10. Remisi
Saat turun dari Kereta Krisan yang membawanya pulang dari Keraton, Yudhis disambut para pendosa dengan meriah. Tiba-tiba saja dia serasa menjadi artis TV masuk kampung. Detik pertama Yudhis menginjakkan kaki di tanah berpasir putih, para pendosa mengkerubutinya seperti lalat dan tahi ayam. Seakan dia adalah tahi ayam kualitas A5.
"Bau keraton seperti ini ya?" ucap seorang wanita sambil mengendus aroma badan Yudhis.
"Bukan, itu hanya keringat!"
"Kalau ini rambut yang sudah pernah terkena hawa keraton?" ucap yang lain sambil mempermainkan rambut lurus Yudhis hingga menjadi sedikit ikal.
"Secara teknis sih iya." ucap Yudhis berusaha seprofesional artis menahan bau keringat fans saat sedang konser. Fans dadakan yang mulai menggila lalu berusaha mencabuti rambut Yudhis yang hitam lebat seperti lidi. "Oi oi oi!"
"Ah... kaki yang pernah menapaki lantai keraton rasanya enak!" teriak seorang om memberikan testimoni rasa telapak kaki Yudhis.
Demi mendengar testimoni tersebut, pendosa lainnya langsung melakukan hal yang sama. Ini seperti dalam teori word of mouth, dimana konsumen lebih memercayai testimoni produk dari sesama konsumen daripada iklan. Saat itu, testimoni si om membuat mereka semua jatuh dalam euforia seakan lupa jika Yudhislah yang membuat semua krisan layu. Mereka semua berusaha merasakan setiap inci dan lekukan tubuh Yudhis yang pernah terkena hawa keraton. Semua bagia tubuh Yudhis dijilati oleh pendosa lain. Leher, belakang telinga, ketiak, bagian belakang dengkul, jempol, semuanya. Yudhis yang pada dasarnya tidak tahan dengan geli berteriak sejadi-jadinya. Itu adalah pengalaman pertama yang sangat mendekati dengan siksa Neraka paling ideal.
Yudhis nyaris menyerah tubuhnya diperlakukan dengan aneh oleh para pendosa lain saat sebuah tangan menariknya dari tumpukan Jenga manusia. Dia Jesvari, tentu saja. Dengan senyum keriput yang tidak lebih manis dari neneknya di kampung. Biar begitu, Yudhis senang jika yang menariknya adalah Jesvari dan bukannya om-om yang menjilati bagian itu.
"Jadi gimana?"
"Apanya yang gimana?"
"Hmm... apa, ya? Ha ha ha. Cuma bingung aja mau bahas apa." ujar Jesvari menertawakan dirinya sendiri. "Sekarang kamu sudah terkenal, ya? Biarpun berasa lumayan keren juga karena aku kenal kamu sebelum terkenal."
"Hipster banget."
"He he he."
Lalu hanya ada diam yang membuat canggung selama mereka berdua berjalan menjauhi kerumunan pendosa yang masih berpikir ada aroma Yudhis di sana. Entah siapa yang berada di tengah tumpukan menggantikan peran Yudhis untuk dijilati sepuasnya. Yudhis hanya berharap om-om tadi mendapatkan karmanya.
"Oh, ya...." ucap keduanya berbarengan berusaha memecah keheningan.
"Kamu duluan." ucap Yudhistira mempersilakan Jesvari.
"Kamu ini... gampang mengalah sama wanita, ya?"
"Sering dibilang begitu, sih."
"Jangan mudah mengalah sama wanita, Sanshuta. Nanti mudah dimanfaatkan."
"Tak masalah buatku." ucap Yudhis dengan pandangan yang lurus menatap horizon. "Kalau ada kesempatan malah rasanya ingin membantu semua wanita yang ada di dunia."
"Nah itu tuh, yang bikin kamu mudah dimanfaatkan."
"Begitukah?"
"Iya begitu." jawab Jesvari ketus.
