17. Memutih Legam 3
"Tunggu sebentar, Cemani." ucap Yudhis membantah pernyataan Cemani. "Rambutku memang setebal lidi dan wajahku memang sering dibilang baby face, tapi kupikir bibirku tidak setipis pria pertama."
"Mulutmu memang setipis itu, Yudhistira." jawab Cemani sembari menyapu bibir Yudhis dengan jempol tangannya.
Yudhis jadi sedikit malu karena bibirnya disentuh Cemani. Saking malunya sampai dia tidak tahu jika dari pojok ruangan sepasang mata menatap tajam penuh kecemburuan pada skinship antara Yudhis dan Cemani. Itu adalah tatapan Meriyati yang gagal berusaha tetap kalem agar tak dicurigai Tahta.
"Wah, sepertinya kebetulan sekali ya keempat pendosa Neraka Krisan yang hilang punya wajah yang mirip Yudhis. Kebetulan sekali, ya?" ucap Tahta berkata pada dirinya sendiri.
"Kenapa kamu mengatakan 'kebetulan' dua kali, kentut?" dijawab Meriyati dengan ketus.
"Enggak tahu." jawab Tahta sembari mengedikkan bahunya. Dia lalu melanjutkan perkataannya. "Eh, Meriyati... kamu enggak sedang berusaha menculik Yudhis, kan?"
"Aku? Menculik Yudhistira? Kayak enggak ada pria lain saja."
"Memang enggak ada." tukas Tahta dengan segera. "Dilihat dari manapun wajah dan penampilan Yudhis adalah kombinasi keempat pria tadi."
"Apa hubungannya antara Yudhistira dengan empat pendosa yang menghilang tadi?"
"Ayolah, Meriyati. Kamu pikir aku enggak tahu apa yang kamu sembunyikan di ruangan berlapis empat pintu ini? Foto-foto yang kutinggalkan terakhir kali berkunjung ke sini sudah menjelaskan segalanya, bukan? Ini bukan waktunya untuk berpura-pura tidak bersalah seperti itu."
"Eh, kentut. Gimana sih caramu masuk ke ruangan ini? Ruangan berpintu lapis empat ini bukan sesuatu yang bahkan kecoak sekalipun bisa masuk."
"Oh itu karena aku punya pedang ini." jawab Tahta sembari mengetuk gagang pedangnya. "Kamu tahu soal empat senjata Munmasthi? Itu lho... lumpur yang dapat membentuk apapun, garam yang dapat menyembuhkan apapun, biji yang dapat menghancurkan apapun, juga jarum yang dapat menebas apapun. Pedang ini adalah wujud asli dari jarum yang dapat menebas apapun, aku menyebutnya Pedang Taksaka."
"Tunggu, maksudmu senjata Munmasthi dari 1000 tahun lalu?"
"Ya! Aku enggak menyangka kamu juga tahu legenda itu."
"Untuk pedang sehebat itu jatuh kepada kentut sepertimu... sepertinya kiamat akan datang besok."
"Ha ha ha." tawa Tahta menggema seantero ruangan. "Jangan salah! Pedang Taksaka inilah yang membantuku menebas udara sehingga bisa memasuki ruangan terkutuk ini."
"Jangan menyebutnya ruangan terkutuk!"
"Ruangan dengan tempelan foto, pernak-pernik bekas pakai, rekaman suara, dan kumpulan rambut para pendosa Neraka Krisan yang ganteng-ganteng ini kalau bukan disebut terkutuk lalu apa?"
"Harta. Aku menyebutnya ruangan harta karun."
Tahta menghela napas kesal dengan kelakuan Meriyati. "Hei, Meriyati. Setelah bosan mengoleksi barang-barang aneh itu kamu mulai mengoleksi tubuh para pendosa Neraka Krisan, bukan?"
"Aku enggak pernah mengoleksi siapapun." aku Meriyati penuh percaya diri.
Kali ini Tahta menghela napas lebih panjang. "Hei, Meriyati. Apakah kamu kenal Maxim Slugwater?"
"Aku enggak kenal dia." dijawab Meriyati tanpa jeda.
Tahta menyipitkan mata memperlihatkan raut muka yang menurut Meriyati menyebalkan. Seakan sudah memenangi perdebatan, senyumnya menyeringai lebar. Dia lalu membuat gestur yang meminta Yudhis untuk mendekatinya. Dengan susah payah Yudhis berjalan ke arah Tahta. Itu karena di lengan kanannya ada Cemani yang bergelayutan tak mau lepas.
"Ada apa, Ta?" ucap Yudhis sesampainya di hadapan Tahta.
"'Ta'? Siapa 'Ta' yang kamu maksud?"
