⿻⃕⸵Chapter VI៚݈݇
Semilir angin yang masuk melalui jendela menerbangkan ujung rambut coklatnya, pria bermata emerald itu sedang memberesksn beberapa dokumen. Akhirnya pekerjaannya di sini selesai, sekarang ia akan kembali ke Istana dan melapor kepada petinggi kerajaan lainnya.
"Tuan Alwen," panggil seorang Knight yang baru memasuki ruangannya sembari menunduk hormat.
Pria bernama Alwen itu menoleh. "Ada apa?" tanyanya.
"Prajurit yang bertugas di desa Roddle melaporkan bahwa ada warga yang bersekongkol dengan ras terkutuk."
"Ras terkutuk? Maksudmu ras Redvolpe? Bukankah mereka sudah punah?"
"Sepertinya rumor tentang satu-satunya yang tersisa itu benar, bahkan salah satu warga terluka karenanya."
Alwen menghela napas, kemudian berkata, "Bawa orang itu kemari!"
"Baik, Tuan." Knight itu menunduk hormat lagi, sebagai tanda permisi lalu pergi ke luar.
⿻⃕⸙͎
Dingin menyelimuti kulit, lapar-ah, itu sih sudah biasa bagi mereka. Hidup serba kekurangan, tetapi senyum senantiasa terukir di bibir anak-anak jalanan itu. Menikmati bebasnya bepergian ke sana kemari bersama anak-anak lainnya, tapi kini senyum itu memudar ketika jeruji besi dan tembok penjara menjadi penghalang ke dunia luar.
Di sinilah mereka, penjara kota Ardville. Desa Roddle tidak memiliki penjara, lagi pula itu hanya desa kecil yang perekonomiannya pun tidak begitu baik. Jadi setiap ada tahanan akan dibawa ke penjara kota terdekat dari desa, yakni kota Ardville. Begitu juga dengan Zen dan kawan-kawan barunya, sudah 2 hari mereka dipenjarakan di sini.
"Lihat? Aku benar lagi, kan? Jika saja waktu itu kau tidak menyelamatkannya, pasti sekarang kita tidak dipenjara!" gerutu Dennis, ia semakin membenci Zen.
"Sudahlah, anggap saja ini pengalaman hidup," ucap Agie enteng seolah ini semua bukan masalah, lagi pula sejak awal hidup mereka memang sudah susah.
Sebenarnya bukaan begitu maksud Agie, ia hanya tidak ingin ada keributan lagi. Pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada hanya membuat kepala tambah pusing.
"Pengalaman hidup? Kau-"
"Hei, diam! Jangan berisik kalau kalian masih ingin dapat jatah makan!" ancam salah satu knight yang bertugas menjaga penjara.
Dennis mendecih sebal. Anak-anak lain pun tampak murung, begitu juga dengan Zen. Uangnya tidak laku, dituduh pencuri, dan sekarang dipenjara. Benar-benar jauh dari ekspektasinya. Sekilas ia berharap dirinya akan menjalani hidup penuh dengan petualangan, tantangan, dan dikelilingi banyak gadis cantik seperti dalam beberapa buku tentang orang yang pergi ke dimensi lain yang ia baca.
"Aku harap ini hanya mimpi," gumamnya.
Sementara itu, di tempat Rena. Ia sudah berkenalan dengan gadis yang menyelamatkannya. Nama gadis itu Vyria, panggilannya Vy. Katanya dia juga temannya Zen dan berjanji akan membebaskan mereka dari penjara.
"Ingat rencananya, kan, Rena?" tanya Vy. Sekarang mereka sedang bersembunyi di balik semak-semak, memperhatikan para pedagang di desa Roddle.
Rena mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Vy. "Itu dia," kata Vy dengan mata yang tertuju pada salah satu pedagang. Pedagang itu mendekati seekor sapi, dan sapi itu mengangkut sebuah gerobak yang berisi sayuran dan buah-buahan.
"Aku akan maju duluan. Saat kuberi aba-aba, kau cepat masuk ke gerobak itu!" Begitulah rencana mereka. Vyria dan Rena akan menyusup pedati milik pedagang yang hendak pergi ke kota Ardville.
Vyria berjalan duluan, setelah dirasa aman, ia pun memanggil Rena dan menyuruhnya masuk ke gerobak itu. Vyria pun ikut masuk dan mereka bersembunyi di balik keranjang buah dan sayuran.
Vyria sedikit terkekeh. "Lumayan, bisa jadi camilan selama perjalanan," ucapnya sambil memandang buah apel di tangannya.
⿻⃕⸙͎
Kembali ke tempat Zen. Sekarang hanya ada keheningan, mereka baru saja makan. Biasanya mereka akan kembali bersuka ria setelah meengisi tenaga, tapi sekarang ... oh, ayolah! Masakan Lusy jauh lebih enak daripada ini.
Memakan makanan yang tidak enak membuat mood mereka semakin buruk. Para tahanan hanya diberikan makanan sisa, terkadang makanan basi, atau bahkan tidak diberi makan sama sekali.
Salah satu Knight menghampiri sel mereka. "Siapa di antara kalian yang merupakan pemilik ras terlarang?"
Zen menghela napas, ia tahu pasti dirinya yang dimaksud dan hewan terlarang yang mereka bicarakan itu pasti si rubah yang selalu mengikutinya itu. Ia pun mengajukan diri.
"Aku," kata Zen.
"Ikut aku!" titah Knight itu yang kemudian membuka pintu sel dan menyuruh Zen keluar.
"Zen!" panggil Agie khawatir.
"Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja. Akan kukatakan pada mereka bahwa ini hanya salah paham dan kita akan segera bebas," sahut Zen sambil tersenyum.
