6. Krisan! Krisan!
Kereta Krisan membawa Meriyati yang baru saja selesai bertugas menjadi juri Sidang Benih Kebajikan menuju kediamannya di Keraton Krisan. Dia kemudian membuat gestur memerintahkan setan pembawa Kereta Krisan pergi. Dan dalam sekali ayunan tangan, Kereta Krisan begitu saja menghilang seperti abu kering tertiup angin.
Meriyati kemudian berjalan menuju bagian utama keraton. Secara umum, kompleks Keraton Krisan terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah Keraton Krisan, yakni bangunan berbentuk Joglo terbuka tempat Ratu Neraka Krisan dan Bathuratu Neraka Krisan tinggal. Dinding bangunannya terbuat dari kayu jati ribuan tahun yang sangat tebal, beralaskan batu pualam putih, dan tratag berbentuk trapesium terbuat dari kayu sengon. Di bagian belakang terdapat Taman Sari yang digunakan sebagai tempat pemandian. Bagian kedua adalah Alun-Alun Maraveksa. Alun-alun Maraveksa adalah bagian penting dari setiap Neraka. Di sini, pendosa yang telah selesai menyelesaikan masa hukuman mendapatkan rajahan mandala berbentuk krisan di punggungnya. Alun-alun ini berbentuk hamparan pasir putih dari serpihan tengkorak pendosa. Letaknya tepat di halaman Keraton Krisan. Bagian ketiga adalah Panggenan Neraka Krisan, yaitu tempat para setan yang bertugas membantu urusan domestik Keraton Krisan tinggal.
Para setan menyambut kedatangan Meriyati di jalan menuju Keraton Krisan. Mereka membawakan barang-barang mililk Meriyati. Di belakangnya, berjalan beriringan para setan yang masing-masing membawa tampah berisikan berbagai macam makanan gunung maupun lautan. Sangat mewah, karena mau bagaimanapun Keraton Neraka adalah ujung jarum kemewahan Surga.
Meriyati kemudian sampai di ruang utama bangunan keraton. Para setan yang mengikutinya lalu menaruh tampah berisi makanan di meja panjang. Lagi-lagi Meriyati membuat gestur yang membuat para setan hilang seperti abu. Saat dirasa sudah tidak ada yang mengikuti, Meriyati langsung berlari menuju suatu ruangan. Dia tidak menghiraukan jarit yang membelit pinggangnya. Pun dengan rambut yang berantakan tertabrak angin atau aksesori krisan putih di bajunya yang rontok berguguran. Tujuannya satu, mengecek keamanan ruang kecil di belakang Taman Sari.
Demi melihat pintu ruangan yang terbuat dari jati tebal tidak terlihat ada tanda dibuka paksa, Meriyati sedikit lega. Diambilnya kunci dari balik lipatan jarit. Empat buah kunci untuk empat lapis pintu ruangan. Sepintu-dua pintu, keempat pintu terbuka. Menampakan sebuah ruangan yang sangat besar, kurang lebih selebar Sungai Bengawan. Tadinya Meriyati merasa lega koleksi ribuan foto, benda bekas pakai, dan rambut rontok para pendosa pria tampan di Neraka Krisan masih aman. Dia mendekati dinding tempat foto-foto tersebut dipajang. Dia merasa aneh dengan aura foto yang tiba-tiba menjadi tidak sekeren biasanya. Saat dilihat dari jarak yang lebih dekat semakin nyata permasalahannya.
Koleksi ribuan foto miliknya sudah diganti dengan foto Tahta dalam beragam pose: duduk, berdiri, tiduran, berendam, jongkok, atau duduk lagi.
"DASAR KENTUUUUUT!"
*
"Wah, itu tadi apa?" Yudhis ketakutan saat mendengar suara teriakan yang menggema seantero Neraka Krisan.
Meski ada setidaknya ada 10 orang di radius 50 meter sekitarnya, tak satupun yang menjawab.
Yudhis tak banyak berharap. Dia sedang di Neraka Krisan, tempat dosa dengki mendapatkan hukuman. Untuknya berharap pada bantuan pendosa lain sekedar menjawab pertanyaan, tak terbersit barang sedikitpun.
"Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan?" ucap Yudhis beretorika.
Di hadapannya hanya ada sepetak tanah seukuran 1 m x 1 m yang dibatasi dengan tulang betis. Dia menggunakan otaknya yang memiliki kapasitas imajinasi melebihi K. K. Dheeraj untuk berspekulasi macam-macam. Tidak berhasil. Yudhis menyerah dalam hitungan detik ke-5. Dia kemudian mengamati sekitar. Hanya ada gurun berpasir putih dari kapur. Tidak ada air sedikitpun, namun tidak terasa panas karena langitya selalu malam. Hanya dingin semeribit yang membuat meriyang. Apalagi bagi Yudhis yang bertelanjang dada dengan hanya memakai jarit untuk menutup pinggang ke bawah.