"'Ta' dari 'Tahta' dan 'Ta' dari 'Ashuta'. Memang siapa lagi 'Ta' selain kamu?"
"Hah?! Kenapa kamu mamanggilku akrab begitu?"
"Ayolah, Ta. Kau kan yang menyelamatkanku saat berada di Sidang Benih Kebajikan lalu sekarang sampai repot-repot ke Keraton Neraka Krisan untuk bertemu denganku. Ibarat kata, kita berdua ini sudah jadi bro begitu." ungkap Yudhis menjelaskan kondisi pertemanannya dengan Tahta.
"Bro pantatmu!" jawab Tahta kesal. "Panggil aku dengan Tuan Tahta."
"Baik, Tuan Tahta." jawab Yudhis dengan sopan.
"Langsung menurut, ya?"
"Yudhistira memang gitu." ujar Meriyati menyela. "Dia memaklumi semua hal, jadilah saat kentut sepertimu minta dipanggil tuan sekalipun dia akan langsung menurut begitu saja."
"Oh... Eh, tunggu. Bukan itu yang aku maksud." ucap Tahta membantah perkataannya sendiri. Dia lalu bertanya kepada Yudhis. "Yudhis, kamu kenal Maxim Slugwater?"
"Maxim siapa?"
Tahta lalu menjatuhkan pandangannya pada Meriyati. "Lihat? Kalau orang yang enggak kenal Maxim, dia akan menanyakan ulang nama Maxim. Sementara kamu langsung saja menjawab dengan tidak mengenal Maxim. Yang seperti itu sudah jadi bukti kuat kalau sebenarnya kamu mengenal Maxim."
"Aku enggak kenal Maxim. Barusan aku cuma malas saja membalas pertanyaan dari kentut sepertimu. Jadi kujawab sekenanya." ucap Meriyati masih dengan elaknya.
"Hmm, ada apa ya?" Yudhis yang baru saja datang belum bisa memahami keadaan.
"Gini, Yudhis. Meriyati ini dicurigai menyembunyikan beberapa pendosa Neraka Krisan sesaat sebelum diberi mandala krisan. Jadi mereka masih..."
"Sepertinya kau salah sangka, Tuan Tahta." ucap Yudhis menyela perkataan. "Mereka tak diculik, tapi dengan suka rela tetap tinggal di Neraka Krisan untuk menemani Meriyati. Barusan juga aku membuat kesepakatan tetap tinggal di sini."
"Meriyati, kalau memang merasa kesepian kenapa tidak mengangkat seseorang untuk jadi Bathuratu Neraka Krisan? Kalau begitu kan kamu enggak kesepian tinggal sendiri di keraton yang sebesar ini." ucap Tahta menyarankan.
"Maafkan aku yang menyela, Tuan Tahta. Tapi apa itu Bathuratu?"
"Bathuratu, atau Bathuraja, adalah pemegang kekuasaan tertinggi kedua setelah Raja atau Ratu Neraka. Singkatnya, mereka adalah wakil ketua di setiap Neraka. Kamu pikir kalau aku sedang menjadi juri di Sidang Benih Kebajikan atau keluyuran seperti sekarang ini, Neraka Cendana kutinggalkan begitu saja? Tentu tidak, bodoh! Neraka Cendana untuk sementara kuserahkan pada Ja'bat, Bathuraja Neraka Cendana."
Yudhis diam sejenak mencoba mencermati perkataan Tahta, meski Cemani yang kini bergelayutan di punggungnya membuat sulit berkonsentrasi. Dia lalu berkata. "Meriyati, setelah dipikir-pikir kesepakatan yang kau tawarkan barusan itu apakah untuk membuatku menjadi Bathuratu Neraka Krisan?"
Meriyati tak menjawab pertanyaan Yudhis. Dia hanya bisa menggigit bagian bawah bibirnya dengan cemas.
"Soalnya sudah dua kali aku memasuki Keraton Neraka Krisan dan tak pernah sekalipun aku melihat orang lain selain kau, Meriyati. Selain itu kau juga berkata kalau keraton ini terlalu besar kalau hanya ditinggali dirimu seorang, kan?" ujar Yudhis dengan polosnya.
"Hei, Meriyati. Benarkah apa yang dikatakan Yudhis?"
"Tuan Tahta, kenapa kau membuatnya seakan Meriyati melakukan perbuatan jahat? Menjadi Bathuratu Neraka Krisan tidak seburuk kedengarannya. Maksudku, bukankah lebih baik tinggal di keraton yang setara dengan ujung jarum kenikmatan Surga ketimbang harus bersusah-payah menjalani siksa Neraka?"
