2. Tentang Pagi Berkabut di Pelabuhan Akar

"Ha ha ha. Itu tidak lucu, bung!" Yudhis tanpa sadar mengikuti cara berbicara para petugas pelabuhan.

"Kita tidak sedang bercanda, bung!" ucap petugas kecil nyaris kesal. "Memang kau lihat ada satu di antara mereka yang sudah lewat terlihat senang karena dibercandai kami?"

Yudhis kemudian memandangi deretan orang yang mengantri di belakangnya. Wajah mereka pucat. Bibir mereka biru dan terlihat kelu. Mereka semua hanya menunduk dalam-dalam seakan ada sesuatu yang penting terdapat di ujung sepatu masing-masing. Meski sebenarnya Yudhis tidak terlalu peka soal perasaan, sekali pandang saja dia bisa tahu jika mereka semua merasa sedih dan berduka.

"Tidak... tidak... Mereka pasti sedih karena alasan lain."

"Seperti?" tanya petugas kecil dengan nada yang menantang.

"Ehm... entahlah? Mungkin mereka semua sebenarnya kelompok ibu-ibu arisan yang uangnya dibawa lari penipu?"

"Di sana juga ada bapak-bapak dan anak-anak!"

"Ah, iya juga. Mungkin mereka keluarga yang sedang liburan sekolah ke kebun binatang dan ternyata satu-satunya singa di sana baru saja mati terkena herpes?"

"Itu juga bukan. Mana pula ada keluarga yang pergi liburan pagi-pagi seperti ini? Kau ini... bodoh sekali, bung!"

"Hah?" Yudhis menaikkan suaranya hampir marah. "Jadi menurutmu ada apa dengan mereka? Baru saja menyaksikan kucing persia tertabrak mobil vet di jalanan, hah?"

"Ah... itu tragis dan ironis sekali." gumam petugas kecil sambil kembali ke posisinya duduk. "Tapi itu juga bukan. Mereka ini sedih karena sudah mati. Kau tahu itu, bung?"

"Bang-bung-bang-bung! Kau pikir aku ini abangmu?!"

"Tentu bukan, bung! Maksudku, kalau kau memang abangku, kan kupanggil dengan bang dan bukannya bung. Kau tahu itu, bung?"

Pletik!

Terdengar suara melengking dari urat kesabaran Yudhis yang terputus. Dia marah besar. Andai ada piring atau barang pecah-belah di sekitarnya, sudah pasti akan jadi sasaran kemarahannya. Dibanting keras-keras hingga pecahannya berterbangan ke segala arah. Hanya saja, tidak ada apapun saat itu. Jadilah Yudhis menghentakkan kakinya keras-keras ke dermaga kayu. Berusaha sebising mungkin agar semua orang tahu bahwa ia sedang marah besar.

Yudhis nyaris meneriakkan sumpah serapah yang ia pelajari dari 23 tahun masa hidupnya, jika saat itu tidak ada wanita yang menahannya dengan lembut. Seorang wanita umur 30-an yang tiba-tiba sudah ada di samping Yudhis. Wanita itu memakai setelan kebaya warna hijau pastel, jarit bawahan dengan motif batik berbentuk mega mendung warna toska, dan bertelanjang kaki menampakkan jemari kaki yang menurut Yudhis imut. Penampilan wanita itu seperti disengaja untuk menangani selera Yudhis.

Dia mengangkat tangan kanan Yudhis dengan kedua tangannya. Sensasi jari-jemari yang saling berpaut itu sedikit banyak membuat amarah Yudhis tak sampai tumpah ruah. Dijabatnya tangan kanan Yudhis dengan lembut sementara tangan kirinya disandarkan pada bahu kanan Yudhis yang tak begitu kekar.

"Selamat pagi, kak. Ada yang bisa saya bantu?" ucap wanita itu dengan suara merdu yang ingin Yudhis dengarkan di masa-masa tuanya.

"Ti... tidak ada apa-apa." tanpa sengaja suara yang muncul dari mulut Yudhis bergetar karena malu.

"Kenapa kau tersipu seperti itu, bung?" ucap petugas kecil beretorika tanpa bisa membaca situasi yang ada. Dia lalu berkata pada si wanita, "Dia lupa sudah mati, Odel."

Oh, namanya Odel.

"Baiklah kalau begitu." Odel lalu memindahkan tangan kirinya ke punggung Yudhis, membuat gestur seperti akan membimbingnya ke suatu tempat. "Mari ikut saya sebentar."

