⿻⃕⸵Chapter III៚݈݇

Matahari telah terbenam, anak-anak jalanan itu pun segera menyalakan api unggun sebagai penerangan sekaligus penghangat di kala malam, dikarenakan gedung yang mereka tempati ini tidak memiliki pencahayaan, hanya gudang tak terpakai yang sebenarnya sangat tidak layak dijadikan tempat tinggal.

"Maaf, tadi namamu siapa? Aku lupa," tanya seorang anak laki-laki berambut merah berantakan dengan sebuah plester yang menempel di hidungnya, iris matanya seperti batu ambar. Namanya Agie, usianya baru 14 tahun.

"Namaku Zen Kuroxwar, panggil saja Zen," jawab Zen. Agie menyelamatkannya dari kerumunan warga tadi sore, Agie jugalah yang mengajaknya ke mari. Walau ini bukan tempat yang layak, tapi paling tidak sekarang ia tidak sendirian lagi, bukan? Dan ada tempat bernaung.

"Apa? Zen? Pfftt ... yang benar saja? Kau jangan bercanda! Itu tidak mungkin," tukas Reno disertai tawa. Anak laki-laki lainnya yang setahun lebih muda daripada Agie, rambutnya berwarna hijau lumut dan iris matanya berwarna hitam, ditambah sebuah kacamata yang menempel di atas hidungnya.

"Aku tidak bercanda, namaku memang Zen!" sahut Zen. Kenapa sepertinya Reno tidak percaya bahwa namanya adalah Zen? Apa ada yang salah dengan namanya?

"Oke, oke, lalu di mana kau tinggal? Kenapa kau bisa dituduh pencuri dan dikejar-kejar warga seperti tadi?" tanya Reno penasaran.

"Haah ... itu semua gara-gara rubah ini," jawab Zen sambil menggendong rubah kecil yang sedari tadi terus mengikutinya.

"Wah, lucunya. Apa dia peliharaanmu? Siapa namanya?" tanya Agie antusias. Rasanya ia ingin sekali mengusap bulu rubah itu, tapi saat ia mengulurkan tangan, rubah itu langsung mencakarnya.

"Bukan," jawab Zen sembari menurunkan rubah itu ke tanah. "Aku tidak tahu siapa pemiliknya, aku menemukannya di hutan dan rubah inilah yang mengantarku ke mari," lanjutnya.

"Benarkah? Memangnya kau datang dari mana?" tanya Agie.

"Ah, kalau soal itu mungkin kalian tidak akan percaya, aku saja bingung kenapa aku bisa ada di sini." Agie dan Reno saling pandang karena mendengar jawaban Zen, kemudian mereka kembali menatap Zen.

"Waktu itu aku sakit perut, makanya aku ke toilet, tapi setelah keluar dari toilet aku malah berada di tengah hutan," lanjut Zen.

"Maksudmu toilet yang kaumasuki itu toilet ajaib?" tanya Agie.

"Mungkin kepalanya terbentur," tebak Reno berbisik di telinga Agie.

"Cih, mungkin dia hanya orang gila yang suka mengkhayal, seharusnya kau biarkan saja dia ditangkap!" seru anak laki-laki lainnya-Dennis.

"Jangan dihiraukan, dia memang begitu pada orang baru," ucap Agie sambil mengibaskan tangan kanannya.

"Iya, lebih baik kita makan. Lusy itu jago masak loh!" ajak Reno sembari sedikit memperkenalkan anak bernama Lusy, kemudian ia berjalan lebih dulu dan bergabung dengan anak-anak lainnya.

"Oh, benar! Ayo kita makan, perutku sudah lapar!" seru Agie, lalu ia pergi menyusul Reno. "Ayo, Zen! Jangan malu-malu, anggap saja rumah sendiri." Agie langsung memanggil nama, tidak peduli walau usia Zen lebih tua darinya. Supaya lebih akrab, begitu pikirnya.

Ia pikir semuanya akan baik-baik saja, toh Agie dan kelompoknya juga sangat baik padanya. Namun ...

"Ini pasti gara-gara dia!" seru Dennis sambil menunjuk ke arah Zen. "Pasti dia makan banyak, makanya persediaan makanan kita tinggal sedikit!"

Tidak seperti Agie yang mudah berteman dengan siapa saja, Dennis adalah orang yang keras kepala dan sulit percaya dengan orang baru. Karena itu ia tidak suka dengan kedatangan Zen ke kelompoknya.