"Yudhis, kamu ini bodoh atau idiot?" ujar Tahta sewot.
"Aku putih, Tuan Tahta. Putih yang bersih tanpa noda. Putih yang murni tanpa cela. Putih yang membosankan." jawab Yudhis merendahkan diri.
"Maksudmu?"
"Seperti yang sudah kubilang, aku ini putih. Begitu putih hingga melihat semua hal menjadi positif. Aku memaklumi semua kejahatan dan hal-hal buruk lainnya, dan akan kumaafkan begitu saja. Dalam kadar yang tepat, putih memang baik. Namun terlalu putih hanya akan membuat muak. Itu karena aku melihat apapun semuanya dengan sama rata. Aku mencintai semua hal, tapi di saat yang bersamaan tak ada satupun yang kucinta." jawab Yudhis panjang lebar. Lagaknya sudah seperti pejabat pemerintahan yang mengucapkan pidato penuh dengan omong kosong.
"Ide siapa yang membuatmu berpikir kalau dirimu itu putih?"
"Meriyati." jawab Yudhis sambil menunjuk Meriyati dengan dagunya.
Tahta memijat pelipisnya dengan keras. Dia tak lagi tahan dengan kelakuan Yudhis yang idiot, Meriyati yang keras kepala, dan Cemani yang seperti bocah dengan bergelendotan di punggung Yudhis. Dia lalu berkata, "Yudhis, kamu enggak benar-benar percaya omongan Meriyati kan?"
"Tentu saja aku percaya sepenuhnya. Dia telah membukakan pandanganku tentang dunia. Kalau bukan karena dia, aku akan tetap menjadi Yudhistira seperti dulu yang plegamatis, naif, dan mudah dimanfaatkan."
"Hei, Yudhis. Kamu enggak sadar kalau baru saja Meriyati memanfaatkanmu?"
"Maksudnya?" tanya Yudhis dengan kebingungannya.
"Dia bermulut ular. Segala cara akan dipakai untuk menahanmu pergi dari Neraka Krisan. Kamu pikir kamu yang pertama? Keempat pria tadi juga sebenarnya para Bathuratu Neraka Krisan. Bukan begitu, Meriyati?" ucap Tahta mengakhiri pernyataannya dengan pertanyaan yang dihiraukan oleh Meriyati.
"Tapi apa yang dikatakan Meriyati ada benarnya, Tuan Tahta. Dia dengan tepat menebak watakku yang cenderung memandang semua hal dengan sama." tukas Yudhis membantah pernyataan Tahta.
"Hah?! Jadi kamu mau bilang kalau kamu itu putih yang tanpa cela? Putih yang memaafkan semua noda tanpa pamrih? Jangan terlalu angkuh, Yudhis. Kamu enggak sekeren itu."
"Tidak. Bukan. Aku tak bermaksud memproklamasikan diriku sebagai orang yang keren. Itu hanya... kau tahu, putih yang ada dalam diriku sudah menjadi watakku sedari dulu." jawab Yudhis dengan bantahannya.
"Yudhis..." ujar Tahta sambil menghela napas penuh keluh kesah. "Biar kuberi tahu satu hal, kamu tidak seputih yang Meriyati ucapkan. Kamu adalah kamu. Kamu tidak menyukai semua orang, ada kan orang yang kamu benci?"
"Siapa orang yang kubenci?" Yudhis seakan bertanya pada dirinya sendiri.
"Itu lho... teman sekantormu yang sering mengganggu pekerjaanmu itu, Wakra."
Demi mendengar nama Wakra disebutkan, Cemani terkesiap. Namun dia tahan sebisa mungkin agar tak sampai membuat perubahan pada raut wajahnya. Dilihatnya orang-orang di sekeliling, bersyukur tak seorangpun yang menyadari.
"Wakra? Pak Wakra? Memang sih dia bukan contoh karyawan yang baik. Datang selalu telat, pekerjaan jarang kelar lalu dilimpahkan kepadaku, juga soal akhir-akhir ini yang sering kali bolos seperti sedang keluyuran mencari tumbal saja. Tapi kupikir itu masih dalam tahap yang wajar, Tuan Tahta. Beda denganku yang masih muda penuh semangat, Pak Wakra punya keluarga yang juga perlu diurus. Jadi..."
"Hei, Yudhis. Kalau kamu memang benar-benar memaklumi kelakuan Wakra, kenapa harus menaruh dendam? Itu lho... soal remukan Dulcolax yang kamu campurkan ke teh milik Wakra. Kalau bukan balas dendam karena benci, lalu apa?" ujar Tahta menerangkan.
Yudhis terkesiap, menggaruk kepalanya tak mengira jika Tahta akan mengungkit perkara itu.
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top