5. Tahta Ashuta

Tahta mempermainkan kuku jarinya untuk membunuh bosan. Duduk bersama ketiga juri lain: Meriyati, Amok, dan Nestapa tak banyak membantu mengurangi kebosanannya. Sudah jadi lumrah jika juri persidangan yang diambil dari para raja Neraka maupun Surga tidak akrab satu sama lain. Maka dilihatnya Yudhis di tengah ruang pengadilan yang terlihat tidak nyaman selain karena menjadi pusat perhatian juga karena linglung dengan keadaan. Yudhis terlihat kebingungan seakan tidak mendapat instruksi dari malaikat saat nyawanya dicabut.

Seakan masih hidup saja.

"Hei, Meriyati." Tahta Ashuta menyikut Meriyati yang duduk di sampingnya. Meriyati adalah salah satu dari empat juri yang hadir dalam Sidang Benih Kebajikan saat itu. Dia adalah Ratu Neraka Krisan tempat dosa dengki mendapatkan hukuman.

Meriyati bergeming tak mengacuhkan sikutan Tahta.

Tahta membentuk tangannya seperti terompet lalu ditaruh di depan mulut. Dia mengarahkan mulutnya tepat di kuping kiri Meriyati. "Tok tok tok. Ada orang di dalam?"

Meriyati membalasnya dengan pukulan di wajah Tahta menggunakan punggung telapak tangan. Itu membuat Tahta memegangi wajahnya karena kesakitan. Biar begitu, dia tertawa cengengesan karena berhasil membuat Meriyati marah.

"Apaan sih, kentut?"

"Enggak apa-apa. Iseng saja." Meriyati jadi semakin sebal. Dia lalu melanjutkan kegiatannya memilin kelopak bunga krisan di pangkuannya menjadi sebuah mahkota. "Jangan marah dong, Meriyati. Entar jadi jelek kayak Amok lho."

Tahta menyindir juri lainnya: Amok Sendashuta, Raja Neraka Menik tempat dosa murka mendapatkan hukuman. Amok yang sudah terbiasa dengan kelakuan Tahta hanya mendiamkannya. Pun demikian, wajah cemberut yang tak pernah lepas darinya selalu membuat Tahta tak pernah puas mengerjainya.

"Tuh kan... jelek banget." ucap Tahta pada Meriyati.

"Kentut berisik, deh!"

"Iya deh. Iya deh. Maaf." ucap Tahta sembari mengangkat kedua tangan. Tangannya kemudian bersedekap, dengan salah satunya digunakan sebagai penopang dagu. Dipandanginya Yudhis di depan meja persidangan yang terlihat syok berat mendengar putusan pengadilan saat dia dijatuhkan ke Neraka. Lagi-lagi Tahta menyikut Meriyati yang dibalas dengan tatapan tajam penuh kebencian. "Hei, Meriyati. Menurutmu gimana sama itu anak?"

"Enggak ngerti."

Tahta kemudian men-toel pipi Meriyati. "Ayolah... kamu demen sama yang tipe-tipe seperti itu kan? Yang masih muda penuh semangat, ganteng, dan pintar omongan."

"Enggak juga. Aku enggak pernah bilang begitu."

Tahta hanya dapat membalasnya dengan senyuman menyeringai yang menyebalkan. "Hmph! Memangnya kamu pikir aku enggak tahu soal rahasiamu? Itu lho, soal suatu ruangan di Keraton Neraka Krisan yang dindingnya penuh foto cowok-cowok ganteng yang pernah menjalani hukuman di Neraka Krisan. Itu sudah menjadi hobimu, kan?"

"A... Aku... enggak ngerti sama omonganmu." jawab Meriyati dengan tergagap. Tangannya yang sedang memilin kelopak bungan krisan pun ikutan bergetar hebat karena rahasianya terbongkar.

"Masa?" timpal Tahta dengan kepala yang dimiringkan. Seringainya kini jauh lebih menyebalkan. "Padahal kupikir ruangan itu yang pakai kamu, lho! Habis, kan hanya raja dan bathuraraja saja yang bisa memasuki keraton."

Meriyati langsung berdiri dengan cepat. Bunga krisan yang semula ada di pangkuannya kini berhamburan terjatuh ke lantai. Dia lalu berkata dengan sedikit berteriak. "Aku pulang!"

Tahta menahan kepergian Meriyati dengan menarik salah satu tangannya. Memaksanya duduk ke tempat semula.

"Sebenarnya enggak jadi masalah mau apapun yang kamu lakukan pada pendosa di Neraka Krisan. Tapi itu tadi, selama mereka pendosa di Neraka Krisan." Tahta memberikan penekanan di setiap katanya. Diliriknya Meriyati yang menggigiti bagian bawah bibirnya dengan gusar. "Tidak ada jawaban, huh?"

Mereka berdua lalu mengalihkan perhatian kembali ke jalannya persidangan.

