41. Akhirat dan Penciptaannya

Keraton Neraka Edelweis, dimana dindingnya dilapisis emas dan bertatahkan berlian dan juga intan permata, Yudhis merasa bosan. Baru setengah jam setelah ia menyamar menjadi Harta Bagendit, Raja Neraka Edelweis tempat dosa tamak mendapatkan hukuman, dirinya sudah dirundung bosan. Chapter terakhir komik Doraemon tak cukup untuk membunuh bosan.

Maka, sebuah ide muncul di benaknya. Dia lalu beranjak dari singgasana. Merapikan pakaian yang sedikit kendur karena tak berbiasa dengan bentuk tubuh Harta. Lalu menuruni tiga anak tangga yang memisahkan mimbar.

"Sateri, temani aku berkeliling Keraton Neraka Edelweis." ucap Yudhis pada Sateri, satu dari dua setan yang Harta pinjamkan padanya.

"Baik, Tuan Harta Bagendit." jawab Sateri yang diperintahkan untuk menganggap Yudhis seperti Harta. Dengan langkah-langkah kecil, Sateri berjalan tak jauh di depan Yudhis. Rambutnya yang sekasar ijuk terseret di lantai yang terbuat dari berlian itu. Dia menuntunnya berkeliling keraton meski Yudhis belum mengatakan kemana tujuan yang ingin dia datangi.

Pada Takatsuya yang masih menjaga gerbang untuk menghalangi Meriyati menemui Yudhis, dia berkata. "Takatsuya, kau jaga pintu masuk keraton dan halangi semua yang ingin bertemu denganku."

"Baik, Tuan Harta Bagendit." jawab setan berbentuk reog itu.

Sateri mengantarkan Yudhis berkeliling. Keraton Neraka Edelweis meski terlihat begitu mewah, ternyata tak jauh berbeda dari keraton-keraton Neraka lainnya. Terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian keraton, pemandian, dan Alun-Alun Maraveksa. Serati, seakan sudah mengenal Yudhis sejak lama, lalu mengantar Yudhis ke perpusatakan di bagian dalam keraton.

"Kenapa kita ke perpustakaan, Sateri?" tanya Yudhis bimbang.

"Itu karena tuan terlihat seperti orang yang haus akan pengetahuan, maka kutuntuan tuan ke perpusatakaan Neraka Edelweis. Berbeda seperti perpustakaan yang ada di Neraka lain, perpustakaan Neraka Edelweis memiliki koleksi paling lengkap untuk memenuhi keserakahan Tuan Harta Bagendit." ucap Sateri sangat sopan. Kepalanya ditundukkan, menyembunyikan wajah yang tertutup rambut ijuk miliknya.

"Kau benar." jawab Yudhis seketika.

Yudhis lalu mengambil sebuah buku acak. Dibuka halamannya dengan cepat. Entah kenapa bosan yang ia miliki tak kunjung sirna meski di hadapannya ada ratusan perkamen berisikan catatan-catatan sejarah yang menghilang. Bosan yang ia rasakan serupa saat Harta kehabisan minat. Mungkin itu karena saat ini bagian tubuh Yudhis berbentuk Harta.

Kemudian Yudhis mengembalikan buku ke raknya semula sambil berujar. "Setari, apakah kau tahu siapa Ratu Bangsa Setan itu?"

"Saya tahu, tuan. Ratu Bangsa Setan adalah ibu dari semua setan yang pernah diciptakan. Dari Kafarah, setan pertama, hingga setan paling muda di Neraka."

"Kafarah? Siapa dia? Aku tidak pernah tahu ada seseorang yang menyebut namanya." ujar Yudhis bertanya-tanya. Dia kemudian mengambil kursi untuk diduduki. Siap mendengar penjelasan Sateri yang mungkin akan terdengar seperti dongeng.

"Benar, Tuanku. Kafarah adalah setan tertua. Literasi tentang beliau sangat jarang ditemukan karena 200.000 tahun yang lalu buku masih sulit untuk dituliskan." ujar Sateri menerangkan. Dia kemudia duduk bersimpuh untuk memijit kaki Yudhis. Maka, lanjut Sateri menerangkan. "Cerita tentang Kafarah tersebar dari mulut ke mulut. Kabar angin mengatakan Kafarah adalah Ratu Bangsa Setan itu sendiri. Namun dari literatur yang saya baca, itu tidak mungkin terjadi."

"Kenapa tidak mungkin?"

"Itu karena Kafarah adalah satu-satunya setan yang berhasil dinaikan ke Surga."

"Tunggu sebentar!" teriak Yudhis menyela cerita Sateri. "Maksudmu, ada setan yang berhasil naik ke Surga? Yang benar saja!"

Sateri tersenyum simpul. Tidak manis, karena wajahnya yang serupa kuntilanak. "Pada masa itu sistem akhirat tidak serumit saat ini. Dulu saat pertama kali Akhirat diciptakan...."

"Tunggu sebentar, Sateri. Aku tak bisa paham jika kau menceritakannya mengikuti jalan hidup seseorang. Bisakah kau membuatnya runut menurut waktu seperti umumnya cerita?"

