32. Bangkai Yudhistira
"Maafkan aku, Sanshuta." ucap Jesvari penuh penyesalan.
Senja baru saja mengiblatkan jingganya di ufuk barat. Langitnya semakin memerah bagaikan disepuh karat. Pada pertarungan senja melawan malam, ada Jesvari yang membungkukan wajahnya penuh sesal. Pada senja yang jingganya mulai kelam ditimpa gelap malam, ada Maxim yang merunduk penuh hina.
"Tak apa-apa, itu karena kalian sedang khilaf saja." jawab Yudhis berusaha tetap santai.
"Tapi..."
"Sudah, jangan dipikirkan. Dari awal memang sudah jadi salahku karena menyuruh kita untuk tidak minum air ini. Itu yang jadi penyebab tumbuhnya rambut di mulut. Lalu sebagai satu-satunya orang yang tidak minum, para pendosa jadi melihatku sebagai makanan." ucap Yudhis menerangkan. Dia lalu mengaku, "Aku bisa saja minum dan jadi bagian dari pendosa Neraka Padma. Tapi aku malah berlari dan menjebak kalian dengan biji simalakama."
Jesvari tak terlihat marah dengan pengakuan Yudhis. Bagaimana mau marah? Kondisi Yudhis sangat memperihatinkan. Bagian dada hingga ujung kaki Yudhis tak berbentuk, bukan hancur seperti diremuk dengan kuat. Melainkan tubuh bagian dada ke bawahnya hanya menyisakan tulang yang sedikit demi sedikit tumbuh daging. Melihat Yudhis yang hanya belulang lebih menyakitkan daripada melihatnya buntung.
"Maxim juga, jangan terlalu dipikirkan." ucap Yudhis berusaha bijak.
Maxim yang menundukkan kepala sambil menutup mukanya dengan lipatan lengan pun terentak. Namun itu tak cukup untuk membuatnya mengangkatkan wajah. Dia merasa malu telah menggunakan ide pertemanan hanya demi seruas ujung jari pendamping minuman. Dia merasa sangat hina hingga ingin pergi meninggalkan mereka berdua. Kalau bukan Jesvari yang menahannya, sudah pasti Maxim pergi bersembunyi di tumpukan koral untuk bunuh diri.
Dengan terbata-bata karena paru-paru yang masih setengah, Yudhis berkata. "Biji simalakama yang aku makan tadi, sekarang di mana?"
"Oh, ya. Biji simalakamu tersangkut di tenggorokan. Tadi ada bapak-bapak yang memakan lehermu tidak sengaja menelannya utuh." jawab Jesvari sambil mengambil biji simalakam dari lipatan jaritnya. Dia lalu memberikannya kepada Yudhis. "Ini, biji simalakamamu."
Yudhis jadi cemberut.
"Ah, maaf Sanshuta. Aku lupa kamu belum punya tangan. He he he." ucap Jesvari kikuk.
"Ketawa lagi."
"Ha ha ha. Habis..." suara Jesvari tertahan gelaknya yang membahana. "Eh tapi, biji simalakama ini kuat banget, ya? Makan biji simalakama saja bisa membuat daging keracunan yang sama-sama bisa meledak. Dan lebih hebatnya lagi, ternyata biji simalakama ini tidak bisa dicerna. Dengan kata lain, abadi kan?"
"Iya, Jes. Aku juga masih penasaran. Kupikir saat aku menelan biji simalakama, itu akan dicerna jadi pup. Ternyata biji simalakama lebih dahsyat dari yang kita pikirkan."
"Jadi, untuk apa kamu menyimpannya?"
"Entahlah, Jes. Aku yakin biji simalakama ini akan berguna suatu saat nanti."
Jesvari memandang Yudhis curiga. Muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang membuatnya gundah gulana. Dia khawatir dengan apa yang akan Yudhis hadapi kelak setelah mereka berpisah lagi.
"Sanshuta, kamu ini... masih berpikir untuk kembali hidup?"
"Tentu saja!" ada binar dalam mata Yudhis ketika mengatakannya. Binar yang membuat matanya berkilauan memercikkan semangat. Binar yang membuat Jesvari jatuh cinta pada keteduhannya.
Meski, sebenarnya ada perasaan gulana yang menyelimuti.
"Belum genap empat bulan di Neraka dan aku sudah muak dengan semua yang ada di sini, Jes. Aku ingin segera pulang. Ingin melanjutkan hidupku yang meski penuh dengan nista, itu jauh lebih baik dari Neraka."
