34. Awal Keterjatuhan Yudhistira
Harta Bagendit, Raja Neraka Edelweis tempat dosa tamak mendapatkan hukumannya, sangat serakah. Selama 300 tahun kariernya sebagai Raja Neraka Edelweis, tak satupun nikmat dunia yang luput dari genggamannya. Dia meminta Jalaran untuk mengisi Neraka Edelweis dengan semua hal yang manusia inginkan: harta nan melimpah. Semua jenis permata, emas, batu-batu mulia, manuskrip yang hilang, mahakarya yang belum tuntas, perabotan canggih, bahkan hal-hal kecil yang penuh dengan momen dan kenangan. Semuanya Harta miliki. Namun apa yang ia rasakan saat ini adalah hampa yang berkepanjangan. Sindrom yang membuatnya bingung hendak berbuat apa setelah semua impiannya tercapai.
Maka, jadilah dia hanya tidur-tiduran di sofa beledu di ruang tengah Keraton Neraka Edelweis. Dia menonton sekuel AADC dimana Alya masih hidup bersama Geng Cinta lainnya. Harta pernah mendengar jika beberapa manusia di Dunia Makhluk Hidup tak puas karena menghilangnya Alya di AADC 2. Itu sebab, Harta memerintahkan para setan di Neraka Edelweis untuk memproduksi film AADC 2 dengan jalur cerita dimana Alya masih hidup. Para setan lalu mencari pendosa yang memiliki bakat nyaris setara Riri Reza untuk dijadikan sutradara, pujangga yang puisinya mendayu dan penuh makna, para pemain yang mukanya disulap sedikit sehingga serupa Geng Cinta, dan kru lain yang dibutuhkan.
"Aaaaah, kalau terus begini bisa-bisa aku jadi manusia tidak berguna seperti Gunaraga dari Neraka Larat." gerutu Harta sambil memakan kentang goreng yang masih mengepul hangat.
Harta sedang buntu ide. Dia tidak tahu lagi apa yang bisa memenuhi keserakahannya. Jika impian terbesar keserakahan adalah memiliki semua yang ada di dunia dan isinya, Harta sudah melewati batas itu. Dia pernah meminta galaksi pada Jalaran dan begitu saja ia berikan. Kini galaksi yang Harta miliki hanya ia pakai sebagai langit-langit di Keraton Neraka Edelweis, nanggur seperti tumpukan harta di luar yang serupa rongsokan.
"Bosaaaaaan!!!" teriakan Harta menggema di seluruh penjuru keraton yang dindingnya disepuh emas. Begitu mengkilap memekakkan mata.
Saat itu, terdengar suara derik dari pintu yang terbuka. Harta yang merasa seakan ada seseorang memasuki ruangannya, lalu bangkit dari sofa. Berdiri sambil membuat gestur tangan siap memanggil para setan Neraka Edelweis.
Harta terkesiap saat melihat Cemani. Apa yang ada di hadapannya adalah sesuatu yang berbeda. Dia belum pernah melihat wanita yang begitu hebatnya memancarkan aura yang kelam. Belum pernah dalam hidupnya, dia melihat gelap yang begitu solid. Sangat menakjubkan. Harta jadi ingin memilikinya.
Dengan sekali ayunan, Harta memanggil puluhan setan di Neraka Edelweis yang terbaik dalam pertarungan. Harta hendak memerintahkan para setan untuk membekukan wanita tersebut. Namun usahanya gagal, karena yang dilawan oleh Harta bukan sembarang wanita tapi Ratu Setan. Ratu Setan memanggil masing-masing nama para setan, menyuruh mereka bunuh diri karena berani melawannya.
Harta hanya mampu bertekuk lutut di depan keagungan Cemani Sang Ratu Setan.
"Biar kuberitahu sesuatu yang akan membayar ketamakanmu, membunuh rasa bosanmu, dan memuaskan hasratmu." ucap Cemani dengan seringai yang semakin lebar, membuat merinding.
*
Yudhis duduk bersandar pada bemper lamborgini berlapis emas dan bertahtakan permata yang teronggok tak terpakai di Neraka Edelweis. Dia ingin duduk di kursi joknya, hanya saja kaki yang digerigiti lintah itu hanya menyisakan tulang dengan sisa-sisa suwiran daging yang masih menempel di permukaannya. Andai Yudhis berada dalam kondisi normal, sudah pasti jerit tertahan yang keluar dari mulutnya. Hanya saja, ini kondisi spesial dimana rasa penasarannya terpuaskan. Keserakahannya terbayar dengan materi. Maka, kendati para lintah mulai bergelayut menggerigiti paha, Yudhis tak ambil peduli karena ia masih asyik membaca sekuel seri Harry Potter yang tak akan pernah terbit di Dunia Makhluk Hidup.
