47. Yudhistira Terjatuh 4

Setiap Neraka dibatasi oleh dinding terbuat dari obsidian anti hancur yang menjulang tinggi. Setiap obsidian mengkotak-kotakan Neraka sesuai wilayah dosa masing-masing. Ini untuk menghindari kekacauan antar-Neraka. Rancangan sistem yang Jalaran Manepis ajukan pada masa awal pembangunan Akhirat ini diikuti oleh siapapun yang ada di dalamnya. Sudah jadi aturan tak tertulis bahwa wilayah yang dibagi oleh dinding obsidian itu menjadi wilayah khusus dimana Raja atau Ratu Neraka bebas melakukan apa saja, selama masih sesuai dengan angan Jalaran. Kontradiktif memang.

Hanya saja, pamor dinding obsidian ini kalah dengan ketenaran empat senjata Munmasthi. Empat senjata yang jika digabungkan dapat meluluh lantakkan Akhirat dan segala isinya ini memiliki kasta yang lebih tinggi daripada dinding hitam pembatas. Empat senjata yang langsung didapatkan dari Kalpataru bekerja tanpa kontradiksi. Pedang Taksaka, wujud asli jarum yang dapat menebas papaun, berarti ia dapat digunakan untuk menebas apapun. Bahkan dinding obsidian yang katanya anti hancur itu.

Saat dua tebasan Pedang Taksaka yang dilayangkan kepada Yudhis meleset, itu mendarat di dinding tebal pembatas antara Neraka dengan lorong di depannya. Dinding setebal 20 meter itu tembus. Harusnya bolong runtuh, namun ketebalan dinding malah membuatnya terlihat seperti lorong kecil.

"Hayooo, kamu bikin Neraka Padma jebol!" teriak Yudhis memprovokasi.

"Hush!" ucap Tahta mencegah onar. Dia lalu menyarungkan pedangnya. Berjalan ke arah dinding Neraka Padma yang bolong berbentuk nyaris bilah ketupat, tembus hingga ke bagian lorong di depannya. Tahta memegang bagian potongan pedang dengan dinding. Wajahnya memperlihatkan sesal. "Ah, ini karena kamu menghindari tebasanku sih!"

"Ini salahmu, Tahta. Kalau kamu tidak menabasku, dinding Neraka Padma tidak akan bolong."

"Justru itu. Kalau kamu tidak menghindar, dinding Neraka Padma akan baik-baik saja."

Keduanya menegangkan otot saling melemparkan tanggung jawab. Meski keduanya sama-sama salah, tetap tak ada yang mau legowo dengan sedikit berkorban demi orang lain. Yudhis tak mau mengalah karena sudah tak ada lagi waktu baginya untuk bermain-main di Neraka. Sementara Tahta tak mau mengalah karena takut kalau Jalaran akan mengomelinya habis-habisan.

"Ini karena kamu lari terus, Yudhis!" gerutu Tahta sambil memunguti serpihan obsidian. Dia lalu mengutip sebuah lirik lagu. "Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati atau berhenti berlari."

Yudhis diam mengamini perkataan Tahta karena lirik yang ia kutip berasal dari salah satu band favorit. Kemudian Yudhis membungkuk, membantu Tahta mengambil serpihan obsidian yang tersebar di sekitar bongkahan besar. Diambil sedikit demi sedikit seperti saat memungut serpihan bohlan yang pecah.

"Yudhis, mungkinkah kamu juga punya Lumpur Belacan? Bentuk asli dari terasi yang bisa menciptakan apapun itu..." ucap Tahta tak menghentikan gerakan memungutnya. Dengan masih fokus agar tak tercocok serpihan obsidian, dia lalu melanjutkan. "... kalau ada Lumpur Belacan, aku bisa menembel lubang menganga ini."

"Aku tak punya." jawab Yudhis singkat. Dia ingin mengakatakan bahwa Lumpur Belacan ada di tangan Harta Bangendit, namun ia urungkan.

"Ah, kalau begini Pak Tua Jalaran akan marah besar padaku!" teriak Tahta frustasi. Tangannya dipakai untuk menutupi wajah seakan ada bekas trauma yang nampak. Tahta terlihat menyedihkan. Yudhis yang melihatnya jadi terbit rasa prihatin. Meski dia juga tertawa sedikit melihat perangai Tahta yang seperti anak manja takut pada omelan orang tua.

"Makanya, Tahta. Jangan suka ganggu urusan orang lain!"

"Ini urusan semua pihak, lah!" teriak Tahta tak terima. Dia hendak memulai rentetan sumpah serapah, namun tiba-tiba tertahan. "Kenapa kamu berdiri jauh di sana, Yudhis?"