Hakim Jalaran Manepis masih berkutat dengan orang yang sama, Yudhistira Sanshuta. Benih Hidup yang diambil dari lubang pusarnya menumbuhkan kesemua 7 bunga neraka. Hakim Jalaran lalu memperhatikan besar kecilnya bunga yang tumbuh. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, mengingat besar-kecilnya kuntum bunga neraka digunakan sebagai patokan lama-sebentarnya seseorang menjalani hukuman.

"Yudhistira Sanshuta, atas perbuatan baik dan buruk yang dia lakukan semasa di dunia diganjar dengan hukuman 160 hari di Neraka Menik , 1200 hari di Neraka Honje , 680 hari di Neraka Edelweiss, 6 hari di Neraka Padma, 18 hari di Neraka Larat, 104 hari di Neraka Krisan, dan 192 hari di Neraka Cendana.Dia diharuskan menjalani hukuman yang diberikan oleh masing-masing Neraka sebelum bisa dinaikkan ke Surga Kasturi."

"Keberatan!" teriak Yudhis sambil mengacungkan sebelah tangannya ke udara, mengikuti gerakan dalam komik persidangan yang pernah ia baca. Yudhis lalu berujar. "Begini, aku berterima kasih kepada bapak yang membatalkan hukumanku di Neraka Anthirin. Aku pun belum mengatakannya, tapi sebenarnya aku ini masih hidup!"

Hening dengan seketika. Tidak ada merespon, baik hakim dan juri maupun penonton di sisi kanan-kiri.

"Mati karena kecelakaan memang sering membuat manusia lupa. Itu mungkin karena terjadi begitu saja tanpa sempat manusia mempersiapkan segalanya. Namun percayalah,selama kamu sudah berada di titik di mana amal baik dan burukmu ditinggal, yakni di Sidang Benih Kebajikan ini, aku bisa menjamin kalau kamu sudah mati."

"Tidak. Tidak. Aku masih hidup. Saat aku di Pelabuhan Neraka memang sedikit linglung karena mabuk sehingga saat itu terjatuh dalam mode sendu yang membuatku percaya jika sudah mati. Setengahnya karena tidak ingin Odel terlibat masalah, sih. Tapi sungguh, aku tidak benar-benar ingat kalau aku sudah mati."

"Hanya karena kamu tidak ingat mati, bukan berarti kamu belum mati."

"Ta... tapi..."

"Tidak ada tapi-tapi lagi. Ini bukan kali pertama manusia menyangkal kematiannya. Asal kamu tahu, nak. Orang yang menyangkal kematiannya hanya akan membuat hukuman di Neraka menjadi lebih sulit."

"Tapi tidak ada bukti otentik kalau aku sudah mati!"

Hakim jalaran lalu mengarahkan telunjuknya ke Yudhis, diarahkan pada lubang pusarnya. Dia lalu berkata. "Benih Hidup milikmu sendiri yang membuktikan jika kamu sudah sepantasnya berada di Neraka."

Yudhis menundukkan pandangannya ke bawah. Pada genangan darah semata kaki yang menumbuhkan bunga-bunga Neraka. Hatinya kelu. Pikirannya kalut. Yudhis tidak pernah berpikir kematiannya akan segera tiba-tiba. Dia merasa masih muda. Masih banyak waktu untuk banyak hal. Untuknya mati muda meninggalkan banyak hal di dunia, nyaris tak pernah terbersit barang sekilas.

Dan dengan diketuknya palu, berakhir pula kesempatan Yudhis mempertahankan argumennya. Dia dijatuhkan ke Neraka. Di Neraka tempat semua dosa dibayar.

*

Yudhis berjalan terseok-seok di lorong menuju Neraka. Lorong itu cukup besar, setidaknya dua gajah afrika bisa berjalan beriringan di lorong tersebut. Biar demikian, jangan pernah sekalipun berpikir untuk mendekati dinding lorong di sekitarnya. Dinding itu terbuat dari pahatan batu obsidian yang begitu hitam seperti dasar lautan. Menyentuhnya hanya akan membuatmu merasakan pedihnya pendosa yang disiksa di balik dinding.

Neraka pertama tempatnya menjalani hukuman adalah Neraka Krisan, neraka bagi dosa dengki. Dia berjalan dengan lesu. Perjalanan selalu membuatnya lesu, tidak dengan jalan ke neraka tidak pula dengan jalan saat bekerja.

Saat itu, tiba-tiba saja Yudhis merasa seperti dikuntit.

Perasaan itu tiba-tiba saja datang menghampiri. Datang begitu saja mengisi retakan dalam hati. Perasaan kalut menguasainya. Diliriknya sekitar dengan perlahan. Lorong panjang yang sedikit melengkung membuatnya dapat mendengar suara Hakim Jalaran di Sidang Benih Kebajikan. Suaranya bergema dan saling berterubukan membuatnya seperti gemuruh yang bertalu-talu. Gemuruh yang sangat pilu. Yudhistira semakin takut. Dia merapatkan badannya ke dinding, tidak sampai benar-benar menyentuh permukaan, agar semua berada dalam jarak pandangnya.

