14. Tidak Ada Subuh Kedua
Rombongan pendosa yang telah menyelesaikan masa hukumannya diarak menuju Alun Alun Maraveksa yang terletak tepat di depan Keraton Neraka Krisan. Selain dokar yang membawa rombongannya Yudhis, juga ada satu dokar lain membawa 2 orang yang sudah mangkat dari status pendosa Neraka Krisan. Total ada 5 orang yang akan diberkati pada saat itu.
Salah seorang setan dari Panggenan datang untuk merapikan barisan lima pendosa Neraka Krisan. Yudhis ditempatkan paling belakang dari kelimanya. Begitu saja hingga setan tersebut menghilang ke gang-gang gelap kompleks Panggenan. Mereka lalu berjalan beriringan menuju Alun-Alun Maraveksa tempat mereka akan dinobatkan lulus dari Neraka Krisan.
Di sana, Meriyati sudah menunggu dengan muka cemberutnya.
Orang yang berada paling depan berjalan ke hadapan Meriyati. Dia lalu bertekuk lutut membelakanginya, menghadap ke arah empat pendosa lain. Sementara di belakangnya, Meriyati siap melakukan ritual.
Meriyati memperlihatkan mandala berbentuk bunga krisan yang diukir di telapak tangan kirinya. Setelah berkomat-kamit seakan membaca mantra, mandala tersebut bersinar mengeluarkan warna yang memerah jingga. Jingganya sangat terang seperti lelehan lava. Meriyati lalu menempelkan telapaknya ke punggung si pendosa. Gerakannya seperti sedang menstempel. Dengan begitu, sebuah mandala berbentuk krisan terukir di punggung pendosa. Mandala tersebut adalah tiket untuk bisa lolos dari Neraka. Setiap pendosa harus mendapatkan 7 mandala terukir di punggungnya sebelum bisa diangkat ke Surga.
Satu per satu pendosa mendapatkan giliran untuk diberkati dengan rajahan mandala berbentuk krisan. Mereka semua dibawa entah ke Neraka lain untuk menerima siksaan selanjutnya atau langsung dinaikkan ke Surga. Saat keempat pendosa lain tuntas melakukan ritual, Meriyati justru meninggalkan Alun-Alun Maraveksa. Meninggalkan Yudhis dengan punggung yang masih mulus tanpa rajahan mandala.
"Tunggu, Meriyati!" teriak Yudhis memanggil-manggil nama Ratu Neraka Krisan tersebut.
Yang dipanggil tak mengacuhkannya barang sedetik. Dia malah melangkahkan kaki masuk ke dalam bangunan keraton. Yudhis yang sedari awal mengikuti Meriyati jadi sedikit kikuk jika harus mengikutinya sampai ke dalam. Memang Yudhis sudah pernah memasuki keraton, hanya saja untuknya memasuki kali kedua tanpa undangan terdengar sedikit nekat.
Pun demikian, dimantapkannya hati untuk memasuki keraton.
Di dalam keraton, Meriyati sedang duduk di depan meja panjang yang selalu terlihat penuh dengan makanan. Yudhis berjalan membungkukkan badan berusaha sesopan mungkin karena menyaru masuk ke dalam keraton tanpa izin.
"Meriyati, aku belum mendapatkan mandalaku."
Meriyati sama sekali tak melepaskan wajah cemberutnya. Dia malah mengambil setangkai anggur yang buahnya penuh bergerombol. Diangkatnya tinggi-tinggi lalu menggunakan lidahnya yang terampil ditariknya sebiji dari gerombolan. Meriyati mengunyah sebiji anggur tersebut dengan pelan seakan meminta Yudhis memperhatikan wajahnya saksama.
"Mmm, halo?" ucap Yudhis yang sama sekali tak terpengaruh rayuan Meriyati.
"Yudhistira." ucap Meriyati memulai topik yang benar-benar baru. "Kamu masih hutang krisan raksasa padaku, kan?"
"Ah, soal itu. Maafkan aku, Meriyati. Kurasa tak mungkin bagiku menjaga kesepakatan kita. Kau tahu bukan kalau masa hukumanku di Neraka Krisan baru saja dihapuskan? Meski aku sedikit merasa aneh dengan semua yang terasa tiba-tiba ini, sih."
"Bukannya masih bisa, ya? Kalau kamu lebih lama tinggal di sini, maksudku."
Yudhis terkekeh memperlihatkan barisan giginya yang kecil berderet. Dia lalu berkata, "Begitulah, Meriyati. Sepertinya ada seseorang yang tidak ingin aku dekat-dekat denganmu."
Meriyati semakin cemberut. Bibirnya manyun seperti paruh burung kalkun.
