8. Jamuan
"Adudududuh...." teriak Yudhistira mengaduh kesakitan.
Awalnya dengan segala hingar-bingar tumbuhnya krisan raksasa membuat Yudhis alpa karena kecongkakannya. Namun ketika indra perasanya mulai bekerja, saat itulah dia merasakan teror Neraka Krisan. Tangannya yang robek di sepanjang sisi terasa perih terbakar. Bagian yang robek masih mengeluarkan darah yang tak henti-henti. Tiba-tiba saja Yudhis merasa demam.
"Jesvari, ini mungkin pertanyaan aneh tapi apakah ada sesuatu untuk mengobati lenganku?"
"Itu pertanyaan yang aneh dan tidak ada obat semacam itu."
"Sudah kuduga."
"Tenang saja, luka seperti itu paling semingggu langsung sembuh." ucap Jesvari tidak terlihat seperti akan membantu Yudhis sedikitpun. Dia lalu mengamati krisan raksasa dengan saksama. "Kenapa kamu membuat krisan sebesar itu?"
"He he he. Keren, bukan? Jadi iri, bukan?"
"Iya, sih... sedikit. Tapi serius, kenapa harus sebesar itu?"
"Menurutmu?"
"Hmm... kalau sebesar itu sih buat pamer!"
"Kurang lebih seperti itu."
"Wah, Sanshuta. Aku gak menyangka ternyata kamu seorang eksibisionis."
"Itu bukan perbandingan yang tepat, sebenarnya."
"Hmmm... kamu tahu kan kalau setiap tengah malam seseorang dari pihak Keraton Neraka Krisan akan memeriksa bunga krisan kita?"
"Aku bisa menebak seseorang akan datang memeriksa jumlah krisan yang berhasil pendosa tanam meski aku tak tahu itu dilakukan tengah malam." ucap Yudhis menerangkan. "Tapi, memang itu jadi tujuanku sejak awal."
"Maksudmu?"
"Untuk bisa mempertahankan hidupku, aku harus tahu sistem di Neraka. Di sini, meski banyak pendosa sudah lama tinggal tapi aku bisa yakin tidak banyak dari mereka yang tahu seluk-beluk Neraka. Itu sebabnya aku sedang memancing keluar seseorang yang tahu seluk-beluk Neraka Krisan."
"Maksudmu, Tuhan?"
"Tuhan memang tahu segalanya. Tapi memang ada metode untuk berbicara dengan Tuhan?"
"Dengan doa?"
"Ah, itu benar. Tapi bukan itu maksudku. Seseorang yang ingin kutemui adalah Ratu yang menguasai tempat ini. Ratu Neraka Krisan."
Yudhis masih dalam penjelasannya saat tiba-tiba dokar tak berkuda mendarat tak jauh dari tempatnya berdiri. Dokar itu memiliki kabin yang tertutup dengan pintu belakang yang bisa dibuka-tutup. Catnya berwarna putih dengan ornamen-ornamen dari emas. Dokar itu dibawa oleh bangsa setan. Tidak terlihat namun bisa dirasakan. Tidak bersuara namun bisa didengarkan. Suara setan meminta Yudhis mengikuti mereka untuk dibawa ke Keraton Neraka Krisan. Juga, tak ketinggalan krisan raksasa yang untuk pertama kalinya berhasil menerbitkan subuh di Neraka Krisan.
Yudhis masuk ke dalam dokar setelah berpamitan kepada Jesvari yang terlihat sangat iri padanya. Mukanya cemberut seperti hamster menyimpan biji ek di kedua pipinya yang menggembung. Dokar terbang dengan halusnya tanpa sedikitpun memercikkan suara.
*
Sebelum Yudhis sampai di bagian Keraton Neraka Krisan, terlebih dahulu para setan membawanya ke Panggenan. Di Panggenan itu Yudhis dimandikan, dibersihkan, diberi wewangian, dan diberi pakaian yang layak. Untuk bagian terakhir Yudhis hanya dipakaikan jarit yang lebih baru dengan krisan-krisan kecil yang diselipkan di antara lipatan jarit. Dia masih bertelanjang kaki dan atas permintaan Meriyati dibiarkan bertelanjang dada. Tidak ada yang istimewa dengan tubuh Yudhis, hanya badan sedikit kurus yang tidak kekar sama sekali. Meriyati melakukannya hanya karena soal selera saja. Sementara itu, luka di lengannya yang menganga memperlihatkan daging hancur-gembur ditutup dengan lilitan kain batik.