Yudhis merasakan geli nan perih saat para lintah tak berhenti menggerigiti hanya pada bagian daging, namun mulai membuat rongga-rongga kecil di tulang. Tapi itu tak menghentikan kegiatan membacanya. Baginya, siksa puluhan lintah yang mengigit tulang tak sepadan dengan masa-masa kelam selama dihajar habis-habisan oleh Amok Sendashuta.
Baru sepertiga selesai dan belum pada bab berisi tokoh yang mati, seseorang menginterupsi Yudhis. Ada dua setan yang berada di hadapan Yudhis. Mereka memakai pakaian formal khas londo yang begitu antik dan menyeramkan. Setelan jas hitam, kemeja putih gading, celana pendek setengah betis, sepatu kulit senada jas, juga terselip cemeti di pinggang sebelah kanan. Tatapan mereka garang, namun tak membuat nyali Yudhis ciut barang sekejap.
"Kau, ikut kami ke Keraton Neraka Edelweis." teriak salah satu setan yang berbadan kecil dengan membentak.
"Aku? Ikut ke Keraton Neraka Edelweis? Ehehehe." ucap Yudhis menirukan salah satu iklan sampo. "Ups!"
Setan berbadan kecil hampir menghunuskan cemetinya, demi setan berbadan lebih besar yang menahannya. "Jangan. Kita sudah diberitahu jika Yudhistira berkelakuan alay yang sering berbuat menyebalkan. Harusnya kau sudah menyiapkan mental untuk menanganinya."
"Maafkan aku, Kak. Aku sedikit khilaf karena kelakuannya yang seperti bocah minta digampar." jawab setan kecil dengan sebal.
"Tapi memang wajahnya terlihat minta digampar." timpal setan besar merasa setuju juga.
"Jadi, kita gampar sekali baru kita serahkan kepada Tuan Harta?"
"Ide yang menarik."
"Tu-tunggu!" teriak Yudhis menghentikan. Tangannya membentuk silang di depan dada. "Atas nama siapa kalian bisa seenaknya menggamparku begitu saja?! Setidaknya biarkan aku menyelesaikan bacaanku."
Kedua setan tak memberi ampun. Dengan sekali hantam, setan kecil langsung membuat Yudhis K.O. tak sadarkan diri.
"Lha... kalau kamu bikin dia pingsan, kapan aku bisa menggamparnya?" gerutu setan berbadan besar kesal.
"Ah..." ucap setan kecil tersadar. "... maaf. Aku khilaf."
*
"Tadi sampai mana?" ucap Yudhis saat terkesiap bangun dari tidurnya. Dia masih terngiang-ngiang dengan chapter teakhir yang ia baca.
Begitu Yudhis tersadar dengan keadaan, dia mulai mengamati sekitar. Ada perasaan De Javu saat melihat ruangan tertutup dengan dinding-dinging yang tebal mengepung. Hanya saja, dinding itu bukan dinding lembab penuh tempelan foto para pendosa Neraka Menik yang berparas ganteng. Melainkan dinding berlapis emas yang norak berkilauan. Juga, saat ini Yudhis tidak diikat di kursi. Dia duduk bersedeku di kursi dengan beledu yang empuk.
"Apa ini? Dimana ini? Siapa aku?" ucap Yudhis dengan gaya berlebihan.
"Kamu enggak hilang ingatan, Yudhistira." jawab Cemani yang duduk bertengger di atas kepala Yudhis. Saat Yudhis menggerakkan kepalanya untuk menatap ke atas, Cemani lalu melompat turun ke tanah. Menyeret kursi untuk duduk berdekatan dengan Yudhis. "Jangan bertingkah berlebihan."
"Oh! Hey! Kamu!"
Cemani menggelengkang kepala sedikit. "Kamu enggak lupa dengan namaku kan, Yudhistira?"
"Tentu saja tidak!" jawab Yudhis sembari matanya ditarik ke ujung atas kanan berusaha mengingat-ingat nama Cemani. "Mana mungkin aku lupa dengan seseorang yang membantuku dengan memberi tahu nama asli Seruni. Aku bukan orang yang tak tahu budi seperti itu."
"Baguslah kalau begitu." jawab Cemani pura-pura tertipu. "Jadi, ada dua hal buruk yang ingin kukatakan padamu. Mana dulu yang ingin kamu dengarkan?"
