⿻⃕⸵Chapter XX៚݈݇

Tuk tuk tuk!

Ketukan sepatu berwarna beige milik Ratu Emily menjadi irama di pagi hari. Langkahnya tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat. Pikirannya dipenuhi brasa cemas.

Kakinya berhenti melangkah di depan pintu kamar Zen. Wajahnya sedih, melihat pintu kayu besar di depannya. Ratu Emily menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya meraih gagang pintu, membuka pintu, mendorongnya pelan.

Ratu Emily begitu terkejut hingga matanya membola, melihat Zen sudah sadar dan sedang duduk di tepi ranjang, menatap ke jendela. Ratu Emily langsung menghampiri Zen, mendekapnya dengan erat, membuat sang empu tersentak kaget.

"Syukurlah kau bangun ... kupikir aku akan kehilanganmu lagi," lirih Ratu Emily, terisak dalam pelukan. Zen tetap membalas pelukan ibunya, sama eratnya. Begitu hangat dan nyaman.

"Berjanjilah padaku kau tidak akan pernah terluka lagi ...." Ratu Emily mempererat pelukannya, masih terisak.

"Aku tidak bisa berjanji seperti itu, Ibu.  Bukankah pertarungan besar sedang menanti kita?" ucap Zen. Pertemuan dengan Dewi Levera membuatnya lebih berani. Separuh hatinya takut, namun juga bersemangat. Akhirnya petualangan di dunia lain yang sejak dulu ia dambakan terwujud. Bukankah itu keren?

Ratu Emily menyudahi peluknya, menatap Zen, lalu tertawa kecil. "Sepertinya dirimu yang dulu mulai kembali. Semangat bertarung. Tidak takut pada apa pun." Zen balas terkekeh. Ratu Emily mengecup kening Zen. "Tunggu sebentar, Ibu akan memanggil Gain."

Tidak lama kemudian Ratu Emily kembali bersama Gain, Raja Alverd, Xander, dan Alwen. "Ini sungguh keajaiban!" seru Gain setelah memeriksa kondisi Zen yang baik-baik saja.

"Bagaimana perasaanmu, Sayang? Apa ada yang sakit?" tanya Ratu Emily penuh perhatian. Duduk di samping putranya.

Zen menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja. Tidak ada yang sakit sama sekali."

"Kau yakin?" tanya Ratu Emily lagi, Zen hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Ayah, bagaimana dengan Reno?" tanya Zen.

Seketika raut wajah Xander tampak geram. "Kau masih memikirkan anak itu? Dia yang sudah melukaimu! Kenapa kau masih menanyakan keadaannya?!"

"Tenangkan dirimu, Xan. Kakakmu baru bangun," ucap Raja Alverd tegas. Xander bungkam sesaat.

"Bukan Reno yang mencelakaiku. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dia berusaha menahan diri agar tidak melukaiku, seseorang mengendalikan tubuhnya. Aku yakin itu!"

Suasana lengang sesaat. Hingga Xan kembali bersuara, "Tapi tetap saja dia yang melukaimu." Kali ini suaranya lebih pelan, tidak berteriak seperti sebelumnya.

"Aku tahu, tapi dia tidak sengaja. Dia melukaiku bukan karena keinginannya sendiri. Yang penting sekarang aku baik-baik saja."

Raja Alverd dan Ratu Emily saling pandang, kemudian menghela napas. "Para Knight sudah melakukan pencarian, tetapi keberadaan anak itu masih belum di ketahui. Kemungkinan dia dibawa ke Tanah Nerobuio."

Suasana kembali lengang. Siapa pun tahu bahwa Nerobuio adalah Negeri Kegelapan. Orang gila mana yang berani menginjakkan kaki ke sana.

Di antara kesunyian yang terjadi, Alwen diam-diam memperhatikan permata di kalung yang ia pasangkan di leher Zen semalam. Warnanya terlihat pucat, seperti batu permata biasa. Padahal sebelumnya permata pada kalung itu begitu berkilau, penuh kekuatan.

Zen menyadari itu meskipun Alwen berdiri cukup jauh dari ranjangnya. Ia yang sekarang menjadi jauh lebih peka, padahal sebelumnya saat orang di sampingnya mencontek jawaban ujiannya saja tidak tahu.

"Emm, kalau begitu saya mohon permisi. Saya akan buatkan obat untuk Pangeran Zen," ujar Gain, kembali membuat ruangan bersuara setelah beberapa menit senyap.

"Obat? Tapi aku baik-baik saja," kata Zen menolak.