Jesvari kemudian memperhatikan tubuh Yudhistira yang compang-camping. Jaritnya berganti warna menjadi neon red dengan pattern bunga-bunga krisan yang kecil-kecil. Sedikit melorot karena tarikan pendosa lain lain saat mengerumuninya. Meski bunga krisan yang semula menempel di lipatan jarit sudah dijarah para pendosa, masih tercium wangi krisan saat semilir angin lewat. Jesvari semakin memperhatikan detil-detil lekuk tubuh Yudhis hingga membuatnya menjadi gusar.
"Sanshuta, inikah aroma keraton itu?"
Yudhis lalu menghentikan langkahnya. Dia kemudian menutup matanya penuh kesombongan sembari membentangkan tangannya lebar-lebar. "Silakan! Cium semaumu! Jilat sepuasmu!"
Jesvari kemudian berjalan mendekati Yudhis yang berdiri menelentangkan tangan. Telunjuknya yang penuh kerutan diarahkan pada lipatan jarit tepat di bagian bawah pusar. Yudhis yang sedikit membuka matanya untuk mengintip merasa kaget dengan langkah ekstrim yang hendak Jesvari lakukan. Dia menyentuh sesuatu yang berbentuk bulat panjang di sana. "Ini... apa?"
Yang dimaksud Jesvari adalah botol kaca seukuran minyak telon berisi arak. Itu didapatkan Yudhis dari meja hidangan Keraton Neraka Krisan. "Itu arak."
"Ini... arak?! Arak yang itu?" ada sedikit binar di mata kusam Jesvari. Seketika itu juga Jesvari membuka tutup botol dan bersiap-siap menenggaknya. Belum setetespun saat kemudian Yudhis menyambar botol arak tersebut. Hilang sudah binar di mata Jesvari. "Pelit!"
"Oi oi oi, ini bukan untuk orang seperti kita."
"Hmm? Memang buat siapa? Ah, jangan bilang itu buat...."
"Iya. Ini untuk krisan raksasa besok."
"Kamu mau bikin krisan raksasa lagi?" teriak Jesvari menyita perhatian banyak orang.
"Ssst! Jangan keras-keras!" Yudhis lalu menarik Jesvari ke tempat sepi. Tempat sepi di Neraka Krisan berbeda konsep dengan tempat sepi di dunia. Tempat sepi di Neraka Krisan adalah hamparan pasir putih membentang tanpa manusia dalam radius 30 m. Yudhis lalu berbisik cukup keras, beradu dengan hembusan angin yang menyaru. "Begini, aku dan Ratu Neraka Krisan membuat kesepakatan jika aku berhasil membuat 1 krisan raksasa maka berhak memberikan 1 pertanyaan untuk dijawab."
"Jadi kamu mau akan terus membuat krisan raksasa sampai semua pertanyaanmu terjawab?" bisik Jesvari lebih keras dari manusia normal saat berbicara.
"Benar." dijawab Yudhis dengan singkat.
"Hei, Sanshuta. Sebenarnya apa sih yang ingin kamu tanyakan?"
"Aku hanya ingin kembali ke Dunia Makhluk Hidup."
Jesvari mendengus kesal. "Masih soal itu lagi?"
"Iya. Dan akan terus soal ini lagi sampai tujuanku tercapai."
"Jangan meratapi kematian, Sanshuta!"
"Tapi aku belum mati."
Jesvari kembali mendengus semakin kesal. "Mungkin kamu belum tahu soal ini, tapi Meriyati, Ratu Neraka Krisan, punya reputasi yang buruk di antara pendosa di sini. Dia sering membawa pria masuk ke keratonnya tapi jarang mengembalikannya."
"Oi oi oi, bukannya kau sendiri yang berkata jika Tuhan memonitor semua yang ada di sini?"
"I... iya, sih."
"Kalau begitu kau baru saja menafikan kekuatan Tuhan, begitu?"