Yudhis menghampiri seorang gadis yang berdiri tak jauh darinya. Rambutnya dicepol berantakan. Matanya lesu seperti selalu lembur setiap malam. Jangan tanya soal penampilan, karena tubuhnya terlampau kurus dengan kulit kering yang sudah tak lagi elastis. Benar-benar mengerikan. Biar begitu, dia terlihat seperti seumuran dengan Yudhis. Itu sebab, mungkin, tidak terlalu banyak gap jika harus memulai percakapan.
"Permisi, mbak." ucap Yudhis masih berusaha sesopan mungkin.
Gadis itu tak menjawab. Pun menghiraukan. Sebab tak menjawab, Yudhis jadi berpikir tidak masalah bagi si gadis jika dia berada di sampingnya. Yudhis kemudian memperhatikan kelakuan si gadis. Gadis itu mencakar-cakar petak tanah dengan kukunya yang hitam tak terawat. Saat diperhatikan, tanah di petak milik gadis lebih hitam-gelap daripada pasir di samping atau petak milik Yudhis. Gadis itu kemudian membuat sebuah parit kecil di keempat sisinya, dan beberapa baris di tengah.
"Ah, aku tahu! Kamu sedang bercocok tanam kan?"
Gadis itu hanya memandang lesu ke arah Yudhis. Tidak ada kedamaian dalam cara gadis itu memandang. Kornea matanya sangat kusam, nyaris terlihat seperti buta. Pandangannya nanar. Sesaat saja gadis itu memandang Yudhis sampai akhirnya dia melanjutkan kegiatannya. Mengambil biji kering yang sudah ia kumpulkan di atas serbet gombal.
"Menanam apa, ya? Kalau boleh tahu?"
"Bisa enggak kamu jangan ganggu aku?" Gadis itu tak terlihat memelas sama sekali. Namun matanya yang keruh membuat Yudhis menjadi iba, membuatnya diam. Yudhis sangat lemah dengan gadis renta.
Gadis itu lalu melanjutkan kegiatannya, menanam 100 biji bunga krisan di tanah kapur yang menghitam. Dia melubangi tanah dengan ujung kelingking, memasukan satu biji, menaruh daging busuk di atasnya, lalu ditutup dengan tanah. Begitu terus hingga 100 biji bunga krisan habis. Kemudian, apa yang gadis itu lakukan membuat dahi Yudhis mengernyit. Dia mengiris pergelangan tangannya dengan tulang belikat yang sudah dilancipkan tepiannya. Biasanya, apabila pembuluh arteri yang berada di pergelangan tangan terkenan goresan maka darah yang mengalir di dalamnya muncrat berleleran. Hanya saja, kali itu berbeda. Nyata sekali pembuluh arteri gadis itu sudah terputus meski darah yang keluar hanya satu-satu. Pun darah yang keluar berwarna hitam seperti air comberan, tidak segar seperti saat berdonor danar. Dalam tahap itulah Yudhis sadar jika tanah gelap di petak milik si gadis lantaran siraman darah yang sudah hitam terkena udara. Darah yang tidak banyak keluar itu kemudian digunakan untuk menyiram biji krisan, empat tetes darah untuk setiap gundukan.
Belum sampai setengah krisan yang tersiram, gadis itu limbung kehabisan darah.
"Kau baik-baik saja?" ujar Yudhis menghampiri si gadis yang bertelungkup di atas pasir.
Gadis itu tidak memiliki cukup nutrisi untuk menjawab pertanyaan Yudhis. Begitu tahu si gadis yang tak berdaya, kontan Yudhis mengambil pisau belikat lalu diararahkannya ke pergelangan tangan.
"Aku hanya perlu menyirami mereka dengan darahku, kan? Benar, kan?"
Gadis itu hanya mengangguk lemah.
Pisau belikat diarahkan ke urat nadi di pergelangan tangannya. Saat permukaan yang tajam menempel di permukaan kulit, Yudhis dapat dengan jelas merasakan desiran darah yang mengalir begitu deras. Nadinya berdenyut hebat. Yudhis jadi sedikit bimbang. Pertemuannya dengan Seruni dan Odel membuatnya paham dengan satu hal tentang dirinya: dia sangat lemah dengan wanita.
