18. Memutih Legam 4

Perkara teh bercampur Dulcolax terjadi beberapa hari setelah perayaan Tahun Baru. Seperti umumnya kantor, hari-hari setelah libur panjang selalu terasa hectic dengan segala penundaan pekerjaan kantor selama hampir seminggu. Saat itu semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, terutama di bagian Account Executive yang terlibat langsung dengan klien. Para klien bedebah tersebut dengan kurang ajarnya meminta semua laporan selesai pada waktu itu juga. Seakan perusahaan hanya punya klien dia seorang.

Biarpun demikian, perusahaan tidak bisa begitu saja menolak permintaan klien. Seperti lingkaran setan, klien yang tidak terpuaskan permintaannya akan berkoar-koar kepada klien lain sehingga perusahaan mendapatkan citra yang kurang baik. Maka dari itulah, sebiadab apapun klien, perusahaan hanya dapat menurutinya. Mau harus mau, karyawanlah yang pada akhirnya diforsir untuk bekerja sesuai tenggat waktu yang mustahil.

Dalam masa-masa inilah Pak Wakra memulai masa-masa pemberontakannya. Jarang masuk, sedang masukpun tak begitu banyak membantu pekerjaan. Lebih sering luntang-luntung seperti tamu saja. Sesama karyawan yang bekerja di bidang digital research, pada akhirnya Yudhislah yang terkena getahnya: lembur seminggu penuh menuntaskan pekerjaan.

Awalnya tak jadi masalah bagi Yudhis. Sudah mengalir dalam dirinya bakat untuk berusaha keras. Hanya saja, saat kemudian Pak Wakra datang tanpa perasaan bersalah karena meninggalkan pekerjaannya, Yudhis muntab. Dia marah besar. Akan tetapi Yudhis, seperti biasanya Yudhis, dia berusaha mengurangi konflik pekerjaan yang hanya akan membuat suasana makin runyam. Maka jadilah dibalaskan dendamnya dengan perlahan. Bukan, Yudhis tidak benar-benar merencanakan balas dendamnya. Hanya kebetulan saja secangkir teh milik Pak Wakra berada di daerah jangkauannya, itu karena meja keduanya bersebelahan. Refleks membuatnya mencemplungkan dua butir Dulcolax ke dalam teh tersebut. Yudhis memang selalu membawa bermacam-macam obat-obatan di tasnya kemanapun dia pergi.

Yudhis tidak benar-benar ingat kejadian setelah Pak Wakra meminum teh miliknya. Hanya teringat sorenya, beberapa jam setelah Pak Wakra meminum tehnya, dia melihat Pak Wakra pulang dengan wajah sepusat pasi. Keringatnya dingin. Matanya nanar berusaha untuk fokus pada pertahanan di bagian pantat. Dia lalu pulang, tanpa seucap kata teucap. Pada akhirnya Yudhis hanya mengaggapnya sebagai angin lalu karena dengan atau tanpa Pak Wakra, pekerjaannya masih sama saja.

"Setelah dipikir-pikir, sepertinya aku tak seputih yang Meriyati kira." gumam Yudhis mengungkapkan kesimpulannya.

"Itu bukan lagi 'sepertinya', tapi kamu memang tidak seputih itu. Kalau memang kamu bisa seputih itu, sudah pasti Akhirat akan mengangkatmu menjadi Tuhan." jawab Tahta menggebu-gebu.

"Iya juga sih..." ucap Yudhis setuju pada pernyataan Tahta. Dia lalu terkesiap. "Tunggu sebentar, barusan kau bilang Tuhan dipilih oleh Akhirat? Maksudmu seperti, ehm... kau tahu, bahwa Akhirat akan menyeleksi siapapun yang memiliki kriteria untuk nantinya dipilih menjadi Tuhan? Apa aku benar?"

Tidak ada jawaban. Hanya hening yang tersisa saat Yudhis menyelesaikan pertanyaannya. Dilihatnya Tahta, dia justru membuang pandangannya berusaha menghindari tatapan Yudhis. Ditatapnya Meriyati, hanya merunduk memandangi lantai ubin dari pualam putih. Saat Yudhis menolehkan kepalanya, dia justru melihat pemandangan berupa Cemani yang pura-pura tertidur sembari melendehkan dagunya di bahu kanan Yudhis.

"Intinya adalah, kamu sudah cukup manusia jadi tidak ada alasan bagi Meriyati untuk menahanmu di Neraka Krisan." ucap Tahta membuat kesimpulan.

"Oi oi oi, bisakah kau jangan mengalihkan perhatian? Aku cukup penasaran dengan konsep ketuhanan di Akhirat. Mungkin dengan tahu Tuhan yang mengatur alam, aku bisa melakukan protes agar dikembalikan ke Dunia Makhluk Hidup."