Yudhis saat ini berdiri di seberang dinding yang menganga. Kurang lebih 20 meter dari tempa Tahta membungkuk memunguti obsidian. Yudhis berdiri dari kejauhan seperti sedang menghindari sesuatu, membuat Tahta merasa risi.

"Kamu kenapa jauh di situ, Yudhis? Bukan karena aku bau kan?" tanya Tahta kehilangan kepercayaan dirinya.

"Bukan!" teriak Yudhis sambil mengambil 5 langkah lebih jauh.

"Kalau emang gitu kenapa kamu malah menjauh?" ucap Tahta mulai kesal. Dia lalu mengambil langkah lebar-lebar hendak menyusul Yudhis. Namun, langkahnya terhenti saat sepatunya terantuk genangan berkecipak. Genangan berwarna kuning bening seperti emas. Dari aroma manis yang menguap, Tahta bisa tahu jika genangan air yang keluar dari Neraka Padma adalah madu. Madu alami yang lengket itu mengalir dari lubang yang menjebol dinding Neraka Padma.

"Ah, gawat." ucap Tahta merutuk dirinya sendiri. Dia lalu memandangi Yudhis yang semakin menjauh. "Bantu aku, Yudhis! Awas kau ya kalau melarikan diri!"

Yudhis hanya tersenyum terkekeh sambil tangannya diangkat membuat gestur melambai seperti saat hendak berpisah. Maka, terbitlah kesal dalam benak Tahta. Dia hendak beranjak mengejar Yudhis saat tiba-tiba sebuah tangan menahannya. Tangannya dicengkeram seperti apel yang dijamah-jamah pembeli di pasar. Bukan hanya sebuah tangan, kini seluruh tubuh Tahta mulai digerayangi puluhan pasang tangan para pendosa Neraka Padma.

"Apa ini?!" teriak Tahta dirundung kepanikan.

Tubuh Tahta jadi perayaan. Tangannya dijamah, dadanya digerayang, kakinya diraba-raba oleh pendosa Neraka Padma yang kelaparan. Singkat kata, pergerakan tubuh Tahta terhenti oleh para pendosa yang memancarkan kelaparan. Seluruh bagian Neraka Padma adalah berbagai macam jenis minuman yang menggenang. Tidak ada makanan, hanya minuman lezat senikmat ujung jari surga. Maka, ketika tubuh Tahta terlihat oleh para pendosa saat itulah terbit lapar. Mereka tak lagi memandang Tahta sebagai manusia, hanya seonggok daging sebagai teman kudapan.

"Sialan kau, Yudhis! Ini semua sudah kau rencanakan saat memintaku menabus dengan Pedang Taksaka, hah?" ujar Tahta geram. Tangannya diayunkan untuk menghalau gigitan para pendosa. Ingin mencabut pedang, namun sulit dengan kondisi pendosa yang berkerumun.

Yudhis hanya terkekeh. Ikut hilang dalam gelap lorong Neraka.

*

Pada sebuah ruangan dengan dinding setinggi gedung 15 lantai, Yudhis menghentikan langkahnya. Dipandanginya pintu kayu tersebut dengan saksama. Dia lalu mendekat, mengetuk pintu dengan punggung tangan. Suara yang keluar dari pintu yang diketuk terdengar berat. Tidak nyaring seperti pada kayu yang kopong di bagian isinya.

"Kayunya bagus." ucap Yudhis seakan dia master dalam perkayuan.

Dari penjelasan Harta saat berada di bawah beringin tua, Yudhis tahu jika penjaga gerbang Mimbar Batas Neraka bernama Atithud telah tiada. Dia dibunuh Cemani, masih menurut Harta. Biasanya Atithud menjaga Mimbar Batas Neraka agar tak satupun yang tak berizin dapat memasukinya. Saat Yudhis melongok ke sekitar, memang tak ada siapapun yang terlihat menjaga.

Maka, dengan kekuatan yang tersisa setelah bertarung dengan Priya dan Tahta, didorongnya pintu mimbar. Ada cahaya yang menerobos demi pintu yang semakin terbuka. Yudhis tak membuka gerbang sepenuhnya. Dia tak kuasa, lantaran ukuran pintu yang juga maksimal. Maka, dibukalah hanya selebar bahu saja.

Terpampang pemadangan yang tak terlalu menakjubkan di mata Yudhis. Setelah memasuki enam Neraka dengan segala desain dan tata letak daerahnya yang fantastis, sepertinya Yudhis terlalu berekpektasi dengan Mimbar Batas Neraka. Di hadapannya hanya ada ruangan maha luas dengan bukit-bukit yang berjejeran, mengingatkannya pada bukit nan jauh tempat Teletubbies bermain-main. Kecuali rumput berwarna hijau yang tergantikan dengan rentetan bunga mengatup, tidak ada hal lain yang berbeda.