"Kamu yakin dengan keputusanmu, Sanshuta?"
"Aku sangat yakin."
"Kalau begitu, kudoakan impianmu terkabul."
Yudhis lalu meminta Jesvari untuk mencarikan jarit yang juga koyak saat terjadi penyerangan oleh para pendosa. Bagian pinggangnya sedikit demi sedikit mulai terbentuk, mulai membentuk gumpalan daging pada bagian tulang panggul. Kalau dibiarkan, bisa-bisa bagian tersebut terekspos sehingga akan terlihat terlalu mesum.
Sementara Jesvari mencari jaritnya, dia mencoba menenangkan Maxim.
"Oi oi oi, Maxim. Mau sampai kapan kau menggalau seperti itu?"
Maxim tak bergerak, namun pundaknya sedikit bergetar. Yudhis tahu jika Maxim mendengarkannya. Dia lalu melanjutkan perkataannya. "Maxim, mungkin ini terjadi karena kau jauh lebih muda dariku atau Jesvari. Tapi biar kuberi tahu satu hal, dewasa adalah dengan berhenti mengkhawatirkan yang sudah berlalu dan terus maju."
Ada jenak sebelum Yudhis melanjutkan ucapannya.
"Tidak ada yang selalu benar, Maxim. Ada saatnya keadaan membuat kita melakukan hal yang di luar kebiasaan. Baik itu hal-hal yang menakjubkan dan atau sekaligus memalukan. Memperhatikan detail memang bagus. Tapi jika itu membuatmu terikat pada masa lalu, cobalah untuk sesekali bersikap masa bodoh dengan keadaan." terang Yudhis panjang lebar. Dengan nada penuh tekanan dia lalu berkata. "Saat kau melakukan kesalahan, itu adalah bagian terwajar dari manusia."
Maxim mulai terlihat tenang, bahunya tak lagi bergetar merasa malu yang dahsyat.
"Lagipula sudah kukatakan sejak awal, bukan? Ini bukan salah kalian."
Maxim lalu mengangkat wajahnya. Terlihat sangat kusut dengan rona yang memerah entah malu, marah, atau keduanya. Dengan mimik yang penuh kekalutan dia bertanya. "Jadi ini salah siapa?"
Yudhis menengadahkan kepalanya memandang langit Neraka Padma yang kini menghitam sepenuhnya. Dengan senyum yang kecut dia lalu beretorika. "Benar juga. Ini salah siapa?"
*
Neraka Padma tak memberikan kenangan manis seperti saat di Neraka Larat. Pun kenangan traumatis seperti di Neraka Menik. Ada saat menyenangkan ketika pertemuannya dengan kawan lama, namun di saat yang sama ada getir ketika mereka berusaha memakan Yudhis demi sebuah kudapan pendamping minuman. Meski Yudhis bersikeras agar Jesvari dan Maxim untuk tak terlalu mempedulikannya, sebenarnya dia mengakatakannya untuk dirinya sendiri. Yudhislah yang paling peduli saat kedua teman paling berharganya tergerogoti kerakusan Neraka Padma.
Saat itu, Yudhis mulai merasa ingin sendiri.
Bagian tak mengenakkan selama berada di Neraka Padma ingin Yudhis tinggalkan semuanya di sana. Dia memulai awal yang baru saat sudah dimutasi ke Neraka Edelweis tempat dosa tamak mendapatkan hukuman. Enam hari yang Yudhis habiskan di Neraka Padma tak banyak memberikan hasil. Pun saat ia menyelinap di antara gang-gang kecil Panggenan Neraka Padma untuk meneriakkan nama Seruni. Hanya ada nihil. Seruni tak tinggal di sana.
Maxim dan Jesvari melanjutkan jalannya masing-masing. Jesvari melanjutkan hukuman ke Neraka terakhir yaitu Neraka Cendana tempat dosa angkuh mendapatkan hukuman. Sementara Maxim melanjutkannya ke Neraka Larat tempat dosa malas mendapatkan hukuman. Yudhis sedikit lega karena permintaan Maxim untuk lanjut ke Neraka Larat dapat dikabulkan. Meski, dia juga sedikit khawatir karena di sisa-sisa hari selama di Neraka Padma, Maxim tak seceria saat pertama berjumpa.
Tak mau mengingat-ingat apa yang sudah terlanjur terjadi, Yudhis melangkahkan kakinya di Neraka Edelweis dengan mantap. Bagian Neraka Edelweis terlihat seperti tumpukan berton-ton sampah yang menjulang. Satu pembedanya adalah Neraka Edelweis tak mengedarkan bau busuk menyengat, malah bau karat yang terbakar.