Mereka berdua berjalan pelan menuju bangunan dari kayu di sisi dermaga. Melangkah satu-satu seperti sedang menuju pelaminan; setidaknya itu yang terpikirkan oleh Yudhis. Dia kemudian membalikkan kepalanya menatap ke arah petugas pelabahuan berada. Menyatukan ujung jempol dan telunjuk membentuk tanda OK dengan tangannya.

Thank you, guys! Teriak Yudhis dari dalam hati penuh kegirangan.

Di kejauhan, petugas kecil hanya dapat melihat tingkah laku Yudhis dengan ekspresi wajah jijik nyaris muntah. Mereka berdua lalu melanjutkan tugasnya, petugas kecil dengan menagih karcis bus milik para arwah lalu merobeknya menjadi dua bagian sementara petugas besar menunjukkan arah menuju Samudra Sesal. Semua berjalan dengan cepat karena para arwah yang patuh dan tidak banyak cingcong seperti Yudhis.

"Kenapa pula dia nyengar-nyengir tak jelas seperti tadi?" gerutu petugas kecil kesal. Dia kemudian menumpahkan amarahnya pada petugas yang lebih besar. "Lagipula, kenapa kau hanya diam saja, bung! Bukankah tadi ada banyak kesempatan untuk kau menyelip pembicaraan?"

"Habis... marah-marah pada kita akan menambah masa hukuman di Neraka Menik, bung! Aku jadi tak sabar menunggunya."

"Sifat burukmu seringkali muncul di saat yang tidak tepat. Kau tahu, itu bung?"

"Aku tahu."

*

Ruangan tempat Yudhis dan Odel berada tak lebih besar dari kamar kos miliknya. Hanya ruangan berukuran 3 m x 3m dengan dinding terbuat dari papan-papan kayu yang warnanya sudah luntur terkena tempiasan air laut. Jendelanya besar dan langsung menghadap laut, membuat aroma garam terkungkup di ruangan tersebut; lukisan cat minyak yang digantung di satu sisi ruangan; serta sebuah terarium semut di sisi yang lain. Ada satu meja kayu dari ek putih dengan dua kursi saling berhadapan di tengah ruangan. Yudhis duduk di salah satu kursi tersebut, di bagian yang menghadap dinding penuh dengan lukisan. Dia menunggu Odel yang sedang berada di balik ruangan mempersiapkan sesuatu.

Tak lama sampai Odel datang dengan segelas jumbo rootbeer di tangannya. Busanya melimpah membuat Yudhis menjerit uwa-uwa di dalam hati. Yudhis sangat menyukai rootbeer dingin.

"Ini rootbeer dari Surga." ucap Odel menawarkan.

"Bukankah semua rootbeer memang dari surga?"

Odel tersenyum kecil dengan preferensi selera Yudhis. Manis sekali. Baik senyuman Odel maupun gumpalan busa dari rootbeer.

"Sudah boleh diminum, lho."

"Bo... boleh?"

Yudhis menenggak rootbeer dengan bersemangat. Terasa seperti odol namun semakin lama semakin manis. Bukan manis enek seperti teh kemasan, melainkah manis yang khas dari buah sarsaparilla. Seloroh busa rootbeer yang melewati tenggorokannya benar-benar melepas dahaga. Dingin dan terasa enteng menyegarkan.

"Enak! Ini merek apa? Baru kali ini aku merasakan rootbeer seenak ini. Produksi Australia-kah?"

"Kenapa Australia?"

"Kepikiran begitu saja... Begini, kemarin aku baru coba sampel mozarella cheese dari Aussie untuk diberikan kepada para endorsers, dan... itu enak banget! Kenyal dan lelehannya sempurna." Yudhis lalu merenggangkan tangannya dari ujung ke ujung. "Molornya bisa segini!"

"Sepertinya kamu sudah mabuk, ya?"

"Mabuk? Ha ha ha!" Keras sekali cara Yudhis menertawakan keadaan. "Mana mungkin! Aku hanya minum rootbeer, tahu! Bukan beer! Non-alkohol, tahu! Ha ha ha!"

Yudhis semakin menceracau tak jelas.

"Tapi ini rootbeer dari Surga, lho... Tidak ada dari Surga yang tidak memabukkan."

"Ha ha ha! Odel ini ada-ada saja." Yudhis menengguk rootbeer miliknya hingga tandas. Menyisakkan sisa busa di kumis seperti Hermione saat berada di The Three Broom Sticks. "Aku ini masih hidup, tahu!"

"Tidak. Kamu sudah meninggal dunia. Kau belum sadar. Itu saja."

"Akuuu tuuuhhh masiiih hiduuuppp, tahuuuuuu!"

"Tidak. Kamu sudah meninggal, tahuuuuuu!"

