⿻⃕⸵Chapter XXIV៚݈݇
Rembulan telah menyelesaikan shift malamnya, kini giliran matahari yang bekerja, menerangi seluruh kerajaan, tak terkecuali Kerajaan Nerobuio. Udara dingin tadi malam mulai menghangat, lebih tepatnya panas.
Retakan di tanah yang gersang ini telah menjadi hal yang lumrah di Nerobuio. Apa lagi semenjak kebangkitan Azrael. Tidak ada hutan hijau yang bisa bertahan. Daun-daun berguguran. Menyisakan batang pohon mati di antara langit merah.
Vyria sedang berdiri di depan cekungan yang cukup besar. Cekungan itu dulunya adalah danau. Dulu. Bukan sekarang. Kalau sekarang setetes air pun tidak ada. Matanya menatap lurus ke depan, dengan alis yang mengkerut. Helaan napas yang berulang tidak dapat menjernihkan pikiran sama sekali. Hatinya malah semakin gelisah.
"Sepertinya tebakanku benar, ya." Vy membalikkan badan begitu indera pendengarannya menangkap suara. Ia terlalu larut dalam pikirannya sampai mendengar langkah kaki Nell yang menghampirinya. Padahal biasanya telinga Vy sangat peka dengan suara.
"Apa maksudmu?" tanya Vy tidak mengerti dengan ucapan Nell. Memangnya apa yang orang ini tebak? Begitu pikirnya.
Nell menyeringai sebelum menjawab, "Kau menyukai 'dia'. Iya, kan?" Kini Nell berdiri di samping Vy, ikut memandang danau kering yang hanya menyisakan tanah-tanah retak.
Vy memiringkan kepala dengan alis mengkerut, tetapi mulutnya tetap bungkam. Bicara yang jelas! Aku tidak tahu 'dia' siapa yang kau maksud! ucapnya dalam hati. Meski begitu, Nell tetap paham apa arti dari tatapan Vy.
"Pangeran Zen." Nell kembali berucap sambil terkekeh. Tatapan Meledek jelas terpajang di wajahnya.
"Hahh?!" Mulut Vy menganga lebar. Alisnya semakin mengkerut dengan semburat merah yang mewarnai pipinya. "Aku tidak-"
"Kau mulai berharap mereka yang akan memenangkan perang." Vy baru hendak berkomentar, tapi lelaki itu menyela. "Jangan khawatir, aku tidak akan memberitahu Yang Mulia bahwa kau mulai berkhianat dari-Nya."
Vy kembali merapatkan mulutnya, tidak jadi berkomentar. Memang hal itulah yang sejak beberapa hari lalu mengganggu pikirannya.
"Tidak usah galau begitu. Firasatku mengatakan, sebentar lagi kita akan bertemu dengannya. Ngomong-ngomong, kita ada tugas baru dari Tuan Agares." Kedua tangan Nell terpaut di pinggangnya membentuk siku-siku. Wajahnya berseri-seri. Ia bosan setelah berhari-hari hanya berputar-putar di Nerobuio, akhinya ia mendapat misi untuk pergi keluar dari tempat gersang ini.
"Tugas apa?" tanya Vy.
"Hohoho ...." Nell tertawa seperti Sinterklas sambil merentangkan tangan ke atas. "Wisata Kerajaan Luminosa!" lanjutnya dengan girang.
"Hah?" Sekali lagi Nell berhasil membuat Vy melongo, dua kali dalam satu hari.
Vy bertolak pinggang, mendekatkan wajahnya dengan mata yang menyipit, menyelidik.
Dua tiga detik ditatap intens seperti itu membuat Nell merasa seperti sedang diinterogasi. "Ke-kenapa kau menatapku begitu?" Perlahan tangannya mulai turun.
"Wajahmu seperti penipu," sahut Vy, menunjuk-nunjuj wajah Nell.
"Ghk-!" Nell terperanjat kaget ketika Vy mengatai wajahnya seperti seorang penipu. Rasanya seperti tertimpa batu besar. "Apa maksudmu? Kau mau bilang kalau wajahku itu seperti seorang kriminal, begitu, huh?!"
"Apa salahnya? Kita, kan, memang penjahat," kata Vy dengan enteng, membuat Nell merasa ditimpa batu lagi, yang jauh lebih besar sampai menenggelamkan tubuhnya.
"Aahh! Sudahlah! Misi kita sebenarnya adalah mencari seorang pengkhianat. Orang itu dulunya adalah tangan kanan Yang Mulia Rael sebelum Tuan Agares. Tapi, sejak Yang Mulia disegel, orang itu kabur dan mencuri barang berharga milik Yang Mulia." Nell beranjak pergi. Ia sudah bosan melihat tanah kering di depannya, meski kemana ia pergi pun pemandangannya tetap sama.