Zen dibawa ke ruang interogasi. "Duduk!" titah Knight yang membawa Zen ke sana. "Diam di sini!" titahnya lagi, kemudian Knight itu keluar ruangan.
"Haahh ...." Ia menghela napas. "Kukira aku akan jadi pahlawan, pangeran, atau semacamnya. Kalo ini sih malah jadi gembel," keluhnya.
Beberapa menit ia menunggu, akhirnya pintu kembali dibuka, menampilkan seorang pria berperawakan tinggi besar, berambut coklat hickory dengan setelan pakaian kerajaan yang tampak seperti pakaian Eropa abad pertengahan.
Para Knight mengenakan baju zirah besi. Hampir semua masyarakat mengenakan tunik model abad ke-10. Kalau diperhatikan lagi, seragam sekolah Zen ini terlihat beda sendiri dari yang lain, untungnya ia dipinjamkan baju ganti oleh Agie.
"Kau ...." Alwen Rhett berseru. Wajahnya terlihat terkejut, matanya sedikit membelalak, tetapi ia segera menormalkan ekspresinya.
Zen menoleh, melihat dengan heran laki-laki di depannya. Ia berharap pertemuannya dengan laki-laki itu tidak akan menambah masalah. Ayolah! Ia hanya ingin pulang ke dunianya dan kembali menikmati serial komik favoritnya di kasur yang empuk ditemani secangkir coklat panas yang biasa menemaninya hampir setiap malam.
Kini Alwen terlihat waspada. Yaa ... Zen memaklumi itu, dirinya kan dikira pemilik hewan terlarang, sudah pasti orang-orang akan bersikap seperti itu terhadapnya.
Grek.
Alwen menarik kursi yang berada tepat di depan Zen. Kini mereka duduk saling berhadapan, dengan meja kayu coklat sebagai penengah.
"Jadi kau pemilik hewan itu?" tanya Alwen.
"Mm ... kurasa iya karena aku yang membawanya kemari, tapi percayalah dia hanya rubah biasa, bahkan rubah itulah yang menuntunku dari hutan hingga ke desa. Jika bukan karenanya, mungkin sekarang aku masih tersesat atau bahkan sudah mati di hutan. Jadi-"
"Hutan?" potong Alwen.
Zen mengangguk pelan, kemudian kembali berucap, "Iya, mm ... bagaimana menjelaskannya ya? Hei, percayakah kau? Aku baru keluar dari toilet di sekolahku, tapi tiba-tiba aku malah ada di tengah hutan. Ini gila. Aku mencari jalan keluar, tapi tidak bisa. Lalu aku bertemu dengan rubah itu, kakinya terluka jadi aku mengobatinya, lalu dia membawakan makanan untukku, dan menuntunku ke desa. Maaf saja jika terkesan seperti orang gila yang sedang curhat."
Alwen masih terdiam, ia sedang mencerna apa yang dikatakan Zen.
Mata itu ... aku kenal mata itu! ucapnya dalam hati. Mata Zen. Mata yang sama dengan mata orang itu. "Siapa namamu?" tanya Alwen.
"Zen Kuroxwar." Alwen kembali terkejut, matanya membelalak menatap Zen penuh rasa tidak percaya.
"Tuan? Kau tidak apa-apa?" tanya Zen menyadarkan lamunan Alwen.
Kenapa setiap aku menyebutkan namaku, orang-orang selalu terkejut atau tidak percaya seperti itu? Apa yang salah? Kuharap namaku bukan nama penjahat atau nasibku bisa lebih buruk lagi! batinnya berucap.
"Kembalilah ke selmu, aku akan menemuimu lagi nanti," titah Alwen. Kemudian ia berdiri dan pergi meninggalkan Zen.
⿻⃕⸙͎
Kini Rena dan Vyria sudah sampai di kota Ardville, Vyira turun duluan dari pedati sang pedagang, disusul Rena setelah ia memastikan keadaan aman. Sayangnya ....
"Hei! Siapa kalian?!"
"Pencuri! Tangkap mereka!"
Mereka ketahuan. Beberapa warga yang melihat dan mendengar apa yang diteriakkan sang pemilik pedati pun mulai mengejar Rena dan Vyria, menganggap mereka adalah pencuri atau orang miskin yang numpang perjalanan gratis dalam pedati.
"Kita ketahuan! Ayo lari!"
Tadinya Vyria ingin mengajak anak itu lari, tapi ia tahu pasti kaki kecil Rena tidak akan bisa berlari cepat sepertinya. Jadi ia menggendong Rena dan membawanya lari dari kerumunan massa.
Kembali ke Alwen. Jemari mantan ajudan pangeran itu sedang menari di atas kertas dengan kuas berisi tinta menuliskan pesan yang akan ia sampaikan kepada petinggi Kerajaan Luce. Setelah selesai, ia menggulung kertas tersebut, kemudian menyelipkannya di kaki burung hantu berbulu putih yang sejak tadi bertengger di jendela di dekatnya.
"Sampaikan surat ini pada Yang Mulia!" kata Alwen. Burung hantu itu langsung mengepakkan sayapnya begitu mendengar perintah dari tuannya.
Sebenarnya Alwen bukan seorang Summoner, dia adalah seorang Dryad alias pengguna sihir, tepatnya sihir berelemen angin. Burung hantu tadi adalah burung pembawa pesan yang ditempatkan di setiap pusat kota untuk mempermudah memperoleh informasi.
⿻⃕⸙͎
#Chapter VI
Apa kabar?
Udah lama ga update:)
Jangan lupa tinggalkan jejak:D
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top