⿻⃕⸵Chapter XXI៚݈݇
Matahari masih bersembunyi, langit gelap menyelimuti seluruh negeri. Sekarang masih tengah malam, tapi Lucy tidak bisa tidur. Ia memikirkan insiden kemarin lusa. Lucy menengok ke sekeliling, meskipun lampu kamar dimatikan, ia tetap dapat melihat anak-anak lain yang tertidur pulas. Lucy beranjak dari ranjangnya, hendak pergi ke dapur. Mungkin segelas air bisa membuatnya tenang.
Namun, kakinya terhenti ketika melihat pintu kamar sebelah yang sedikit terbuka-kamar anak laki-laki. Ia mendekat, mengintip lewat celah pintu. Penasaran apakah Agie sudah tidur atau masih terjaga sepertinya.
Perlahan ia melangkah masuk. Lampu kamar ini juga dimatikan. Lampu yang dimatikan saat tidur membuat tidur menjadi lebih berkualitas. Samar-samar Lucy melihat seseorang yang sepertinya sedang berdiri di depan lemari. Pintu lemari itu terbuka, orang yang dilihat Lucy sedang mengambil sesuatu. Lucy mendekat, berhati-hati, barangkali orang itu pencuri.
Kriet.
"Lucy?"
Sama terkejutnya dengan pelaku pembuka lemari, Lucy menyerukan nama orang di depannya, "Agie?"
"Suttttt!" Agie meletakan jari telunjuknya ke bibir sendiri. "Jangan berisik, nanti yang lain bangun."
Lucy terdiam sesaat, menatap Agie dari bawah ke atas. Pakaiannya seperti akan bepergian. "Apa yang kau lakukan?"
"Mempersiapkan barang-barang yang mungkin aku butuhkan. Bagaimana denganmu? Kenapa belum tidur dan malah kemari?"
"Aku tidak bisa tidur. Tunggu, kau mau ke mana?" tanya Lucy, melihat Agie memasukan barang-barang yang diambil dari lemari ke tas selempang coklatnya. Tas yang tidak terlalu besar, barang yang dimasukkan juga tidak banyak. Hanya beberapa pakaian serta peralatan pertolongan pertama yang dia ambil diam-diam dari tempat penyimpanan panti.
"Aku harus pergi. Aku tidak bisa duduk dan diam saja di sini. Aku akan membawa Reno pulang." Wajah Agie serius. Tanpa keraguan sedikit pun. Dia siap bertarung, siapa pun musuhnya. Bahkan jika keluar dari panti adalah pelanggaran, dia siap melawan Kerajaan. Menang-kalah belakangan.
"Tapi bagaimana caranya? Banyak Knight yang berjaga di sekeliling panti," tanya Lucy khawatir.
"Itu bukan masalah. Knight yang berjaga di sini hanya prajurit biasa, bukan tingkat elite. Tadi pagi aku sudah keluar-masuk panti dengan bebas. Mereka tidak menyadariku." Agie masih mengemasi barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal.
"Apa? Bagaimana bisa? Apa yang kau lakukan?" Lucy takut Agie berkelahi dengan para Knight. Tindakan seperti itu justru akan memberinya masalah. Lucy tidak mau kehilangan teman lagi.
Agie menghentikan tangannya yang sedang merapikan tas, menatap Lucy masih dengan tatapan seriusnya. "Sepertinya aku harus menunjukkan diriku yang sebenarnya."
Lucy bergeming, terlalu terkejut melihat Agie yang ada di depannya tiba-tiba menghilang. Kemudian muncul lagi dalam sepersekian detik.
"Aku adalah keturunan terakhir Klan Adrshy, satu-satunya yang tersisa," kata Agie. Suasana lengang. Padahal sudah bertahun-tahun mereka bersama, ternyata ia masih tidak tahu apa-apa tentang Agie. Ia kira Agie adalah seorang Dryad Elemental biasa seperti dirinya. Ternyata tidak, Agie lebih istimewa.
Klan Adrshy adalah Dryad berkemampuan khusus. Bukan hanya mengendalikan elemen api, mereka bisa menghilang dan memunculkan tubuh sesuka hati. Kemampuan yang berguna untuk menyelinap di antara musuh. Kemampuan bertarung mereka juga luar biasa. Akan tetapi, Kaum Darkness berhasil menyerbu pemukiman mereka dan menghabisi seluruh Klan Adrshy.
"Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ayahku menyuruhku pergi dari rumah, lari sejauh mungkin. Aku hanya menurut, ayah bilang akan menyusul bersama ibu. Aku terus lari, tidak tahu pergi ke mana. Menunggu orang tuaku, tapi mereka tidak pernah datang. Akhirnya kuputuskan untuk kembali, tapi ... desaku hancur. Tidak ada satu pun rumah yang berdiri. Jasad warga yang menjadi korban berserakan di mana-mana, banyak pula yang tertimpa bangunan."
Lucy tidak sanggup berkata-kata, menatap Agie yang terlihat sedih. "Bukankah ayahku sangat curang? Seolah tahu hal buruk akan terjadi. Menyuruhku pergi, sendirian, selamat dan bertahan hidup seorang diri. Padahal yang lainnya mati."
