30. Pertemuan
Saat Yudhis terbangun dari kematian, ada Maxim dan Jesvari yang menungguinya.
"Wah, tadi itu ngeri sekali, Mas Yudhis. Bunyi bedebam saat biji simalaka meledak di perut Mas Yudhis sangat menakutkan. Andai Mas Yudhis masih hidup saat ledakan, sudah pasti Mas Yudhis bakal ngeri hanya dari mendengarnya saja!" ujar Maxim berteriak penuh semangat.
Yudhis tak menanggapi celotehan Maxim. Dia hanya memandangi Jesvari yang berdiri tak jauh dari Yudhis berbaring. Sambil menatap Jesvari tepat di manik mata, Yudhis mengelap bibirnya yang penuh liur entah itu miliknya maupun milik Jesvari. Jesvari membuang pandangannya saat Yudhis melakukan gerakan tersebut.
Kini Jesvari hanya melamun melihat cakrawala Neraka Padma yang lagi-lagi berada dalam skala yang tak bisa ia ukur. Dia selalu mendengar jika setiap Neraka dipagari oleh batu obsidian hitam yang sangat kuat. Hanya saja, dari manapun dia berdiri Jesvari tak dapat melihat di mana pagar tersebut berada.
"Jesvari!" teriak Yudhis berusaha memanggil Jesvari yang hendak beranjak pergi. Dia lalu berkata, "Kamu sebenarnya tahu itu aku kan yang memanggilmu di Neraka Larat. Tapi kamu pura-pura tak mengenalku. Begitu, kan?"
"Maaf, Sanshuta. Aku tidak tahu jika itu kamu." elak Jesvari dengan payahnya.
"Kalau memang mau mengelak harusnya lebih pintar lagi, Jesvari. Apa yang kamu lakukan ke saya itu sangat menunjukkan ketidakdewasaanmu ." tukas Yudhis seperti sedang menantang amarah Jesvari.
Maxim yang jadi obat nyamuk di antara keduanya, tak sadar dengan posisinya, lalu berkata. "Sudah, sudah. Jangan marah seperti itu. Ayo baikan dulu. Kan sama-sama sudah besar. Ayo Kak Jesvari yang sudah dibantu mengeluarkan Biji Simalakama silakan dimulai duluan."
Yudhis dan Jesvari tiba-tiba saja menjadi benci pada Maxim secara bersamaan. Jesvari melampiaskannya dengan memukul perut Maxim sementara Yudhis menjentikkan jari pada tenggorokannya. Keduanya saling pandang, lalu hanya bisa tertawa bersama-sama demi melihat Maxim yang teraniaya. Mereka lalu meninggalkan Maxim dengan kesakitannya, berjalan-jalan mengitari Neraka Padma.
"Maaf soal yang tadi." ucap Jesvari memulai pembicaraan.
"Aku juga minta maaf karena sudah berkata dengan nada yang menyebalkan." ujar Yudhis mengakui tindakan gegabahnya.
Jesvari hanya terkikik mendengar pernyataan Yudhis. Dia lalu berkata, "Jadi, setelah punya badan kekar menggiurkan selama di Neraka Larat, sekarang badanmu langsung koyor-koyor seperti babi kelebihan lemak begitu?"
"Ini?" ucap Yudhis mencubit lemak perutnya, membuat Jesvari jadi ngilu melihatnya. "Beginilah, Jes. Saat itu aku lagi hoki aja sehingga bisa punya bentuk badan seperti itu."
Lagi-lagi Jesvari terkikik mendengar jawaban Yudhis. "Tapi tidak apa-apa, kamu masih punya poin plus dari good kisser."
"Iya, kah? Kupikir tadi aku terlalu banyak menggunakan lidah. Well, aku memang melakukannya untuk mencoba mengambil Biji Simalakama yang tersangkut di rahang atasmu." jawab Yudhis tanpa tedeng aling-aling. "Lagipula bagaimana bisa kamu punya biji mematikan seperti itu tersangkut di mulutmu?"
"Ah, itu karena seseorang memberikannya padaku. Dia berkata kalau biji tersebut bisa dipakai untuk menghindari serangan serangga. Memang, sih serangga tidak mau menyerangku. Tapi masalahnya adalah semalaman aku merasakan ngeri yang luar biasa. Aku benar-benar bersyukur kamu datang menyelamatkanku, Sanshuta." jawab Jesvari menerangkan keadaan.
"Kau tahu siapa yang memberimu biji itu?" tanya Yudhis penasaran.
