⿻⃕⸵Chapter II៚݈݇

Sudah 1 jam sejak rubah itu meninggalkannya dan Zen masih terlelap dalam tidurnya, tapi sekarang ia tidak sendiri. Rubah kecil itu kembali untuk menemaninya, ia juga membawakan beberapa bungkus roti dan buah-buahan yang diletakkan tidak jauh dari tempat pemuda itu terlelap.

"Hmmh ...." Sedikit mengigau karena tidurnya tidak terlalu nyenyak, mungkin karena alasnya bukan kasur yang empuk dan nyaman. Ia mengubah posisi tidurnya yang tadinya telentang menjadi tidur miring.

Rasanya jadi lebih nyaman daripada sebelumnya, apa lagi ketika tangannya menyentuh sesuatu yang lembut. Apa itu bantal? Tidak. Rasanya seperti bulu-bulu halus, apa itu boneka? Tapi Zen sedang berada di tengah hutan, dan saat ia tidur tadi hanya ada pepohonan di sekitarnya. Tidak mungkin benda lembut itu berjalan sendiri menghampirinya.

Aah! Zen tidak peduli benda apa itu! Yang penting sekarang tidurnya jadi nyenyak. Sayangnya, saat Zen mau memeluk benda lembut itu malah pergi. "Hmmh, kau mau kemana, Cihchi?" gumam Zen. Ia mengira benda yang tadi disentuhnya adalah Chichi alias anjingnya yang hilang.

Perlahan ia mengerjapkan mata, terbangun karena ingin mencari bantal yang melarikan diri itu.

"Hoam ... Chi ...." Zen tidak melanjutkan perkataannya, matanya pun langsung terbuka sempurna ketika ia mengingat anjing kesayangannya itu telah hilang, jadi tidak mungkin bulu lembut yang tadi disentuhnya adalah Chichi. "Bukan Chichi, ya ...," ucapnya lirih.

"Eh? Kau kembali ke sini?" tanya Zen ketika menyadari rubah yang beberapa saat lalu pergi meninggalkannya sekarang kembali menemaninya. Dan yap, benda lembut yang tadi disentuhnya adalah bulu-bulu halus milik si rubah.

Krucuuuk

Perut Zen berbunyi lagi. Tentu tidur tidak akan membuat rasa laparnya hilang, ia harus makan sesuatu jika ingin perutnya berhenti demo.

Rubah itu mengambil sebungkus roti dengan mulutnya, lalu diberikannya pada Zen. "Apa ini untukku?" tanyanya, tapi rubah itu tidak menjawab, ia hanya duduk diam sambil mengibaskan ekornya dan beberapa kali mengedipkan mata.

Zen mengambil roti yang diberikan, agak basah dengan air liur karena si rubah mengambil roti dengan mulutnya. Untung roti itu dibungkus plastik, jadi hanya bungkusnya saja yang terkena air liur rubah. Zen membuka bungkus roti itu, lalu memakannya.

Zen mengunyah roti itu perlahan, rasanya tidak terlalu enak, rotinya agak keras dan teksturnya kasar, agak hambar, sepertinya kurang gula dan pengembang. Tapi Zen tetap memakannya, daripada iaa mati kelaparan.

"Oh iya, apa kau mau?" Ia membelah rotinya menjadi dua bagian, lalu memberikan satu bagiannya pada si rubah "Ayo kita makan bersama!"

Rubah itu menatap Zen dan roti yang diberikan, bingung kenapa Zen memberikan balik roti yang sudah ia bawakan untuknya?

"Ayo makan!" ajak Zen lagi sembari meletakkan roti itu ke tanah, tepat di depan si rubah. Rubah itu pun ikut makan, tidak kalah lahap dengan Zen, mungkin ia juga sama kelaparannya dengan Zen.

Perutnya sudah mulai kenyang, sekarang ia penasaran siapa yang membuang roti yang masih bisa dimakan seperti ini di tengah hutan? Atau memang rubah kecil itulah yang membawanya kemari, tapi dari mana?

"Hei, apa kau yang membawa roti ini kemari?" tanya Zen pada si rubah, tapi rubah itu tidak merespons apa pun, ia masih fokus pada makanannya.

"Begitu, ya?" ucap Zen seolah mendengar jawaban dari rubah. "Terima kasih atas makanannya. Ngomong-ngomong kau dapat dari mana makanan ini?" tanya Zen lagi.

Rubah itu berhenti makan, ia memperhatikan Zen, seperti sedang sedang mencerna apa yang barusan dikatakan Zen.

Dia pasti mengambilnya dari pemukiman di sekitar sini, tebak Zen dalam hati.

"Bisa kau tunjukkan jalannya padaku? Aku punya sedikit uang, mungkin kita bisa membeli sesuatu di sana. Aku juga haus, jadi aku mau beli minuman. Kalau kau mau, aku juga akan membelikan sesuatu untukmu."

Rubah itu mulai berjalan menyusuri hutan, lalu ia berhenti sejenak dan berbalik memandang Zen, seolah berkata, "Ayo, ikuti aku!"

