The Hell Creature

NOTE: Gambar di atas mungkin sedikit menganggu, jadi jika tak berkenan jangan dibuka.

***

Awan gelap menutupi hampir seluruh kota, tiada keceriaan di wajah setiap makhluk yang tersisa, seluruhnya sunyi dalam keheningan. Kota yang awalnya menjadi pusat dari seluruh penduduk, kini dalam sekejap berubah menjadi kota tak berpenghuni dengan suasana mencekam yang terasa nyata adanya.

Kebahagiaan berubah dalam sekali tepukan, keramaian kota berubah menyedihkan kala mata terbuka kembali. Tidak ada yang bisa di harapkan untuk saat ini.

Jalanan, pusat pembelanjaan, gedung bertingkat, apartment, rumah-rumah, sekolah dan semua bagunan yang ada. Kini semua itu tidak lagi utuh seperti sediakala, tidak ada yang mampu memperbaikinya. Tidak ada yang tahu bagaimana dan mengapa virus mematikan itu menyebar, yang mereka tahu, mereka terlambat.

Hampir seluruh manusia kini berubah, mereka tidak sama lagi, mereka telah menjadi sesosok makhluk. Makhluk yang haus akan darah, mahkluk dengan rupa menyeramkan dan mengincar siapa pun didekatnya. Mereka semua menyebut makhluk itu dengan sebutan "Hellifer".

Sampai sekarang tidak ada yang tahu bagaimana virus tersebut bisa menyebar. Namun, yang pasti, puluhan tahun yang lalu sebuah laboratorium di pusat kota mengalami kebocoran gas dan zat berbahaya. Semua terjadi begitu cepat, hampir seluruh penghuni di sana dan warga yang berjarak 5 kilometer harus bermutasi menjadi mahkluk mengerikan dan aneh.

Tak berhenti sampai di sana, virus mematikan dan memakan jiwa korbannya itu terus bergerak, menyebar hingga ke seluruh kota. Pemeritah yang kelimpungan dengan peristiwa paling mengerikan dalam sejarah ini pun bergegas mengamanka kota di sekitar sana.

Penduduk kota yang berdekatan di wilayah itu dipindahkan ke tempat yang lebih aman yang cukup jauh di seberang sungai. Mereka harap mahkluk hasil mutasi mengerikan itu bisa berhenti dan dicegah.

Namun, nyata itu tidaklah mudah untuk dilakukan. Bertahun-tahun mereka mencari obat dan sesuatu yang bisa memusnahkan mereka, nyatanya itu sia-sia saja. Hellifer ini masih berkeliaran bebas di kota yang sekarang menjadi kota mati itu.

Warga yang semula berada di seberang sungai besar itu pun satu-persatu mulai menghilang dalam hitungan hari. Sebagian percaya jika pemerintah sengaja menjadikan mereka makanan untuk para monster di dalam tembok itu.

"Tubuhnya berduri bagaikan tangkai mawar. Tangannya panjang dengan masing-masing jari menjulang dan tajam. Tak memiliki mata, tapi bisa merasakan kehadiran manusia. Mulutnya lebar, hampir memenuhi kepalanya. Giginya bergerigi, tajam dan siap mengoyak tubuh manusia. Dia memiliki bau seperti oli dan besi berkarat bercampur darah."

"Sial! Jangan mengada-ada, Dean!" Ia bedecak sebal dan bangkit dari duduknya untuk sekadar menghirup udara segari dari jendela apartment-nya. Rasanya benar-benar muak mendengar Dean yang menceritakan hal mengerikan itu.

"Oh, ayolah, Jess."

Si gadis menoleh saat pemuda bermanik bronze dengan rambut pirangnya itu menghampirinya dan memeluk erat tubuhnya dari belakang.

"Kenapa kau tidak tertarik dengan ceritanya, bukahkan itu menarik?"

Gadis bernama Jess itu menggelengkan kepalanya pelan, ia membalikkan tubuhnya, menghadap langsung sang kekasih. "Itu hanya dongeng, Dean. Aku tidak pernah mempercayainya karena semua itu tidak nyata."

Dean, si pemuda itu mengalihkan pandangannya sejenak, seolah menerawang jauh ke langit malam di luar sana. "Bagaimana jika itu nyata? Dan mereka bersarang di suatu tempat?" tanya si pemuda yang kini menatap lekat gadis di depannya.