"Jangan menyalahkan orang lain! Kau sendiri juga makannya banyak, kan? Kau tahu? Lusy selalu menyiapkan porsi makan paling banyak untukmu!" ujar salah satu anak yang juga bagian dari kelompok Agie.

Sedangkan Lusy yang sedari tadi disebutkan adalah salah satu gadis dalam kelompok Agie yang pandai memasak. Dennis mencibir, ia juga menatap Zen dengan sinis, ia tidak terima disebut orang yang suka makan banyak.

"Maaf, gara-gara aku, kalian jadi bertengkar," ucap Zen merasa tidak enak hati.

"Tidak apa, ini bukan salahmu. Lagi pula persediaan makanan kami memang tinggal sedikit, dan Dennis memang sulit akrab dengan orang baru, nanti juga kalian terbiasa," kata Lusy. Gadis itu berambut hitam dengan sebuah pita merah yang terikat di rambutnya dengan gaya ponytail.

Zen tersenyum canggung, walau Lusy telah menjelaskan, ia tetap merasa tidak enak hati. Paling tidak aku harus melakukan sesuatu untuk mengganti makanan dan minuman yang aku konsumsi tadi, batinnya.

"Lusy benar! Kalau sudah habis ya tinggal cari lagi saja, kita bisa minta pada paman penjual sosis atau mau coba memancing?" usul Agie seolah semua itu mudah dilakukan.

"Eh, siapa anak itu?" tanya Zen ketika ia menyadari ada seorang anak yang memperhatikannya, dari jauh. Seorang anak perempuan berperawakan kecil, berambut merah jambu, dikuncir dua dengan pita merah sama seperti Lusy, kira-kira usianya 10 tahun.

"Oh, itu Rena. Dia agak pemalu, tapi dia anak yang baik." Lusy menjawab dan Zen mengangguk paham.

Rena yang ketahuan mengintip pun langsung kembali ke tempat persembunyiannya. Oh iya, walaupun nama mereka mirip, Rena tidak ada hubungan darah dengan Reno. Mereka hanya sama-sama anak tanpa keluarga yang kebetulan bertemu.

"Nah, ayo tidur! Masalah persediaan makanan kita pikirkan besok saja!" kata Agie, kemudian ia pergi mennyari tempat yang sekiranya nyaman untuk dijadikan kasur.

"Kakak juga harus tidur, pilih saja di mana pun tempat yang Kakak suka." Lusy tersenyum manis, lalu pergi meninggalkan Zen, ia menghampiri anak-anak lainnya dan mengajak mereka beristirahat karena hari semakin larut.

Zen menengok ke kanan dan kirinya, mencari tempat yang mungkin cocok dan nyaman untuk dijadikan tempat tidur. Beberapa anak tidur di sofa bekas, ada juga yang tidur di lantai, menjadikan dinding sebagai senderan dan potongan kain tak terpakai sebagai selimut.

Tidak tahu harus tidur di mana, Zen pun menghampiri Agie dan Reno yang tidur di atas beberapa kotak kayu. Mereka menyusun dan menata kotak-kotak kayu itu sehingga bentuknya menyerupai tempat tidur.

Krek.

Seketika kotak kayu itu berbunyi saat Zen mendudukinya dan bunyi 'krek' itu berhasil membangunkan Agie. "Kau belum tidur?" tanya Agie sambil mengucek matanya karena mengantuk.

"Ini baru mau, maaf membangunkanmu," jawab Zen merasa tidak enak karena telah membangunkan Agie.

"Tidak apa, aku memang belum tidur, cuma menutup mata haha ...," kata Agie sambil tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya, untung tidak ada sisa makanan yang terselip di giginya. "Semoga kau betah tinggal bersama kami," ucapnya lagi, kemudian ia kembali tidur.

⿻⃕⸙͎

Malam semakin larut, tapi pekerjaannya mengurus laporan kriminal belum juga selesai. Pria berambut coklat hickory dan bermata emerald itu menghentikan sejenak pekerjaannya, lalu ia melihat ke luar melalui jendela yang berada tak jauh dari meja kerjannya. Melihat betapa indahnya rembulan yang sepertinya bisa meredakan penatnya.

"Apa itu?" ucapnya ketika sebuah benda putih berukuran kecil turun dari langit. Ia pun mendekati jendela dan mengeluarkan tangan kirinya, lalu menengadah membiarkan benda putih itu jatuh ke tangannya.

Dingin dan benda putih itu mencair di telapak tangannya. "Salju. Padahal masih musim panas."

Yap, benda putih itu adalah salju. "Pasti segelnya semakin lemah. Kapan Anda kembali ... pangeran?"