"Meski begitu Anda tetap harus meminumnya, Pangeran. Anda memang baik-baik saja sekarang, tapi racun itu masih ada dalam tubuh Anda." Semua orang tercengang sejenak. "Berdasarkan pemeriksaan saya, sepertinya ada sihir yang menahan racun itu sehingga tidak menyebar. Karena itu Anda tetap harus minum obat sampai racunnya benar-benar hilang."

"Baiklah," kata Zen pasrah. Gain pamit, hendak membuat obat untuk Zen.

Zen kembali teringat dengan perkataan Dewi Levera. "Ayah, aku tahu di mana Busur Afetoros berada." Ucapannya membuat percakapan ini menjadi lebih serius. Busur itu berpengaruh besar dalam perang yang akan datang, dan 3 bulan adalah waktu yang singkat. Mereka tidak punya banyak waktu untuk menyiapkan pasukan.

"Benarkah? Di mana?" tanya Raja Alverd.

"Di lembah terdalam Kerajaan Renever, dan busur itu dijaga oleh seekor naga. Tapi sebelum ke sana, Dewi Levera bilang aku harus pergi ke Kerajaan Marea dulu untuk mencari bunga Aureum Lotos. Katanya bunga itu bisa menyembuhkanku, sekaligus memperkuat tubuhku agar bisa menahan sihir yang ada pada busur."

Raja Alverd tersenyum simpul, menatap Zen. "Baiklah, kita bicarakan setelah sarapan. Tubuhmu butuh banyak nutrisi," ucapnya.

Zen mengangguk paham, kemudian mereka semua turun menuju ruang makan Istana. Tadinya Ratu Emily meminta Zen agar tetap di tempat tidur, biar para pelayan saja yang mengantar makan ke kamarnya, tapi Zen tidak mau. Dia ingin ikut makan bersama yang lainnya.

Begitu sampai di ruang makan, meja panjang berbentuk oval itusudah penuh dengan berbagai masakan. Mulai dari salad, oatmeal, telur goreng, roti lapis, beberapa olahan syaur, segelas susu, waffle, dan beberapa kue kering lainnya. Ayolah, ini hanya sarapan dua orang dewasa dan tiga orang remaja. Raja Alverd, Ratu Emily, Zen, dan Xander. Alwen menolak saat diajak sarapan bersama. Menu pagi ini tidak akan habis, bahkan porsi setiap menu seperti untuk 20 orang. Sedangkan yang makan hanya berlima.

⿻⃕⸙͎

Suasana hangat dan menyenangkan saat sarapan telah usai. Berganti tegang, membahas tindakan apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi kegelapan. Sepuluh dari sekian banyak petinggi kerajaan berkumpul di aula. Ini pertemuan penting dan rahasia.

"Panti asuhan sudah diisolasi. Meskipun kemungkinan besar Azrael tidak akan menggunakan tempat yang sama dua kali. Kegelapan bisa muncul di mana saja, bahkan di tempat paling terang sekalipun," ucap salah satu tetua yang menghadiri rapat.

Tubuhnya paling pendek di antara yang lain, bagian atas kepalanya sudah botak, namun di sisi kiri dan kanannya masih terdapat rambut-rambut putih. Itu uban. Kepala botaknya ditutup topi besi bertanduk seperti helm Viking. Dengan janggut berwarna putih yang terurai hingga ke perut. Dia seorang Dwarf. Namanya Heptin Gremin.

"Isolasi tetap harus dilakukan, kita tidak tahu apa masih ada anak lain yang dikendalikan atau tidak. Jangan izinkan siapa pun keluar atau masuk ke panti," kata laki-laki lain yang tampak lebih muda dari pembicara sebelumnya. Rambut lelaki itu hitam legam, dengan warna kulit chestnut, dan mata coklat, tubuhnya kekar. Seorang Summoner bernama Liliamus.

"Baiklah. Lalu di mana busur legendaris itu?" Kali ini wanita yang bersuara. Rambut coklatnya disanggul dengan tusuk konde emas bermotif daun dan mutiara. Telinganya runcing, wanita itu adalah seorang Elf. Pakaiannya didominasi warna hijau. Panggil saja Helene.

Perhatian semua orang langsung tertuju pada Zen ketika pertanyaan itu terlontar. "Di lembah terdalam Kerajaan Renever." Zen menjawab dengan penuh keberanian, tidak lagi gugup seperti rapat sebelumnya.

"Maksudmu Silvestris?" tanya Ratu Emily yang juga menghadiri rapat.

Zen menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Hanya itu yang dikatakan Dewi Levera, dan busur itu dijaga oleh seekor naga."

"Naga? Kukira itu hanya mitos?" celetuk Roen tidak percaya. Tidak ada yang pernah melihat naga sejak ribuan tahun yang lalu. Mereka hanya mendengar naga dari kakek dan nenek moyang mereka.

