⿻⃕⸵Chapter IX៚݈݇
Kabut mulai menghilang, membuat sang Summoner merasa heran dikarenakan ia belum memerintahkan semut-semutnya untuk berhenti. Perlahan pandangan kembali jelas dan terlihat gerombolan semut itu sedang menuju kepadanya, Nell. "Oi! Apa yang terjadi?" ucapnya heran.
"Ugh ...." Bukan hanya semut, ular yang tadi melilit Roen pun kini melepaskannya.
"Apa-apaan ini? Seharusnya kalian menyerang mereka! Cepat gigit mereka dengan bisa mematikan kalian! Ini perintah!" Perintahnya tidak dipatuhi, kini hewan itu hendak menyerangnya balik.
Nell menatap Zen yang kini tengah berdiri dengan santai seolah sedang mengendalikan hewan-hewannya, dan itu memang benar. Ah, tidak, bukan Zen yang melakukannya. Lebih tepatnya seseorang yang sekarang sedang mengendalikan tubuh Zen.
Nell berdecak sebal, tapi kemudian ia kembali tersenyum dan berkata, "Jadi benar kau, ya? Yaang Mulia pasti akan senang."
Sreet!
Nell merobek kertas manterannya dan seketika hewan-hewan itu pun lenyap. "Tugasku sudah selesai. Sampai jumpa lain waktu!"
Nel pergi meninggalkan mereka berdua, memasuki hutan di sekitarnya dan pergi ke tempat Vy. Sementara Roen masih menatapnya penuh waspada. Setelah musuhnya pergi, perhatiannya pun kembali pada Zen.
"Zen?" ucapnya pelan. Dilihatnya saat ini Zen sedang mengangkat sebelah tangannya lurus ke atas dengan lima jarinya yang dibuka lebar, kemudian ia mengepalkan jemarinya perlahan. Setelahnya aroma popcorn yang mempengaruhi pikiran serta tingkah laku para warga juga menghilang, menyisakan udara sejuk nan segar.
"Terima kasih." Lagi-lagi terdengar suara, suara yang sama seperti sebelumnya orang itu mengendalikan tubuhnya, tapi suara itu hanya bisa didengar oleh Zen.
Brukh!
"Zen!" teriak Roen tatkala melihat sepupunya itu jatuh dan tak sadarkan diri.
⿻⃕⸙͎
Trang! Tring!
Suara dentingan pedang yang beradu itu masih memenuhi hutan, pertarungan Alwen dan Vy belum berakhir. Keduanya tampak kelelahan dan sama-sama terluka.
"Oi, Nona!" panggil Nell begitu tiba di antara keduanya. "Tugas kita sudah selesai, ayo pergi!"
Vy berdecak sebal. Kenapa orang ini suka sekali mengganggunya bahkan di momen yang seru ini? Sudah lama ia tidak bertarung dengan lawan yang sepadan, dan menurutnya Alwen adalah orang yang cukup kuat dan menjadi tantangan tersendiri baginya. Sementara Alwen semakin meningkatkan kewaspadaannya akibat bertambahnya jumlah musuh.
"Aku punya nama! Panggil aku dengan benar!" protes Vy. Padahal sudah hampir 4 bulan mereka menjadi partner, tapi Nell masih saja lupa dengan namanya.
"Terserah apa maumu." Nell pergi duluan
"Senang bertarung dengan Anda. Sampai bertemu lagi, Tuan," kata Vy. Kemudian ia pergi menyusul Nell.
Pertarungan berakhir. Alwen pun memutuskan untuk kembali dan melihat keadaan Zen dan Roen.
⿻⃕⸙͎
Gelap. Semuanya tanpak hitam. Namun, perlahan cahaya mulai masuk, membuat matanya terasa silau. Zen mengerjapkan matanya, hingga akhirnya ia membuka mata seutuhnya, mendapati dirinya yang terbaring di ruangan serba putih.
"Ugh ... di mana aku?" ucapnya lirih sembari memposisikan dirinya duduk.
"Ahirnya kau bangun," kata seseorang yang berdiri tak jauh dari tempat Zen, tetapi ia tidak bisa melihat rupanya dengan jelas. Perlahan orang itu mendekat. Dan yah ... suara yang sama dengaan kala itu. Orang inilah yang tadi mengendalikan tubuhnya.