"Sudahlah! Jangan bahas soal Tuhan pas di Neraka!" Jesvari berbalik meninggalkan Yudhis dengan langkah yang besar-besar. Dalam satu langkah besarnya, dia berbalik menghadap ke arah Yudhis. "Pokoknya aku sudah bilang, ya! Nanti kalau ada apa-apa aku gak mau bantu sedikitpun!"
Jesvari melanjutkan langkah-langkah besarnya.
Yudhis berusaha mengejar Jesvari. Namun payahnya, pengalamannya selama di Neraka Krisan yang belum genap 24 jam membuatnya kesulitan dengan tipografi yang seperti gurun. Yudhis berusaha berjalan secepat mungkin namun kakinya terseok ke sana kemari mengatasi permukaan lantai yang berubah-ubah setiap kali terkena tiupan angin.
"Jesvari! Tunggu aku, Jesvari!" teriak Yudhis dari belakang dengan kepayahan.
Jesvari yang beberapa langkah di depannya hanya tersenyum geli membayangkan betapa sulitnya Yudhis berjalan di medan gurun berpasir. Dia berusaha mempertahankan posisi tegapnya agar Yudhis yang tertinggal jauh di belakang mengira dia masih marah. Semakin jauh langkah kaki Jesvari membawanya, semakin kecil teriakan Yudhis di belakang. Bahkan, saat Jesvari menghentikan kakinya dia juga mendengar suara Yudhis yang semakin hilang larut tenggelam.
Saat menoleh ke belakang, Yudhis sudah 4/5 terhisap pasir hidup.
"Sanshuta!" teriak Jesvari memanggil nama Yudhis dengan nada klise seperti drama India.
Ditariknya tubuh Yudhis yang hanya menampilkan pergelangan tangannya yang robek. Yudhis yang baru saja mati, hidup kembali dalam beberapa saat. Nafasnya megap-megap saat rohnya dibawa kembali ke kehidupan.
"Barusan aku mati?"
"Iya... Ha ha ha." jawab Jesvari yang pangkuannya dipakai untuk merebahkan kepala Yudhis. "Gimana rasanya? Serasa hidup kembali, kan?"
"I... ya." jawab Yudhis kembali ke posisi duduk. Kini keduanya duduk dalam posisi bersila tak jauh dari lubang pasir yang membunuh Yudhis. "Tadi aku mau bicara sesuatu padamu."
"OK. OK. Kalau begitu, ngomong."
"Kamu cemburu kan kalau aku dekat-dekat dengan Meriyati?"
Jesvari memuntahkan pasir dari mulutnya yang sengaja dia simpan untuk jokes semacam ini. "Aku? Cemburu sama kamu? Soal wanita lain? Hah? Aku baru tahu ternyata kamu punya sisi yang penuh kepedean, Sanshuta!"
"Hmm... bukan, ya?"
"Bukanlah! Kalaupun harus cemburu paling soal kamu yang bisa masuk ke Keraton Neraka Krisan. Itu saja!"
"Ah... aku yang kepedean, ya?" ucap Yudhis menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal. Yudhis lalu berdiri sambil membersihkan pantatnya dari pasir yang menempel. "Ya sudah, balik nanam krisan yuk?"
"Enggak lah, buat apa?"
"Buat bebas dari Neraka lah! Kamu masih mau lama-lama di sini?"
"Gak dong." tukas Jesvari penuh kekesalan. "Cuma... sekarang gak ada gunanya kalau mau menanam krisan lagi."
"Eh? Kenapa? Peraturannya sudah beda ya?"
"Gak. Hhh... kamu ini egois sekali ya, Sanshuta? Kamu lupa kalau krisan raksasa milikmu bikin bunga lain layu karena malu?"
"Ah... Aku lupa! Jadi bagaimana? Kalau begini salah satu dari kita harus mengalah."
"Kamu lanjutkan dengan krisan raksasamu saja!"
