matahari masih menyembunyikan sebagian dirinya dibalik bukit dan gunung-gunung, udara segar nan sejuk menusuk indra. Burung-burung bernyanyi ria menyambut hari baru. Akan tetapi, di pagi yang cerah ini sudah banyak keringat dingin yang bercucuran di pelipis Zen.

Dengan wajah pucatnya ia sungguh menyesal mengapa kemarin malam dirinya langsung menerima tantangan Ilo. Saat itu ia masih terbawa suasana mimpi yang membuatnya yakin akan mengalahkan Ilo dan meminta pecahan anak panah Afetoros sebagai hadiah. Itu jika Zen yang menang, tapi bagaimana jika ia yang kalah? Siapa yang tahu permintaan Suku Hulu Mediterranea?

Arena pertandingan disiapkan dalam semalam, tak lupa dibangun saung tenda kecil untuk melindungi Kepala Desa beserta istrinya dari paparan sinar matahari. Anak bungsu mereka-Ila-juga menyaksikan pertandingan. Anak perempuan yang Agie lihat semalam.

"Seperti yang telah disepakati, pertandingan hari ini akan dibagi menjadi tiga babak. Babak pertama adalah menemukan bendera. Kami telah menyebarkan 20 bendera berbagai warna dalam hutan, peserta tercepat yang berhasil mengumpulkan bendera dengan lima warna kebenaran akan menjadi pemenang babak ini. Batas waktunya adalah sampai tengah hari.

"Untuk mencegah adanya tuduhan kecurangan, dengan demikian Anggota Kerajaan juga turut serta dalam menyembunyikan bendera tersebut. Babak selanjutnya akan dijelaskan setelah babak pertama selesai," jelas salah satu penduduk Hulu yang menjadi wasit pada pertandingan hari ini.

"Sttt! Hei! Zennn ...!" Samar-samar Zen mendengar suara, ia menoleh. Itu Xan, ia melambaikan tangan sambil melompat-lompat kecil, kemudian menatap Roen dengan wajah cemberut setelah pemuda itu menyikut lengannya.

"Pangeran Xan, jika Anda tidak ingin Pangeran Zen dianggap curang, maka tolong jangan bocorkan di mana lokasi kita menyembunyikan bendera." Begitulah kata Alwen walaupun Zen tidak mendengarnya, yang tentunya membuat wajah cemberut Xan semakin terlihat jelas.

"SEMANGAT, ZEN!" Agie bersorak sambil melambaikan tangan. Diikuti Roen yang juga beersorak. Zen balas melambai dengan senyum lebar.

Sedangkan Ilo hanya menatap keluarganya yang berada di barisan penonton dengan wajah gusar. Diam-diam Agie menyelidik, memperhatikan Ila, kemudian melirik Ilo lagi. Jelas ada sesuatu yang mereka sembunyikan, yang bisa menyebabkan Ila meninggal. Kira-kira begitu yang bisa Agie tangkap dari kegiatan mengupingnya semalam.

Yang Agie tidak mengerti adalah mengapa kedatangan mereka berkaitan dengan kematian Ila sampai-sampai ibunya Ilo ingin menyingkirkan mereka. Di sisi lain, Ila mengepal tangannya erat di dada, menggenggam entah apa itu, tidak terlihat dari tempat Agie berdiri.

"Para peserta, harap bersiap-siap!" Seruan bunyi terompet mengiringi ucapan wasit. "Babak pertama akan dimulai dalam, tiga ... dua ... SATU!"

DONGGG!!!

Gong besar berwarna emas itu dipukul keras, bunyinya yang nyaring menjadi tanda dimulainya pertandingan. Ilo segera melesat ke dalam hutan, meninggalkan Zen yang masih mengumpulkan keberanian di garis start. Namun, tak lama kemudian ia segera menyusul.

Ila juga beranjak dari tempat duduknya. "Ayah, Ibu, aku mau istirahat sebentar."

⿻⃕⸙͎

Tangannya meilpat baju, namun pikirannya melayang entah ke mana, hingga adik-adik kecilnya menyadarkan Lucy dari lamunan.

"Kak Lu! Kak Lu!"

Anak-anak di bawah 10 tahun itu cemberut. Mereka ingin bermain dengan Lucy, tetapi Lucy tidak merespons panggilannya.

"Kak Lucy!" Salah seorang anak melompat ke punggung Lucy sambil berteriak keras.

"Eh, aduh! Kalian sedang apa? Kenapa mengagetkanku begitu?" ujar Lucy sembari mengacak-acak rambut anak yang mengejutkannya.

"Kami ingin bermain dengan Kak Lu!" Dari tadi kami panggil, tapi kak Lu diam saja!" ucap anak yang bergelayut di leher Lucy.

"Eh, benarkah? Maaf, maaf. Nah, kalian mau main apa?" Lucy tersenyum, mencubit salah satu pipi anak di depannya.

"Ceritakan kami lanjutan kisah yang kemarin!" kata anak yang pipinya dicubit.

"Jangan! Cerita dongeng itu dilakukan sebelum tidur, kita main petak umpet saja!" seru anak lainnya. Rena juga ada, ia tidak ikut protes, main apa saja juga boleh.

"Jangan, ah. Setiap hari selalu petak umpet, yang lain dong!"

"Kejar-kejaran saja, Kak Lu!" usul salah satu anak berseru riang.