"Yudhistira, sebelum kamu mendapatkan mandala krisan bukannya lebih baik kita berpesta lebih dulu? Hanya berdua saja, kau tahu. Kebetulan, benar-benar kebetulan lho, aku punya rootbeer pemberian Rakshawilis dari Neraka Padma tempat dosa rakus mendapatkan hukuman."
Yudhis menelan ludahnya demi mendengar nama rootbeer.
"Kau tahu? Di Neraka Padma ada semua jenis makanan dan minuman yang dipasok langsung dari Surga. Memang sih Rakshawilis menggunakannya untuk tujuan lain... tapi biar kuberitahu satu hal, jika ingin mencari makanan dan minuman terbaik di Neraka pergilah ke Neraka Padma."
Meriyati lalu mengambil segelas besar rootbeer berwarna kuning cerah keemasan. Busanya yang berlimpah mengapung terkampul-kampul. Begitu lezat menantang untuk diminum segera. Gelas besar yang penuh terisi itu diberikan pada Yudhis.
"Minumlah!"
Dan dengan kecepatan melebihi kodok menyergap lalat, rootbeer itu langsung disambar. Ditenggak cepat-cepat hingga tandas dalam sekali tegukan.
"Puhaaa." teriak Yudhis penuh kepuasan. "Rootbeer dingin memang sebaiknya diminum saat kelelahan setelah berkerja di ladang."
Meriyati hanya tersenyum licik melihat kelakuan Yudhis.
Minum rootbeer dingin dengan cepat membuat saraf matanya menggigil kedinginan. Matanya berkedut dan otak terasa membeku. Yudhis sudah terbiasa dengan frostbite, sebenarnya. Namun kali itu berbeda, dinginnya begitu tajam hingga membuat kepala seperti dipalu bertubi-tubi. Dia limbung, jatuh pingsan dan ambruk menggelepar di lantai pualam keraton.
*
Yudhis membuka matanya enggan. Kondisi ruangan yang minim pencahayaan membuatnya sulit untuk melihat sekitar. Hanya siluet-siluet yang tak menampakkan rupa, dinding yang penuh tempelan kertas, serta barang-barang lain yang acak. Dia menghela napasnya pelan. Hanya itu yang bisa ia lakukan karena tangan dan kaki yang terikat di kursi jati berukir bunga krisan.
Seorang wanita memasuki ruangan tempat Yudhis disekap. Lampu teplok yang dicangkingnya samar-samar memperlihatkan kontur wajah si wanita. Tidak cantik, tapi tidak membosankan kalau dilihat lama-lama. Wanita itu menghampiri Yudhis yang terikat di kursi. Lalu duduk di kursi saling berhadapan.
"Sekarang bagaimana?" tutur wanita itu memulai percakapan.
Yudhis menghela napas panjang dan berat. "Sudah kuduga kaulah pelakunya, Meriyati!"
"Teori yang menarik. Mana buktinya?"
"Oi oi oi, dengan kau berada di hadapanku sudah menjelaskan semuanya."
"Kalau begitu sudah enggak ada yang perlu dijelaskan."
"Tentu saja ada." kilah Yudhis menolak pernyataan Meriyati. "Mungkin aku terlihat polos karena wajahku yang baby face ini, tapi asal kau tahu aku bukan masokis yang mengggilai BDSM-play atau hal-hal mirip lainnya. Jadi... bisakah kau lepaskan ikatan di tubuhku? Kakiku sudah mulai kesemutan."
"Tapi aku lebih suka melihat laki-laki yang terikat tidak berdaya."
"Tapi aku tak suka terlihat tak berdaya."
Meriyati malah jadi cemberut mendengar perkataan Yudhis. Dia lalu menenggelamkan wajahnya ke lengan sambil berujar lirih. "Yudhistira, kamu sudah yakin mau meninggalkan Neraka Krisan sekarang?"
Yudhis diam tak menjawab. Ingin sekali dia mengatakan tidak, namun tak kuasa diucapkan.
"Kamu baru datang ke sini, lho." lanjut Meriyati membujuk Yudhis. " Sehari saja belum genap. Bukannya lebih baik kamu menginap lebih lama?"
"Menyebutnya sebagai menginap terlalu berlebihan, Meriyati. Kerja paksa seperti itu tak patut disebut dengan menginap."
"Bukan begitu. Maksudku soal menginap adalah menginap di Keraton Neraka Krisan ini."
Yudhis mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. "Maksudmu?"
Meriyati lalu menengadahkan kepalanya ke atas tratag. "Kamu tahu kan betapa besarnya Keraton Neraka Krisan ini? Biar begitu hanya dihuni diriku seorang. Kadang aku ingin seseorang yang bersedia tinggal bersamaku. Meja makan sebesar itu terasa sepi untuk makan sendirian, pemandian di Taman Sari terlalu lapang kalau hanya untukku seorang, dan kupikir rootbeer lebih menyenangkan jika diminum bersama-sama."