Sekiranya 10 menit Yudhis selesai dipersiapkan, para setan lalu menggiringnya dari Panggenan menuju Keraton Krisan. Di belakangnya seperti biasa beriringan para setan yang membawa jamuan serta tak lupa sebuah krisan raksasa. Iring-iringan berjalan melewati jalan besar yang memisah Panggenan menjadi 2 bagian: sisi kanan jalan dan sisi kiri jalan. Kemudian mereka berjalan menyisiri Alun-Alun Maraveksa, tidak menapaki alun-alun melainkan berjalan di jalan kecil yang mengitarinya. Sesampainya di bagian ruang tengah keraton, para setan kemudian meletakkan krisan raksasa di meja panjang bersanding dengan segala macam jamuan sementara Yudhis duduk di lantai dengan bertumpu pada kedua kakinya.
Meriyati membuat gestur yang membuat para setan menghilang seperti abu.
Dia lalu mengamati krisan raksasa milik Yudhis. Dielusnya kelopak krisan dengan lembut seperti sosok ibu mengelus anaknya yang baru lahir. Terasa tebal dan kokoh. Meriyati sangat terkesima dengan ukuran bunga krisan tersebut, namun dia tahan sebisa mungkin agar tak sampai berteriak berjingkrak-jingkrak karena kegirangan.
"Nama. Siapa namamu?"
"Na... nama saya Yudhistira Sanshuta." ucap Yudhis dengan nada terbata-bata persis anak SD memperkenalkan diri di depan kelas.
"Kamu yang hampir dimasukkan ke Neraka Anthirin itu kan?"
"Itu benar, mbak. Eh, maksud saya... Ehm..."
"Nyonya Meriyati. Panggil saja dengan Nyonya Meriyati."
"Baik, Nyonya. Maksud saya, Nyonya Meriyati."
Meriyati sedikit bergetar kegirangan saat Yudhis memanggilnya dengan sebutan "nyonya".
"Ini..." tunjuk Meriyati pada krisan raksasa. "Bisa kau jelaskan apa ini?"
"Itu bunga krisan raksasa, Nyonya. Saya menanamnya beberapa saat lalu di luar sana. Di luar sana saya bertemu kawan yang banyak membantu dasar-dasar cara menanam krisan. Kemudian dari situ saya kembangkan untuk membuat krisan raksasa. Kurang lebihnya seperti itu, Nyonya."
"Hmm... jadi punyamu lebih besar dari yang lainnya?" Meriyati bertanya dengan penekanan pada setiap kata-katanya.
"Benar, nyonya."
"Apanya tadi?"
"Punya saya lebih besar dari yang lainnya." Yudhis tak bisa mengelak perasaan bahwa Meriyati sengaja membuatnya berkata demikian.
Meriyati menyelinapkan tangannya ke bawah meja untuk mematikan tape recorder.
"Jadi..." ucap Meriyati mencoba mengalihkan topik. "Apa tujuanmu membuat krisan raksasa ini?"
"Ah, itu. Saya berniat memberikannya pada Nyonya."
"Ini untukku?"
"Benar, Nyonya."
"Kamu enggak dapat konpemsasi apapun dari ini lho."
"Tidak, Nyonya. Saya tidak mengharapkan apapun dari ini, sungguh!"
"Ini benar-benar untukku? Maksudku, ini bukanlah krisan yang seperti biasanya. Ini krisan raksasa! Bahkan untuk pertama kalinya subuh terbit di langit Neraka Krisan menyambut kelahirannya. Kamu yakin memberikan sesuatu sehebat ini untukku secara cuma-cuma?"
"Untuk Nyonya, apapun."
"OK. OK. Kamu dapatkan perhatianku. Sekarang kamu boleh minta satu permintaan apa saja."
"Tidak, Nyonya. Perhatian Nyonya sudah lebih dari cukup bagi saya."
"Tidak apa-apa. Jangan sungkan. Lagipula dari awal ini rencanamu kan?"
Yudhistira yang sedari awal percakapan menundukkan kepala berusaha sesopan mungkin kini mulai mengangkat kepalanya. Dia berusaha sebisa mungkin memasang wajah polos tak berdosa, namun tak berhasil sama sekali. Wajahnya menyeringai penuh kemenangan.
"He he he. Ketahuan, ya?"
"Kamu pikir aku jadi Ratu Neraka Krisan tanpa tahu boroknya para pendosa di dalamnya?"
"Itu benar juga. Sejak kapan kau tahu?" Yudhis mulai mengubah nada bicaranya seperti semula. Dia bahkan sudah tak lagi duduk bersimpuh pada kedua kaki, melainkan duduk bersila dengan kaki yang merenggang lebar-lebar.
"Sejak kamu masih di dalam kandungan."
"Wah!"
"Jadi, apa tujuanmu membuat krisan raksasa? Tunggu, biar aku menebak, itu agar kamu bisa bertemu denganku bukan?"
"Itu benar."
"Eh? Beneran? Kamu mau bertemu denganku?" Meriyati sedikit kaget saat tebakannya benar.