"Iya, iya, kita mainkan semuanya. Tapi kalian harus bantu aku melipat baju dulu," sahut Lucy, terkekeh pelan, menebak reaksi para anak-anak.

"Yahh ... tapi kami mau main." Wajah masam kembali terpampang di wajah anak-anak itu. Melipat baju itu pekerjaan yang membosankan, mereka ingin bermain.

"Ya sudah kalau kalian tidak mau melipat baju, aku juga tidak mau bermain," kata Lucy. Ia melipat tangan di dada, berpura-pura merajuk.

"Aaaa! Baiklah! Kami akan membantu, tapi Kak Lu harus janji setelah semua pekerjaan selesai, Kak Lu harus bermain bersama kami!"

"Itu baru anak pintar!" Lucy tersenyum manis, kemudian memberi pakaian yang berantakan itu pada adik-adik pantinya.

"Kak Lu." Lucy berdehem menyahut panggilan Rema, tangannya masih bergerak melipat baju. "Kak Lu pasti sedang mengkhawatirkan Kak Agie dan Kak Reno, ya?"

Lucy bergeming. Tebakan anak itu benar. Lucy tidak mau hanya beridiam diri di panti, sedangkan Agie sedang berusaha menyelamatkan Reno. Agie juga pasti akan ikut bertarung dalam peperangan selanjutnya. Jika saja dirinya lebih kuat, lebih peka, Lucy mungkin bisa menghentikan Reno sebelum Darkness mempengaruhinya.

"Kak Lu tenang saja. Kak Agie pasti baik-baik saja dan Kak Reno pasti pulang!" ucap anak yang tadi mengejutkan Lucy. Panggil saja Seli.

Lucy tersenyum simpul, mengelus lembut kepala Seli. "Aku tahu, tapi tetap saja aku khawatir. Kadang mereka berdua itu ceroboh. Setidaknya aku juga harus melakukan sesuatu, aku tidak mau terus diam dan hanya menunggu di sini."

"Kak Lu, kan, sudah bantu menjaga dan menemani kami," ujar anak lain sembari meletakan baju lipatannya yang sudah rapi.

"Bagaimana kalau Kak Lu jadi Helaer Kerajaan saja? Kemampuan menyembuhkan Kak Lu, kan, hebat! Jadi kalau Kak Agie dan Kak Reno terluka, Kak Lu bisa menyembuhkan mereka," usul Seli.

"Yahh ... jangan dong! Kalau Kak Lu jadi Healer resmi di Kerajaan, nanti siapa yang menemani kita?" Sedangkan anak lainnya memprotes tidak setuju.

Lucy tertawa kecil melihat adik pantinya yang tidak mau ditinggal. "Tenang saja, aku tidak akan meninggalkan kalian. Lagi pula kemampuan penyembuhanku tidak sebanding dengan pada Healer di luar sana," ucapnya lembut sembari mengusap kepala anak tersebut.

⿻⃕⸙͎

Embun pagi mulai lenyap, mentari perlahan naik. Burung-burung kecil bertengger di atas pohon, sesekali mereka berpindah dari ponoh satu ke pohon lainnya, menjadi penonton pertandingan Zen dan Ilo.

Sudah sekitar 40 menit Zen menyusuri hutan. Namun, tak satu bendera pun ia temukan. Yahh ... memang sebaiknya jangan terlalu berharap. Menemukan gunting kuku di rumahnya saja tidak bisa, apa lagi menemukan bendera di hutan yang luasnya berkali-kali lipat dari rumahnya. Rumahnya, rumah di dunia normalnya. Bukan rumah di Kerajaan Luce.

"Hahh ...." Zen menghela napas panjang. Mencari barang itu bukan keahliannya.

Zen duduk sejenak, bersandar pada pohon besar di belakangnya, pohon Sequoia. Kepalanya menengadah, saling bertatapan dengan langit. Matanya menyipit ketika penglihatannya menangkap sesuatu. Sesuatu yang tampak berkibar di atas sana, di puncak pohon tertinggi.

"Itu bendera, kan?" Bibirnya sumringah, matanya seolah berbinar dan mengatakan, akhirnya ketemu!

Zen bangkit dari duduknya, mendekati pohon di depannya. Sekali lagi ia mendongak. Bagaimana cara mereka menggantung bendera di sana? Terbang? Tapi yang lebih penting .... mana bisa aku memanjat setinggi itu.

Zen menarik napas panjang, bersiap untuk memanjat. "Zen Kuroxwar, jadilah spiderman dan naiklah!" ucapnya menyemangati diri.

Zen mulai memanjat, meraba-raba pohon mencari pegangan, kakinya mencari pijakan. Baru satu-dua langkah Zen kembali jatuh ke tanah. Nyaris jatuh, namun kakinya masih bisa menjaga keseimbangan.

Zen memanjat lagi. Satu-dua meter Zen berhasil memanjat, tetapi kemudian ia terjatuh lagi. Lagi, dan lagi. Ia tetap tidak bisa mencapai puncak pohon. Bibirnya cemberut dengan wajah yang ditekuk menatap bendera yang berkibar di atas sana.

"Percuma saja, tidak usah dipanjat." Seseorang berseru, mengejutkan Zen.

"Eh? Kamu?"

⿻⃕⸙͎

#Chapter XXIX

Note.
Hai Hai halo 👋
Ini mh jadi sebulan sekali update nya ╥﹏╥
Apa kabar? Selamat hari kemerdekaan🇮🇩🇮🇩🇮🇩
Jangan voment nya
See you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top