"Jadi kita akan membunuhnya?" tanya Vy sembari memandang punggung Nell yang mulai menjauh.
Nell berhenti melangkah. Membalikkan badan menjawab, "Tidak. Kita hanya akan menangkap dan membawanya kemari. Yang Mulia sendiri yang akan mengeksekusinya." Seulas senyum yang tak dapat diartikan mengambang dibibir Nell sebelum pemuda itu melanjutkan langkahnya. Pergi meninggalkan Vy kembali pada kesendiriannya.
⿻⃕⸙͎
Pohon berbatang putih itu telah tertinggal jauh di belakang. Sekarang mereka dikelilingi pohon-pohon tinggi dan besar berbatang coklat. Semak belukar serta bunga-bunga melengkapi hutan. Aroma hutan yang sejuk selalu menyeruak sepanjang hari. Diiringi cuitan burung-burung yang bernyanyi dengan ria.
Zen dan kawan-kawan sudah keluar dari hutan Birch sejak tadi beberapa jam lalu. Dalam waktu 1 jam Lilo kucing mereka telah pulih dari racun Imp dengan sempurna. Lain halnya dengan Gain, tabib paruh baya itu butuh waktu sekitar 5 jam baru bisa menggerakkan tubuhnya. Itu pun dengan susah payah. Dibantu dengan sihir penyembuh dari Helene.
Krucukk.
Zen yang tadinya sedang tertawa-tawa mendengar candaan Roen tiba-tiba membatu. Mulutnya yang terkikik bungkam. Rona merah sedikit menghiasi wajahnya. Astaga rasanya malu sekali! Kenapa perutku berbunyi sekeras itu kalau sedang lapar?! umpatnya dalam hati.
Reon masih tertawa, enntah karena leluconnya sendiri atau karena menertawai perut Zen yang keroncongan. "Ayo berhenti sebentar. Lihat! Matahari sudah berada di atas kepala, ini waktunya makan siang," ucapnya.
Roen menjadi orang pertama yang menghentikan laju kucingnya, Lilo. Disusul Alwen yang ikut berhenti, menoleh ke belakang, melihat Roen dan Xan. "Baiklah." Alwen setuju. "Pangeran Zen, berlatihlah selagi istirahat."
"Apa? Tapi aku lapar ... mana bisa aku fokus latihan dengan perut kosong," protes Zen. Ia bahkan merasa belum sarapan karena yang mereka makan tadi pagi hanya buah-buahan. Sebenarnya itu sarapan yang sehat, iya, kan? Tapi karena bukan nasi, maka itu tidak bisa dikategorikan 'makan' oleh Zen. Tadi malam juga mereka tidak makan nasi, tapi daging rusa panggang itu lebih enak dan mengenyangkan daripada buah, kan?
"Karena itu Anda harus berburu untuk makan siang. Saya yakin Pangeran Xan bisa mengajari Anda cara berburu dengan baik." Alwen turun dari Lila si kucing, kemudian menengadah dan melambaikan tangan kirinya sebagai tanda untuk Helene.
Agie yang melihat lambaian tangan Alwen pun memberitahu Helene agar mendarat. "Ada apa?" tanya Helene setelah mendaratkan burungnya di depan Alwen.
"Kita cari tempat untuk istirahat makan siang," jawab Alwen.
Hellen menganggukkan kepala. Melihat kondisi Gain yang masih dalam masa pemulihan juga harus istirahat. "Di kaki gunung di depan sana ada gua, sepertinya itu tempat yang bagus," ucap Helene.
"Bagaimana keadaan Anda?" tanya Alwen pada Gain.
"Saya baik-baik saja berkat sihir penyembuhan Nyonya Helene," jawab Gain. Wajahnya masih agak pucat.
"Syukurlah kalau begitu. Nah, ayo berangkat!" Mereka melanjutkan perjalanan menuju gua yang dimaksud Helene. Alwen dan Roen mengarahkan kucingnya mengikuti ke mana burung Helene terbang.
Tidak sampai 10 menit, kini mereka sampai di mulut gua. Alwen sedang memeriksa gua tersebut apakah aman atau tidak untuk ditempati. Zen ikut melihat-lihat penasaran.
Tak lama kemudian Alwen kembali dengan obor di tangannya. "Saya tidak bisa memeriksa keseluruhan gua ini, terlalu panjang. Tapi untuk jarak 10 meter dari mulut gua bisa dipastikan aman, kita bisa istirahat di sini."