"Tentu bisa, tuanku." ucap Sateri dengan lirih. "Tapi ini akan sedikit lama."

"Tidak apa-apa." jawab Yudhis seketika.

Yudhis tidak tahu, jika keserakahannya akan pengetahuan dapat menghancurkan apa yang ada di sekitarnya. Maka, dengan isak yang Sateri berusaha sembunyikan, dia memulai ceritanya.

*

Pada zaman dahulu kala, lebih kurang 200.000 tahun yang lalu, Akhirat masih kosong tak berisi. Belum ada manusia yang mati pada kala itu. Semua masih hidup, di bumi tempat tanah dihangatkan. Semesta adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu di bumi ciptaannya. Saat ia menciptakan akhir kehidupan manusia dengan kematian, terbersit sebuah gagasan untuk melakukan sistem hukuman dan penghargaan. Hukuman untuk hal jahat dan penghargaan untuk hal baik.

Hanya saja, Semesta tak mau direpotkan dengan persepsi.

Jadilah dia membuat makhluk yang serupa manusia. Dia adalah Jalaran Manepis, makhluk bukan manusia yang memiliki perspektif serupa manusia. Semesta menugaskan Jalaran untuk menilai baik dan buruknya manusia karena Semesta tak paham konsep kedua hal tersebut. Maka, sebagai makhluk yang patuh pada tuannya, Jalaran Manepis menjadi hakim untuk selamanya. Untuk manusia yang pertama kali menginjakkan kaki di Akhirat dan manusia terakhir yang hengkang dari Akhirat.

"Tuan Semesta..." ucap Jalaran suatu ketika. Saat itu belum genap seminggu sejak Jalaran menjadi Hakim Sidang Benih Kebajikan. "... maaf lancang, namun ini tentang sistem hukuman dan penghargaan yang tuan berikan. Utamanya menyoal hukuman."

Semesta lalu mendengarkan keluhan Jalaran.

"Mudah bagi sistem penghargaan dimana setiap manusia yang dikirimkan ke Surga, mereka hanya perlu meminta semua hal yang ia inginkan. Hanya saja, untuk sistem hukuman tak begitu kentara. Manusia adalah makhluk yang penuh kenistaan. Hukuman tak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan jika mereka sendirilah yang menentukan hukuman. Kita butuh sesuatu yang digunakan untuk menghukum para manusia di Neraka."

Semesta mengangguk-angguk paham. Dia lalu menciptakan setan, makhluk paling paham segal hal buruk yang dimiliki manusia. Semesta memberinya nama Kafarah. Oleh Semesta, Kafarah ditugaskan untuk menghukum pendosa di Neraka. Saat itu masalah sudah terselesaikan.

Satu masalah terselesaikan, masalah lainnya muncul. Kafarah yang memberikan hukuman pada manusia sangat brutal. Waktu yang pendosa habiskan di Neraka adalah masa-masa kelam dengan segala kebrutalan yang Kafarah lakukan.

"Tuan Semesta, maaf atas kelancanganku. Namun saat ini Akhirat sedang porak-poranda karena ketimpangan antara hukuman dan penghargaan." keluh Jalaran suatu ketika.

Semesta mendengarkan keluh kesah Jalaran, seperti biasanya.

"Ini tentang Kafarah, setan penghukum di Neraka." ucap Jalaran memulai curhatannya. "Dia terlalu brutal. Saat manusia selesai mendapatkan hukumannya, mereka menjadi kosong dalam hatinya. Mereka kehilangan kemampuan untuk bahagia. Sehingga ketika sudah dinaikkan ke Surga, mereka tak bisa membuat satu permohonan sekalipun."

Semesta mengangguk-angguk paham.

"Kita butuh seseorang untuk mengembalikan kebahagian manusia selama di Surga." ucap Jalaran mengakhiri curhatannya.

Semesta lalu menciptakan sebuah makhluk berasal dari hal-hal menyenangkan yang manusia impikan. Namun, makhluk itu tak berguna. Dia tidak bisa menciptakan kebahagiaan. Konsep kebahagiaan baginya abstrak. Dia hanya bisa menciptakan kebahagiaan untuknya sendiri.

Kemudian, dipanggillah Kafarah untuk mengajari makhluk itu makna kebahagiaan sebagai antonim dari penderitaan. Kafarah adalah epitom penderitaan, sehingga Semesta berpikir bahwa ia dapat mengajari kebalikan dari penderitaan, yaitu kebahagiaan. Susah payah Kafarah mengajarinya, namun tak juga makhluk itu bisa paham.

Sebuah gagasan terbersit dalam diri Semesta, dia mengangkat Kafarah sebagai malaikat. Yaitu makhluk yang bertugas mengembalikan kebahagiaan manusia. Dia peka pada penderitaan, sehingga dia tahu makna hakiki sebuah kebahagiaan. Maka, dengan demikian Kafarah menjadi satu-satunya setan yang diangkat ke Surga.