"Tidak tahu, Sanshuta. Keadaan terlalu gelap untuk melihat wajahnya. Aku hanya tahu jika dia seorang wanita, itu saja."
"Oh, maaf."
"Kenapa kamu minta maaf?"
"Ha ha ha. Kau mengeluarkan aura yang membuat orang berpikir kau galak, kau tahu itu?"
"Benarkah? Masa? Ha ha ha. Sepertinya kamu sudah jadi salah satu korbannya."
"Ha ha ha. Kau benar sekali, Jesvari."
Jesvari lalu terkikik untuk yang ketiga kalinya. Dia lalu diam membuat suasana jadi sehening malam tanpa purnama. Biasanya keheningan seperti ini akan membuat mereka jadi canggung dan serba salah tingkah. Namun kali ini, keheningan seperti itu tak menggangu siapapun dari mereka. Pada akhirnya mereka lalu berjalan-jalan tak menentu arah hanya ditemani hening yang seketika.
*
Maxim terlihat sangat cemberut saat Yudhis dan Jesvari meninggalkannya yang kesakitan begitu saja. Jesvari lalu meminta maaf berkali-kali yang membuat Maxim luruh juga. Maxim terlihat sangat lemah dengan rayuan wanita. Itu sebabnya dia sampai tertipu oleh Meriyati.
Mereka bertiga lalu duduk-duduk di atas koral sambil bercerita banyak. Yudhis menceritakan kakak Maxim, Meredith, yang terlihat kangen berat dengan semua hal tentang Maxim. Itu sebab, 6 hari sisa hukuman yang Maxim perlukan di Neraka Padma akan dia akhiri dengan permintaan kepada Raja Neraka Padma agar dapat dikirim ke Neraka Larat sebagai destinasi selanjutnya. Neraka Larat dalah Neraka terakhir Maxim menjalankan hukuman.
Jesvari tak jauh beda dengan Maxim, dia hanya kurang 4 hari di Neraka Padma dan 11 hari di Neraka Cendana tempat dosa angkuh mendapatkan hukumannya. Dengan begitu, setengah bulan lagi bisa dipastikan Jesvari dapat mangkat dari statusnya sebagai pendosa Neraka untuk diangkat sebagai penghuni Surga. Jesvari sudah tak sabar ingin mencecap nikmat Surga.
Sedang untuk Yudhis, jalan masih panjang untuknya. Dia harus menyelesaiakan 6 hari hukuman di Neraka Padma, dan masih ada 3 Neraka lain yang harus Yudhis kunjungi. Belum soal hukumannya di Neraka Honje yang selama 1.200 hari. Mengingat ini seringkali membuat Yudhis jadi frustasi. Tapi itu tak jadi halangannya untuk tetap bergerak maju menaklukan semua Neraka. Yudhis pun tak menyerah pada mimpinya untuk kembali hidup di Dunia Makhluk Hidup.
"Jadi kita mengikuti jalan masing-masing, ya?" ucap Yudhis dengan nada yang getir.
"Kenapa nadamu getir sekali, Sanshuta?" ucap Jesvari memprotes.
"Benar, Mas Yudhis nggak boleh bilang dengan nada getir seperti itu. Nanti berefek ke kehidupan yang benar-benar jadi getir, lho!" ujar Maxim menimpali.
"Kamu ngutuk aku, huh?!" canda Yudhis sambil mengacak-acak rambut Maxim.
Saat itu, senja baru saja mengarakkan jingganya ke ufuk barat. Merenang menuju malam. Di langit Neraka Padma tempat tiga insan saling bertukar canda, bertukar cerita, bertukar tawa, semuanya. Andai kebahagiaan bisa dilihat dari hal-hal yang sederhana. Maka apa yang Maxim, Yudhis, dan Jesvari adalah kebahagiaan sederhana yang begitu menyenangkan. Bukan dari minuman mewah berlimpah yang membuat kekenyangan. Tapi dari momen kebersamaan.
"Ngomong-ngomong bagaimana kalau kita minum arak?" ucap Jesvari mencetuskan ide gila.
"Yang benar saja, Jesvari. Sekarang sudah malam dan air di permukaan sudah surut. Mau minum arak bagimana?" Yudhis memprotes ide mustahil yang dikatakan Jesvari.
Jesvari kembali terkikik. Dia lalu mengambil sesuatu dari belahan dadanya yang sebenarnya cukup menyedihkan. Dari balik dada rata itu, Jesvari mengambil sebotol kecil arak. Arak perpisahan yang Yudhis berikan kepada Jesvari sebelum mereka berdua benar-benar berpisah.