"Yudhis, tahukah kamu bahwa kangguru betina punya 3 vagina?"

"Ewh..." teriak Yudhis dengan nada penuh kejijikan. "... aku tak tahu itu dan kenapa pula kau harus mengatakannya padaku?"

"Tuh, kan?" timpal Tahta merasa benar. "Di dunia ini ada banyak hal yang sebaiknya tidak kita ketahui, Yudhis. Hiduplah seperti manusia kebanyakan. Senang saat bahagia, berduka saat susah, mencintai sekaligus membenci. Hal-hal bertentangan seperti itulah yang membentuk karakter manusia. Karena manusia paham hal buruk perlu mendapat hukuman dan hal baik perlu mendapat ganjaranlah maka dibuat Surga dan Neraka."

"Tapi, Tuan Tahta. Asal kau tahu, sebenarnya aku ini...."

"Aku ini apa?" ucap Tahta menukas perkataan Yudhis. "Mau bilang kalau kau tidak cukup manusia untuk mencintai dan membenci? Ayolah, kan sudah kubilang kalau kamu ini juga punya seseorang yang dibenci? Pak Wakra, maksudku."

"Memang sih aku benci Pak Wakra, seperti yang sudah kau bilang. Hanya saja... ehm, bagaimana ya mengatakannya? Permasalahanku pada dasarnya adalah cara pandang melihat semuanya baik tanpa cela. Jadi aku memandang semua orang sama rata. Pun saat kau berkata aku membenci Pak Wakra, itu hanya anomali kecil saja karena pada dasarnya aku tak punya seseorang yang bisa kusebut sebagai orang yang kucintai. Seperti yang yang Meriyati katakan, aku mencintai semua orang sehingga pada saat yang bersama aku tak benar-benar mencintai seseorang."

"Kayak perempuan saja kau, Yudhis." keluh Tahta pada idealisme Yudhis. Dia lalu berkata, "Kalau orang yang dicintai, bukannya ada ya? Satu. Itu lho... Jesvari."

Demi mendengar nama Jesvari diucapkan, kali ini giliran Meriyati yang gusar. Dia merasa seakan Tahta ingin memisahkan dirinya dengan Yudhis

"J-jesvari? Ha ha ha. Itu tak mungkin! Kami baru bertemu, kau tahu itu bung?" jawab Yudhis dengan gelagap hingga secara tak sadar menirukan aksen petugas di Pelabuhan Akar.

"Yudhis, cinta tidak diukur dari berapa lama kalian bertemu. Kalau cinta memang diukur dari berapa lama hubungan dibentuk, tidak akan ada yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama."

"Itu mungkin benar. Tapi hubunganku dengan Jesvari bukan seperti itu. Kami hanya seperti, kau tahu, rekan seperjuangan atau sebangsanya." kilah Yudhis dengan naifnya.

"Yudhistira benar!" ujar Meriyati mendukung pernyataan Yudhis, setengah berteriak. "Mereka berdua enggak berada di jalur yang romantis. Kamu salah sangka, kentut."

"Salah sangka gimana, Meriyati? Yudhis sudah sering membantu Jesvari berkali-kali!"

"Sebenarnya aku tak membantu Jesvari karena suka apalagi cinta. Aku membantunya karena memang ada sesuatu yang kuinginkan darinya. Itu seperti simbiosis mutualisme burung jalak dan kerbau." ujar Yudhis mengelak.

"Termasuk saat pertama kali kamu membantunya karena limbung kehabisan darah? Termasuk arak yang kamu berikan agar semangkuk darahmu tidak menggumpal? Dilihat dari manapun, pengorbanan yang kamu lakukan tidak pernah setimpal dengan informasi yang didapatkan dari Jesvari." kilah Tahta menggebu-gebu.

"Kupikir itu semua setimpal, Tuan Tahta."

"Maka dari itu, kamu berpikir itu semua setimpal karena perasaan cintamu pada Jesvari. Cinta memang sering membuat miskonsepsi, Yudhis. Tapi asal kamu tahu, itulah dinamika hidup seorang manusia." ucap Tahta mengakhiri pernyataannya.