Adapun makhluk yang Semesta ciptakan dari kebahagiaan, dia dijatuhkan ke Neraka untuk menggantikan tugas Kafarah menghukum para pendosa. Semesta membuatnya jadi setan. Dengan esensi kebahagiaan, hukuman yang makhluk itu berikan jauh lebih sadis daripada Kafarah.

Untuk sementara, Akhirat kembali pada fungsinya seperti sedia kala.

*

Sateri mengakhiri ceritanya, menyisakan gamang yang semakin menumpuk di hati Yudhis.

"Jadi maksudmu makhluk yang dibuat dari penderitaan berakhir dengan membantu manusia mendapatkan kebahagiaan sedangkan makhluk yang dibuat dari kebahagiaan justru berakhir menyiksa dosa-dosa yang manusia lakukan?"

"Benar, tuan. Pada dasarnya, kebahagiaan dan penderitaan tidak terpisah. Mereka saling terkait." ucap Sateri membenarkan. Dia lalu melanjutkan. "Kebahagiaan hanya bisa dirasakan saat kita peka pada penderitaan"

"Ah, kau benar. Aku ingat Meriyati pernah mengatakannya." ucap Yudhis bergumam.

Dia lalu berpikir sejenak berusaha mencerna apa yang Sateri ucapkan.

"Hmm, lagipula tukar balik antara Surga dan Neraka bukan hal yang mustahil. Saat manusia selesai menjalani hukuman, mereka akan dinaikkan ke Surga. Aku juga kenal seseorang dari Neraka Larat yang turun dari Surga menuju Neraka hanya untuk mencari adiknya. Setelah tahu ini, cerita tentang Kafarah yang dinaikkan ke Surga masih mungkin."

Sateri menganggukkan kepalanya pelan. Sementara tangannya tak lepas dari memijit tungkai kaki Yudhis. Begitu terus sejak Sateri memulai ceritanya.

"Kalau begitu, berarti Kafarah adalah Raja Bangsa Malaikat?" ucap Yudhis mengambil kesimpulan. Demi mendengar kesimpulan yang Yudhis dapatkan, tubuh Sateri tersentak. Tanpa sadar ia menghentikan gerakan pijatannya. Tak sadar dengan apa yang ia lakukan, Yudhis justru bertanya pada Sateri. "Menurutmu bagaimana, Sateri?"

Tamatlah sudah kehidupan Sateri. Namanya disebut dalam pertanyaan Yudhis. Mau harus mau, Sateri tak dapat menyangkal atau menolak pertanyaan tersebut. Kutukan atas nama yang ia miliki membuatnya tunduk pada siapapun yang mengetahui nama Sateri.

Maka, meski enggan, Sateri menjawab pertayaan Yudhis dengan anggukan kecil.

"Ah, sudah kuduga kalau Kafarah itu Raja Bangsa Malaikat." ucap Yudhis puas dengan tebakannya. Sambil mengusap dagu yang memiliki bulu jenggot lebih tebal karena wajahnya milik Harta, lalu Yudhis melanjutkan pertanyaannya. "Kalau begitu, siapa Ratu Bangsa Setan? Aku yakin itu adalah makhluk yang Semesta ciptakan dari segala kebahagiaan. Tapi aku tidak dengar kau menyebutkan namanya, Sateri."

Habislah sudah kehidupan Sateri. Dia semakin menunduk berusaha menghindari pertanyaan.

"Hei, Sateri. Bisakah kau menjawab pertanyaanku?" tanya Yudhis dengan wajah polos.

Lalu diangkat muka setannya menatap Yudhis. Yudhis terkesiap, tak sadar jika wanita di hadapannya ternyata sedang menahan tangis yang pilu menyesakkan. Wajah Sateri yang dari awal sudah awut-awutan, semakin berantakan. Meski setan, Yudhis sedikit iba saat melihat hujan turun di kelopak matanya.

Sateri paham, detik ketika Harta Bagendit memberi tahukan namanya pada Yudhis, saat itulah kebebasannya tergadaikan. Sateri hanyalah setan serakah yang selalu haus akan pengetahuan. Dia menggoda manusia untuk selalu penasaran. Hanya membuat manusia merasa tak puas dengan rasa ingin tahu. Tak lebih dari itu.

Namun, apa daya baginya yang setan dengan nama terekspos banyak manusia. Mau menolak, namun dia tak kuasa. Dia sudah jadi budak. Meski Sateri yakin bahwa Cemani akan menghukumnya dengan kematian karena menjawab pertanyaan Yudhis, dia tak bisa berbuat apa-apa. Yudhis terlanjur menyebut nama dalam caranya bertanya.

"Nama Ratu Bangsa Setan adalah..."

Belum sempat Sateri menyelesaikan ucapannya, muncul Takatsuya yang mendobrak pintu perpustakaan. Wajah reog-nya terlihat khawatir sekaligus lega. Dia menatap Sateri dengan saksama, merasa tentram karena kekasihnya belum membocorkan rahasia.

Kemudian Takatsuya kembali pada urusannya, memberitahukan Yudhis sebuah berita penting. "Ada surat mutasi berisikan pemidahan paksa Yudhistira Sanshuta dari Neraka Edelweis ke Neraka Honje."

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top