"Aku tidak ada kesempatan untuk memakainya, Sanshuta." ucap Jesvari dengan nada yang begitu lembut.
Yudhis hanya dapat memandangi Jesvari penuh cinta.
"Itu arak apa memang?" ucap Maxim menghamburkan momen romantis keduanya.
"Kamu diam aja. Anak kecil ikuti aja." ucap Jesvari jadi sedikit sewot.
"Gara-gara kamu, Max." giliran Yudhis yang menyalahkan Maxim.
"Salah aku apa coba?" teriak Maxim masih tak sadar dengan posisinya.
*
Di Neraka Anthirin tempat para pendosa mendapatkan hukuman abadi, Cemani duduk-duduk di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak para pendosa. Cemani pernah protes kepada Jalaran Manepis jika singgasana terbuat dari tengkorak itu sangat memalukan untuk dipajang, dan minta untuk dicarikan gantinya dengan segera. Hanya saja, Jalaran tak mengacuhkannya. Membuat Cemani jadi geram, tapi seiring waktu berlalu akhirnya diterima juga singgasana tersebut dan dipakai sebagai salah satu tempat favorit Cemani untuk duduk.
Cemani sangat menyukai duduk di atas penderitaan orang lain.
Dengan mata berbinar seperti anak kecil baru saja diberikan permata, Cemani melempar-lemparkan sesuatu berbentuk bola kecil di tangannya. Besarnya segigi geraham orang dewasa. Berwarna hitam dengan semburat hijau yang menyala.
"Ya ampun, tak kusangka harus kucoba dulu pada manusia agar bisa tahu kalau Biji Simalakama di tanganku adalah asli benar. Bukan rekaan dari koral-koral di Neraka Padma." ucap Cemani pada dirinya sendiri. Dia lalu melanjutkan. "Biji Simalakam sudah, Pedang Taksaka sudah ditemukan, Lumpur Blacan sudah ditangan. Tinggal Garam Swargaloka yang masih belum ditemukan? Huh! Frustasi!"
Cemani diam sejenak dengan omongannya.
"Kenapa pula aku harus tinggal di Neraka Anthirin sekotor ini? Hanya ada hitam dan gelap. Memang sih, aku suka hitam. Tapi kalau dipakai pada semua hal di sini kan bosan juga." ucap Cemani masih berbicara dengan dirinya sendiri.
Dia lalu turun dari singgasananya. Berjalan berjingkrak di lantai becek Neraka Anthirin. Dia lalu berdiri berkacak pinggang di hadapan Neraka yang konon ditakuti seluruh umat itu. Kepercayaan dirinya tiba-tiba susut. Merasa kalah pamor dengan ketujuh Neraka lainnya.
Cemani lalu mengetuk-ketukkan kepalanya pada dinding jati di Keraton Neraka Anthirin. Dia frustasi berat karena semua yang ada di Neraka Anthirin sangat membosankan. Begitu membosankan sampai-sampai Cemani seringkali mengiris pergelangan tangannya karena terlalu bosan yang sampai muak.
Duk!
Kepala Cemani berdarah saat dia menghantamkan kepalanya ke dinding terlalu keras. Darah megucur dari retakan tengkorak dahinya. Mengalir ke pangkal hidung lalu berbelok pada sisi kanan. Dilihat sekilas, apa yang terjadi pada Meriyati hampir seperti terlihat dia menangis darah. Hanya saja, yang berbeda adalah ekpresinya yang tertawa begitu lebar. Tertawa seringai hingga pipinya terlihat seperti sobek.
Bagian kepalanya yang menghantam keras tiba-tiba membuatnya mendapatkan ide yang tidak bisa disebut cemerlang. Dengan gelak tawa seakan melakukan penemuan hebat, Cemani berbicara pada dirinya sendiri sambil menghadap tembok jati polos tak berukir.
"Kalau Neraka Anthirin semembosankan ini... kenapa tidak aku bawa saja Neraka Anthirin ke luar sana? Ah, tapi kalau hanya dikeluarkan begitu saja impact-nya sangat kurang." ucap Cemani sambil memukul-mukul pada bekas luka di dahinya. Dan tiba-tiba, ide tololnya keluar lagi. "Kalau begitu, bagaimana kalau kubawa Neraka Anthirin naik sampai Surga? Pasti akan jadi kepanikan maha dahsyat!"
Cemani tertawa tercikikan dengan imajinasinya sendiri.
"Hue... Hue hue hue.... Huehehehe!"
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top