22. Para Pejuang Yudhistira
Tahta menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal, tentu saja. Rambut berpijar itu terlalu indah bagi kutu untuk sekedar lewat maupun dekat-dekat. Dia menghela napas panjang, nyaris putus asa dengan kelakuan orang-orang di sekitarnya. Kalau bukan perintah kedua orang tuanya, mana mau Tahta berlama-lama di Neraka. Apalagi harus menjadi Raja di salah satunya.
"Berisik deh, kentut." ucap Meriyati merasa terganggu.
"Aku bahkan belum bilang apapaun, Meriyati!" jawab Tahta menggerutu.
Meriyati terduduk di salah satu kursi rotan di pelataran Keraton Neraka Krisan yang menghadap ke Alun-Alun Maraveksa. Pipinya memerah karena dicubiti Tahta ratusan kali. Biarpun begitu, Meriyati masih pada keteguhannya untuk bungkam mengenai kemana Yudhis dimutasi.
"Meriyati, yang kamu lakukan ke Yudhis itu... jahat. Sebelumnya kita sudah membuat kesepakatan, kan? Untuk memberi kesempatan pada Yudhis menemui Jesvari sebelum dimutasi ke Neraka lain." ucap Tahta menyindir Meriyati. Dia lalu melanjutkan perkatannya. "Enggak malu sama kelakuanmu yang seperti bocah itu?"
Meriyati menggigit bibir bawahnya kesal saat mendengar komentar Tahta. "Setidaknya aku bukan orang yang dengan kurang ajarnya menyelinap ke tempat orang lain. Ikut campur masalah orang lain, saja!"
"Aku tidak ikut campur masalah orang lain." jawab Tahta mengelak. "Aku hanya membela pada apa yang memang perlu ditegakkan."
"Apa pedulimu dengan Yudhistira? Dia hanya satu dari biliunan pendosa di Neraka. Bilang saja kalau kamu ingin merenggut kebahagiaanku. Merebut paksa apa yang kucintai. Itu kan yang jadi alasanmu? Kalau bukan, mana mungkin kamu sampai repot-repot mengajukan remisi kepada Jalaran. " ujar Meriyati menggerutu. "Kamu dan Jalaran sama-sama kentut."
"Kamu yang mengingkari kesepakatan, kamu yang lebih kentut!"
Keduanya bersitegang. Tahta menghunuskan pedangnya, sementara Meriyati bersiap-siap dengan jarinya hendak memerintahkan para setan untuk bertarung melawan Tahta. Meskipun lawannya pemilik salah satu senjata Munmasthi, Meriyati tak gentar. Sebab mau bagaimanapun juga, saat ini mereka sedang berada di wilayang kekuasaannya. Kalau bukan Cemani yang melerai keduanya, sudah pasti akan jadi pertempuran darah.
Cemani mendekati Meriyati, mengambil posisi duduk tepat di sampingnya. Dia lalu mengerlingkan mata, memberi tanda agar Tahta pergi meninggalkan mereka berdua untuk sementara. Meskipun gondok, pada akhirnya Tahta mau juga memberikan waktu untuk mereka berdua. Dia berjalan ke arah Alun-Alun Maraveksa sambil menendang-nendang pasir hingga membuat udara keruh karena debu yang berterbangan.Meriyati yang melihat adegan tersebut mulai marah. Namun ditahan oleh Cemani dengan halus.
"Sudah, sudah." ucap Cemani sambil membelai lembut rambut Meriyati. Dirapikannya rambut godek yang mencuat saat Meriyati berlari sekuat tenaga berusaha mengejar Yudhis, diselipkan ke belakang telinga agar tak menutupi wajah. Cemani juga memungut beberapa krisan yang terjatuh di pelataran. Memilinnya satu per satu hingga membentuk sebuah karangan bunga kecil. Dia lalu memberikannya kepada Meriyati.
"Maaf ya, Meriyati. Soal yang tadi." ucap Cemani sambil melendehkan kepalanya ke bahu Meriyati. Dia lalu melanjutkan perkataannya. "Gara-gara omongaku, kamu jadi hilang akal dan bertindak dengan gegabah.
Meriyati lalu menjatuhkan kepalanya ke atas Cemani. "Enggak apa-apa, Cemani. Omonganmu memang benar. Kalau aku sampai membiarkan Yudhistira menemui Jesvari, kesempatan 1 %-ku untuk bisa kembali bersama Yudhis akan turun jadi 0 %. Dan aku tidak mau itu terjadi padaku."