⿻⃕⸙͎

Sudah hampir 2 jam Zen berguling ke sana kemari, berjalan ke sana kemari, tapi ia masih belum bisa tidur. Padahal tadi siang ia bisa tertidur dengan mudah di tengah hutan.

"Hahh ...," keluhnya seraya menghela napas. Kemudian ia melihat ke kiri dan kanannya, ingin tahu apakah ada orang lain yang tidak bisa tidur selain dirinya.

Dan, oh! Sepertinya ada satu anak yang terjaga, ada satu selimut yang berantakan seperti bekas pakai. Entah kemana anak itu pergi, Zen tidak mau terlalu menghiraukannya.

Krek

Zen beranjak dari tempatnya yang lagi-lagi menimbulkan bunyi dan membuat Agie terbangun. Anak ini mudah sekali bangun sih! ucapnya dalam hati.

"Kau mau ke mana?" tanya Agie setengah sadar.

"Aku tidak bisa tidur, aku mau jalan-jalan dulu sebentar," jawab Zen, kemudian ia pergi ke luar. Mungkin dengan jalan-jalan bisa membuatnya mengantuk, mungkin juga ia akan menemukan cara kembali ke dunianya.

"Sang bintang 'kan kembali bersinar ...."

Samar-samar terdengar nyanyian merdu, namun entah siapa yang menyanyikannya dan penggalan lirik yang tidak lengkap itu berhasil menarik perhatiannya. Ia pun mencari sumber suara karena ingin mendengar seluruh lirik dengan lebih jelas.

"Sang bulan dan mentari 'kan bersatu ...."

Sekarang Zen sudah di luar, suara itu pun semakin terdengar jelas dan merdu.

"Eh? Anak itu ...." Zen menggantungkan perkataannya, ia berusaha mengingat siapa nama anak yang sedang bernyanyi di depannya ini. Seorang anak perempuan bersurai merah muda dengan dua pita merah yang mengikat rambutnya. Anak itu bernyanyi di atas beberapa tumpuk balok kayu sambil menghadap ke bulan.

"Kalau tidak salah namanya Rena, kan?" Zen berhasil mengingatnya dan ucapannya barusan juga berhasil membuat pemilik nama terkejut dengan kehadirannya.

Krekk

Rena berbalik, saking terkejutnya ia sampai membelalak dan jatuh.

"Hati-hati!" seru Zen. Ia segera menghampiri Rena yang jatuh dan beruntung ia berhasil menangkap anak itu. "Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir yang dibalas anggukkan pelan oleh Rena, kemudian Zen menurunkan anak itu dari pangkuannya.

"T-terima kasih," ucap Rena gugup.

Zen menyunggingkan senyum, ia ingat dulu ia pernah berharap mempunyai seorang adik perempuan. Hanya 'seorang' tidak usah banyak-banyak.

"Kau pasti terkejut melihatku tiba-tiba ada di sini. Maaf, gara-gara aku kau jadi jatuh," ujar Zen.

Rena menggeleng cepat, lalu berkata, "T-tidak! Itu bukan salah Kakak, ini salahku sendiri karena kurang berhati-hati!" Dan Zen hanya tersenyum menanggapinya.

Tiba-tiba beberapa butir salju jatuh ke kepala mereka. "Salju? Apa sekarang sedang musim dingin?" tanya Zen.

Rena mendongak, melihat butiran salju yang mulai menghujani mereka. "Seingatku sekarang masih musim panas," kata Rena.

"Oh, benarkah? Lalu kenapa ada salju?" tanya Zen heran dan Rena hanya menggeleng pelan karena ia juga tidak tahu mengapa ada salju di musim panas.

"Kalau begitu ayo masuk sebelum saljunya bertambah lebat," ajak Zen. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menggenggam tangan Rena dan mengajak anak itu ke dalam.

Tapi keren juga bisa melihat salju secara langsung begini, biasanya aku hanya memainkan salju yang ada di freezer kulkas, batinnya.

Keesokan harinya.

Matahari kembali memunculkan batang hidungnya, menyinari desa Roddel. Yap, itulah nama desa tempat tinggal Zen sekarang. Salah satu desa yang dekat dengan hutan perbatasan anatar kerajaan Luminosa dan Kerajaan Luce yang merupakan dua dari lima kerajaan besar di tempat ini.

Desa ini sendiri masuk ke wilayah Kerajaan Luce. Sayangnya perekonomian di desa ini tidak terlalu baik, jumlah penduduknya pun tidak sampai 100 orang dengan 17 kepala keluarga.