"Kau ... siapa?" tanya Zen. Ia terkejut dan bingung melihat orang di hadapannya. Mengapa wajah orang itu terlihat sama persis dengannya?
Orang itu tertawa kecil sembari membatu Zen berdiri, kemudian berkata, "Aku adalah kau dan kau adalah aku." Membuat Zen semakin bingung dengan pernyataannya.
"Lihat ke depan!" titah orang itu. Kemudian ia mengulurkan tangannya ke depan, menggerakkannya searah jarum jam, lalu muncul sebuah ilustrasi pemandangan yang menampilkan masa lalu di hadapan mereka.
Pemandangan akan tragedi yang terjadi 6 tahun lalu. Rumah-rumah warga terbakar, kelima kerajaan bekerja sama untuk mempertahankan tempat tinggal mereka dari cengkeraman kegelapan.
Terlihat dua anak laki-laki dalam ilustrasi itu, dan salah satunya adalah Zen, tepatnya saat ia berusia 10 tahun.
"Hentikan!" pekik Zen dalam ilustrasi itu, memohon pada orang di hadapannya.
"Hentikan?" ucap orang itu disertai tawa. "Mana mungkin aku menghentikannya. Aku hampir mencapai puncak!" lanjutnya dengan suara keras. Sebut saja Rael.
Zen menggeleng pelan. "Tidak ... ini salah! Seharusnya kalian kembali ke dunia bawah!" Zen balas berteriak.
"Kau bercanda? Bukankah menyatukan cahaya dan kegelapan itu keinginanmu? Dan saat aku akan mewujudkannya kau malah menyuruhku berhenti? Lucu sekali! Seharusnya kaau berterima kasih!"
"Bukan begini dunia yang kuinginkan!"
Rael menatap malas, bosan mendengar ocehan orang di depannya. Ia membuang napas kasar, lalu berkata, "Terserah kau saja." Rael membelakangi Zen, ia hendak pergi dan melanjutkan rencananya, namun ....
"Kalau begitu tidak ada pilihan lain." Zen mengeluarkan kalung berliontin kristal. Kristal itu memiliki seluruh warna, bersinar dengan berganti setiap 1 detiknya.
Zen mengepal erat liontinnya di depan dada dengan kedua tangannya seraya mengucap mantera, "Sancta mater benedictio, Adiuva me quaeso hoc peccatum comprime."
Rael berhenti melangkah, matanya terbelalak mendengar mantera yang diucapkan Zen, ia kembali berbalik dan menatap Zen penuh kewaspadaan. "Apa yang kau lakukan?!"
"Menghentikanmu mengacaukan tatanan dunia ini."
"Kau tidak akan bisa melakukannya! Praesidium!" Rael merapalkan mantera pelindung dan seketika tercipta penghalang di antara keduanya.
"Clausum!" Zen menyelesaikan manteranya. Perlahan muncul kristal dari tanah yang bergerak mengurunh Rael, menghancurkan sihir pelindung yang dibangunnya.
"Tidak ... hentikan ... HENTIKAN!!!"
K-krak!
Kristal itu membekukan seluruh tubuh Rael. Kristal iti menjadi segel kegelapan. Kemenangan kembali diraih sang cahaya.
Ilustrasi selesai. Zen masih bungkam, berusaha mencerna apa yang baru dilihatnya. Kemudian menatap dirinya yang lain. "Apa itu ... aku?" tanyanya ragu.
Dirinya yang lain menganggukkan kepala. "Seharusnya segel itu masih bertahan sampai 5 tahun ke depan, tapi kaum Darkness terus menyebarkan kebencian, kekerasan, dan kerusuhan, emosi yang tidak terkendali seperti yang terjadi di perjalanan tadi menjadi sumber kegelapan tambahan bagi mereka dan melemahkan segelnya."
Zen kedua menatapnya dengan lembut, kemudian kembali berucap, "Itu sebabnya kali ini kau harus benar-benar menghentikannya."
"A-aku? Menghentikannya? T-tunggu dulu! Jika yang tadi itu memang aku, lalu kau siapa? Aku juga? H-hah? Aku tidak mengerti," ucap Zen.
Dirinya yang lain itu masih menatapnya penuh kehangatan, tersenyum maklum. "Ingatanmu pasti agak kacau. Tidak apa, aku akan membimbingmu. Anggap saja aku belahan ingatanmu sebelumnya."