Cemani tersenyum menyeringai, namun langsung ia tahan sebisa mungkin agar tak sampai terlihat Meriyati. Tawanya nyaris pecah melihat kenaifan Meriyati yang begitu saja mempercayai omong kosongnya. Cemani lalu mencubit pahanya, rasa sakit yang diterima membuatnya dapat menahan tawa.
Setelah mengatur napas agar suaranya tak terdengar seperti gelak tawa, dia berkata. "Tapi sebagai satu-satunya sahabatmu, apa yang kamu lakukan sudah benar, Meriyati. Kalau kamu tidak menghalangi Yudhistira untuk bertemu Jesvari, entah akan bagaimana hubungan mereka berlanjut. Setidaknya, untuk sekarang kondisi kembali seperti semula. Baik kamu dan Jesvari masih sama-sama punya peluang memenangkan hati Yudhistira."
"Kamu berkata seakan ini permainan, Cemani."
"Bukan permainan, Meriyati. Tapi perjuangan. Takdir memang mempertemukan dua sejoli yang berjodoh satu sama lain. Tapi dengan perjuangan,kamu bisa membuat takdir bertekuk lutut. Menyerah pada keputusannya untuk mempertumukan kedua sejoli. Jodoh memang tidak akan kemana, tapi cinta harus dikejar."
Meriyati tersenyum damai, merasa sudah melakukan satu langkah besar dalam perjuangan cintanya. "Terima kasih, Cemani. Kamu memang sahabat terbaik."
"Tentu saja, tidak ada sahabat lain yang sebaik diriku." jawab Cemani terkekeh. Tanpa sengaja dia tertawa melebihi batasan yang normal dalam pembicaraan. Namun Meriyati tak menaruh curiga, dia hanya mengira Cemani tertawa turut bahagia bersamanya. Dia sangat mempercayai sahabat satu-satunya itu.
Tiba-tiba sebuah perasaan aneh menyelimutinya.
"Hei, Cemani. Kamu ini sahabatku yang paling baik, kan? Kalau memang begitu, kenapa kamu membawa Tahta ke keratonku?"
"Tidak! Kamu salah sangka, Meriyati." ucap Cemani mengelak. "Justru Tahtalah yang membawaku ke sini. Sebenarnya, dia sudah lama menaruh curiga jika kamu punya hobi mengumpulkan barang-barang milik para pendosa Neraka Krisan. Sehingga saat dia mendengar kabar hilangnya beberapa pendosa, dia langsung mencurigaimu."
"Aneh sekali, rahasia tentang ruangan koleksi berpintu lapis empat ini hanya aku dan kamu saja yang mengetahui. Dari mana kentut sialan itu bisa tahu?" tanya Meriyati gamang.
"Ayolah, Meriyati. Dia kan professional stalker, jadi mudah saja baginya bisa tahu rahasia orang lain. Kamu ingat kan apa yang dia lakukan dengan Pedang Taksaka miliknya? Menyelinap ke ruangan sucimu dan menodainya dengan foto menjijikan miliknya. Orang seperti itulah yang tak akan segan-segan mencampuri masalah orang lain."
"Dia benar-benar sangat kentut."
"Betul, kan? Jadi ingin mempunyai Pedang Taksaka miliknya, kan?"
"Lebih baik pedang itu tidak pernah ada."
Cemani tersenyum kecut. Dia lalu mengalihkan pembicaraan. "Meriyati, apakah kamu mengirim Yudhistira ke Neraka Menik seperti yang kusarankan?"
"Benar, Cemani. Sesuai saran darimu, aku mengirimnya ke tempat Amok Sendashuta. Dengan begitu, dia tidak akan lagi mencampuri urusanku dengan Yudhis."
"Bagus itu, Meriyati. Hubungan Tahta dan Amok sangat tidak akur, aku ragu Tahta akan menemui Yudhistira selama dia berada di Neraka Menik. Setidaknya dia tidak akan lagi membuat suasana semakin runyam."
"Benar. Terima kasih atas saranmu, Cemani."
Cemani tersenyum simpul. Dia lalu mendekatkan kepalanya berusaha berbisik-bisik perlahan. "Meriyati, apa yang kulakukan setelah ini mungkin terlihat seperti aku mengkhianatimu. Tapi jangan salah paham dulu. Aku akan memberi tahu Tahta di mana Yudhistira berada, tapi aku yakin dia tidak akan mau pergi ke Neraka Menik. Saat itulah aku akan menemui Yudhistira sendirian. Dengan bakat memanipulasiku, aku akan membuatnya percaya padaku. Dengan begitu, sedikit demi sedikit akan kuberi sugesti yang mengarahkan pada hubungan baik kalian berdua."
"Terdengar seperti rencana yang bagus." timpal Meriyati tak kalah lirih.