"Hmm? Apa kau ingin aku mengikutimu?" tanya Zen. Kemudian rubah itu kembali berjalan, Zen pun mengikutinya dari belakang. Tidak lupa ia membawa sisa makanannya yang belum habis dan memakannya di perjalanan.

Kurang dari 15 menit, mereka sudah sampai di pedesaan. Para pedagang dan rumah-rumah di sana mulai menyalakan lampu karena matahari hampir terbenam dan sang bulan akan menggantikan posisinya di langit. Ada juga pedagang dan beberapa toko yang sedang membereskan barang dagangannya karena tidak berjualan sampai malam hari.

Zen berkeliling, mencari penjual minuman yang sekiranya menawarkan harga yang tidak terlalu mahal karena uang yang ia punya hanya sedikit. Sementara si rubah mengikutinya dari belakang.

Beberapa menit ia berkeliling, kini matanya menangkap kedai yang sepertinya bukan restoran mewah, jadi mungkin harga di sini pas untuk dompetnya. "Permisi," ucapnya seraya membuka pintu dan masuk ke salah satu warung makan yang ada di desa itu. Sementara si rubah kecil menunggu di luar.

Kringgg...

Lonceng yang tergantung di dekat pintu pun berbunyi ketika pintu dibuka. Ini bukan tempat makan yang mewah, hanya kedai sederhana yang di dalamnya pun hanya ada beberapa meja dan kursi kayu, sang pemilik juga tidak terlalu mementingkan desain interior maupun eksterior.

"Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan? Sepertinya Anda bukan berasal dari daerah sini, apa Anda sedang berlibur?" Seorang pria menyapanya dan pria itu adalah salah satu pegawai di tempat ini.

"Mmm ... sebenarnya aku tersesat," jawab Zen seadanya.

"Eh? Kalau boleh tau, memangnya Anda ini dari mana dan ke mana tujuan Anda?" tanya pria itu. Sekedar basa-basi agar pelanggannya merasa nyaman.

"K-kemana, ya? Ke rumahku, sih. Ngomong-ngomong bolehkah aku meminta sedikit air? M-maksudku membeli, ini restoran, kan?"

"Tentu boleh. Ah, tapi tempat ini belum bisa sebut restoran, ini hanya rumah makan sederhana yang dikelola oleh keluarga kami, menu yang kami tawarkan pun tidak banyak. Silakan, Anda lihat-lihat dulu menunya." Pria itu memberi papan kecil pada Zen, yang bertuliskan daftar menu yang tersedia di sini

Zen berusaha membaca daftar menu itu, tapi ... ia sama sekali tidak mengerti tulisan apa yang tertera di sana.

"Bagaimana? Apa Anda sudah menentukan mau pesan apa? Oh, apa Anda masih bingung? Kalau Anda bersedia, saya bisa merekomendasikan menu terfavorit di sini," kata pria itu menawarkan.

"Sebenarnya aku, mm ... tidak mengerti huruf-huruf ini," ujar Zen canggung. Malu sekali rasanya.

"Eh? Benarkah? Padahal huruf ini digunakan di lima kerajaan, loh." Tiba-tiba pria itu terpikir sesuatu. "Ah! Be-begitu, ya?" Ia mengira Zen adalah orang tidak mampu yang belum bisa membaca walau usianya bukan lagi anak-anak.

"Tunggu sebentar, ya." Pria itu meninggalkan Zen, ia pergi ke suatu ruangan yang sepertinya adalah dapur. Tidak lama kemudian, ia kembali dengan beberapa bungkus roti dan sebotol air di tangannya.

"Ini untukmu," ucapnya sambil memberikan roti dan air itu pada Zen.

Zen baru mau mengeluarkan uangnya, tapi pria itu mencegahnya membayar dan berkata, "Tidak usah dibayar, ambillah! Aku tau hidup itu sulit, jadi-"

Brakh!

Seseorang mendobrak pintu, tepatnya pintu dapur tempat pegawai baik hati tadi mengambilkan roti dan air untuk Zen.

"Leo!" bentak orang itu. "Sudah kubilang jangan mudah kasihan dengan orang asing! Dia itu penipu! Dia hanya pura-pura tidak mampu sama seperti pengemis lainnya! Padahal sebenarnya dia itu mau mencuri!"

"Tapi—"

"Tidak ada 'tapi'!" Pria yang lebih tua itu berteriak keras, toh tidak ada pelanggan lain selain Zen, jadi tidak akan ada yang mendengar teriakannya, ralat, mungkin akan agak terdengar oleh orang-orang di luar.

"A-anu, aku punya uang, kok. Dan aku bukan pengemis!" kata Zen sembari mengeluarkan uang kertas dengan nominal Rp20.000,00.

"Huh? Uang macam apa ini?" tanya pria tua itu sambil mengambil uang Zen dan mengibaskannya di tepat di depan wajah Zen. "Kau pikir aku ini bodoh?! Uang mainan seperti ini tidak akan bisa menipuku!"

"Hei, itu uang asli tau! Di tempat asalku, kau bisa dapat 40 biji cilok dengan uang itu!" Sebenarnya Zen bukan tipe orang yang suka berteriak, tapi ia tidak suka jika dituduh sebagai penipu yang menyebarkan uang palsu seperti ini, jadi ia sedikit meninggikan suaranya untuk membela diri.