"Deus. Peliharaan Dewi Levera." Perhatian beralih pada Alwen setelah kalimat barusan terucap dari bibirnya. Wajahnya datar, serius.

Raja Alverd menghela napas, dengan kedua tangan di meja yang saling mengepal di sela-ela jari. "Tapi sebelum itu," Raja Alverd menjeda sejenak, menatap seluruh petinggi yang haadir, "Kita harus menemukan Aureum Lotos. Bunga itu bisa membersihkan racun dari tubuh Zen."

"Apa? Bunga itu bahkan sudah lama tidak ditemukan. Seharusnya Aureum Lotos tumbuh setiap 100 tahun sekali, tapi mana? Sudah hampir 500 tahun bunga itu tidak pernah tumbuh," tukas Liliamus.

"Jika Dewi Levera berkata demikian, mungkin bunga itu akan tumbuh tahun ini," ucap hadirin yang lain. Wanita berambut keriting dengan busana merahnya yang mencolok. Seorang Dryad elemen api, Glinda Elder.

"Bunga itu akan layu dan mati kurang dari 24 jam jika dicabut dari tempatnya tumbuh. Pangeran sendiri yang harus pergi ke sana," kata Helene.

"Tapi dengan kemampuannya yang sekarang, tidak mungkin Pangeran pergi sendirian. Dia butuh pendamping. Perjalanan itu sangat jauh." Liliamus berkata sambil menatap Zen dengan intens.

"Untuk masalah itu, aku sudah memikirkan beberapa orang yang menurutku cocok menjadi pendamping putraku. Alwen dan Roen, mereka sama-sama petarung yang kuat dan hebat." Raja Alverd melirik ke arah Alwen yang berdiri di belakang Zen, kemudian beralih menatap Roen yang duduk tak jauh dari tempatnya. "Kalian berdua pasti bisa menjaga putraku. Dan untuk pekerjaan Kerajaanmu yang lain, berikan saja pada Willy."

"Apa hanya mereka berdua, Yang Mulia?" tanya Glinda.

"Menurutku, sebaiknya Tabib Gain juga ikut. Kondisi Pangeran belum sepenuhnya pulih, kesakitan bisa muncul kapan saja, mengingat racun itu masih ada dalam tubuhnya," ucap Heptin mengusulkan. Ini bukan perjalanan yang mudah. Persiapannya harus benar-benar matang.

"Baiklah, kalau begitu tiga orang. Apa ada usulan lain? Atau ada yang keberatan?" Raja Alverd menatap satu per satu peserta rapat. Hingga tiba-tiba sebuah tangan terangkat.

"Aku!" Xander yang sejak tadi diam mendengarkan mengangkat tangan kanannya. "Aku keberatan! Kenapa aku tidak ikut?"

"Kau itu masih labil, mudah emosi. Ini bukan perjalanan yang mudah, Nak. Kalian akan berhadapan dengan sesuatu yang berbahaya, yang tidak diketahui. Kalian mungkin akan tidur di atas rumput, di tengah hutan liar. Kau yang selalu berada di bawah naungan Kerajaan apa bisa bertahan?" sahut Raja Alverd.

Xan belum menyerah, wajahnya masih memampangkan tatapan protes. "Aku sering latihan berburu di hutan. Apa bedanya dengaan tidur di hutan?"

"Hutan itu masih bagian dari halaman belakang Istana," kata Raja Alverd, masih tidak mengizinkan Xan ikut dalam perjalanan.

"Sayang, kita tidak bisa terus memanjakan Xan dalam lingkup Istana. Perjalanan ini akan jadi pengalaman untuknya. Dia harus mengenal dunia luar, dan dunia harus mengenalnya. Masa depan yang cerah tidak bisa datang tiba-tiba, butuh proses dan pengetahuan dari pengalaman semasa muda." Ratu Emily berusaha membujuk Raja. Raut masam Xander berubah sumringah. Satu hal yang ia tahu, ayahnya selalu menuruti perkataan ibunya.

Raja Alverd menghela napas, sebelum bertanya, "Bagaimana menurut kalian?"

Akhirnya setelah beberapa pertimbangan, Xander diizinkan ikut. Alwen, Roen, dan Xander akan pergi menemani Zen. Rapat diakhiri dengaan keputusan tersebut.

⿻⃕⸙͎

#Chapter XIX


Note
Haiii! Update cepat lagi ni! Biasanya berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan TwT

Ayo! Ayo! Tahun ini tamat ayo TwT

Maaf kalau ada typo dan sebagainya, setelah tamat akan ku revisi:3

Semoga cerita ini menyenangkan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top