Agie kembali mengemasi barang-barangnya, menutup tas selempang, kemudian memakainya. "Tidak akan kubiarkan kegelapan menyentuh keluargaku yang sekarang. Bahkan jika seluruh Negeri Cahaya membenci Reno, aku akan tetap melindunginya."
"Sekarang tidurlah, ini sudah malam. Perempuan tidak boleh begadang nanti wajahmu jadi keriput dan tumbuh jerawat." Agie tertawa kecil, berusaha menghibur Lucy agar tidak terlalu mengkhawatirkannya.
"Kau mau pergi ke mana? Memangnya kau tau ke mana Reno pergi?" Lucy menahan lengan Agie. Jika Agie pergi, apa yang harus Lucy katakan pada anak-anak lain? Apa lagi pengurus panti, mereka pasti curiga jika ada anak yang tidak hadir saat sarapan atau makan malam. Lucy tidak mungkin terus beralasan Agie sedang ini-itu.
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ...," Agie menjeda sejenak, "mungkin aku akan coba minta izin agar diizinkan ikut pergi menemani Zen."
"Menemani Pangeran Zen? Ke mana?" tanya Lucy lagi.
"Maaf, Lucy, aku tidak bisa memberitahumu. Ini rahasia Kerajaan. Kau tahu? Jantungku terus berdebar kencang saat berusaha mencuri informasi ini, takut-takut kalau ketahuan, aku mungkin akan dihukum mati setelahnya." Agie terkekeh lagi, sedangkan Lucy mengerucutkan bibirnya. Agie sering sekali menjadikan hal serius sebagai candaan. Walau ia tahu itu untuk mencairkan suasana.
"Aw! Kenapa kau memukulku?" protes Agie saat tiba-tiba Lucy melayangkan pukulan yang cukup keras di lengannya.
"Kau yang kenapa?! Bisa-bisa kau tertawa sambil bergata begitu! Kalau kau ketahuan dan benar-benar dihukum mati, apa yang akan kukatakan pada anak-anak?" timpal Lucu balik memprotes. Wajahnya kesal.
"Suttt! Suaramu terlalu keras, nanti merka bangun. Percayalah aku akan baik-baik saja dan aku janji aku akan membawa Reno pulang. Sekarang aku harus pergi. Aku tidak tahu kapan mereka berangkat, jadi aku harus selalu siap."
Agie menghilang lagi. Jendela kamar yang besar terbuka, gorden hijau tertiup angin malam. Agie pergi lewat jendela, padahal dengan kemampuan menghilangnya ia bisa dengan mudah keluar pintu.
⿻⃕⸙͎
Engsel pintu kandang di Istal Istana berderit, tapi bukan kuda yang keluar dari sana. Alwen dan Roen membuka kandang paling ujung. Itu adalah kandang Kucing Merah. Bulunya berwarna coklat kemerahan, ekornya panjang dengan garis putih di sisi bawah, bulu-bulu di telinganya berwarna cokelat kehitaman.
Kucing itu adalah pemberian dari Raja Carlos beberapa tahun yang lalu. Untungnya meskipun tidak tinggal di tanah Kerajaan Animare, kucing-kucing itu tetap bisa tumbuh sebagaimana habitat aslinya, mereka cepat beradaptasi. Jika kalian tahu Kucing Merah Kalimantan, seperti itulah wujudnya. Akan tetapi, ukuran tubuhnya sebesar singa dewasa.
"Hoamm ...." Xan menguap tanpa menutup mulutnya, meregangkan tubuh yang pegal setelah bangun tidur. "Kenapa kita berangkat sepagi ini?"
"Kenapa Anda masih menanyakan hal itu? Bukankah kita sudah membahasnya saat rapat kemarin? Jika Anda tidak bisa mengikuti keputusan yang telah disepakati, Anda diperkenankan kembali ke Istana," sahut Alwen yang sedang mengiring satu per satu Kucing Merah keluar kandang, dibantu Roen.
"Dari dulu kau selalu jadi orang menyebalkan, tidak asyik!" Xan mencibir kesal. Melipat tangan di dada.
"Cita-cita saya bukan menjadi orang yang asyik, Pangeran," kata Alwen tanpa menoleh. Ia mengusap kucing dengan lembut, menenangkan hewan itu agar tidak takut.
"Aku tidak tanya cita-citamu! Gurauanmu tidak lucu tahu!" Setidaknya sedikit pertengkaran membuat rasa ngantuk Xan hilang. Iya, kan?
"Tentu saja, karena saya bukan pelawak yang bisa melucu." Alwen kembali menjawab, ia menggiring kucing merah itu mendekati Zen, meminta Zen mengelus leher sang kucing untuk berkenalan.
"Aaahh! Sudah cukup!" Xan memutus perdebatan dengan Alwen, pagi-pagi sudah kesal.
Roen juga membawa satu kucing merah bersamanya setelah menutup pintu kandang. Ya, mereka hanya punya dua ekor. "Kita berenam, sedangkan kucingnya hanya ada dua. Kita akan bonceng tiga? Mereka mungkin keberatan dengan beban tubuh tiga orang," kata Roen.