Yudhis diam termenung berusaha memahami setiap kata yang Tahta ucapkan. Dia selalu begitu, tak ambil peduli pada persoalan tentang cinta. Tentang cinta dia lewati dengan spontanitas. Jarang sekali dipelajari maknanya, diambil hikmahnya, pun dinikmati getirnya. Definisi cinta selalu membuat Yudhis bingung. Bagi pujangga, cinta adalah guna-guna yang membuat kepayang. Bagi malam, cinta adalah kerinduan akan datangnya purnama. Bagi ranting tua, cinta adalah keikhlasan untuk menggugurkan diri agar pohon tak melara. Namun bagi Yudhis, cinta adalah rasa yang lain. Dia tidak benar-benar bisa menjelaskan arti cinta. Hanya saja, baginya cinta adalah perasaan yang begitu saja muncul saat bertemu wanita yang ingin dia miliki anak bersamanya. Itu adalah perasaan yang tak hinggap pada pertemuannya dengan Jesvari.

"Eh, kentut." ucap Meriyati kepada Tahta. "Yang kamu lakukan itu bukannya sama saja denganku? Memberikan sugesti palsu untuk menggoyahkan pendirian Yudhistira?"

"Akhirnya kamu mengaku juga kalau sugestimu palsu?"

"I-itu..." jawab Meriyati tercekat dengan perkataannya sendiri.

"Ayolah, Meriyati. Sudah berapa kali perkataanmu terselip? Kamu hanya perlu mengaku dimana tempat para pendosa disekap. Dengan begitu aku dan Cemani tidak akan mempermasalahkannya lebih lanjut."

Meriyati diam bergeming. Matanya bergerak ke sana ke mari tak beraturan. Bibir bagian bawahnya digigit karena gusar. Dia merasa seakan ditelanjangi oleh perkataan Tahta, namun dirinya menafikannya begitu saja.

"Kusarankan kamu menyerah dengan kekeras-kepalaanmu itu, Meriyati. Masih untung yang menginvestigasi Neraka Krisan adalah aku dan Cemani. Coba kalau yang lain seperti Amok, atau bahkan yang lebih parah lagi yaitu Jalaran Manepis sendiri." ucap Tahta bergidik dengan perkataannya sendiri.

Demi mendengar nama Jalaran disebutkan, Meriyati merasa ngeri juga. Dibalik sosok tambun yang memberikan aura bapak-bapak paruh baya yang baik hati, Jalaran sebenarnya sangat bengis. Marahnya Jalaran bahkan lebih mengerikan dari Amok Sendashuta, Raja Neraka Menik tempat dosa murka mendapatkan hukuman.

Meriyati menghel napas panjang dan berat. Dia lalu berjalan menuju ke salah satu sudut ruangan sembari tangan memeluk tubuhnya sendiri. Sesampainya di depan menekin, dengan enggan disentuhnya pada bagian tengkuk. Dia lalu berkata, "Palgunadi Titut Setiawan, Mas Bagus Adhi Mustafa, Jaka, dan Maxim Slugwater, aku melepaskan kalian."

Dengan demikian, satu persatu pria keluar dari tubuh menekin. Tubuh mereka basah karena lendir seperti baru saja terperangkap di lambung sapi. Mereka berempat adalah pendosa yang ada di foto yang diberikan Tahta. Lengkap empat tak satupun yang ketinggalan.

Tahta lalu menghampiri salah satu dari keempatnya. "Kamu baik-baik saja?"

Yang ditanya adalah Maxim Slugwater. Dia adalah pria ketiga pemilik rambut merah kehitaman dan gigi yang kecil berderet. Maxim tak menjawab pertanyaan Tahta. Dia terlihat masih sangat syok setelah dikurung di menekin dalam waktu yang entah. Badannya mengigil dan giginya gemerutuk menahan dingin. Tahta kemudian mengecek kondisi mereka dengan saksama. Setelah dirasa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, dia lalu meminta Meriyati untuk merajahkan mandala berbentuk krisan ke tengkuk mereka.

Awalnya Meriyati enggan harus merelakan tangkapannya diloloskan begitu saja. Namun ketika Tahta mengingatkan tentang murka Jalaran, akhirnya dia manut juga. Mereka; keempat pria, Tahta, Yudhis, Cemani, dan Meriyati; lalu berjalan beriringan menuju Alun-Alun Maraveksa. Di tengah perjalanan, salah seorang dari keempat pria yang disekap mendatangi Yudhis. Pria itu adalah Maxim. Dia berusaha mengucapkan terima kasih kepada Yudhis, namun tertahan lidah yang kelu karena sudah lama sekali sejak Maxim mengeluarkan suara. Yudhis yang mahfum dengan apa yang dimaksud oleh Maxim lalu hanya menganggukkan kepala kecil.

Keduanya lalu berpisah saat Meriyati merajahkan mandala krisan di tengkuk para pendosa yang Meriyati sekap. Pada akhirnya, mereka berhasil lolos dari cengkeraman Meriyati meski siksa Neraka lain yang tak kalah pedih menanti.

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top