"Huh? Bukannya biasanya satu berita buruk dan satu berita baik, baru aku pilih mana dulu yang ingin kudengarkan?" balas Yudhis yang merasa kebingungan. "Lagipula apa ada alasan untuk memilih mana yang lebih dulu kalau dua-duanya sama buruk?"
"Kamu benar." ucap Cemani mendengus kesal. Dia lalu melanjutkan dengan tampang berpura-pura enggan. "Soal Seruni, aku tahu dimana Panggenan tempat dia berada."
"Kamu tahu? Dimana?"
"Di sini. Di Neraka Edelweis tempat dosa serakah mendapatkan hukuman. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Tapi Seruni sudah mati." jawab pria yang sepantaran dengan Yudhis. Rambutnya setengah ikal dan berwarna merah kesemu-semuan. Matanya cokelat gelap seperti biji kokoa. Bibir lebar, dipadu dengan dagu yang juga melebar.
"Apa maksudmu dengan mati. Dan siapa pula kau ini?"
"Aku Harta Bagendit, Raja Neraka Edelweis."
"Ah, maaf atas kelancanganku. Tapi bisakah kau menjelaskan maksudmu dengan kematian Seruni? Lagipula, memang sedari awal setan juga bisa mati?"
"Setan bisa mati." jawab Harta sembari duduk di samping Cemani. Lalu membuat gestur yang membuat seorang setan datang membawa teh chamomile dan beberapa biskuit garing. Setelah menyeruput seteguk, dia melanjutkan perkataannya. "Kamu pikir nama pemberian Ratu Bangsa Setan bisa buat aja?"
"Entahlah, Harta. Aku tak terlalu memikirkannya. Selama aku bisa memaksa Seruni agar mengaku di hadapan Hakim Jalaran bahwa dia menjebakku ke Akhirat, itu sudah berarti banyak. Lagipula, ibarat kata, apalah arti sebuah nama."
"Nama berarti banyak, Yudhistira." timpal Cemani dengan segera. "Nama pemberian Ratu Bangsa Setan adalah karunia sekaligus kutukan. Nama itu bisa dipakai untuk apa saja. Untuk hal yang diinginkan maupun bertentangan. Artinya, kamu bisa membunuh setan hanya dengan menyuruhnya untuk bunuh diri."
"Itu... sangat tidak adil! Jadi, maksudmu setelah semua usahaku menyelinap ke Panggenan Neraka Menik, Larat, dan Padma, lalu yang kudapatkan hanya nihil? Yang benar saja!"
"Aku tahu perasaan itu, Yudhistira. Perasaan saat impianmu tercerai-berai karena halangan orang lain." jawab Cemani bersimpati. Kali ini tidak ada pura-pura. Dia benar-benar dapat merasakan kekecewaan yang dihadapi Yudhis.
"Jadi... maksudmu semua ini berakhir di sini?" ucap Yudhis beretorika. Air matanya hampir tumpah, isaknya nyaris pecah. "Tidak! Pasti ada cara lain."
"Kamu benar, Yudhistira. Ada cara lain." sahut Harta membenarkan. "Tapi, itu tidaklah gratis."
"Hei, Harta. Kita sudah membicarakannya, kan? Kalau informasi Kalpataru akan kita berikan gratis kepada Yudhistira." ucap Cemani pura-pura merengut. Cemani benar-benar pinta berakting.
"Tidak jadi masalah!" jawab Yudhis tanpa ragu. "Berapapun bayarannya, asal aku bisa melakukannya, akan kubayar tanpa ragu. Ini urusan hidup dan mati. Bukan saatnya untuk pelit."
"Itu semangat yang bagus, Yudhistira. Dan juga untuk bayarannya, aku yakin kamu bisa membayarnya."
"Benarkah? Kalau begitu syukurlah." jawab Yudhis dengan perasaan lega.
"Bayarannya tangan kananmu." jawab Harta setenang lautan tak berbadai.
Ada hening yang sejenak saat Harta menyelesaikan perkataannya.
"Tangan? Maksudmu tangan kananku ini? Aku hanya punya satu. Tak jadi masalah?" jawab Yudhis segera kemudian. Tak ada ragu dan sorot matanya yang memancarkan asa.
Harta lalu menolehkan pandangannya kepada Cemani. "Karena Yudhistira sudah tetap dengan keputusannya berarti tidak ada lagi masalah bukan, Cemani?"
Yudhis berbisik pelan dalam hati. "Oh, ya! Namanya Cemani!"
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top