Cemani tersenyum kecil. "Kalau begitu, aku pergi sekarang."
"Teman sampai mati?" ucap Meriyati mengeluarkan kelingkingnya.
"Teman sampai mati." jawab Cemani memagutnya sama-sama dengan kelingking.
Cemani beranjak dari tempat duduknya. Dia lalu berjalan menuju Tahta yang masih menendang-nendangi pasir putih Neraka Menik. Setibanya kaki melangkah, dia mengibaskan tangan menghalau debu yang berterbangan.
"Marah tidak cocok dengan sifatmu, Tahta." ujar Cemani mengomentari.
Yudhis tak menjawab, dia terlihat sangat kesal.
"Halo, Tahta?"
"Hai, Cemani." jawab Tahta dengan nada datar. "Bagaimana pembicaraanmu dengan wanita ular itu? Semua baik-baik saja?"
"Sangat baik malahan. Aku bahkan tahu Neraka mana yang Yudhistira tuju."
"Betul? Baguslah kalau begitu. Jadi, dimana dia mengirimkan Yudhis?"
"Neraka Menik."
Demi mendengar nama Neraka Menik diucapkan, tatapan Tahta berubah menjadi kosong. Dia teringat kenangan ratusan tahun lalu mengenai hubungan tak akur antara dirinya dengan kakaknya, Amok.
"Neraka Menik, ya...." ujar Tahta putus asa.
"Ah, iya. Kamu tidak akur dengan Raja Neraka Menik, ya?" ucap Cemani pura-pura terkejut. "Licik sekali Meriyati. Membuatmu harus menghadapi Amok Sendashuta padahal dia tahu betapa tidak akurnya hubungan kalian berdua."
Tahta terdiam tak menanggapi ocehan Cemani.
"Tapi tidak masalah, Tahta. Biar aku saja yang menemui Yudhistira di Neraka Menik. Meskipun kamu bilang akan menegakkan keadilan, kalau memperkeruh intrik keluarga bikin urung juga, kan?" ucap Cemani menyematkan sindiran sehalus sutra. "Aku sendiri sudah cukup untuk memberi tahu Yudhistira bagaimana cara memenangkan klaim stats masih hidup miliknya. Kamu tidak perlu bertindak sejauh itu dengan menghadapi Amok secara langsung. Yudhistira tidak cukup berharga untuk jadi penyebab keruhnya hubunganmu dengan Amok."
Tahta mengedikkan mata merasa tersinggung dengan perkataan Cemani. Biarpun begitu, dia tak terlalu mempersoalkannya mengingat apa yang sudah Cemani lakukan untuk membantunya menangani kasus hilangnya para pendosa.
"Terima kasih, Cemani." Pada akhirnya hanya itu yang dapat Tahta ucapkan.
"Tidak perlu berterima kasih. Kita kan sudah seperti keluarga."
"Aku harus mengucapkan terima kasih, Cemani. Kalau kamu tidak mengatakan hobi aneh Meriyati yang suka mengoleksi barang-barang pendosa Neraka Krisan, sudah pasti sekarang aku masih kelimpungan mencari lokasi mereka. Kamu benar-benar penyelamat, Cemani."
"Tidak usah sungkan begitu, Tahta. Aku hanya kebetulan saja tahu soal hobi aneh Meriyati." timpal Cemani dengan senyuman manis yang berusaha terlihat sopan. "Benar-benar kebetulan."
"Kita benar-benar beruntung."
Cemani hanya bisa terkekeh mendengar ucapan Tahta. Setelah terhenti, dia lalu berkata. "Kalau begitu tunggu apa lagi? Cepat kirim aku ke Neraka Menik."
Tahta lalu mencabut pedangnya, Pedang Taksaka yang mampu menebas apapun. Pedang Taksaka memiliki mata pisau yang bening seperti air. Bilahnya sangat tipis, bahkan tak lebih tebal dari kain. Dengan sekali ayunan, Tahta menyata udara. Dari sayatan itu terbentuk semacam portal yang menghubungan Neraka Krisan tempat mereka berada dengan Neraka Menik tempat Yudhis dimutasi.
Cemani hendak bersiap masuk ke dalam sayatan di udara sebelum akhirnya teringat suatu hal. "Tahta, bisakah kamu mengirimkan beberapa setan dari Neraka Larat untuk menemaniku? Hawa Neraka Menik sangat panas dan aku tidak terbiasa dengan panas."
"Tentu bisa, Cemani." jawab Tahta mantap. "Lagipula aku juga akan pergi ke Neraka Larat untuk memberi kabar pada Meredith tentang adiknya."
"Kalau begitu kebetulan sekali."
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top