"Kalau begitu ayo bagi tugas!" Roen menunjukkan telapak tangannya dengan sendiri dengan tangannya yang lain. Pergi menghampiri Zen, merangkulnya. "Kalian yang muda-muda, kemarilah! Kita akan berburu. Biarkan orang tua beristirahat," ucapnya lagi.
"Anda juga, kan, sudah tua." Perkataan Gain membuat Roen menggeram seperti anjing yang ekornya diinjak.
"Enak saja! Aku ini baru 15 tahun tahu." Roen mengelak. Ia mengangkat bahunya acuh tak acuh.
"Cih, penipu." Xan mencibir. "Inilah ciri-ciri orang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya sudah kakek-kakek."
"Oi, oi, oi! Siapa yang kau sebut kakek-kakek, huh?!" Roen mendekati Xan. Menekan jemarinya hingga terdengar bunyi 'krek'.
Gelar Xan dan Zen memang lebih tinggi dari Roen, tapi mereka bertiga adalah teman masa kecil, bagaimana pun mereka itu bersahabat. Roen tidak pernah memanggil Zen ataupun Xan dengan gelarnya, kecuali sedang dalam keadaan serius. Roen sudah sudah seperti kakak kandung bagi kedua Pangeran itu, meskipun Xan sering iri ketika Zen bermain dengan Roen tanpanya.
"Sudahlah, ayo berangkat! Aku sudah lapar." Zen menengahi, ia berdiri di tengah-tengah antara Xan dan Roen sambil merentangkan tangan, menambah jarak pada dua orang yang nyaris bertengkar.
"Agie, bantu aku memisahkan mereka. Kalau tidak, kita bisa mati kelaparan di sini!" Bukannya membantu, Agie malah tertawa melihat kelakuan Keluarga Kerajaan ternyata sama saja dengan orang biasa, tiga orang itu jauh dari kata elegan.
⿻⃕⸙͎
Tersisa tiga orang yang menunggu di gua, yaitu Alwen, Helene, dan Gain. Seperti biasa fokus Alwen tak pernah kendur sedikit pun. Gain baru selesai memakai pakaian atasnya setelah Helene mengobatinya lagi. Gain memang seorang Tabib, tapi tubuhnya sendiri justru mudah terluka. Apa lagi luka yang diterima dari Imp kemarin malam berada di punggung, sulit baginya untuk mengoleskan obat ke punggungnya sendiri.
"Nyonya Helene, bukankah ujung gua ini berakhir di air terjun Wasserfall? Itu pintu masuk ke Desa Ventuarbor, bukan?" tanya Gain. Kini bajunya telah terpakai rapi.
"Seharusnya begitu, tapi kami para Elf biasanya tidak lewat gua. Kami selalu terbang karena burung-burung kami terlalu besar untuk masuk. Kalau kucing kalian sepertinya masih bisa." Helene mengira-ngira ukuran kucing apakah akan muat jika melewati gua. "Kalian lurus saja, jangan belok atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Ingat, hanya lurus."
"Jadi kita akan berpisah?" tanya Alwen. Dia menghentikan patrolinya sejenak.
Helene mengangguk, kemudian berkata, "Aku akan terbang dengan Ruru, kita bertemu di air terjun Wasserfall." Ruru adalah nama burung yang dinaiki Helene. "Aku harus sampai sebelum matahari terbenam, karena itu aku akan berangkat sekarang. Daerah ini sangat berbahaya terutama saat malam, Teufelsvogel akan menyantap kalian dari udara."
"Teufelsvogel? Si burung setan predator malam itu?" Gain terkesiap. Helene menganggukkan kepala, membuat Gain menelan ludah ngeri.
"Berhati-hatilah," kata Alwen. Langit gunung ini berbahaya. Gua di bawah gunung ini juga mungkin berbahaya.
"Kalian juga." Helene bersiul, dan dalam sekejap Ruru langsung datang ke mulut gua. "Sampaikan salamku pada anak-anak," ucapnya lagi. Kemudian Helene melompat naik ke atas Ruru.
Poe pohon bergoyang diterpa angin dari kepakan sayap Ruru. Perlahan terbangnya meninggi. Kini Ruru bisa terbang lebih cepat tanpa harus mengkhawatirkan rekan dibawah sana tertinggal atau tidak. Helene dan Ruru tidak perlu memandu jalan lagi.
"Sampai bertemu di Wasserfall!"
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXIV
Note.
Holaaa! Ga kerasa udah seminggu TwT
Btw kalian udah libur? Yang puasa, semangat puasanya, sebentar lagi lebaran!!! Jangan lupa bagi THR
ꉂ(ˊᗜˋ*)
See you!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top