"Ingatanku sebelumnya?"
Zen kedua itu kembali menganggukkan kepala. "Sekarang bangunlah, mereka semua menunggumu."
Tiba-tiba pandangannya menjadi sangat menyilaukan, Zen pun menutup matanya dan sedikit menghalangi cahaya itu dengan tangan kanannya. Cahaya menyilaukan itu mulai pudar, ia pun mengerjapkan mata dan perlahan membukanya.
"Zen? Zen! Kau sudah bangun?!" Suara yang familier tertangkap gendang telinganya, itu suara Roen. Kini matanya terbuka penuh dan melihat pemuda setengah anjing berada tepat di depannya dengan wajah khawatir.
"Kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit? Perlu kuambilkan obat?"
"Aku tidak apa-apa, hanya sedikit pusing," jawabnya sembari merubah posisi tidurnya menjadi duduk dan Roen pun membantunya.
Apa yang tadi itu mimpi? ucapnya dalam hati. Sejujurnya ia semakin tidak mengerti dengan apa yaang terjadi padanya. Ia tidak bisa membedakan yang mana kenyataan dan yang mana mimpi. Atau ia harus mempercayai bahwa dirinya memang berpindah ke dunia lain.
"Kau kenapa, Zen?" tanya Roen yang sedari tadi memperhatikan Zen melamun.
Zen mengangguk pelan. "Sepertinya tadi aku bermimpi. Oh iya, kita di mana? Bagaimana dengan mm ... orang yang menyerang kita tadi? Apa semuanya baik-baik saja?"
Roen tertawa kecil, kemudian mengusap surai hitam sepupunya seperti yang biasa ia lakukan sebelum Zen menghilang. "Kau masih sama, selalu mengkhawatirkan orang lain padahal dirimu sendiri sedang tidak baik-baik saja."
Jujur saja sekarang Zen berharap setelah ini ia tidak perlu lagi bersusah-payah di jalanan untuk bertahan hidup. Bukankah Roen bilang mereka akan pulang ke istana? Itu berarti Zen akan adalah seorang bangsawan di negeri ini.
"Kita ada di Kota Giallmont, malam ini kita akan menginap di sini, besok pagi kita lanjutkan perjalan. Semuanya baik-baik saja, mereka yang terluka sudah diobati. Semua itu berkatmu. Jika bukan karenamu, mungkin sekarang aku sudah mati jadi sahtapan ular."
"Eh? Aku?"
"Ya, apa kau lupa?"
Zen terdiam sejenak, ia berusaha mengingat apa yang terjadi. Ia ingat saat Roen terbelit ular, ia juga ingat selain Nell ada seorang lagi yang menyerang mereka dan membuat Alwen terpisah.
"Pinjamkan aku tubuhmu sebentar."
Itu dia! Ingatannya berhenti sampai di situ. "Awh ...." Tiba-tiba kepalanya terasa sakit ketika ia berusaha mengingat kejadian tadi.
"Ah, sudah-sudah. Sebaiknya kau istirahat saja."
Tok! Tok!
Seseorang mengetuk pintu kamar mereka. "Masuk!" kata Roen. Pintu dibuka, itu Alwen.
"Syukurlah Anda sudah sadar. Ah, iya, sebaiknya Anda jangan gunakan nama asli Anda di sini," kata Alwen. Kemudian ia melirik ke Roen dan mendapat sebuah anggukan kecil tanda setuju.
Dilihat dari apa yang terjadi, mungkin kalian sudah bisa siapa peran Zen di dunia sihir ini. Yap, benar. Zenb merupakan pangeran dari Kerajaan Luce yang hilang saat peperangan melawan Kaum Darkness 6 tahun yang lalu. Kembalinya ia akan menjadi berita besar bagi seluruh negeri dan bahkan kerajaan lain. Karena itu untuk sementara mereka harus merahasiakan hal ini dan menunggu Raja Alverd yang mempublikasikannya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
⿻⃕⸙͎
#Chapter IX
Halo👋
Sepertinya banyak typo ya, maaf soal itu, akan segera kuperbaiki taali untuk sekarang targetku adalah menamatkan cerita ini dulu.
Semoga kalian terhibur dan menyukainya, jika tidak, tidak apa-apa sih
Jangan lupa voment nya:)
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top