"Benarkah? Kalau begitu kembalilah ke tempat asalmu, bocah!" Pria tua itu mengembalikan uang Zen, tapi dengan cara dilempar. Uang itu pun melayang-layang di udara karena beratnya yang ringan dan dengan cepat Zen langsung menangkapnya sebelum uangnya terbang terbawa angin.

"Aku memang mau pergi, jadi Anda tidak usah mengusirku!" Zen keluar dari tempat itu dengan langkah yang cepat karena kesal. Sementara rubah kecil tadi masih setia menunggu, berharap Zen akan kembali dengan beberapa makanan.

Kringgg.

Zen keluar dari rumah makan itu yang lagi-lagi membuat lonceng di pintu berbunyi. Rubah itu langsung melihat ke arah Zen, menyambut orang yang sepertinya akan menjadi majikan barunya.

"Hahh ... maaf, aku tidak dapat apa-apa, katanya uang yang kupunya ini uang mainan. Padahal, kan, ini uang asli," keluh Zen sambil menunjukkan uang kertas Rp20.000,00 miliknya.

"Sebentar, tadi dia bilang apa? Lima kerajaaan? Memang aku ada di mana?" Zen semakin bingung, ia tidak tahu sekarang ada di mana dan bagaimana caranya kembali ke dunia asalnya.

"Hei, kau mau ke mana?!" Tiba-tiba rubah kecil itu berlari entah kemana.

Ia kembali berkeliling, mencoba di sana dan di sini, tapi tidak ada satu pun pedagang yang mau menerima uangnya. Aah! Tenggorokannya semakin terasa kering, ia sangat haus.

Trang! Tring!

Terdengar suara botol kaca yang sepertinya sedang terguling-guling di tanah dan beradu dengan bebatuan yang dilewatinya.

Tuk.

Dan yap, botol kaca itu berhenti berguling ketika menabrak kaki Zen. Rubah kecil itu juga kembali, sepertinya dialah yang menggulingkan botol kaca berisi air itu.

"Eh? Apa ini?" Zen mengambil botol itu, lalu memperhatikannya dan berusaha membaca tulisan yang tertera di lebel botol tersebut. Lupa bahwa ia tidak bisa membaca huruf-huruf di tempat ini.

Namun, jika dilihat dari model botnya, kemungkinan air dalam botol ini adalah alkohol. Cicipi sedikit tidak apa-apa, bukan? Hanya seteguk tidak akan membuat mabuk, kan? Tapi Zen masih di bawah umur, bolehkah ia meminumnya?

Tidak, Zen! Ibumu tidak akan suka jika kau melakukan sesuatu yang seharusnya belum kau lakukan! ucapnya dalam hati.

"Terima kasih karena telah membawakan air untukku, tapi aku belum boleh minum minuman seperti ini. Ngomong-ngomong kau dapat dari mana minuman ini?" tanya Zen.

"Itu dia!" teriak salah satu warga sambil menunjuk ke arah Zen, atau memang dia yang ditunjuk? "Tangkap pencuri itu!" teriaknya lagi, lalu si yang berteriak berlari yang lagi-lagi ke arah Zen dan diikuti beberapa warga di belakangnya.

"Hmm? Sedang ada maling, ya?" tebak Zen. Lalu ia melihat ke sekeliling, mencari pencuri yang dimaksud, tapi tidak ada orang yang gerakannya seperti mencuri. Lantas siapa yang dimaksud pencuri oleh para penduduk itu?

"Hei, kau mau ke mana?" Rubah kecil itu berlari meninggalkannya, lagi, dan kerumunan warga yang marah juga semakin mendekat ke arahnya.

"Beraninya kau mencuri anggur di tokoku! Akan kupastikan kau dan tikus peliharaanmu itu dipenjara!"

Ah, begitu rupanya. Jadi rubah itu mencuri minuman ini dari mereka dan aku dikira sebagai pemilik rubah. Oke, ini hanya kesalahpahaman! Aku harus meluruskannya! kata Zen dalam hati, mengira-ngira situasi yang sedang terjadi.

"Anu, sebenarnya ini-HUWAA! AKU LARI SAJALAH!" Zen ikut berlari menyusul si rubah, membiarkan anggur dalam botol itu tergeletak di tanah.

Ternyata menjelaskan kesalahpahaman pada warga yang mengamuk itu sulit, ya. Beberapa diantaranya bahkan membawa senjata tajam dan obor sebagai penerangan karena hari sudah mulai gelap.

"Kalian salah paham! Aku bukan penc-hmp!" Belum sempat Zen menyelesaikan perkataannya, seseorang sudah lebih dulu menarik tangannya dan membungkam mulutnya.

Orang itu adalah ....

⿻⃕⸙͎

#Chapter II

Hola! Sebenernya ini bagian dari chapter I, tapi karena hampir 3k jadi aku pecah deh chapternya
Maaf kalau ada typo, lain kali ku benerin🙏🏻

Jangan lupa voment^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top