"No, aku tak percaya dan aku tak ingin kau mencari atau bahkan terobsesi dengan hal gila dan aneh semacam itu."

Setelah ucapan itu berhasil terlontar, gadis yang memiliki nama Jess itu menyingkirkan tangan sang kekasih dan kembali ke tempat semula menghampiri temannya yang lain.

"Ada apa?" tanya salah seorang pemuda yang tengah menikmati camilannya di depan televisi bersama satu pemuda lain dan satu gadis lagi.

"Tidak ada," balas Jess sembari mendudukkan diri di samping pemuda berambut hitam dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya, menyelimuti manic indah berwarna biru itu.

"Hei, kemarilah! Semuanya!" seru salah seorang pemuda yang sedari tadi cukup sibuk dengan ponselnya.

Dean yang tadinya berada di balkon pun beranjak masuk dan mendudukkan diri di samping Jess untuk menyimak apa yang akan dikatakan Luke yang tiba-tiba memanggil.

"Ayahku baru saja mengirimkan uang sebagai hadiah ulang tahunku dan ... ini cukup fantastis." Pemuda dengan rambut cokelat gelap itu menunjukkan ponselnya. "Melebihi 10 juta dollar."

"Really?" seru seorang gadis di samping Luke.

Luke mengangguk dengan serius dan tersenyum lebar sebelum mengusulkan niatnya. "Jadi, sebagai perayaan atas hal ini dan pesta kecil-kecilan, bagaimana jika kita berlibur ke suatu tempat?"

"Ke mana?" tanya Jess.

"Pulau private?" saran Dean yang sedari tadi tampak diam. Jess yang mendengar itu pun menatap si pemuda dengan tajam dan menggelengkan kepalanya pelan. "Ada apa, Sayang?"

"Dean, tolong, jangan sarankan apa pun yang bisa membahayakan kita semua, oke?"

Dean yang merasa cukup tersinggung pun bangkit dari duduknya, menatap tak percaya gadis berambut keriting itu. "Sungguh, Jess? Aku bahkan belum mengatakan apa pun. Dan kau mengatakan aku hendak membahayakan kita? Apa maksudmu?"

"Tidak, bukan begitu maksudku. Aku-"

Karena kesal, pemuda berambut pirang itu pun pergi begitu saja tanpa menunggu penjelasan dari sang kekasih. Kekesalannya memuncak, entah kenapa Jess selalu menganggapnya seolah tak penting.

Jess yang merasa bersalah pun akhirnya beranjak dari sana, mencoba mengejar pemuda yang ia cintai dan berharap Dean mau mendengarkan penjelasan dan pemintaan maafnya.

Ruangan itu pun mendadak senyap, hanya ada Luke, gadis berdarah Asia bernama Sara dan juga si pemuda berkacamata, Bert. Ketiganya tak ambil pusing, walau bagaimanapun masalah antara Jess dan Dean itu termasuk masalah pribadi dan mungkin mereka berdua bisa menyelesaikannya.

"So, bagaimana?" tanya Sara memecah keheningan di antara mereka.

"Aku akan ikut saja, tak ada tempat yang bisa aku usulkan saat ini," balas Bert mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia baca.

Luke yang baru saja menemuka sesuatu dari pencarian di ponselnya, pun menunjukkan hal tersebut pada Bert dan Sara. "Mungkin kita bisa pergi ke Swiss, tempat yang menarik untuk bernapas," ucapnya.

"Ya, di mana lagi surga terindah di dunia?"

Pemuda berambut cokelat itu pun mengangguk dan tertawa. "Oke, kita akan berbicara dengan Dean dan Jess besok, aku harap mereka tak lagi bertengkar," ucap Luke yang kemudian menatap Bert. "Aku rasa ini jam terakhir kita berbincang, Bert."

Sara yang mendengar itu pun menoleh ke arah Bert sekilas dan memeluk Luke dengan manja. "Kau mau bermain game lagi?" tanyanya.

"Boleh."

Bert yang paham pun mengangguk. "Oke, selamat malam. Aku masih akan di sini," ucap pemuda berkacamata itu.