Masih menurut Harta, dia berkata jika terdapat Benih Hidup seseorang yang tersimpan dalam katupan bunga. Hal tersulit dalam Misi Kalpataru sebenarnya bukan pada cara memasuki Mimbar Batas Neraka yang dijaga Atithud, melainkan bagaimana caranya menemukan Benih Hidup tertentu di antara milyaran bunga yang membentang. Ini yang jadi alasan Cemani meminta Harta untuk menemaninya, meski pada akhirnya Harta melarikan diri juga.

"Cemani!" teriak Yudhis keras-keras.

Tidak ada jawaban. Hanya angin yang mengalir di tanah Mimbar Batas Neraka. Yudhis kemudian menyeret langkahnya mengelilingi perbukitan. Dipandanginya padang bunga membentang tempat Benih Hidup disimpan.

"Mustahil! Mimbar Batas Neraka terlalu besar. Aku tak mungkin dapat menemukannya." ucap Yudhis nyaris mengalah pada putus asa. Raut mukanya menandakan frustasi.

"Yudhistira." ucap suara yang begitu dekat dengan telinganya.

Yudhis menoleh, namun hanya ada sepi. Saat ia menengadahkan kepalanya, barulah terlihat Cemani yang duduk bertengger di atas kepala. Dia tersenyum, memperlihatkan senyum yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menguasai dunia.

"Kok bengong?" tanya Cemani.

"B-bukan apa-apa." jawab Yudhis gagu. Demi menyingkirkan kecurigaan di lalu bertanya, "Kenapa kamu tidak langsung muncul begitu aku sampai, Cemani?"

"Aku langsung muncul, kok. Langsung nongkrong di atas kepalamu begitu kamu masuk Mimbar Batas Neraka." kilah Cemani.

Yudhis terkesiap, beruntung karena sama sekali tak menyebut soal akan menghancurkan Benih Hidup milik Cemani dan Amok Sendashuta. "Kalau kau memang di kepalaku, harusnya bilang dong! Akupun sudah memanggilmu barusan, kan?"

"Maaf. Tapi mau bagaimana lagi. Aku kecapekan, Yudhistira. Mimbar Batas Neraka terlalu luas sehingga nyaris mustahil untukku menemukan Benih Hidup milikmu." jawab Cemani putus asa. "Harta kabur lagi. Entah kenapa dia tega meninggalkanku sendirian di sini."

Yudhis menyipitkan mata menaruh curiga. "Tapi... kamu dapat Benih Hidupku, kan?"

Cemani lalu melompat dari kepala Yudhis menuju permukaan tanah Mimbar Batas yang terbuat dari rumput hijau dengan ujung daun yang lancip membuat geli. Sambil menahan geli karena bertelanjang kaki, Cemani berkata. "Tentu saja aku dapat, Yudhistira. Kau pikir aku ini siapa? Ratu Neraka Anthirin, gitu!"

"Baguslah."

"Malah, aku juga dapatkan semua Benih Hidup yang kita butuhkan. Selain punyamu juga ada milikku, Harta, Tahta, Priya, juga Amok."

"Bagus!" teriak Yudhis dari dalam hati.

"Aku mencari-cari Benih Hidup milik Jalaran Manepis namun tidak ketemu. Mungkin ada tempat khusus tempat Benih Hidup miliknya disimpan."

"Boleh aku lihat?" tanya Yudhis pada Cemani. Nadanya dibuat seluwes mungkin agar Cemani tak menaruh curiga jika ia hendak menghancurkan Benih Hidup milik Cemani dan Amok.

"Boleh." jawab Cemani sambil memberikan kantung kain berisi Benih Hidup.

Yudhis menerimanya dengan riang gembira, meski perasaannya yang membuncah ditahan sebisa mungkin. Dia senang, karena berhasil mendapatkan Benih Hidup milik Cemani. Dia tak akan membiarkan Cemani menghancurkan Akhirat sesaat sebelum Jesvari boleh mencicipi kenikmatan Surga. Meski harus membunuh Cemani, tak jadi persoalan baginya. Selama wanita yang ia sukai bahagia, jadi pembunuh ratusan nyawa sekalipun tak jadi masalah. Yudhis memang tak punya hati.

"Jadi, mana Benih Hidup milikmu dan milik Amok?" tanya Yudhis masih menahan seringai.

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top