"Tenang saja, aku punya tunggangan sendiri." Helene memasukkan dua jari ke mulutnya, meniupnya, bersiul. "Gain ikut bersamaku. Membawa dua orang tidak akan terlalu berat bagi mereka."
Zen melirik Alwen. Dengan begini satu skor kucing akan membawa dua orang. Zen bersama Alwen, sedangkan Xan bersama Roen.
Setelah merapikan kandang kucing-kucing itu, mereka keluar dari istal yang kemudian datang seekor burung raksasa tepat ketika mereka mencapai pintu. Burung itu peliharaan Helene. Salah satu hewan langka, jumlah burung itu bahkan tidak sampai 30 ekor. Burung itu seperti burung cenderawasih namun ukurannya jauh lebih besar. Bulu dibagian kepalanya berwarna hitam, sedangkan sayap dan ekornya berwarna biru.
Helene akan mengantar mereka ke Timur Laut, menuju Desa Ventuarbor-Desa Elf- desa paling dekat dengan hutan Limiterra yang menjadi perbatasan wilayah antara Kerajaan Luce dan Kerajaan Luminosa. Mereka harus melewati Kerajaan Luminosa untuk sampai ke Kerajaan Marea. Memutar lewat laut terlalu berbahaya.
"Ingat, kita tidak lewat jalan utama. Sebisa mungkin hindari pemukiman penduduk. Semakin sedikit orang yang tahu, semakin kecil kemungkinan Azrael mengetahui rencana kita," Burung itu menundukkan badannya, kemudian Helene naik pertama ke atas punggungnya, mengulurkan tangan, membantu Gain naik dan duduk di belakang Helene.
Berikutnya Alwen dan Roen juga naik pertama ke atas Kucing Merah, mengulurkan tangan untuk membantu kedua Pangeran itu naik. Zen menerima uluran tangan, naik perlahan, dan mengucapkan terima kasih. Beda halnya dengan Xan, dia menepis uluran tangan Roen.
"Aku bisa naik sendiri," ucapnya yang kemudian naik sendiri ke atas Kucing Merah. Roen memutar bola matanya malas.
"Kalian sudah siap?" tanya Helene yang dijawab anggukan serempak. Helene dan Gain terangkat dengaan burungnya, terbang tapi tidak terlalu tinggi. Kucing-kucing berlari mengejar burung Helene.
Matahari hampir terbit, rombongan Zen baru mencapai pintu Gerbang Utara Kota Madreland. Tidak ada Gerbang Timur Laut, hanya ada Gerbang Barat, Gerbang Timur, Gerbang Utara, dan Gerbang Selatan. Setelah keluar dari Kota Madreland barulah mereka akan menyusuri hutan di arah Timur Laut.
Helene menghentikan laju burungnya, mengamati dari atas, melihat Alwen yang turun dari kucing tunggangannya.
"Kenapa berhenti?" tanya Zen, ia masih berada di atas kucing.
"Ada yang mengikuti kita sejak keluar dari Istana," jawab Alwen. Ia waspada terhadap sekitar.
"Kukira kau tidak menyadarinya," celetus Roen tanpa turun dari kucing. Indera Cane Mage miliknya yang tajam juga menyadari ada orang yang mengikuti mereka.
"Lalu kenapa tidak mengurusnya dari tadi?" tanya Xan. Nada bicaranya agak ketus dan meremehkan. Heran. Kalau Alwen sudah merasakannya sejak tadi kenapa dia malah diam saja dan baru sekarang akan bertindak? Meskipun sebenarnya ia sendiri tidak merasakan apa pun.
"Dia tidak punya niat jahat. Mungkin hanya penduduk sekitar yang akan pergi ke Gerbang Utara juga, tapi ada yang aneh. Saya sengaja lewat jalan memutar dan dia tetap mengikuti." Alwen menjelaskan.
"Kalau begitu sudah jelas dia adalah penguntit!" Xan berceloteh lagi, tapi Alwen tidak menggubrisnya.
Burung Helene mendarat di samping kiri kucing yang dinaiki Zen. Helene berkata, "Kukira kau akan membiarkannya ikut."
Alwen tidak mengacuhkan Helene, ia tetap waspada. Walaupun tidak berniat jahat, orang yang mengikuti mereka patut diwaspadai. Mereka sengaja berangkat dini hari, di saat orang-orang belum terbangun dari tidur. Siapa pula orang aneh yang mengikuti merekaa di pagi-pagi buta seperti ini?
"Tunjukkan dirimu! Aku tahu kau mengikuti kami!" ucap Alwen tegas, ia meninggikan suaranya.
Seketika semuanya terbelalak, terkejut melihat orang yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
"Kau?!"
⿻⃕⸙͎
#Chapter XXI
Note
Hai! Gimana ceritanya? Apa ada typo?
Semoga ceritanya menyenangkan!
Ayo ganbatte! Ganbatte! Ganbatteeee!!! Baru setengah jalan cerita ni TwT
Arigatou untuk yang baca dan voment!!!
See you!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top