Kembali ke Zen dan kawan-kawannya. Sekarang Agie-selaku ketua dalam kelompoknya-tengah mengadakan pertemuan kecil.

"Nah, semuanya! Seperti biasa hari ini kita akan bagi tugas!" seru Agie sambil bertolak pinggang.

"Leo, Amber, Lya, dan Theo, kalian jaga markas!"

"Baik!" Empat anak itu langsung menjawab dengan lantang.

"Robert, seperti biasa kau dan kelompokmu bertugas menangkap ikan!"

"Siap!" seru Robert sambil mengacungkan jempol.

"Dan atas usul seseorang, aku, Reno, Lusy, Rena, dan Zen akan coba mengamen di Desa," kata Agie sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan dan kirinya, lalu menggerakannya seolah mengutip kata 'seseorang'.

"Kebetulan kita punya dua musisi di sini, iya, kan?" ucapnya lagi sambil merangkul Reno dan mengangkat tangan kiri Rena karena Rena terlalu pendek untuk dirangkul.

Sebagian dari mereka setuju saat Agie mengangkat tangan Rena. Suara anak itu memang bagus dan merdu saat bernyanyi, tapi Rena itu pemalu. Memangnya dia mau bernyanyi di depan umum? Oh dan mungkin kalian bisa menebak siapa yang mengusulkan ide ini? Ya tentu saja Zen.

"Dan sisanya bantu Kite berburu di hutan! Mengerti?"

"Dimengerti!" Anak-anak itu menjawab dengan serempak.

"Kalau begitu ayo berangkat!" Pertemuan diakhiri, mereka semua membubarkan diri dan pergi melaksanakan tugas masing-masing.

Zen, Agie, dan tiga anak lainnya mulai bergerak, mencari tempat yang sekiranya ramai dan cocok untuk dijadikan tempat mengamen. Tidak lupa si rubah kecil itu juga masih setia mengikuti Zen, walau semalam ia sempat menghilang. Dan untungnya salju yang semalam turun tidak terlalu lebat, banyak juga yang sudah mencair, jadi tidak akan terlalu mengganggu.

"Kau hebat bisa memimpin mereka seperti itu, Agie!" seru Zen kagum.

"Ah, itu mudah. Lagi pula aku sendiri juga tidak tahu sejak kapan mereka mengakuiku sebagai pemimpin di kelompok ini, itu semua terjadi begitu saja," tutur Agie.

"Tentu saja karena kau memang yang paling cocok menjadi ketua daripada anak-anak lainnya," ujar Lusy.

"Kau juga yang mengumpulkan dan menyatukan kita seperti ini, jadi terima saja jabatanmu. Toh semuanya setuju dan tidak ada yang keberatan," kata Reno.

"Hahaha! Aku tidak yakin soal itu, mungkin sebenarnya ada yang keberatan, tapi mereka tidak mau membicarakannya."

Begitulah perbincangan mereka selama di perjalanan. Beberapa menit mereka berkeliling, akhirnya mereka menemukan tempat yang cocok. Tempat paling ramai di desa, pasar, walau ada juga warga yang membuka toko di depan atau di gabung dengan rumahnya seperti rumah makan yang Zen kunjungi hari itu.

Baru saja mereka hendak melangkahkan kaki, tapi tiba-tiba Rena mempererat pegangannya pada tangan Lusy.

"Ada apa, Rena?" tanya Lusy, ia tahu Rena masih belum terbiasa dengan keramaian.

"Jangan takut, kami ada di sini," kata Lusy berusaha menenangkan Rena. "Agie, sepertinya Rena belum siap," kata Lusy lagi.

Rena masih takut, ia kurang percaya diri dan khawatir akan membuat kesalahan saat bernyanyi nanti, tapi ia juga tidak mau terus-menerus bergantung pada yang lainnya, apa lagi pada Lusy. Dan karena itu ia setuju dengan ide mengamen yang diusulkan oleh Zen.

"Kalau Rena memang tidak mau, apa boleh buat, kita bisa bantu Robert atau Kite di hutan." Setelah mendengar perkataan Agie, Rena langsung melepas genggamannya dan menggeleng dengan cepat. Mereka sudah sampai di sini, kenapa harus kembali? Ayo lakukan! Lalu Rena berkata, "A-aku sudah siap!"

⿻⃕⸙͎

#Chapter III

Aloha👋
Apa ini kepanjangan?
Maaf jika typo bertebaran
Terima kasih sudah mampir dan voment-nya^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top