Sepasang kekasih itu pun meninggalkan Bert sendirian di tengah cahaya temaram di ruang tengah, pencahayaan malam itu hanya dari televisi dan bulan yang tampak indah di atas sana. Bert mungkin akan menghabiskan waktunya sendiri hanya untuk sekadar membaca buku dan mempelajari hal kesukaannya.

"Mahkluk Neraka."

***

Udara dingin pagi menyambut seorang pemuda bermanik biru yang tengah menikmati kopinya di balkon apartment-nya. Suasana di bawah tampak sedikit sepi, walau beberapa ada orang yang berlalu-lalang untuk sekadar pergi ke pusat pembelanjaan.

"Bagaimana untuk liburannya?" tanya Jess yang baru saja datang dan ikut bergabung bersama Bert yang tengah bersantai.

"Luke mengatakan akan pergi ke Swiss, mungkin itu ide terbaik yang muncul. Kami bertiga setuju, hanya tingan kalian berdua."

Jess menganggukkan kepalanya paham, ia kemudian menyeruput kopi miliknya untuk mengaliri tenggorokannya yang terasa kering. "Itu tidak buruk, di sana cuaca bagus dan pemandangannya menarik."

"Ya, benar."

Bert menoleh menatap teman baiknya itu, kemudian sebuah pertanyaan terlintas di dalam otaknya. "Bagaimana keputusan kalian? Sudah baikkan atau ....?"

Gadis yang tengah mengucir rambutnya itu pun hanya bisa tersenyum tipis. "Aku mungkin akan ikut, lagi pula voting kami berdua akan kalah jika melawan tiga pilihan. Dan masalah tadi malam cukup teratasi dengan permainan kecil."

"Permainan?"

Jess mengangguk. "Ya, kau mungkin mengerti, Bert." Gadis itu tanpa berucap lagi beranjak dari sana dan pergi ke dapur untuk mencari makanan yang mungkin bisai ia olah menjadi sarapan untuk teman-temannya.

Selesai sarapan bersama, kelima orang itu pun mulai berkumpul lagi untuk membahas hal yang sama seperti malam kemarin. Karena Dean dan Jess tak sempat ikut, jadi hari inilah pembahasan mereka berlanjut.

"Kita ke Swiss, dan hari ini kita berangkat."

Jess melotot kaget. "Apa?! Kau gila!"

"Ada apa, Jess? Bukankah lebih cepat lebih baik?" tanya Luke yang seakan tak mengerti bantahan dramatis dari pacar sahabatnya itu.

"Kita tidak mungkin bisa berangkat hari ini, aku belum menyiapkan apa pun dan ... aku bahkan belum mendapatkan izin dari orang tuaku, Luke," jelas si gadis yang tampak panik dan kesal.

Dean pun menarik kembali Jess dalam pelukannya, ia menenangkan gadisnya walau sejenak. "Hei, tidak masalah. Kita bisa pergi ke rumah orang tuamu sekarang dan meminta izin, untuk barangmu, aku akan membantu, bagaimana?"

"Ya, aku akan membantu perlengkapanmu, Jess. Jika kau butuh apa pun kita bisa membelinya di sana, kan?" sahut Sara yang berusaha bernegosiasi dengan gadis cantik berkulit gelap itu.

Jess yang memang sedikit tak nyaman dengan pemberangkatan mendadak ini pun hanya bisa menghela napas pasrah dan mengangguk. "Fine! Terserah kalian."

Hari itu juga akhirnya keputusan telah dibuat dengan pertimbangan matang. Mereka akan berkemas dan segera membeli keperluan apa pun yang sekiranya dibutuhkan di sana nanti.

"Kita bertemu langsung di bandara sore ini, oke?"

Semua mengangguk paham, Dean dan Jess pulang bersama untuk menyiapkan keperluan mereka. Begitu pula dengan Sara dan Luke yang katanya akan pergi berbelanja sebentar. Bert yang statusnya sendiri dan pemilik apartment, pun hanya bisa menunggu malam ini tiba.

"Aku akan datang cepat! Hati-hati!" serunya pada keempat temannya yang baru saja pergi.

Pintu itu tertutup, meninggalkan senyum kecilyang aneh dari si pemuda. Ia mengambil ponsel dari sakunya dan menekan sebuah nomor dengan nama "spam" itu.