"Yang barusan itu, kamu benar-benar ingin aku melanjutkan menanam krisan raksasa atau hanya sarkartis saja?"
"Enggak...."
"Enggak yang mana?"
"Gini, Sanshuta. Jelas kamu belum tahu soal remisi."
"Remisi? Apa itu?"
"Ha! Sudah kuduga!" Jesvari kembali ke dalam mode guru penuh keangkuhan miliknya. Dia lalu menjelaskan. "Remisi itu potongan masa hukuman yang diberikan kepada pendosa dari ketujuh Neraka manapun. Remisi diberikan saat hari raya, atas tindakan baik, atau kalau masih punya amal yang enggak terputus."
"Amal tak terputus?"
"Kamu enggak tahu? Itu lho... ilmu yang bermanfaat, sedekah, dan doa dari anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya."
"Ah, aku tidak punya salah satupun dari ketiganya."
"Matilah kau! Untung aku ini guru pengajar jadi sering dapat remisi dari ilmu yang bermanfaat dan doa anak berbakti."
"Kau... sudah punya anak?"
"Kalau anak kandung sih enggak ada, tapi kalau anak didik banyaaak."
"Ah... curang!" tukas Yudhis merasa kesal. "Sebelum kesasar sampai sini seharusnya aku buka kursus mengajar social media analysis atau sebangsanya. Hhh... selain dapat duit tambahan juga jadi investasi remisi pas di Neraka. Harusnya aku tahu! Huh!"
"Sudah... sudah, jangan kesal. Kalau kamu bisa sukses bikin krisan raksasa pasti bisa selesai masa hukumanmu yang..."
"104 hari."
"... 104 hari itu."
"Sebenarnya, Jes. Bunga krisan raksasaku tidak masuk hitungan dari 100 krisan sehari."
"Heeeh? Serius?"
"Dua rius malah. Jadi, mungkin 104 hariku akan bisa jadi lebih banyak."
"Ha ha ha. Dinikmati saja, Sanshuta!" ujar Jesvari menepuk-nepuk punggung Yudhis dengan keras. Tidak teras sakit, karena tangan tanpa daging milik Jesvari hanya terasa seperti oyong kering.
Mereka berdua lalu duduk bersanding seperti dua teman lama yang nongkrong di perempatan. Menatap langit hitam yang kini sedikit ada semburat jingga. Jesvari melendehkan kepalanya di bahu Yudhis, membuatnya ingin bersenandung kecil saat tiba-tiba seekor kumbang rusa hinggap tak jauh dari keduanya.
"Ah, kumbang neraka!" teriak Jesvari.
"Kumbang neraka?"
"Iya. Itu kumbang yang dipakai untuk mengirim surat dari pengadilan. Biasanya untuk mengirim surat pemberian remisi buatku. Ha ha ha."
Yudhis tidak tahu kenapa Jesvari harus mengakhiri perkataanyya dengan tawa. Jesvari lalu menangkap kumbang rusa tersebut. Mengambil lipatan kertas yang terselip di antara sayapnya. Dia menatap surat tersebut dengan ekspresi yang aneh. Kemudian mendekati Yudhis sambil memberikan surat tersebut.
"Ternyata ini surat untukmu, Sanshuta."
"Eh? Benarkah?" Yudhis lalu membuka surat tersebut dan membaca isinya dengan cepat.
"Isinya apa?"
"Remisi...."
"Wah, lumayan dong! Hari pertama sudah dapat remisi!" teriak Jesvari penuh kegirangan. "Dapat berapa hari memangnya?"
"Sehari."
"Ha ha ha. Gak papa. Masih mending daripada tidak dapat sama sekali."
"Bukan!"
Yudhis membentak dengan galaknya, membuat Jesvari sedikit salah tingkah.
"Remisiku mengubah hukuman 104 hari di Neraka Krisan menjadi hanya sehari." ucap Yudhis sambil menatap wajah Jesvari penuh hampa. "Besok aku sudah harus pergi dari sini."
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top