Yudhis berjalan beriringan dengan belasan pendosa lain yang baru memasuki Neraka Edelweis. Seperti Mas Isnain dari Neraka Larat, di sini juga ada seorang setan pemandu yang menjelaskan hukuman di Neraka Edelweis.
"Tugas kalian adalah memetik 100 bunga Edelweis untuk setiap 1 hari masa hukuman. Tidak ada batasan waktu. Selama kalian bisa mengumpulkan 100 Edelweis selama kapanpun, kalian akan tetap mendapat 1 hari pemotongan masa hukuman." ucap setan wanita yang hidungnya mancung tersebut. "Tapi hanya ada 1000 Edelweis yang tumbuh setiap harinya. Jadi, berebutlah!"
Demi mendengar ucapan tersebut, para pendosa berlarian menuju gunungan rongsokan yang membentang. Mereka terlihat sangat beringas demi mendapatkan bunga Edelweis. Yudhis yang plegmatis hanya tersenyum getir memandangi mereka semua. 680 hari hukuman di Neraka Edelweis yang Yudhis dapatkan terlalu ajaib hanya bisa berhasil dengan usaha keras. Maka, seperti biasanya Yudhis, dia akan melakukan observasi terlebih dulu.
Bagian Neraka Edelweis terlihat sama seperti Neraka-Neraka lainnya. Tempat yang maha membentang dengan isi yang nyaris beda. Di Neraka Edelweis ini, tanahnya menghitam terlihat penuh noda. Bagian tanah hitam hanya terlihat pada gang-gang yang memisahkan tumpukan rongsokan ke blok-blok seperti perumahan. Tumpukan rongsokan ini menjulang dengan ketinggian kurang lebih berkisar antara 10 meter sampai 20 meter.
Setidaknya Yudhis bersyukur karena rongsokan tersebut tidak mengeluarkan pesing seperti kencing walang sangit. Dia lalu menuju ke salah satu gunungan rongsok paling dekat pintu masuk. Di sana sudah ada beberapa pendosa yang mengkorek-koreki tumpukan rongsok guna mencari Edelweis yang hanya tumbuh 1000 sehari itu.
"Eh, tunggu sebentar." ucap Yudhis yang merasakan sensasi aneh saat tangannya menyentuh beberapa benda di tumpukan. "Ini... kan medali emas?"
Yudhis seakan tak percaya. Diangkatnya medali tersebut tinggi-tinggi untuk melihat keasliannya. Yudhis sangat bodoh hingga menyangka tindakannya bisa digunakan untuk melihat keaslian suatu emas. Dia lalu melemparkan medali emas tersebut. Dia mulai mengorek tumpukan rongsok. Ada mutiara berwarna merah muda pastel yang bentuknya bola sempurna, teleskop berlapis emas murni seperti dalam film Unfortunate Event, juga replika Time-Turner milik Hermione saat berada di film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Meski hanya replika, Yudhis sangat senang bisa mendapatkan pendulum yang bentuknya nyaris serupa.
Yudhis terus menggali harta yang menyaru jadi rongsokan tersebut. Dia tak mempedulikan puluhan lintah yang menggigiti lengan dan sekujur badan. Ketamakan menguasainya, tak ada jalan bagi Yudhis untuk kembali pada kesadarannya. Tamak adalah dosa yang melekat pada Yudhis sejak lama. Tamaklah yang membuatnya bekerja keras tak mengenal lelah. Tamak pula yang membuat Yudhis mendapatkan pekerjaan yang terlalu mewah untuk rata-rata teman sebayanya.
Tamak adalah dosa yang tak akan bisa Yudhis enyahkan.
Maka, dengan mata yang berbinar seperti anak kecil menang lotere, Yudhis semakin menggali tumpukan harta lebih dalam. Nostalgianya tiba-tiba datang menerpa. Ratusan benda-benda masa kecil yang berserakan, barang-barang yang terlalu mahal untuk kantongnya, perhiasan-perhiasan yang tak pernah Yudhis pikirkan untuk kenakan, semuanya. Yudhis mengorek dan terus mengorek. Nafsunya terbayar sudah dengan semua hal yang ada di hadapannya.
Yudhis tak akan lagi menyebut Neraka Edelweis berisikan tumpukan rongsokan, karena apa yang ada di hadapannya adalah tumpukan harta.
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top