Seruni dengan mudahnya mengklaim pernikahan yang membuatnya nyaris jatuh ke Neraka Anthirin. Odel menipunya dengan serbuk neraka yang membuatnya melarung ke Samudera Sesal tanpa perlawanan. Meski ada sedikit percikan kebahagiaan dalam kedua momen tersebut, tetap saja ada sesal. Maka dilihatnya secara bergantian antara si gadis yang tengkurap dengan pergelangan tangannya yang mengucur darah segar.
Yudhis berada dalam keputusan untuk membantu si gadis.
Tidak sulit memotong urat nadi di pergelangan tangannya. Tajamnya pisau belikat membuat nadi langsung robek hanya dalam satu sentuhan. Darahnya muncrat tanpa aturan. Dengan susah payah kemudian Yudhis mengarahkan aliran darahnya ke atas biji krisan yang belum tersiram darah. Aliran darahnya terlalu deras membuat Yudhis payah. Dia menyirami krisan dengan porsi darah yang sembarangan.
"Bukan begitu!" teriak si gadis. Gadis itu menerubuk Yudhis hingga jatuh tak seberapa jauh dari petak tanah. Dia meremas pergelangan tangan Yudhis memaksa aliran darah berhenti keluar. "Bukan begitu."
Tanpa sebab muasal, begitu saja si gadis menempelkan bibirnya yang kering ke pergelangan tangan Yudhis. Dia langsung menghisap darah dari pergelangan tangannya. Dihisap begitu cepat membuat dingin menyeruak ke badan Yudhis. Seakan roh yang ada di dalam tubuhnya ditarik begitu saja. Biar begitu si gadis tidak peduli sama sekali dengan kondisi Yudhis yang kepayahan.
Selesai dengan hisapannya, si gadis lalu berdiri menuju petak tanah tempat krisan ditanam. Rambut yang mencuat menutupi wajah dirapikan ke belakang telinga. Gadis itu lalu sedikit memoncongkan bibir membuat sudut kecil untuk mengeluarkan darah tetes demi tetes. Dia menyiram krisan dengan sangat teliti hingga semua krisan mendapatkan jatahnya dengan sama.
"Menanam krisan neraka harus hati-hati." ucap gadis itu sembari mengelap noda darah di mulut. "Semua harus diperlakukan secara adil. Tadi saat kamu menyirami krisan dengan sembarangan, banyak krisan mendapatkan jatah yang berbeda-beda. Itu tidak baik, asal kamu tahu. Krisan adalah bunga yang penuh kedengkian. Jika tumbuh rasa dengki, mereka tidak akan mekar."
Gadis itu lalu duduk bersila di dekat petak tanah miliknya.
"Orang baru?"
"Ah, iya. Kita belum berkenalan, ya? Namaku Yudhistira. Yudhistira Sanshuta."
"OK. Aku panggil kamu dengan Sanshuta."
"Biasanya dipanggil Yudhistira atau Yudhis saja, sih." ucap Yudhis memberikan alternatif nama panggilan yang lebih jamak digunakan. Gadis itu hanya diam tak menjawab. "Ta... tapi kalau dipanggil Sanshuta juga tak jadi masalah."
"Berarti sudah fixed."
Yudhis hanya dapat mengiyakan si gadis. "Kalau...."
"Namaku Jesvari."
"Oh. OK, Jesvari. Aku mau tanya apa yang sebenarnya kau lakukan dengan petak tanah milikmu itu."
"Ini?" ucap Jesvari sembari menunjuk petak tanahnya dengan dagu. "Kenapa aku harus jawab pertanyaanmu?"
"Oi oi oi, kau sudah lupa ya kalau aku baru saja membantumu bercocok tanam?"
"Aku tidak minta bantuanmu. Lagipula kalau kamu enggak ada sekalipun, aku masih bisa melanjutkan menanam tanpa darah darimu."
"Oh, ya? Memang dari tubuh kering kerontang milikmu kau masih punya darah yang tersisa, hah?"
"Mungkin kamu lupa, tapi aku ini wanita."
"Memang apa hubungan antara wanita dan persediaan darah?"
"Enggak ada." jawab Jesvari ketus. "Balik ke pertanyaan awal. Kamu masih mau tahu apa yang tadi aku lakukan?"
"Mau! Mau!"
"Kalau begitu beri aku semangkuk darah lagi."
"Oi oi oi, kamu sedang memanfaatkanku ya?"
"Benar." dijawab Jesvari dengan muka polos tak sedikitpun merasa bersalah.
Yudhis menghela napasnya pendek. Dia baru tersadar dengan satu hal, dia sangat lemah dengan gadis renta yang mudah berterus terang.
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top