"Sore ini aku akan berangkat ke Swiss dan aku harap kami bisa sampai tujuan dengan baik. Ya, terima kasih." Bert mengakhiri teleponnya dan pergi ke kamar untuk bersiap-siap.

Baju yang ia perlukan mulai ia tata rapi, beberapa kebutuhan lain seperti obat-obatan dan barang kesukaannya telah masuk ke dalam koper hitam besar itu. Kini tinggal waktunya menunggu hari paling spesial ini tiba.

"Swiss," ucapnya tatkala memasukkan beberapa buku novel dan catatan dalam koper itu. "Surga dan neraka itu berseberangan. Aku harap bisa menyebrangi neraka dengan mudah."

Waktu-waktu sendiri ia habiskan untuk menungu. Sampai waktu menunjukkan pukul keberangkatannya, Bert pun segera membawa koper itu dan pergi ke bandara lebih awal. Bert harap dia bisa lebih santai, karena baginya datang terburu-buru itu sedikit melelahkan.

"Aku sampai, kalian di mana?" tanya Bert sembari menunggu di kantin bandara. "Baiklah, aku ada di kantin. Kalian bisa kemari jika mau, karena aku sendirian."

Selesai, si pemuda berkacamata itu kini mulai menikmati makanannya sembari menunggu orang yang baru saja berbicara dengannya melalui telepon. Tak berselang beberapa lama, orang itu muncul dengan setelan mereka.

"Hai, Bert. Sudah lama?" tanya Dean.

"Tidak begitu, karena ... ya, aku hanya ingin menikmati makanan di sini." Bert yang tersadar pun memberikan daftar menu di sana. "Oh, kau mau pesan? Biar aku yang membayarnya."

Dean mengerutkan dahinya heran. "Kau? Ada apa denganmu?" tanya pemuda itu yang tak biasanya melihat tingkat berbeda dari sang sahabat.

"Oh ayolah, aku hanya berusaha berbagi. Lagi pula tak enak rasanya seluruh liburan ini Luke yang membayarnya, kan? Jadi, aku ingin mentraktirmu," terang Bert dengan tawa kecilnya. "Oh, ya. Di mana Jess?"

"Jess bersama Sara. Kami berpisah setelah pergi ke rumah orang tuanya, dia tampak sedikit kesal karena orang tuanya sempat tak mengizinkan."

Pemuda berambut hitam itu mengangguk paham. "Baiklah, sembari menunggu mereka kau bisa langsung memesan jika lapar, Dean."

Beberapa menit mereka menunggu, tiga orang yang dinantikan akhirnya tiba. Mereka sempat bercengkrama sebentar sebelum akhirnya beberapa menit sebelum jadwal untuk pemberangkatan telah tiba, kelima orang itu memilih beranjak segera.

Pesawat lepas landas di sore yang indah itu. Awan-awan putih bercampur cahaya mentari sore, langit jingga yang menenangkan. Suasana itu seolah bagian paling indah dan menarik untuk dinikmati.

"Menuju surga dunia," gumam Sara pada Luke yang ada di sampingnya.

Dua pasangan kekasih itu tampak bahagia. Lain halnya dengan si pemuda berkacamata yang lebih banyak diam sembari memandang ke luar jendela. Selain karena dia tak ingin melihat interaksi menggelikan antara teman-temannya, Bert sendiri masih memikirkan bagaimana perjalanannya ini.

"Bert, mengapa kau tak mengajak Zoe untuk teman kencan?" tanya Luke berbisik.

"Dia tidak terlalu menarik."

"Kau benar-benar aneh, dia jelas tertarik denganmu. Dan kau? Hah ...." Luke memukul bahu sang sahabat.

Bert yang hanya tertawa itu pun menoleh sekilas. "Ada yang lebih menarik dari sekadar memiliki teman untuk diajak tidur. Dan itu tentang penelitian ku."

Pemuda berambut cokelat dengan manik indah itu menatap malas sang sahabat. "Kau benar-benar aneh."

***

NOT ENDING

***

Sesuai kalimat di atas, ini bukan ending. Karena sebenarnya masih panjang. Dan, tugas hari ini berkaitan dengan kalimat pembuka sesuai dengan materi yang disampaikan.

Entah ini cerita akan di adaptasi ke bentu novel atau tidak, karena saya masih ribet dengan anak-anak lain.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top