Yudhis lalu berdiri mendekati Meriyati yang terduduk di kursi di balik meja hidang. Dia membungkukkan badannya dengan satu siku sebagai tumpuan hingga wajah keduanya begitu dekat saling berhadapan. Yudhis dapat merasakan hembusan nafas Meriyati yang menerpa wajahnya hangat. Dia lalu mengambil sebuah apel, menggigitnya sedikit, lalu mengunyahnya pelan membiarkan Meriyati memperhatikannya dengan seksama. Dia kemudian berkata, "Mari kita buat kesepakatan."
Meriyati memejamkan matanya lembut. Lalu dibukanya perlahan sambil berkata, "Kamu... harus berpose begitu dulu ya sebelum ngomong?"
"Iya. Kurasa aku sedikit lebih ganteng kalau berpose seperti ini."
"Termasuk kata-kata yang terlalu formal itu?"
"Kalau ini karena kebiasaan di kantor."
"Oh...."
"Jadi?" tanya Yudhis sembari mengganti posisi sedikit menungging ke posisi berdiri menggunakan dengkul dengan kedua tangan sedekap manis di atas meja. "Mau dengar kesepakatannya lebih dulu?"
"Boleh."
"Begini, ini bukan kesepakatan yang terlalu menguntungkan bagiku jadi kuharap kau bisa menyetujuinya. Ini tentang krisan raksasa itu. Kau tahu betapa cantiknya dia bukan? Begitu cantik sampai membuat krisan lain iri sampai layu. Aku bisa memberikan krisan raksasa seperti ini kepadamu setiap hari. Untuk setiap krisan raksasa yang kuberikan padamu, aku akan menanyakan satu pertanyaan."
"Dan pertanyaan seperti apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Entahlah, bisa seperti kapan ulang tahunmu, apa makanan favoritmu, bagaimana tipe pria idaman menurutmu, tempat ideal berbulan madu, atau pertanyaan remeh-temeh yang tidak ada hubungannya sama sekali seperti bagaimana cara manusia yang masih hidup bisa tersasar sampai Akhirat. Hanya pertanyaan-pertanyaan kecil semacam itu kupikir tidak terlalu membebanimu."
"Kamu ini... enggak pintar berbohong, ya?"
"Mana bisa aku berbohong pada wajah semanis milikmu."
"Terima kasih." ungkap Meriyati sembari menyenderkan tubuhnya pada kursi. "Hmm... sepertinya bukan kesepakatan yang buruk."
"Jadi kau terima kesepakatan itu?"
"Enggak masalah buatku." jawab Meriyati enteng. "Jadi, pertanyaan mana yang ingin dijawab dulu? Ulang tahun? Tipe pria idaman? Biarpun aku tahu mana yang ingin kamu tanyakan dulu, sih."
"Kalau begitu jadi lebih mudah."
"Soal arwah manusia yang bisa tersasar sampai ke Akhirat, aku enggak tahu kenapa kamu bersikeras menantang keputusan pengadilan tapi biar kuberitahu satu hal. Enggak ada manusia manapun yang bisa melangkah lebih jauh dari Samudra Sesal. Asal kamu tahu, hanya arwah yang bisa dilarung ke Samudra Sesal. Tentu kamu sadar kan kalau semua yang berasal dari Dunia Makhluk Hidup berubah menjadi buih saat terkena air dari Samudra Sesal kan?"
"Lalu, apa ada jalan bagi manusia yang masih hidup untuk sampai di Samudra Sesal?"
"Hmm... sebenarnya sangat sulit bagi manusia yang masih hidup untuk bisa sampai ke Samudra Sesal. Hanya arwah yang sudah dicabut dari raganya saja yang bisa menaiki Bus Pengantar Arwah. Lagipula sedari awal manusia tidak bisa berinteraksi dengan apapun dari Dunia Akhirat sebelum mereka menjadi arwah. Bahkan indigo sekalipun. Kecuali... Ah, tunggu. Barusan itu dua pertanyaan, kan?"
"He he he."
"Kamu gak boleh begitu, Yudhis." ucap Meriyati sambil men-toel pipi Yudhis gemas.
"Tapi boleh lho dilanjutkan bagian setelah 'kecuali' tadi."
"Enggak mau."
"Ayolah... sudah kepalang tanggung!"
"Kalau mau kelanjutannya harus kirim krisan raksasa setiap hari."
"Hhh... baiklah kalau begitu. Oh ya, ini mungkin di luar topik tapi apakah Meriyati nama aslimu?"
"Iya. Memang kenapa?"
"Tidak... hanya saja aku pernah berkenalan dengan seseorang yang memperkenalkan namanya persis seperti caramu memperkenalkan diri. Aku jadi sedikit, kau tahu, bernostalgia."
"Namaku memang Meriyati."
"Meriyati saja?"
"Meriyati saja."
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top