"Ah, aku jadi teringat satu hal. Rootbeer yang kau berikan padaku itu berisi obat tidur, bukan?"
"Obat tidur? Bukan, aku hanya mecampurnya dengan empat sendok serbuk neraka."
"Serbuk neraka? Serbuk yang hanya dengan satu butirnya bisa membuat demam seminggu itu? Pantas saja aku langsung ambruk begitu meminum rootbeer."
"Hanya itu yang terpikirkan untuk menahanmu pergi dari Neraka Krisan."
"Memang berapa lama aku pingsan?"
"Tidak lama. Hanya beberapa jam saja."
"Eh? Sesingkat itu? Aku pernah minum rootbeer dengan 10 butir serbuk neraka dan itu membuatku mabuk berat. Kupikir empat sendok serbuk neraka akan memberi efek samping yang lebih dahsyat tetapi ternyata ekspektasiku berlebihan. Serbuk neraka tak sengeri yang dikatakan orang."
"Enggak begitu, Yudhistira." ucap Meriyati tak setuju dengan pernyataan Yudhis. "Sebenarnya kamu baru saja mati begitu meminum rootbeer. Mungkin kamu enggak merasakannya karena efek mabuk dari serbuk neraka."
"Huh? Aku mati karena minum rootbeer?"
"Begitulah."
"Oi oi oi, Meriyati. Itu tak lucu tahu! Kau baru saja membunuh pendosa yang bukan lagi bagian dari Neraka Krisan."
"Kamu masih berstatus sebagai pendosa Neraka Krisan, Yudhistira. Kamu lupa kalau aku belum memberimu rajahan mandala krisan?" ucap Meriyati memperlihatkan telapak tangan kirinya yang terukir mandala berbentuk bunga krisan.
"Ah, kau benar." ujar Yudhis sambil berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikat tubuhnya. Dia lalu berteriak pada Meriyati. "Cepat berikan aku mandala itu!"
"Enggak mau." dijawab Meriyati tanpa jeda. Dia lalu menangkupkan sebelah telapak tangannya sehingga ukiran mandala tertutup punggung tangan.
"Meriyati, sebenarnya apa tujuanmu menahanku seperti ini?"
"Sudah kubilang kan dari awal kalau aku cuma ingin kamu lebih lama di Neraka Krisan."
"Tapi Neraka Krisan sudah bukan lagi tempatku."
"Memang definisi 'tempatku' itu yang seperti apa."
"Mmm, kalau boleh memililih aku ingin rumah kecil yang penuh dengan kanal-kanal air di dalam ruangan. Terus juga... eh, tunggu. Kau baru saja mengubah topik pembicaraan!"
"Enggak juga, Yudhistira. Aku cuma sedang memikirkan konsep rumah yang akan kita berdua tinggali."
"Oi oi oi, aku belum setuju akan tinggal bersamamu dan kau sudah memikirkan konsep tempat tinggal?"
"Lebih cepat lebih baik, Yudhistira." ucap Meriyati menasihati Yudhis. Dia lalu melanjutkan perkataannya. "Omong-omong, kamu lebih suka dindingnya dicat warna apa?"
"Merah marun... eh, bukan!"
"Bukan merah marun?"
"Bukan merah marun, memang... tapi bukan itu maksudku." Yudhis menghela napasnya berat. Dia mulai kesal dengan sikap Meriyati yang terlalu memaksakan keinginannya. Dia lalu berkata, "Meriyati, bisakah kau jangan membuat ini semakin rumit? Aku hanya ingin kau merajah punggungku dengan mandala krisan. Itu saja, tak lebih pun kurang."
"Yudhistira, kalau kamu mengikuti kemauanku sudah pasti enggak akan serumit ini."
"Tapi bukankah sudah menjadi hakku untuk mendapatkan rajahan mandala itu?"
"Tapi aku enggak mau kasih." ucap Meriyati seraya memicingkan sebelah matanya. Lagaknya sok menggemaskan padahal sama sekali tidak, malah justru membuat Yudhis semakin kesal kepadanya.
Meriyati lalu tertawa kecil tak peduli dengan kemarahan Yudhis.
"Yudhistira, jangan cemberut gitu dong!"
Yudhis tak menjawabnya karena enggan.
"Okelah kalau begitu." ujar Meriyati mahfum dengan emosi Yudhis yang nyaris meledak. Kemudian dengan senyum piciknya dia berkata. "Kalau enggak salah kamu suka dengan kesepakatan kan? Mari kita buat kesepakatan."
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top