Mereka berdua saling mengeyel tidak ada yang mau mengalah. Odel jadi sedikit gemas dengan tingkah laku Yudhis yang seperti anak TK. Biar begitu, tetap ia jalani menemani Yudhis sampai dia berada dalam keputusan menerima kematiaannya. Lagipula, sudah cukup lama sejak terakhir Odel berbincang dengan manusia yang lupa dengan kematiaannya.

Meski, baru kali ini Odel bertemu manusia yang dengan mudahnya mabuk hanya karena segelas rootbeer.

Yudhis mulai tenang. Dia tak lagi merengek berkata bahwa ia masih hidup. Kini dia duduk terdiam. Terdiam mematung di kursinya seperti terkena tatapan mematikan Medusa. Badannya terasa panas. Bahkan, udara di sekitarnya terlihat bergetar seperti ilusi optik saat berada di gurun pasir. Dia menyentuh ujung baju hendak melepas satu-dua kancing kemeja. Nahas, saat ini Yudhis sedang memakai kaos yang membuatnya tak bisa melepas gerah. Hawa dingin Pelabuhan Akar yang semula mengganggunya pun tak banyak membantu.

Mati-matian Yudhis mengkibaskan tangannya. Berharap pada sehempas angin yang bisa menerpa wajahnya. Sayang, hawa panas yang keluar dari tubuh Yudhis tak dapat dilawan dengan angin sepoi buatan tangan. Dia lalu mengambil tasnya mencari sesuatu untuk dijadikan kipas. Hanya ada HP, dompet, paper clip, dan notes kecil pemberian seminar yang tak mungkin digunakan sebagai alternatif kipas.

"Ah...."

"Ada apa?"

"Tote bag titipan Pak Wakra ketinggalan."

Yudhis bergerak ke sana-ke mari mencari tote bag milik Pak Wakra. Gerakan otot yang saling bergesekkan setiap kali Yudhis bergerak membuat hawa panas semakin menjadi-menjadi. Dia sudah tak tahan. Dihempaskannya kedua tangan di atas meja kayu, membuat keringat bercipratan ke atas permukaan meja.

"Aku mau telanjang." ucap Yudhis sambil membuka sabuknya. "Tapi Odel jangan lihat. Nanti suka. Biar aku saja yang suka."

Sebenarnya Odel sedikit terharu dengan ucapan tersebut.

"Yudhis..." ucap Odel dengan nada keibuan. "... mau kuberitahu cara menghilangkah hawa panas di tubuhmu?"

"Ada?"

"Ada. Kamu tahu laut di sana? Itu adalah Samudra Sesal. Kau tahu, di sana tidak terasa apa-apa. Pun dengan hawa panas di tubuhmu. Tidak terasa sedikitpun."

"Kenapa Odel bilang 'tidak terasa' dua kali? Jadi terdengar omong kosong."

"Tidak... Tidak... Aku mengatakan yang sebenarnya." ujar Odel sembari beranjak dari kursi tempatnya duduk. Odel lalu mengulurkan tangan memberikan bantuan. "Mari saya antar."

Berdua, Odel dan Yudhis, keluar dari ruangan yang kini sudah sepanas sauna. Bahkan, dengan hawa dingin di Pelabuhan Akar tak cukup sebagai resistansi panas badannya. Petugas pelabuhan mulai khawatir karena antrian arwah yang mulai panik.

"Oi, oi, kau panas sekali, bung!" teriak petugas kecil menghampiri Yudhis yang berjalan dituntun oleh Odel.

"He he he."

"Kenapa kau malah nyengir tak jelas, bung?" protes petugas kecil yang tertawa kecil dengan kondisi Yudhis yang berantakan. Dia kemudian mengulurkan tangan bergantian dengan Odel menuntun Yudhis.

Odel mengibaskan tangannya yang penuh leleran keringat.

"GELLODELlNE!" teriak petugas yang lebih besar membahana. Itu adalah teriakan yang sangat keras membuat Odel terpaku diam dan cukup untuk membuat kerumunan arwah menjadi tenang. "Kamu beri dia serbuk neraka, hah?"

Odel memalingkan wajahnya menghindari pertanyaan dari petugas besar.

"Jawab aku, Gellodeline!"

Odel menggigit bibirnya berusaha sebisa mungkin tidak mengucapkan apapun. Matanya dipejamkan untuk menghindari tatapan memaki dari petugas besar, meski itu sama sekali tak dapat mengurangi aura kemarahan yang dirasakan Odel. Dia menyerah. Dibukanya kedua mata sambil menengadah ke arah langit Pelabuhan Akar, berusaha sebisa mungkin menahan isak.

"Benar. Aku menaruh serbuk neraka di rootbeer miliknya." aku Odel dengan enggan.

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top