"Yudhistira...." bisik suara tersebut tepat di telinga membuatnya terdengar parau.

Di sana ada Tahta yang berdiri menyenderkan punggungnya ke dinding di depan Neraka Krisan. Rambutnya yang berpijar terasa terlalu mencolok berada di lorong Neraka yang kusam legam. Pun dengan pedang di pinggangnya yang bersarung putih dengan ornamen dari emas.

"Heh? Kenapa kau ada di sana? Bukannya kau tadi ada di belakang Hakim Jalaran? Lagipula, jarakku berdiri dengan dinding Neraka Krisan sangat rapat jadi tidak mungkin kau bisa menyelinap begitu saja!" Yudhis yang tergagap tiba-tiba meracau tidak jelas.

"Kamu ingin tahu kenapa aku bisa tiba-tiba saja ada di sini?"

Yudhis mengaggukkan kepalanya keras-keras.

"Kalau begitu ikut aku ke Neraka Cendala lebih dulu."

"Tidak mau." tukas Yudhis seketika.

"Kamu lebih pilih mana, Neraka Krisan atau Neraka Cendana?"

"Tidak satupun. Itu sama seperti keluar dari mulut harimau lalu masuk ke dalam mulut buaya. Memangnya kau pikir aku sebodoh itu, hah? Kalaupun harus memilih, lebih baik langsung ke Surga Kasturi atau balik ke Dunia Makhluk Hidup saja sekalian."

Tahta kemudian memiringkan kepalanya ke atas dengan mata terpejam seperti sedang memikirkan sesuatu yang penting. Menggeleng-gelengkan kepala ke atas, bawah, dan samping dengan mata yang tak membuka barang sedetikpun.

"Soal Dunia Makhluk Hidup..." ucap Tahta angkat bicara. "... Hmmm bukan, maksudku soal Benih Hidup yang diambil dari pusarmu itu... bagaimana bentuknya?"

"Huh? Kenapa tiba-tiba mengalihkan topik? Aneh sekali."

"Aneh adalah efek samping dari keren." balas Tahta mengelak. "Jadi?"

Yudhis memutar bola matanya mengingat-ingat kejadian beberapa saat lalu. "Kalau tak salah, Benih Hidup milikku berbentuk seperti kuaci. Hanya saja bentuknya lancip di kedua ujungnya. Ah iya, kalau harus dibandingkan mungkin seperti kapsul vitamin."

"Warnanya?"

"Bening gelatin."

"Bercahaya enggak?"

"Iya. Masih sedikit berpendar."

Tahta meremas bahu Yudhis dengan kedua tangannya. "Kamu yakin Benih Hidup milikmu masih berpendar?"

"I... iya."

Tahta lalu melepaskan pegangannya sembari berbalik memunggungi Yudhis. "Itu aneh...."

"Bukankah katamu aneh adalah efek samping keren?"

"Tentu saja, tolol! Tapi begini, biar kuberitahu satu hal. Benih Hidup adalah benih yang selalu bersama manusia sejak mereka mengenal kehidupan. Ada satu hal yang membedakan Benih Hidup milik yang sudah mati dan milik yang masih hidup."

"Benih Hidup milik yang masih hidup berpendar."

"Heeeeehhhh??? Kenapa kamu bisa tahu?" teriak Tahta terkejut seperti karakter di manga shoujo 70-an.

"Kalau hanya seperti itu sih semua orang juga bisa menyimpulkan. Kau pasti berpikir aku sangat bodoh. "

" Heeeehhhh??? Kenapa kamu bisa tahu?"

Dia pasti berpikir aku ini idiot.

"Hmmm... jadi aku ini masih hidup?" tanya Yudhis tidak terlalu bersemangat.

"Kalau soal itu sih terserah kamu."

"Maksudnya?"

"Hidup dan mati bukan urusan Raja Neraka sepertiku. Asal kau tahu, para Raja Neraka juga tidak berbeda dengan kalian. Sama-sama arwah manusia yang berakhir di Neraka."

"Eh, benarkah? Aku baru tahu..." tukas Yudhis terkejut. "Hei, tunggu! Itu tidak menjawab pertanyaanku."

"He he he. Ketahuan, ya?" seringai Tahta terlihat menyebalkan. "Kalau menurutmu, kamu masih hidup atau sudah mati?"

"Kalau menurutku...."

"Tidak tidak. Kamu tidak perlu menjawabnya. Itu hanya pertanyaan pancingan karena mau bagaimanapun caramu menjawab, jawabannya akan sama."

"Oh... jadi, apa jawaban dari pertanyaanmu itu?"

"Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani."

"Buya Hamka?"

"Pramoedya Ananta Toer." tukas Tahta pelan.

Yudhis mengagguk pelan.

"Hidup dan mati adalah persoalan idealis. Jadi, jika kau berpikir masih hidup maka pertahankanlah hidupmu sampai benar-benar mati. Jika kau berpikir sudah mati, jangan terlalu lama meratapi yang ditinggalkan hidup."

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top